Optimasi Formulasi Breakfast Meal Flakes (Pangan Sarapan) Berbasis Tepung Komposit Talas, Kacang Hijau, dan Pisang

(1)

SKRIPSI

OPTIMASI FORMULASI

BREAKFAST

MEAL FLAKES

(PANGAN SARAPAN) BERBASIS TEPUNG KOMPOSIT

TALAS, KACANG HIJAU, DAN PISANG

Oleh :

TITO TEGAR

F24062873

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SKRIPSI

OPTIMASI FORMULASI

BREAKFAST

MEAL FLAKES

(PANGAN SARAPAN) BERBASIS TEPUNG KOMPOSIT

TALAS, KACANG HIJAU, DAN PISANG

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

TITO TEGAR

F24062873

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

OPTIMASI FORMULASI BREAKFASTMEAL FLAKES (PANGAN SARAPAN) BERBASIS TEPUNG KOMPOSIT TALAS, KACANG HIJAU,

DAN PISANG

Oleh : TITO TEGAR

F24062873

Dilahirkan pada tanggal 01 September 1988 di Ponorogo

Tanggal lulus : 27 September 2010

Menyetujui,

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Setyadjit, MApp.Sc


(4)

Tito Tegar. F24062873. Optimasi Formulasi Breakfast Meal Flakes (Pangan Sarapan) Berbasis Tepung Komposit Talas, Kacang Hijau, dan Pisang. Di bawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS dan Dr. Ir. Setyadjit, MApp.Sc.

RINGKASAN

Sarapan menjadi hal penting yang sering begitu saja terlupakan karena kesibukan dan lamanya proses penyiapannya. Penyiapan sarapan pada kondisi seperti sekarang ini menuntut kepraktisan dan hemat waktu. Melewatkan waktu sarapan dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Produk pangan sarapan siap santap berbentuk flakes merupakan salah satu produk pangan yang cukup digemari oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan proses penyiapan yang praktis dan hemat waktu. Saat ini kebanyakan pangan sarapan dibuat dari serealia seperti gandum, jagung, dan beras. Padahal pangan sarapan dapat juga dibuat dari umbi-umbian salah satunya adalah umbi talas (Colocasia esculenta). Pemanfaatan umbi talas sebagai tepung komposit dengan campuran tepung kacang hijau dan tepung pisang dapat dilakukan sebagai bahan baku pembuatan flakes sarapan. Hal ini membutuhkan modifikasi dalam proses dan formulasi.

Penelitian ini terbagi dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari karakterisasi jenis umbi talas, karakterisasi, dan pemilihan jenis tepung talas, karakterisasi tepung kacang hijau dan karakterisasi tepung pisang. Penelitian utama terdiri dari formulasi tepung komposit, optimasi proses dalam pembuatan flakes, dan formulasi bahan pembantu flakes.

Karakterisasi dan penepungan dari empat jenis talas yaitu Beneng, Mentega, Semir dan Hijau menghasilkan tepung talas Mentega sebagai bahan baku penelitian tahap selanjutnya. Pemilihan ini didasarkan atas pendekatan kimia dan fisik, serta aspek teknis, yaitu ketersediaan dan akses. Talas Mentega memiliki kadar oksalat yang rendah yaitu 260,07±4,44 ppm (bb), kadar pati sebesar 83,95±0,43% (bk), kadar karbohidrat 85,27±0,06% (bb), kadar protein 6,45±0,08% (bk), kadar lemak 1,56±0,04% (bk), kadar serat kasar 2,47±0,07% (bk), kadar serat pangan 6,69±0,09% (bk), kadar abu 2,15±0,03% (bk), dan kadar air 5,10±0,08% (bb). Selain itu talas Mentega memiliki ketersediaan yang cukup banyak dan akses yang mudah di daerah sukabumi.

Pemilihan 10 formula tepung komposit yang terdiri dari tepung talas Mentega, tepung pisang dan tepung kacang hijau yang dilakukan dengan uji rangking hedonik menghasilkan formula dengan komposisi 50% tepung talas, 30% tepung pisang dan 20% tepung kacang hijau sebagai formula terpilih. Formula tepung komposit ini kemudian digunakan sebagai bahan baku tepung dalam pembuatan flakes.

Formulasi flakes I bertujuan untuk melakukan optimasi proses flakes.

Optimasi proses dilakukan dengan menggunakan Response Surface Method

(RSM) yang menghasilkan 20 formula perlakuan. Formula ini diuji dengan menggunakan analisis profil tekstur meliputi parameter hardness, total work,

dan fracturability. Proses optimal terpilih dihasilkan oleh flakes yang yang mengalami perlakuan dengan suhu pemanggangan 120,82 (oC), waktu 12,02


(5)

menit, serta ketebalan flakes 0,50 mm. Formula tersebut memiliki nilai

hardness sebesar 139,44±14,39 g, total work sebesar 0,37±0,125 mJ, dan nilai

fracturability sebesar 139,44±14,39 g.

