menjelaskan apa yang mereka pikirkan, menemukan kesalahan dalam alasan mereka dan akhirnya mencapai hasil bersama yang kemudian
ditransferkan ke dalam kertas karton yang mana guru harus memberikan tiga pensil warna yang berbeda kepada tiap grupnya. Siswa-siswa tersebut
harus menggambarkan diagram mereka sebesar mungkin menggunakan pensil warna yang telah disediakan agar memudahkan jika dilihat
kemudian. Tiap anggota dari triplet sebaiknya mempersiapkan diri untuk mempertahankan jawaban grupnya di depan kelas. Selama diskusi triplet
guru sebaiknya berkeliling kelas, menjelaskan tujuan dari latihan jika diperlukan tapi tidak diperbolehkan terlibat dalam diskusi.
d. Sesi 4 Setelah beberapa waktu, semua jawaban dalam karton harus ditempel di
dindingpapan tulis dan semua siswa diperbolehkan untuk duduk lebih dekat dalam jajaran berbentuk-U sehingga dapat dengan mudah melihat
karton yang telah ditempelkan. e. Sesi 5
Guru harus melihat semua jawaban dan mencari kesamaan dan perbedaan dan dapat memulai diskusi dengan memilih karton dimana hasilnya
sepertinya dapat mewakili beberapa jawaban dan meminta anggotanya untuk menjelaskan jawaban mereka. Siswa dari triplet lain dengan diagram
yang berbeda kemudian diminta untuk mempertahankan jawaban mereka. Prosesnya berlangsung dengan siswa memberikan argumen sampai
didapat kesepakatan mengenai jawaban akhirnya. Penting diperhatikan bahwa
guru tidak
diperbolehkan menjelaskanmemberitahukan
jawabannya. Sehingga banyak pemikiran akan keluar, guru harus memberikan cukup waktu sebelum menanyakan lebih lanjut.
f. Sesi 6
Diakhir sesi tersebut setiap siswa harus benar-benar memahami jawaban yang disetujui. Untuk membuktikannya guru harus mengulang kembali
jawabannya dan mungkin menulismenggambarkannya dalam karton kosong ke dinding atau papan tulis tapi tanpa tambahan komentar. Jika
waktu habis sebelum kesepakatan diraih, guru memberikan ringkasan sampai bagian yang telah diraih kemudian memberikan suatu petunjuk
kepada siswa dan akan diselesaikan di pertemuan berikutnya.
36
Tahap pelaksanaan CUPs dalam penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu : 1 Tahap Individu
Pada tahap ini, siswa secara individu mempelajari konsep dari materi yang dipelajari yang ada pada LKS serta menyelesaikan soal yang ada pada LKS.
2 Tahap kelompok triplet kelompok yang terdiri dari 3 atau 4 orang Pada tahap ini, siswa bergabung dengan kelompok masing-masing yang terdiri
dari 3 sampai 4 orang, kemudian mendiskusikan konsep serta soal yang ada pada LKS dan menuliskan hasil jawaban bersama di dalam karton.
3 Tahap diskusi kelas Pada tahap ini, semua jawaban dalam karton ditempel di dindingpapan tulis
dan semua siswa diperbolehkan untuk duduk lebih dekat dalam jajaran berbentuk U sehingga dapat dengan mudah melihat karton yang telah
ditempelkan. Perwakilan kelompok menjelaskan hasil jawaban kelompok mereka didepan kelompok-kelompok lainnya, kelompok lain menanggapi
sehingga mencapai kesepakatan bersama.
3. Model pembelajaran Konvensional
Salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan banyak digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran
konvensional yang dimaksud adalah model pembelajaran yang biasa digunakan guru dalam mengajar di sekolah pada umumnya.
Ciri-ciri Pembelajaran konvensional dalam Wina Sanjaya adalah siswa ditempatkan dalam objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi
secara pasif, siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran, pembelajaran bersifat teoretis dan
36
Kloot, D. 2003. CUPs Guide [Online]. Tersedia : http:www.education.monash.edu.auresearchgroupssmteprojectscupscups-guide.doc [27
November 2011].
abstrak, kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan dan tujuan akhir adalah nilai atau angka.
37
Dalam pembelajaran konvensional biasanya guru menyampaikan materi ajar dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara lisan yang dikenal dengan
metode ceramah. Pembelajaran seperti ini cenderung membuat siswa pasif dalam belajar, mereka hanya duduk diam menerima materi yang disampaikan guru.
Pembelajaran seperti ini sangat monoton dan membuat siswa cenderung bosan dengan proses pembelajaran. Pada model pembelajaran konvensional, siswa
belajar lebih banyak mendengarkan penjelasan guru di depan kelas dan melaksanakan tugas jika guru memberika latihan soal-soal kepada siswa.
