dan gambut dalam dengan tingkat kematangannya secara umum pada kedalaman 1 m rata-rata pada tingkat hemik - saprik, sedangkan pada kedalaman 1 m pada
tingkat kematangan saprik. Dilihat dari karakteristik kimia gambut, pH tanah tergolong masam
dimana nilai kemasaman gambut diperoleh dari hasil sumbangan ion H
+
dari proses dekomposisi bahan organik yang terjadi secara terus menerus pada lahan
gambut SSFFMP-EU 2005. Kandungan C di lahan gambut dikategorikan tinggi karena C lebih dari 5 sekaligus membuktikan tingginya ketersediaan karbon di
lahan gambut. Untuk kandungan N dan nisbah CN tergolong tinggi, sebaliknya kandungan P total relatif rendah terutama pada daerah deposisi atau endapan.
Berdasarkan kondisi kejenuhan basanya, area ini tergolong sangat rendah disebabkan karena kandungan basa pada gambut jauh lebih rendah daripada basa
di tanah mineral. Ciri kimia lain pada areal gambut ini adalah : ketersediaan unsur K tergolong dari rendah hingga sedang, unsur N tergolong sedang, Ca dan Mg
tergolong rendah hingga sangat rendah. Untuk Kapasitas Tukar Kation KTK MPDF dikategorikan memiliki kation sangat tinggi yang dapat mencerminkan
kondisi kesuburan tanah karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam menyerap unsur-unsur hara SSFFMP-EU 2005.
MPDF merupakan salah satu kubah gambut terluas di bagian utara Sumatera Selatan. Menurut Wetlands dan IPB 2003, hutan rawa gambut Merang
dan Kepahyang memiliki luas 210 ribu ha, dengan rata-rata kedalaman gambut 150 cm dan menyimpan 0,5 Gigaton karbon. Pada tahun 2006, SSFFMP
membangun model 3D kubah gambut berdasarkan pengeboran tanah gambut dan DEM SRTM menghasilkan 0,1 Gigaton karbon dari 140 ribu ha dengan
kedalaman rata-rata gambut 208 cm Mott 2006. Ballhorn 2007 menyatakan bahwa dengan luas 125 ribu ha dan rata-rata kedalaman gambut 2,5 meter, MPDF
mengandung 0,2 Gigaton karbon atau setara dengan 0,72 Gigaton CO
2
.
3.5 Kondisi Sosial Ekonomi
Secara administratif area di MPDF hampir sama dengan desa Muara Merang. Muara Merang terdiri dari 3 dusun yaitu Kepahyang, Bakung dan Bina
Desa yang berlokasi di pinggir sungai. Jumlah penduduk yang tinggal di desa ini
berjumlah 1.240 jiwa terdiri dari 273 kepala keluarga. Penduduk desa ini bermatapencarian utama sebagai penebang kayu pembalak, petani, buruh di
perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan nelayan. Di daerah ini terdapat operasi bisnis yang biasa disebut Lebak Lebung,
yang artinya suatu mekanisme panen ikan dari sungai yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten. Setiap tahun, pemerintah mengadakan lelang untuk hak
pemanenan ikan di salah satu bagian spesifik sungai. Pemegang hak harus membayar 35 juta rupiah kepada pemerintah untuk dapat menggunakan haknya
setiap tahun. Pemegang hak akan memperoleh pajak dari setiap penangkap ikan yang memanen ikan di area tersebut. Ini hanya sebagian kecil pemasukan dari
pemilik hak. Pemasukan terbesar berasal dari pajak yang dipungut dari kayu-kayu ilegal yang dibawa melewati bagian sungai tersebut. Pajak yang diperoleh dapat
mencapai 300 juta rupiah. Ini merupakan fakta dalam mekanisme aktivitas illegal.
3.6 Sejarah Areal
Kejadian kebakaran dilaporkan terjadi sejak tahun 1960, kemudian terjadi kebakaran berulang pada tahun 1982, 1987, 1997 Lubis et al., 2004. Hal tersebut
diakibatkan oleh kegiatan pembalakan yang terus berlangsung yang menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologi dari ekosistem kubah gambut
peat dome menjadi kering. Selain itu, para pembalak liar memperburuk kondisi hutan dengan membuat galian parit seperti bentuk kuda-kuda untuk dapat
mengangkut potongan kayu keluar dari kubah hutan pada waktu musim kemarau. Kelalaian dari penebang liar diduga menjadi penyebab terjadinya kebakaran
adalah sumber api yang berasal dari kegiatan memasak maupun puntung rokok. Berdasarkan hotspot yang terdeteksi menunjukkan bahwa kebakaran hutan
di MPDF sudah terjadi sejak tahun 1997, dimana kebanyakan terjadi di areal yang terdegradasi di sepanjang sungai. Kubah gambut yang tersisa masih tetap utuh.