Parameter optimasi proses formulasi flakes I tersebut kemudian digunakan dalam formulasi flakes II dengan variabel perlakuan yang terdiri dari komposisi tepung komposit, gula, dan susu. Terdapat empat formula yang digunakan pada tahap ini. Pemilihan formula yang dilakukan dengan uji rangking hedonik menghasilkan flakes formula A3 sebagai formula terpilih. Formula flakes A3 terdiri dari 80% tepung komposit, 10% gula, dan 10% susu.

Berdasarkan uji rating hedonik diperoleh data bahwa produk dapat diterima secara umum baik dari segi rasa, aroma, warna, tekstur dan secara keseluruhan. Nilai rating rata-rata dari masing masing atribut berkisar antara 4,6 (netral mendekati agak suka) hingga 5,6 (agak suka mendekati suka). Nilai rata-rata parameter rasa yang diperoleh adalah 5,2 (agak suka). Sedangkan nilai rata-rata parameter tekstur adalah 5,6 (agak suka mendekati suka). Nilai parameter warna adalah sebesar 4,6 yang berarti netral mendekati agak suka. Sedangkan nilai parameter tekstur adalah 4,8 yang berarti netral mendekati suka.

Hasil analisis proksimat produk akhir didapatkan bahwa nilai kadar air flakes yang dihasilkan adalah sebesar 2,48±0,02% (bb), kadar abu 3,34±0,03% (bb), kadar lemak 0,2±0,01% (bb), kadar protein 8,92±0,04% (bb), kadar karbohidrat 81,89±0,41% (bb) dan kadar kalori 364,99±1,75 kkal (bb).


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ponorogo, pada tanggal 1 September 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Isni Heryanto, S.Pd dan Sri Mudjiati, S.Pd. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan pertamanya di SD Muhammadiyah 1 Ponorogo pada tahun 2000, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan SLTP Negeri 1 Ponorogo pada tahun 2000-2003, serta SMA Negeri 2 Ponorogo pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur PMDK.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus Himitepa sebagai ketua umum pada tahun 2009, pengurus Majalah Emulsi sebagai manajer produksi pada tahun 2008, ketua Organisasi Mahasiswa Daerah Ponorogo di Bogor pada tahun 2008, serta aktif di berbagai kegiatan sosial di PPSDMS Nurul Fikri pada tahun 2008 - 2010. Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain ketua HACCP seminar & training tahun 2008, ketua Ice Cream Day tahun 2008, panitia Baur pada tahun 2008, serta aktif di berbagai kegiatan penyuluhan keamanan pangan pada tahun 2008-2009, dan lain-lain.

Selain aktif di organisasi, penulis juga aktif mengikuti lomba-lomba diantaranya adalah Lomba Ide Bisnis IEC pada tahun 2010, Lomba Desain Produk Agroindustri pada tahun 2010, Lomba Inovasi Produk Pangan pada tahun 2009, Perwakilan Universitas dalam Lomba “Business Game Danone Trust”, dan menjadi Mahasiswa Berprestasi 3 IPB pada tahun 2010, dan lain-lain. Penulis juga berwirausaha di bidang makanan, yaitu Café Mi Jagung “Friends 24”.

Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul Optimasi Formulasi Breakfast Meal Flakes (Pangan Sarapan) Berbasis Tepung Komposit Talas, Kacang Hijau, dan Pisang di bawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS dan Dr. Ir. Setyadjit, MApp.Sc.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.

Selama melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing utama yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Setyadjit, MApp.Sc selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

3. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si atas kesediaannya sebagai dosen penguji. 4. Bapak, ibu, dan kakakku yang tiada henti-hentinya memberikan doa, kasih

sayang, nasehat dan semangat.

5. Rekan kerja sekaligus sahabatku Rina Nur Apriani, serta teman-teman dan sahabat-sahabatku yang telah banyak memberikan bantuan, doa dan semangat. 6. Para laboran, teknisi, dan staf administrasi di Departemen ITP dan Balai Besar Pengembangan Pasca Panen Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan.

7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan mungkin terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, September 2010


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 1

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. TALAS (Colocasia esculenta) ... 5

B. TEPUNG TALAS ... 8

C. PISANG (Musa sp) ... 9

D. KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus L) ... 12

E. PANGAN SARAPAN ... 16

III.METODOLOGI PENELITIAN ... 19

A. BAHAN DAN ALAT ... 19

1. Bahan ... 19

2. Alat ... 19

B. WAKTU DAN TEMPAT ... 20

C. METODE ... 20

1. Penelitian Pendahuluan ... 20

2. Penelitian Utama ... 23

3. Perhitungan dan Analisis ... 29

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Penelitian Pendahuluan ... 38

1. Karakterisasi Talas ... 38

2. Proses Pembuatan Tepung Talas ... 41

3. Hasil Karakterisasi Tepung Talas ... 44

4. Pemilihan Tepung Talas ... 46


(9)

6. Hasil Karakterisasi Tepung Pisang ... 50

B. Penelitian Utama ... 51

1. Formulasi Tepung Komposit ... 51

2. Formulasi Flakes I: Optimasi Proses dalam Pembuatan Flakes dengan Menggunakan RSM (Response Surface Method) ... 55

3. Validasi Hasil Optimasi Formulasi I dengan Response Method Surface ... 63

4. Formulasi Flakes II: Formulasi Bahan Pembantu ... 64

5. Hasil Uji Rangking hedonik Formulasi Flakes II ... 66

6. Uji Penerimaan Konsumen Terhadap Produk Terpilih... 72

7. Hasil Analisis Proksimat Produk Terpilih ... 75

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. KESIMPULAN ... 77

B. SARAN... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia umbi talas per 100 g bahan ... 7

Tabel 2. Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan beberapa jenis tepung lainnya ... 11

Tabel 3. Kandungan gizi kacang hijau mentah per 100 g bahan. ... 14

Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau ... 15

Tabel 5. Sepuluh formula tepung komposit yang akan diuji ... 23

Tabel 6. Desain proses hasil kombinasi perlakuan dengan metode RSM ... 25

Tabel 7. Karakteristik kualitatif fisik varietas talas yang digunakan... 38

Tabel 8. Karakteristik kuantitatif fisik berbagai talas yang digunakan ... 40

Tabel 9. Hasil analisis kimia berbagai jenis tepung dari umbi talas... 44

Tabel 10. Hasil pengamatan warna dengan Chromameter ... 45

Tabel 11. Hasil rendemen pembuatan tepung talas. ... 46

Tabel 12. Komposisi Kimia Tepung Kacang Hijau ... 48

Tabel 13. Komposisi Kimia Tepung Pisang Kepok ... 50

Tabel 14. Uji peringkat 10 formula tepung talas, pisang dan kacang hijau ... 53

Tabel 15. Nilai variabel respon tekstur dari 20 rancangan formula RSM ... 56

Tabel 16. Parameter proses terpilih hasil optimasi ... 57

Tabel 17. Nilai prediksi variabel respon dari formula optimal ... 58

Tabel 18. Nilai prediksi dan aktual hasil optimasi formula ... 63

Tabel 19. Formulasi flakes tahap II ... 65


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Umbi talas (Colocasia esculenta) ... 6

Gambar 2. Tandan Buah Pisang ... 10

Gambar 3. Biji kacang hijau ... 13

Gambar 4. Klasifikasi Bentuk Umbi Talas (Minantyorini dan Somantri, 2002) 20 Gambar 5. Diag penepungan talas (Fauzan, 2005 dengan modifikasi) ... 22

Gambar 6. Proses pembuatan flakes tepung komposit ... 26

Gambar 7. Umbi berbagai jenis talas ... 39

Gambar 8. Hasil pengirisan umbi talas ... 42

Gambar 9. Empat jenis tepung talas hasil penepungan... 43

Gambar 10. Tepung kacang hijau ... 49

Gambar 11. Tepung komposit formula no 4 (terpilih) ... 54

Gambar 12. Desirability optimasi formula. ... 58

Gambar 13. Grafik hasil optimasi variabel respon hardness ... 60

Gambar 14. Grafik hasil optimasi variabel respon total work ... 61

Gambar 15. Grafik hasil optimasi variabel respon fracturability ... 62

Gambar 16. Flakes hasil optimasi formulasi I ... 64

Gambar 17. Formula flakes tahap II ... 65

Gambar 18. Grafik uji rangking (rasa) flakes ... 67

Gambar 19. Grafik uji rangking (tekstur) flakes ... 68

Gambar 20. Grafik Uji Rangking (Warna) Flakes ... 70

Gambar 21. Grafik Uji Rangking (Aroma) Flakes ... 71

Gambar 22. Hasil uji rating hedonik sampel terpilih (formula flakes A3) ... 73


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Olah data Kadar Air Tepung Talas dengan SPSS ... 89

Lampiran 2. Hasil Olah data Kadar Abu Tepung Talas dengan SPSS ... 90

Lampiran 3. Hasil Olah data Kadar ProteinTepung Talas dengan SPSS ... 91

Lampiran 4. Hasil Olah data Kadar Lemak Tepung Talas dengan SPSS ... 92

Lampiran 5. Hasil Olah data Kadar Karbohidrat Tepung Talas dengan SPSS ... 93

Lampiran 6. Hasil Olah data Kadar Pati Tepung Talas dengan SPSS ... 94

Lampiran 7. Hasil Olah data Kadar Amilosa Tepung Talas dengan SPSS... 95

Lampiran 8. Hasil Olah data Kadar Amilopektin Tepung Talas dengan SPSS .. 96

Lampiran 9. Hasil Olah data Kadar Serat Kasar Tepung Talas dengan SPSS .... 97

Lampiran 10. Hasil Olah data Kadar Kalori Tepung Talas dengan SPSS ... 98

Lampiran 11. Hasil Olah data Kadar Serat Pangan Tepung Talas dengan SPSS ... 99

Lampiran 12. Hasil Olah data Kadar Oksalat Talas dengan SPSS... 100

Lampiran 13. Hasil Olah data Total Derajat Warna Tepung Talas dengan SPSS ... 101

Lampiran 14. Kuisioner Uji Rangking Hedonik Sampel Tepung Komposit ... 102

Lampiran 15. Hasil Olah Data Evaluasi Sensori Parameter Aroma Tepung Talas dengan SPSS ... 103

Lampiran 16. Hasil Olah Data Evaluasi Sensori Parameter Tekstur Tepung Talas dengan SPSS ... 104

Lampiran 17. Hasil Olah Data Evaluasi Sensori Parameter Warna Tepung Talas dengan SPSS ... 105

Lampiran 18. Hasil Analisis Sidik Ragam Variabel Respon Hardness cycle 1 dengan RSM ... 106

Lampiran 19. Hasil Analisis Sidik Ragam Variabel Respon Total work dengan RSM ... 106

Lampiran 20. Hasil Analisis Sidik Ragam Variabel Respon Fracturability dengan RSM ... 107

Lampiran 21. Kuisioner Uji Rangking Hedonik Sampel Flakes ... 107

Lampiran 22. Kuisioner Uji Rating Hedonik Sampel Flakes ... 108

Lampiran 23. Hasil Olah Data Uji Rangking Parameter Warna Flakes dengan SPSS ... 109

Lampiran 24. Hasil Olah Data Uji Rangking Parameter Aroma Flakes dengan SPSS ... 110

Lampiran 25. Hasil Olah Data Uji Rangking Parameter Aroma Flakes dengan SPSS ... 111

Lampiran 26. Hasil Olah Data Uji Rangking Parameter Aroma Flakes dengan SPSS ... 112


(13)

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sarapan menjadi hal penting yang sering begitu saja terlupakan karena kesibukan dan lamanya proses penyiapannya. Penyiapan sarapan pada kondisi seperti sekarang ini menuntut kepraktisan dan hemat waktu. Melewatkan waktu sarapan dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Hal tersebut dikarenakan rendahnya kadar gula darah yang akan menurunkan tekanan darah dan melemahkan impuls syaraf sehingga tubuh menjadi lemas sehingga tentu saja akan mengakibakan gairah kerja menurun. Sarapan diperlukan sebagai sumber kalori untuk meningkatkan kadar gula darah setelah semalaman lambung tidak terisi serta untuk merangsang pembuangan sisa makanan (Mathews, 1996).

Produk pangan sarapan siap santap berbentuk flakes merupakan salah satu produk pangan yang cukup digemari oleh masyarakat. Pangan sarapan ini juga populer sebagai hidangan sarapan di beberapa negara maju (Morales et al., 2005). Saat ini kebanyakan pangan sarapan dibuat dari serealia seperti gandum, jagung, dan beras. Padahal pangan sarapan dapat juga dibuat dari umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat yang dicampur kacang-kacangan sebagai sumber protein dan juga dicampur dengan buah sebagai sumber serat dan vitamin. Pemilihan bahan untuk formulasi campuran (komposit) penting dilakukan untuk dapat menghasilkan produk yang baik.

Umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang penting sebagai penghasil energi di daerah tropis dan subtropis (Liu et al., 2006). Salah satu sumber daya pangan lokal yang dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan pangan sarapan adalah umbi talas (Colocasia esculenta). Bagian tanaman talas berupa umbi berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi, yaitu sebesar 23,79 g per 100 g talas mentah (Depkes, 1972). Selain itu, umbi talas juga mengandung lemak, vitamin, dan mineral walaupun dalam jumlah sedikit. Vitamin yang terkandung pada umbi talas adalah vitamin A, B1, dan sedikit vitamin C (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Umbi talas juga mengandung mineral Ca sebesar 28 mg dan mineral P sebesar


(14)

61 mg per 100 g talas mentah. Mineral ini penting bagi pertumbuhan tulang dan gigi.

Pemanfaatan umbi talas sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan, namun masih tergolong sederhana. Di Indonesia, selain dijual dalam bentuk talas segar, talas juga diolah dengan cara direbus, dikolak, dikeripik, disayur, dan digoreng. Dilihat dari lingkup pengolahan talas yang masih terbatas dan sederhana, maka pengembangan talas sebagai bahan pangan lain masih berpeluang sangat besar. Salah satunya adalah diolah menjadi tepung. Tingginya kandungan karbohidrat pada talas, yaitu sebesar 23,79 g per 100 g menjadikannya berpotensi sebagai bahan baku tepung-tepungan (Ridal, 2003). Di samping itu, tepung talas memiliki kemampuan mengikat air lebih baik dibandingkan tepung biji-bijian sehingga dapat menghasilkan produk olahan yang lebih tahan lama disimpan (Fauzan, 2005).

Pangan sarapan dikategorikan menjadi beberapa jenis yaitu: pangan sarapan sereal tradisional yang belum diolah, sereal siap saji (tepung), sereal siap santap (flakes, tortilla, shreeded), sereal siap santap campuran (ready to eat mix cereal) (Tribelhorn, 1991). Bentuk flakes merupakan bentuk produk pangan cepat saji yang cocok untuk sarapan. Cara penyajiannya juga cukup mudah, hanya dengan menambahkan air panas atau susu.

Saat ini sereal sarapan yang paling digemari oleh masyarakat adalah jenis ready to eat karena berkaitan dengan kepraktisan dan waktu penyajian yang cepat (Morales et al., 2005). Pada umumnya produk pangan sarapan ini berbasis serealia (gandum, jagung, dan beras) dengan penambahan berbagai bahan lain yang kemudian diproses menggunakan panas untuk menurunkan kadar air dan mematangkan produk (Cauvain dan Young, 2006). Namun penggunaan sereal tersebut dapat disubstitusi atau dicampur dengan tepung yang bersumber dari bahan lain dengan kandungan pati yang tinggi dan kaya serat (Pacheco–Delahaye and Testa, 2005 yang dikutip oleh Moreno-Alvarez, 2009).

Produk pangan sarapan merupakan produk pangan yang relatif mahal di daerah tropis, karena kebanyakan menggunakan gandum impor yang tidak ditanam di daerah tropis (Edema et al., 2005). Oleh karena itu, telah dilakukan


(15)

berbagai usaha untuk mencari substitusi tepung gandum atau terigu dengan tepung yang menggunakan bahan-bahan lokal sehingga dapat menurunkan impor gandum (Hugo et al., 2000; Giami et al., 2004). Konsumsi tepung terigu dapat dikurangi dengan menggunakan tepung talas sebagai bahan baku produk flakes. Dibutuhkan modifikasi dalam proses dan formulasi produk pangan yang menggantikan tepung terigu dengan bahan lain yang bersifat lokal. Hal ini sangat diperlukan karena terdapat perbedaan karakteristik antara tepung terigu dengan tepung talas.

Pemanfaatan talas sebagai bahan baku tepung dalam pembuatan flakes

dapat dilakukan dengan cara dikombinasikan dengan tepung lain untuk meningkatkan nilai gizinya serta memberikan nilai tambah untuk bahan-bahan tersebut. Kandungan protein dalam talas tergolong rendah, oleh karena itu diperlukan bahan lain yang digunakan untuk menambah kekurangan dari talas. Bahan lain yang digunakan adalah tepung kacang hijau dan tepung pisang. Kacang hijau memiliki kadar protein yang tinggi (22.2%) dan kaya akan asam amino lisin (Suprapto dan Sutarman, 1982). Pisang mengandung pati yang cocok dijadikan tepung dan dapat digunakan sebagai komplemen tepung talas (Hardiman, 1982). Selain itu, pisang banyak mengandung vitamin seperti karoten, B1, dan C (Depkes, 1972).

Diharapkan breakfast meal (pangan sarapan) berbentuk flakes berbasis talas, kacang hijau, dan pisang mampu menjadi alternatif makanan sarapan yang bergizi cukup tinggi dan disukai oleh konsumen sehingga mampu menjawab permasalahan dalam penyiapan pangan sarapan.


(16)

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan formula yang optimal dari

flakes sarapan berbahan baku tepung komposit berbasis talas, kacang hijau dan pisang. Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan bertujuan untuk:

a. Memilih jenis tepung talas yang akan digunakan sebagai bahan baku tepung

b. Menentukan formulasi tepung komposit berbasis talas, kacang hijau dan pisang yang akan menjadi bahan baku flakes

c. Menentukan proses optimal dengan parameter suhu pemanggangan, waktu pemanggangan, dan ketebalan flakes yang optimal dalam formulasi flakes dengan Response Surface Method (RSM).


(17)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. TALAS (Colocasia esculenta)

Talas ditemukan pada awalnya dari hasil ekspedisi seorang botanis Soviet, Nikolai Ivanovich ketika berada di daratan Cina dan India (Rukmana, 1998). Talas (Colocasia esculenta) merupakan tanaman monokotil dari famili

Araceae yang berasal dari daerah tropis. Menurut White et al. (1982) yang dikutip oleh Cho et al. (2007), talas merupakan tanaman yang berasal dari daerah sekitar semenanjung Indo-Malaysia dan telah berada di sana sejak lebih dari 50.000 tahun yang lalu. Sedangkan Matthews (2004) yang dikutip oleh Oscarsson dan Savage (2007), menyatakan bahwa tanaman ini berasal dari daerah sekitar India dan Indonesia. Taksonomi tumbuhan talas adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Arales

Famili : Araceae Genus : Colocasia

Spesies : Colocasia esculenta

Talas juga sering disebut dengan beberapa istilah lain di beberapa daerah di Indonesia. Taro, keladi, dan bentul adalah istilah lain talas yang umum digunakan di Indonesia. Walaupun berbeda nama, akan tetapi karakteristik tanamannya sebenarnya sama. Perbedaan terletak pada varietas talas, karena tanaman berasal dari daerah yang lain. Umbi talas dapat dilihat pada Gambar 1.

Menurut Bourke et al. (2000) dan Singh et al. (2006), tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian 0 m hingga 2740 m di atas permukaan laut. Suhu optimum tanaman ini adalah sekitar 21 - 27oC dengan curah hujan 1750 mm per tahun. Derajat keasaman tanah yang sesuai berkisar antara pH 5,5 – 6,5. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 1 hingga 2


(18)

meter (Onwueme, 1978). Sedangkan menurut Kay (1973), tanaman talas memiliki tinggi 40-200 cm.

Menurut Kay (1973) tanaman talas dapat tumbuh baik di daerah tropis maupun subtropis. Talas merupakan tanaman yang tidak terlalu membutuhkan pengairan dalam pertumbuhannya sehingga dapat tumbuh baik pada daerah basah maupun kering. Adanya air yang lebih dan aerasi tanah yang baik akan menunjang pertumbuhan tanaman ini. Onwueme (1978) menyatakan bahwa umbi talas dapat dipanen setelah berumur 6-18 bulan. Waktu panen ditandai dengan daun yang mulai menguning hingga kering.

Gambar 1. Umbi talas (Colocasia esculenta)

Talas merupakan tanaman sukulen yaitu tanaman yang umbinya banyak mengandung air (Rukmana, 1988). Kulit umbi talas berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Sistem perakaran tanaman ini relatif dangkal. Akar tanaman ini memiliki daya jangkau mencapai kedalaman 40 cm – 60 cm dari permukaan tanah. Tanaman ini merupakan jenis umbi-umbian yang dapat mengeluarkan getah putih. Getah ini seringkali menimbulkan rasa gatal karena mengandung kalsium oksalat (Wahyudi, 2010).

Menurut Onwueme (1978), karbohidrat pada umbi talas sebagian besar berupa pati, sedangkan komponen lainnya adalah pentosa, serat kasar, dekstrin, sukrosa, dan gula. Selain itu, umbi talas juga mengandung lemak, vitamin, dan mineral dalam jumlah sedikit. Komposisi kimia talas bervariasi,


(19)

tergantung pada jenis, usia dan tingkat kematangan. Tabel 1. menunjukkan komposisi kimia umbi talas per 100 g bahan.

Tabel 1. Komposisi kimia umbi talas per 100 g bahan

Komponen Kimia Jumlah

Kadar air 77,5 g

Kadar abu 1,17 g*

Kadar protein 8,90 g

Kadar lemak 0,20 g

Kadar serat kasar 0,80 g

Kadar karbohidrat 19,00 g

Kadar pati 77,9 g

Phosphor 64 mg

Kalsium 32 mg

Vitamin C 10 mg

Vitamin B1 0.18 mg**

Vitamin A 20 mg

Sumber: Ali, 1996

* Gollifer et al, 1972

** Syarief, 1986

Umbi talas merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan protein yang baik, kandungan pati yang mudah dicerna, bebas gluten, kaya akan tiamin, niacin, riboflavin, dan vitamin C (Onayemi dan Nwigwe, 1987; Sefa-Dedeh dan Sackey, 2004; Perez et al 2007; Catherwood et al., 2007; Huang et al., 2007; Oscarsson dan Savage, 2007 di dalam McEwan, 2008). Vitamin yang terkandung pada umbi talas adalah karoten, B1, dan sedikit vitamin C (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Pada tahun 2003, data dari FAO menyebutkan bahwa produksi talas mencapai 9,22 juta ton dari area seluas 1,57 juta ha, meliputi daerah Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hawaii, Filipina, Afrika, Mesir, India Selatan, dan Amerika Selatan (Anonim, 2003). Selain menjadi salah satu bahan pangan yang berkontribusi dalam menjaga ketahanan pangan di dalam negeri, talas juga berpontensi sebagai komoditas ekspor yang dapat menghasilkan devisa (Revill et al., 2005).


(20)

B. TEPUNG TALAS

Proses pembuatan tepung cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun industri kecil. Pembuatan tepung talas dapat dilakukan melalui tahap pengupasan, pengirisan, pembersihan, perendaman dalam air, perendaman di dalam Na-bisulfit, perendaman di dalam air mendidih (4-5 menit), dikeringkan, digiling, dan diayak (Kay 1973 dan Onwueme 1978). Pengolahan tepung talas juga dapat dilakukan melalui tahap pengupasan, pengirisan, pencucian, perendaman di dalam larutan NaCl, perendaman di dalam larutan Na-bisulfit, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan (Ali, 1996).

Menurut Ali (1996) tepung talas juga dapat diperoleh dengan cara mengupas, mencuci, merajang umbi, kemudian umbi dikeringkan, dan digiling. Umbi yang baik untuk tepung talas sebaiknya berumur 7-8 bulan, karena pada umur tersebut rendemennya mencapai 42,4% (Ali, 1996). Pengirisan talas dapat dilakukan dengan menggunakan pisau atau mesin pengiris. Pengirisan dilakukan dengan ketebalan tertentu dengan tujuan untuk mempercepat proses pengeringan. Setelah pengirisan dilakukan proses pembersihan dengan air, proses ini bertujuan untuk menghilangkan getah (Kay, 1973). Sedangkan perendaman dalam Na-bisulfit bertujuan untuk mencegah munculnya warna coklat (Ali, 1996). Perendaman dalam larutan NaCl dilakukan untuk mengurangi rasa gatal yang disebabkan oleh kristal kalsium oksalat. Mekanisme penghambatan rasa gatal oleh garam NaCl ini belum diketahui secara pasti (Ali, 1996).

Setelah itu dilakukan proses pengeringan pada talas. Pengeringan ini bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Menurut Desrosier (1963) pengeringan adalah suatu proses pindah panas dan pindah massa. Pindah panas ini berlangsung melalui suatu permukaan yang padat, dimana panas dipindahkan ke dalam bahan melalui plat logam alat pemanas. Selanjutnya air dalam bahan akan keluar dan menguap. Selain itu, pengeringan juga menyebabkan penyusutan bahan (Heldman et al., 2007). Hal ini disebabkan pada saat air keluar dari bahan terjadi gradien tekanan pada bahan yang menyebabkan bahan mengalami penyusutan (Mayor et al., 2004).


(21)

Penyusutan produk dipengaruhi oleh kadar air awal, metode pengeringan, dan suhu (Mayor et al., 2004).

Ada dua cara pengeringan yang biasa digunakan pada bahan pangan yaitu pengeringan dengan penjemuran (secara alami) dan pengeringan dengan alat pengering (secara buatan). Umumnya pengeringan dengan alat pengering berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran dan dapat lebih mempertahankan warna bahan yang dikeringkan (Winarno, 1993). Setelah irisan talas kering, dilakukan penggilingan untuk menghasilkan tepung. Penggilingan merupakan proses pengecilan ukuran dari bahan padat atau buttiran dengan gaya mekanis menjadi berbagai fraksi ukuran yang lebih kecil (Hine, 1987).

Penduduk di daerah Hawaii dan Kepulauan Pasifik, banyak menggunakan talas dalam bentuk tepung sebagai bahan baku makanan sapihan bayi dan balita yang hipersensitif terhadap susu (Jane et al., 1992). Orang-orang yang alergi terhadap biji-bijian tertentu, salah satunya gandum juga sering mengonsumsi tepung talas sebagai penggantinya (Lee, 1999). Ammar et al. (2009) menambahkan bahwa tepung dari umbi talas dapat bermanfaat dalam industri pengembangan produk pangan. Saat ini penggunaan tepung talas sudah meluas, mulai sebagai makanan pendamping ASI, makanan kaleng untuk bayi, snack, mi, dan roti (Jane et al., 1992; Lee, 1999; Giami, 2004; Torres dan Pacheco–Delahaye, 2007; Aprianita, 2009; Ikepeme et al., 2009).

C. PISANG (Musa sp)

Tanaman pisang dapat tumbuh baik di daerah tropis sepanjang musim (Ihekoronye dan Ngoddy, 1985 yang dikutip oleh Daramola et al., 2005). Pisang merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara. Di Indonesia, pisang pada umumnya dapat ditemukan di halaman rumah warga. Produktivitas pisang di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua diantara jenis buah-buahan lainnya yaitu 510,30 kuintal/Ha pada tahun 2005 (Deptan, 2007). Sedangkan, produksi pisang di dunia mencapai 66,5 juta ton pada tahun 2001 (FAO, 2002). Tandan buah pisang disajikan pada Gambar 2.


(22)

Gambar 2. Tandan Buah Pisang

Pisang (Musa sp) merupakan anggota filum spermatophyta, kelas

angiospermae, subkelas monocotyledon. Berdasarkan sifat fisiologisnya, pisang dibagi menjadi tiga subgenus yaitu Physocanlis, Enmusa dan

Rhodoclamys. Pisang yang biasa dikonsumsi berasal dari subgenus Enmusa

atau lebih dikenal dengan banana (Simmonds, 1966). Sedangkan pisang yang biasa dikonsumsi setelah diolah berasal dari jenis Musa paradisiacal atau dikenal dengan plantain (Chong et al., 2008).