Kegiatan belajar mengajar dalam model pembelajaran konvensional menurut Prasetyo Utomo biasanya hanya didominasi oleh siswa yang pandai,
sementara siswa yang kemampuannya rendah kurang berperan dalam mengerjakan tugas, disamping itu juga siswa kurang dilatihkan untuk bekerja
sama, berkomunikasi, dan menghargai pendapat orang lain.
38
Hal ini menunjukan bahwa proses pembelajaran pada pendekatan pembelajaran konvensional lebih
banyak didominasi oleh guru dan siswa cenderung pasif dalam kegiatan pembelajaran. Akibat cara belajar seperti ini, siswa kemampuannya rendah kurang
memperoleh pemahaman materi dan hasil belajar yang rendah. Dalam penelitian ini model pembelajaran konvensional yang dimaksud
adalah pembelajaran dengan metode ekspositori dimana aktivitas pembelajaran hanya terbatas pada guru menerangkan materi, pemberian contoh soal, tanya
jawab kemudian siswa mengerjakan soal latihan berdasarkan contoh yang dibuat oleh guru.
37
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Bandung: Prenada, 2006, h. 261.
38
Prasetyo Utomo,dkk. Jurnal Pendidikan Teknik Mesin Vol.8, No.1, Juni 2008 31-36. http:journal.unnes.ac.idnjuindex.phpJPTMarticleview1178. h. 32.
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan model pembelajaran CUPs antara lain :
1. Wiguna, wahyu 2010 FMIPA UPI, dengan judul penelitiannya
“Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA melalui Penerapan Model Pembelajaran Conceptual Understanding
Procedures CUPs”. Hasil penelitiannya bahwa: kemampuan komunikasi matematis
siswa yang mendapat pembelajaran Conceptual Understanding Prosedures CUPs lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional, selain itu
beberapa siswa menunjukkan respon positif terhadap model pembelajaran Conceptual Understanding Prosedures CUPs yang telah dilakukan karena
mereka menganggap pembelajaran tersebut menyenangkan dan membuat siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran serta memudahkan mereka
dalam memahami konsep matematika.
39
2. Iin Retno Indriawati 2009, dengan judulnya “Penerapan Metode Conceptual Understanding Procedures CUPs Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep
Matematika Siswa PTK pada siswa kelas V sd”. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman konsep pecahan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa materi pecahan untuk siswa SD termasuk topik yang sukar untuk dipelajari siswa dan juga sukar bagi guru mengajarkannya, dan
kesalahan umum yang dilakukan siswa terletak pada kesalahan memahami konsep. Maka, berkaitan dengan hal tersebut penerapan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran CUPs memberi pengaruh yang positif terhadap hasil belajar siswa, yaitu meningkatnya pemahaman konsep pecahan
siswa sehingga berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa.
40
39
Wahyu Wiguna, “Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA melalui Penerapan Model Pembelajaran Conceptual Understangding Prosedures CUPs”, 2010,
Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia, Tidak diterbitkan
40
Iin Retno Indriawati, “Penerapan Metode Conceptual Understanding Procedures CUPs Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa PTK pada siswa kelas V
sd”, 2009, Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia, Tidak diterbitkan.
C. Kerangka Berpikir
Matematika dalam pembelajarannya saat ini merupakan mata pelajaran yang dipandang sulit bagi kebanyakan siswa. Dalam pembelajaran matematika
diperlukan kemampuan dalam memecahkan masalah. Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan untuk mengatasi kesulitan dalam
menyelesaikan soal matematika yang diperlukan proses pemikiran mendalam dengan tahapan-tahapan yang sesuai sehingga mencapai tujuan yang diinginkan.
Indikator seseorang dikatakan dapat memecahkan masalah adalah menunjukkan pemahaman masalah, mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan
dalam pemecahan masalah, menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk, memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara
tepat, mengembangkan strategi pemecahan masalah, membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah dan menyelesaikan masalah yang tidak
rutin. Kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam pembelajaran matematika, karena dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
dapat terlatih untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Akan tetapi pada kenyataanya masih banyak siswa yang memiliki
kemampuan pemecahan masalah yang rendah, hal ini dikarenakan masih banyak guru yang menggunakan pembelajaran konvensional dimana pembelajaran
berpusat pada guru sehingga terlihat guru yang lebih aktif dibanding dengan siswa. Dalam hal ini siswa hanya berdiam diri menerima pembelajaran yang
diberikan guru sehingga peran aktif siswa lebih sedikit karena lebih didominasi oleh guru.
Selain itu, siswa tidak dilatih untuk menyelesaikan soal-soal matematika yang bersifat tidak rutin yaitu soal-soal tingkat tinggi yang membutuhkan proses
berpikir mendalam serta berbeda dengan contoh yang diberikan guru. Hal ini terbukti ketika siswa diberikan soal-soal yang berbeda dari contoh yang diberikan
guru, siswa cenderung mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan siswa kurang memahami soal dan kurang terampil dalam
menyelesaikan soal. Siswa terbiasa menghafal soal dan penyelesaianya saja tanpa mengetahui konsepnya secara jelas.