Marjinalisasi Identifikasi Ketidakadilan Gender terhadap PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas

106 perempuan dalam masyarakat. Adanya program P2KP dan UP2K-PKK belum dapat meningkatkan peran perempuan terutama PKRT. Mereka lebih baik meminjam pada rentenir daripada meminjam ke P2KP ataupun UP2K -PKK karena persyaratan dan prosedurnya yang sulit.

6.3. Identifikasi Ketidakadilan Gender terhadap PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas

Kondisi pemberdayaan masyarakat di Desa Sekarwangi belum terlaksana dan belum diperhatikan terutama untuk kegiatan usaha ekonomi produktif warga masyarakat. Prioritas kegiatan masih dititikberatkan pada kegiatan perbaikan kondisi fisik desa dengan pembangunan jalan. Kegiatan sosial kemasyarakatan masih berkisar pada penyantunan kepada jompo miskin dan pemberian beasiswa bagi anak terlantar. Selebihnya adalah kegiatan bina keluarga balita yang kegiatannya sangat menonjol karena ada dukungan kuat dari PLKB dan Bidan Desa. Masalah dan kondisi PKRT usaha mikro dapat dilihat dari ketidakadilan gender yang terjadi dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat di Desa Sekarwangi yaitu P2KP yaitu terjadi pembedaan dalam penerimaan bantuan dana bergulir P2KP. Awal penerimaan dana tersebut, perempuan yang mempunyai usaha mikro memperoleh kesempatan untuk meminjam dan mereka secara rutin juga membayar cicilannya. Setelah dana terkumpul dan digulirkan, ternyata perempuan usaha mikro terutama PKRT tidak memperoleh bantuan kembali padahal mereka sangat membutuhkan untuk pengembangan usaha mereka. Dana yang bergulir diberikan kepada laki-laki dengan jumlah yang cukup besar. Jumlah tersebut diserap tetapi pembayaran cicilannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Cicilan hanya berjalan satu sampai dua kali dan setelah itu terhenti sama sekali. Ketidakadilan gender yang terjadi di desa Sekarwangi Kecamatan Katapang berkaitan dengan program pembangunan yaitu:

6.3.1. Marjinalisasi

PKRT mengalami marjinalisasi dalam penerimaan bantuan. Mereka dianggap tidak akan mampu mengembalikan pinjaman, sehingga akses terhadap pinjaman terutama dana yang terhimpun dalam program UP2K-PKK mengalami keterbatasan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu LA Informan: 107 Dana UP2K-PKK kemarin dipinjamkan kepada Ibu NN yang berjualan ayam goreng, tetapi cicilan pengembaliannya mandeg di tengah jalan karena banyak pelanggan yang hutang kepada ibu NN. Seharusnya untuk usaha dagang makanan jangan dihutangin ke pelanggan, karena untuk beli bahan mentahnya ke pasar tidak bisa hutang…Tiap ada Binwil dari kecamatan kegiatan UP2K selalu dipantau, oleh sebab itu bantuan kemudian diberikan kepada Bpk Cc yang mempunyai usaha kerupuk seblak agar pengembalian dan pemantauannya mudah. Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa ada kekhawatiran dari pengurus PKK dana UP2K-PKK yang dipinjamkan tidak lancar pengembaliannya, apalagi penggunaan dana tersebut sering dipantau oleh pihak kecamatan. Dana tersebut akhirnya diberikan kepada salah seorang warga yang dianggap bisa mengembalikan pinjaman tersebut secara rutin dan apabila ada pemeriksaan, siap menerima kunjungan bina wilayah. Hal tersebut dapat juga dilihat pada saat pelaksanaan PRA, ternyata masih banyak PKRT yang belum bisa mengakses program tersebut, walaupun kaum perempuan pada umumnya memperoleh kesempatan untuk meminjam kredit dari program P2KP. Upaya yang ditempuh oleh mereka adalah dengan meminjam uang dari bank keliling rentenir. Marjinalisasi terjadi dengan adanya anggapan bahwa perempuan hanya bekerja di rumah saja, sedangkan laki-laki bekerja di luar rumah mncari nafkah, seperti yang diungkapkan oleh Ibu DW PKRT usaha mikro: Kalau kita mah kaum perempuan bekerja hanya untuk membantu suami mencari uang tambahan, karena suami yang harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Kalau kesempatan untuk bekerja lebih banyak diberikan pada laki-laki, sedangkan ibu-ibu bekerjanya di rumah, seperti ngewarung atau dagang kreditan. Uraian di atas menggambarkan bahwa kaum perempuan sendiri menganggap bahwa diri mereka adalah sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga posisi mereka dalam bekerja dianggap rendah. Hal tersebut tidak terlepas dari sistem sosialisasi yang telah tertanam sejak kecil bahwa perempuan bekerja di rumah dan laki -laki bekerja di luar rumah. Marjinalisasi juga terlihat pada saat pelanti kan RTRW, dari 43 orang pengurus RTRW yang terpilih, hanya satu orang perempuan yang menjabat sebagai Ketua RW. Kaum laki-laki berpendapat bahwa perempuan hanya bekerja mengurusi urusan rumahtangga saja dan kalau ingin aktif ada wadahnya sendiri yaitu PKK. 108

6.3.2. Subordinasi