Bagaimanapun juga aktivitas penebangan yang baru dimulai pada tahun 2003 didalam areal proyek yang diusulkan untuk beroperasi dimana pada area tersebut
ditemukan adanya hotspot. Hal tersebut mengindikasikan adanya aktivitas yang dimulai di dalam area dan kebanyakan adalah kegiatan illegal logging.
Berdasarkan peta rawan kebakaran, menunjukkan bahwa area dalam tingkat kerawanan yang tinggi.
Sumber: Solichin 2008
Gambar 6. Peta Citra Hot spot di MPDF Sumatera Selatan
Pada Gambar 6 dapat dilihat mengenai titik api pada areal MPDF bahwa pertama kali hotspot muncul pada tahun 1997 yang terjadi di areal hutan yang
terdegradasi yang berada disekitar sungai. Selanjutnya tahun 1998 sampai tahun 2000 tidak ditemukan adanya titip api, dan ditemukan kembali adanya titik pada
tahun 2003 karena adanya kegiatan penebangan di areal proyek yang diusulkan. Kegiatan ini mengakibatkan jumlah titik api semakin banyak, hal tersebut terlihat
pada citra satelit tahun 2004, kemudian titik api mulai tidak ditemukan lagi pada
tahun 2005. Hingga akhirnya pada tahun 2006 merupakan puncak dimana banyak ditemukannya titik api dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kejadian
kebakaran hutan di MPDF pada tahun 2006 diduga disebabkan karena semakin banyaknya areal yang terdegradasi akibat dari kegiatan penebangan liar maupun
akibat terjadinya kebakaran berulang yang menyebabkan hutan menjadi areal terdegradasi sehingga rentan untuk terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan illegal
logging menyisakan limbah sisa penebangan yang dapat menjadi bahan bakar yang sangat potensial dan apabila terdapat sumber penyulutan maka akan memicu
terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2006 di areal MPDF selain
dipengaruhi oleh aktivitas illegal logging maupun kebakaran hutan tahun sebelumnya yang menyebabkan degradasi hutan juga dipengaruhi oleh faktor
iklim curah hujan, suhu dan kelembaban. Faktor iklim merupakan faktor pendukung untuk terjadinya kebakaran hutan, dapat dilihat pada gambar 7, 8 dan
9. Berdasarkan hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kenten Palembang terhadap data curah hujan bulanan di Bayung
Lincir Kabupaten Musi Banyuasin dari bulan Januari sampai Desember tahun 2005, 2006 dan 2007 Gambar 7.
Gambar 7. Grafik Curah Hujan Bulanan di Wilayah Bayung Lincir Kabupaten
Musi Banyuasin Grafik di atas menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terjadi
perbedaan curah hujan dan terdapat bulan yang tidak mengalami kejadian hujan yaitu pada bulan Agustus 2006 dan pada tahun 2007 terdapat data curah hujan
paling rendah dibandingkan dengan bulan lain yaitu sebesar 5 mmbulan. Pada
bulan tersebut merupakan bulan yang sangat rentan terjadinya kebakaran hutan, hal ini terbukti, bahwa kejadian kebakaran hutan di lokasi penelitian yang terjadi
pada tahun 2006 diperkirakan terjadi pada bulan Agustus hingga Oktober yang ditandai dengan adanya bulan kering. Oleh karena itu, pada periode inilah
dimulainya proses akumulasi pengeringan dan penumpukan bahan bakar sehingga kadar airnya semakin menurun dan apabila terdapat sumber penyulutan maka
bahan bakar tersebut akan relatif mudah untuk terbakar. Untuk data pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan data
hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kenten Palembang di Desa Tulung Salapan karena secara umum kondisi cuaca di
Palembang hampir sama. Berdasarkan data yang ada dapat diketahui bahwa suhu udara bulanan maksimal pada tahun 2006 terjadi pada bulan Oktober sebesar
28,9°C sedangkan suhu udara minimal pada bulan Januari sebesar 26,4°C. Sedangkan suhu udara bulanan maksimal pada tahun 2007 terjadi pada bulan Mei
dan September sebesar 27,5°C dan minimal pada bulan Desember 26,4°C Gambar 8.
Gambar 8. Grafik Suhu Udara Bulanan °C di Wilayah Tulung Salapan
Untuk kelembaban udara bulanan maksimal terjadi pada tahun 2006 yaitu pada bulan Januari hingga Juni sebesar 87, sedangkan kelembaban udara
minimum pada bulan Oktober sebesar 71. Pada tahun 2007 kelembaban udara maksimal pada bulan Januari sebesar 88 dan kelembaban udara minimal pada
bulan September sebesar 78. Semakin tinggi suhu berarti kelembaban udara semakin rendah, hal ini berarti bahwa daerah tersebut berpeluang besar terhadap
kejadian kebakaran hutan. Hal ini dapat dilihat bahwa kejadian kebakaran pada bulan Agustus hingga Oktober 2006 ditandai dengan meningkatnya suhu dan
rendahnya kelembaban udara.
Gambar 9. Grafik Kelembaban Udara Bulanan di Wilayah Tulung Salapan
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian