I. PENDAHULUAN 1.1 Latar
Belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki arti dan kedudukan penting dalam pembangunan nasional. Sektor
pertanian memiliki berbagai peranan penting yaitu sebagai sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia, sebagai sumber penghasil bahan
makanan, sumber bahan baku industri, penghasil devisa negara dari ekspor komoditinya, bahkan berpengaruh besar terhadap stabilitas dan keamanan
nasional. Salah satu komoditas pertanian yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia adalah beras. Nurmalina 2007 menyatakan bahwa beras merupakan
makanan pokok masyarakat Indonesia yang dikonsumsi hampir 100 persen yaitu 98 persen. Menurut BPS 2009 jumlah konsumsi beras nasional mencapai 139
kilogram per kapita per tahun. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian adalah
peningkatan pertumbuhan penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin meningkat berbanding lurus dengan permintaan terhadap konsumsi pangan,
khususnya beras. Saat ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa. Departemen Pertanian 2007 memproyeksikan kebutuhan beras hingga tahun
2030 dengan asumsi kenaikan jumlah penduduk Indonesia sekitar 0,92 - 1,3 persen per tahun, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 dan 2030 berturut-
turut adalah 261,01 dan 286,02 juta jiwa. Proyeksi kebutuhan konsumsi beras nasional akan meningkat berturut-turut 36,32 dan 39,80 juta ton. Kebutuhan akan
beras diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Lampiran 1.
Adanya peningkatan konsumsi beras maka produksi beras juga harus ditingkatkan agar tercapai keseimbangan antara permintaan dan penawaran beras.
Ketersediaan beras di masyarakat tergantung akan produksi padi nasional. Menurut BPS tahun 2009 produksi dan peningkatan produksi padi dapat dilihat
pada Tabel 1.
2
Tabel 1. Produksi Padi Indonesia dan Kenaikan Produksi Padi Tahun 2000-2009
Tahun Produksi ton
Peningkatan ton Persentase
Peningkatan Persen
2000 51.898.852 -
- 2001 50.460.782
-1.438.070 -2.77 2002 51.489.694 1.028.912 2.04
2003 52.137.604 647.910 1.26 2004 54.088.468 1.950.864 3.74
2005 54.151.097 62.629 0.12
2006 54.454.937 303.840 0.56 2007 57.157.435 2.702.498 4.96
2008 60.325.925 3.168.490 5.54 2009 62.561.146 2.235.221 3.71
Sumber : BPS 2009
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa produksi padi mengalami penurunan yaitu dari 51.898.852 ton pada tahun 2000 menjadi 50.460.782 ton pada tahun
2001. Produksi padi mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi 51.489.694 dengan persentase peningkatan produksi sebesar 2,04 persen. Produksi padi
kembali mengalami peningkatan pada tahun 2003 menjadi 52.137.604 ton tetapi mengalami penurunan persentase peningkatan produksi yaitu turun menjadi 1,26
persen. Produksi padi terus meningkat menjadi 54.088.468 ton pada tahun 2004 dengan kenaikan persentase produksi padi sebesar 3,74 persen. Pada tahun 2005
produksi padi mengalami peningkatan yaitu menjadi 54.151.097 ton tetapi peningkatan tersebut mengalami penurunan persentase peningkatan produksi yaitu
turun menjadi 0,12 persen. Pada tahun 2006 peningkatan produksi padi tidak terlalu besar yaitu meningkat menjadi 54.454.937 ton atau sebesar 0,56 persen dan
pada tahun 2007 - 2009 produksi padi terus meningkat berturut – turut sebesar 57.157.435 ton, 60.325.925 ton, dan 62.561.146 ton dengan persentase
peningkatan produksi sebesar 4,96 persen, 5,54 persen, dan 3,71 persen. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa produksi padi
nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, akan tetapi persentase peningkatan produksi padi tersebut mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, terjadinya penurunan luas lahan pertanian yang
3 belakangan ini sering terjadi. Nurmalina 2007 menyatakan bahwa pulau Jawa
merupakan sentra produksi beras nasional. Namun masalah sekarang adalah tingginya konversi lahan pertanian ke lahan untuk pemukiman dan industri,
sehingga tidak terjadi peningkatan luas tanam padi di pulau Jawa bahkan ada kecenderungan menurun.
Kedua, kondisi lahan pertanian yang mengalami degradasi lahan yang menyebabkan ketidakmampuan lahan pertanian menghasilkan produksi yang
optimal. Penggunaan pupuk kimia yang tinggi, pemakaian pestisida kimia secara terus-menerus, dan tidak adanya rotasi penanaman menyebabkan penurunan
kesuburan tanah dan penurunan produktivitas lahan. Departemen Pertanian 2009 menyatakan bahwa lahan irigasi teknis pada umumnya berada dalam kondisi
“sakit atau lelah“ fatique akibat penggunaan input yang tidak tepat. Lahan tersebut dicirikan oleh struktur tanah yang buruk dan kandungan bahan organik
yang rendah. Ketiga, perubahan cuaca yang sulit untuk diprediksi juga menyebabkan penurunan produksi lahan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
2009 menyatakan bahwa salah satu dampak dari pemanasan global yaitu kondisi iklim menjadi sulit untuk diprediksi, sehingga menimbulkan kerugian yang cukup
besar baik terhadap penurunan produksi maupun pendapatan petani. Dampak fenomena iklim kekeringan dan banjir hingga saat ini masih belum dapat
diprediksi secara tepat. Dampak fenomena iklim tersebut sangat terkait erat dengan perkembangan organisme pengganggu tanaman OPT.
Produksi beras nasional belum mampu memenuhi peningkatan permintaan beras. Konsumsi beras yang tinggi dan tidak diikuti dengan produksi padi yang
stabil menyebabkan pemerintah harus mengambil kebijakan impor beras untuk menutupi kekurangan penawaran atas permintaan beras. Menurut BPS 2010
jumlah impor beras pada tahun 2000 sebesar 1.355.665,90 ton dan turun menjadi 644.732,82 ton pada tahun 2001. Jumlah impor beras terbesar terjadi pada tahun
2002 yaitu sebanyak 1.805.379,90 ton. Setelah tahun 2002, jumlah impor beras menurun yaitu menjadi 1.428.505,68 ton pada tahun 2003. Jumlah impor semakin
menurun pada tahun 2004 – 2005 yaitu berturut-turut sebesar 236.866,70 ton dan 189.616,61. Impor beras kembali meningkat pada tahun 2006 yaitu sebesar
437.158,53 ton dan terus meningkat hingga mencapai 1.018.155,64 ton pada
4 tahun 2007. Pada tahun 2008 – 2009 impor beras menurun berturut-turut sebesar
289.689,41, 250.473,15, dan 171.442,02 ton. Kuantitas impor beras yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kuantitas Impor Beras Indonesia Tahun 2000-2010
Tahun Impor Ton
2000 1.355.665,90 2001 644.732,82
2002 1.805.379,90 2003 1.428.505,68
2004 236.866,70 2005 189.616,61
2006 437.158,53
2007 1.018.155,64 2008 289.689,41
2009 250.473,15 2010 171.442,02
Sumber : BPS 2010
Kebijakan impor memang dapat memberikan manfaat yaitu mencukupi kekurangan pasokan beras untuk kebutuhan dalam negeri, akan tetapi kebijakan
tersebut juga memberikan dampak buruk. Surono dalam Basuki 2008 mengatakan ada dua dampak besar yang ditimbulkan dari impor beras. Pertama harga beras
dalam negeri akan tertekan rendah karena menyesuaikan dengan harga beras dunia meskipun telah ditetapkan tarif impor. Kedua aktivitas perdagangan beras
antar daerah dan antar waktu menurun karena sumber suplainya lebih terbuka. Pedagang dapat memilihi sumber beras yang lebih menguntungkan yaitu dari
impor atau domestik. Daerah tidak harus melakukan pemupukan stok secara berlebihan karena beras setiap saat mudah diperoleh. Berkurangnya aktivitas
perdagangan beras antar daerah tersebut dapat menekan harga di daerah produsen karena surplus hasil produksi sulit dipasarkan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kuantitas impor adalah meningkatkan produksi padiberas nasional. Peningkatan produksi padi
dapat dilakukan melalui dua cara yaitu peningkatan luas panen dan peningkatan
5 produktivitas padi. Peningkatan luas panen dapat dilakukan dengan cara
mencari lahan baru yang dapat ditanami tanaman padi untuk memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat. Perluasan lahan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya yaitu perluasan lahan pertanian dengan pembukaan hutan baru, perluasan lahan
pertanian dengan pembukaan lahan kering, dan perluasan lahan pertanian lahan gambut. Namun terlepas dari tingginya permintaan beras masyarakat, pembukaan
lahan baru ini memerlukan biaya yang besar. Selain itu, pembukaan lahan baru seperti lahan gambut dan lahan hutan dapat menyebabkan rusaknya ekosistem
pada lahan-lahan tertentu dan berkurangnya habitat alami hewan di alam. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 2009 menyatakan bahwa alih fungsi lahan
biasanya terjadi justru pada lahan-lahan yang subur, sementara upaya perluasan areal baru memiliki tingkat kesuburan yang relatif rendah serta memerlukan biaya
yang cukup besar. Peningkatan produktivitas padiberas merupakan upaya untuk
meningkatkan produksi padi dengan cara mengoptimalkan lahan pertanian yang sudah ada. Salah satu cara yang dapat mendukung peningkatan produktivitas padi
adalah dengan menggunakan benih unggul yang didukung dengan pengolahan tanah atau lahan pertanian secara tepat, pengaturan irigasi atau saluran air,
pemberian pupuk sesuai aturan, dan pemberantasan hama dengan baik. Benih padi unggul seperti padi varietas unggul hibrida VUH adalah salah
satu inovasi teknologi pertanian yang dapat mendukung peningkatan produktivitas padi. Penanaman padi hibrida tidak memerlukan investasi untuk perluasan lahan
sawah yang biayanya mahal dan sering menimbulkan konflik sosial maupun lingkungan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 2007a menyatakan bahwa
berbagai pengujian di Indonesia menunjukkan bahwa padi hibrida dengan keunggulan heterosisnya memiliki daya hasil 10-25 persen lebih tinggi dibanding
dengan padi inbrida. Demonstrasi dan uji coba pengembangan padi hibrida yang dilepas Badan Litbang Pertanian melalui program Peningkatan Produktivitas Padi
Terpadu P3T di tiga belas kabupaten pada tahun 2002-2003 menunjukkan bahwa padi hibrida tersebut memberikan hasil rata-rata 7,35 ton GKG per hektar
atau 16,5 persen lebih tinggi dibanding varietas pembanding inbrida dengan hasil 6,31 ton GKG per hektar. Uji coba penanaman padi hibrida di lahan petani di Bali
6 memberikan hasil 29,0-34,1 persen lebih tinggi dari IR 64. Bahkan di lokasi dan
teknologi yang tepat lainnya hasilnya lebih dari 9 ton per hektar. Data di atas memberikan gambaran bahwa padi varietas unggul hibrida memiliki potensi yang
cukup tinggi untuk meningkatkan produktivitas padi nasional. Suwarno 2004 mengemukakan bahwa keberhasilan Cina, India dan
Vietnam dalam menggunakan padi hibrida menunjukkan bahwa padi hibrida merupakan salah satu alternatif dalam upaya meningkatkan produksi padi. Di
Cina, padi hibrida ditanam di 15 juta hektar lahan dari total 30 juta hektar lahan padi dan menghasilkan 1,5 ton per hektar gabah lebih banyak daripada varietas
unggul HYV High Yield Variety pada lahan dengan irigasi. Hal ini juga membuat Cina dapat menghemat hampir 4 juta hektar lahan yang dapat digunakan
untuk keperluan lain, seperti budidaya tanaman alternatif atau kawasan perlindungan alam. Penelitian padi hibrida di Indonesia telah dimulai sejak tahun
1983. Sementara lahan sawah irigasi yang potensial untuk menanam padi hibrida tersedia sekitar 5 juta hektar.
Perkiraan luas areal potensial pengembangan padi hibrida di pulau Jawa yaitu 1.653.310 hektar. Jawa Barat merupakan salah satu wilayah potensial yang
paling luas yaitu mencapai 690.924,2 hektar. Kabupaten Bogor adalah salah satu wilayah potensial di Jawa Barat untuk pengembangan padi hibrida dengan luas
lahan 88.120,1 hektar atau sekitar 13 persen dari wilayah potensial pengembangan padi hibrida di Jawa Barat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007.
Perkiraan luas areal wilayah potensial untuk pengembangan padi hibrida di pulau Jawa dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pengembangan padi hibrida merupakan salah satu peluang yang prospektif untuk meningkatkan produksi beras nasional. Oleh karena itu, percepatan
pengembangan padi hibrida nasional perlu mendapat perhatian yang lebih besar. 1.2 Perumusan
Masalah
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan padi hibrida di Indonesia adalah sebagian besar varietas padi hibrida yang telah dilepas
merupakan varietas impor yang benih tetuanya dipertahankan oleh pemiliknya di luar negeri, tidak boleh dikirim ke Indonesia. Pemerintah Indonesia menerapkan
aturan sangat ketat dalam impor benih padi dan didorong agar produksi benih
7 hibrida dilakukan di dalam negeri. Kebijaksanaan pemerintah tersebut dapat
dimengerti karena padi merupakan komoditas sangat penting dan strategis. Impor benih padi akan mengakibatkan ketergantungan produksi pangan pada negara
pengekspor, disamping itu pengalaman dengan beberapa jenis tanaman menunjukkan bahwa terjadinya ledakan hama dan penyakit diduga kuat berkaitan
dengan importasi benih Suwarno 2004. Menurut Satoto dan Suprihatno 2008, secara umum masalah dan kendala
pengembangan padi hibrida di Indonesia antara lain adalah a produksi benih yang masih rendah di tingkat produsen yaitu hanya menghasilkan satu ton benih padi
hibrida per hektar dan sistem perbenihan belum berkembang, b varietas padi hibrida yang telah dilepas umumnya rentan terhadap hama penyakit utama seperti
wereng coklat, hawar daun bakteri HDB, dan virus tungro, c harapan petani sangat tinggi, d beberapa varietas padi hibrida mempunyai mutu beras kurang
baik dibandingkan dengan beras terbaik dipasaran, e keragaan hasil yang tidak stabil yang disebabkan manajemen budidaya yang kurang cocok, f ketersediaan
benih murni tetua dan F1 hibrida kurang memadai, g hasil belum stabil dan harga benih mahal, h kebiasaan petani untuk menggunakan benih mereka sendiri, i
perencanan yang kurang akurat untuk mencapai areal yang ditargetkan untuk ditanami padi hibrida, j kesepahaman antara pihak pemerintah dan swasta untuk
menyebarluaskan teknologi padi hibrida kurang memadai. Kendala lain yang dihadapi dalam mengintroduksi padi hibrida kepada
petani adalah harga benih yang relatif tinggi, sementara daya beli mereka relatif rendah. Menurut Sumarno et al. 2008, harga benih hibrida yang ditawarkan Rp.
35.000,00 - 50.000,00 per kg dinilai terlalu mahal oleh petani. Hal ini disebabkan petani belum mengetahui bahwa dalam produksi benih padi hibrida perolehan
benih hanya 1.000 kg per hektar, sebagai perbandingan produksi benih padi varietas unggul murni inbrida seperti varietas Ciherang, Mekongga, dan varietas
lainnya mampu mencapai 4.000 – 5.000 kg per hektar. Sementara produksi benih padi hibrida di Cina mampu mencapai 2.500 kg per hektar. Hal inilah yang
menjadi alasan harga jual benih padi hibrida lebih mahal 700 – 800 persen dari harga benih padi varietas murni inbrida.
8 Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan penelitian-penelitian lebih
lanjut untuk mengatasi kelemahan-kelemahan padi hibrida. Peran serta lembaga- lembaga penelitian sangat diperlukan untuk dapat menghasilkan benih-benih padi
hibrida yang bermutu tinggi sehingga dapat menghasilkan varietas-varietas padi hibrida sesuai dengan ideotipe atau tipe tanaman ideal yang diingkan konsumen.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan varietas padi hibrida yang dapat memenuhi keinginan konsumen adalah dengan menerapkan metode
Quality Function Deployment QFD dalam pemuliaan padi hibrida. Pengembangan varietas unggul hibrida juga memerlukan analisis
sensitivitas harga, mengingat harga merupakan salah satu indikator penting untuk diterima atau tidak suatu produk yang ditawarkan kepada konsumen. Harga benih
padi mempengaruhi besar biaya produksi yang dikeluarkan petani, semakin tinggi harga benih semakin tinggi biaya produksi yang harus dikeluarkan petani. Apabila
harga benih mahal maka petani tidak akan menggunakan benih tersebut. Oleh karena itu, perlu diketahui rentang harga benih padi hibrida yang dapat diterima
oleh petani. Berdasarkan hal tersebut, masalah yang dibahas dalam penelitian ini
adalah : 1.
Bagaimana ideotipe benih padi varietas unggul hibrida yang diinginkan oleh konsumen?
2. Bagaimana penerapan metode QFD penyusunan matriks HOQ dalam
pengembangan padi varietas unggul hibrida? 3.
Bagaimana sensitivitas harga benih padi varietas unggul hibrida?
1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian bertujuan untuk : 1.
Mengidentifikasi ideotipe padi varietas unggul hibrida yang diinginkan konsumen.
2. Menerapkan metode QFD menyusun matriks HOQ dalam pengembangan
padi varietas unggul hibrida pemuliaan padi hibrida. 3.
Menganalisis sensitivitas harga benih padi varietas unggul hibrida.
9
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai : 1.
Bahan masukan bagi pemulia dalam mengembangkan padi varietas unggul hibrida sehingga dapat dihasilkan padi varietas unggul hibrida yang dapat
memenuhi keinginan konsumen. 2.
Tambahan informasi dan masukan bagi pemerintah dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian yang lebih baik dan peningkatan
kesejahteraan para petani padi varietas unggul hibrida. 3.
Bahan informasi bagi pemasar dan pihak-pihak lain yang ingin mengetahui keinginan konsumen terhadap padi varietas unggul hibrida.
4. Bahan masukan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan manajemen
mutu dan perilaku konsumen padi varietas unggul hibrida. 1.5 Ruang
Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Benih padi hibrida yang digunakan sebagai objek penelitian adalah Intani 2 melalui program BLBU SL-PTT dan Non-SL-PTT Kabupaten Bogor Tahun
Anggaran 2010 dan dipanen pada bulan Maret 2011, sebagai pembandingnya adalah benih padi inbrida varietas unggul baru Ciherang di Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. 2.
Petani padi yang menjadi objek penelitian adalah petani yang pernah menanam padi varietas unggul hibrida Intani 2 dan padi inbrida varietas
unggul baru Ciherang di Kecamatan Cigombong. 3.
Metode QFD terdiri dari empat matriks, dalam penelitian ini hanya matriks pertama yaitu matriks perencanaan produk.
II. TINJAUAN PUSTAKA