Pisang merupakan bahan pangan sumber karbohidrat (Marriott et al., 1981 yang dikutip oleh Adeniji et al., 2008). Kandungan karbohidrat dalam tepung pisang terdapat sekitar 80% (Abbas et al., 2009). Karbohidrat yang terdapat pada pisang termasuk ke dalam karbohidrat kompleks. Karbohidrat yang terdapat pada pisang sebagian besar berfungsi sebagai sumber pati (Hardiman, 1982). Pati yang terdapat pada pisang dapat digunakan sebagai bahan substitusi untuk pati yang bersumber dari bahan lain seperti kentang, jagung dan gandum. Namun, penggunaannya belum begitu luas dikarenakan minimnya penelitian mengenai karakteristik pati tersebut (Kayisu et al., 1980 ; Lii et al., 1982; Bello-Perez et al., 1999 yang dikutip oleh Nimsung et al., 2007). Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepung lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.


(23)

Tabel 2. Perbandingan kandungan karbohidrat tepung pisang dengan beberapa jenis tepung lainnya

Sumber: (Hardiman, 1982)

Selain mengandung karbohidrat yang dapat dicerna, pisang juga kaya akan karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti pati resisten dan serat kasar. Komponen tersebut memiliki potensi sebagai bahan baku dalam pembuatan pangan fungsional (Englyst et al., 1992; Pacheco-Delahaye et al., 2004). Hal ini berkaitan dengan fungsinya dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan (Brouns et al., 2002).

Di samping memiliki zat gizi makro, pisang juga merupakan bahan pangan yang kaya akan sumber zat gizi mikro, yaitu mineral seperti kalium, fosfor, besi, magnesium, dan kalsium serta vitamin, seperti vitamin C, A dan golongan vitamin B. Menurut Adeniji et al. (2006), pisang merupakan tanaman yang banyak mengandung provitamin A.

Peningkatan pemanfaatan pisang dapat dilakukan dengan mengolah pisang menjadi tepung sehingga dapat diolah lebih lanjut menjadi aneka produk olahan lainnya. Beberapa contoh produk olahan yang dapat dibuat diantaranya adalah cookies, pasta dan roti kaya serat serta edible film

(Aparicio-Saguilan et al., 2006; Ovando-Martinez, 2008).

Tepung pisang dapat dibuat dari pisang muda dan pisang tua yang belum matang. Tepung pisang dari pisang muda mengandung pati lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung pisang tua, sedangkan gula-gula sederhana sebaliknya (Simmonds, 1966). Pisang yang akan dibuat tepung sebaiknya dipanen saat mencapai tingkat kematangan “3/4 penuh” atau 80 hari setelah berbunga. Pada kondisi ini, pembentukan pati mencapai jumlah maksimum dan tannin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol (Abbas et al., 2009).

Bahan Karbohidrat (g/100 g) Keterangan

Tepung pisang 71,74 Sebagai sumber pati

Tepung beras 80,00

Sebagai karbohidrat

by difference

Tepung jagung 73,70

Tepung gaplek 81,30


(24)

Apabila dibuat dalam bentuk tepung, pisang akan menjadi bahan pangan sumber karbohidrat yang lebih mudah diolah menjadi berbagai macam produk pangan (Chong et al., 2008). Penggunaan tepung pisang sebagai tepung komposit (campuran) dalam pembuatan berbagai produk telah dilakukan, diantaranya adalah digunakan dalam pembuatan roti, mi dan

cookies (Mepba et al., 2007, Saifullah et al., 2009; Aparicio-Saguilan et al., 2006). Penggunaan tepung pisang sebagai bahan baku pembuatan produk dalam industri pangan, dapat dilakukan sebagai upaya dalam menurunkan biaya produksi produk yang dihasilkan (Zhang et al., 2005).

D. KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus L)

Kacang Hijau (Phaseolus radiates L.) dikenal dengan beberapa nama, seperti mung bean, green bean, dan mung. Tanaman kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting di Indonesia. Posisinya menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah (Marzuki dan Suprapto, 2005). Kacang hijau memiliki beberapa nama daerah juga, seperti kacang wilis (Bali), buwe (Flores), dan artak (Madura).

Tanaman kacang hijau (Phaseolus radiatus L) termasuk ke dalam family Leguminoceae, subfamili Papilionideae, genus Phaselus dan species

radiatus (Marzuki, 1977). Tanaman kacang hijau berasal dari daerah Asia Tenggara (Ohwada, 2003). Tanaman ini mempunyai sistem perakaran yang dalam sehingga dapat memperbaiki struktur tanah dan kandungan bahan organik bagian dalam (Marzuki, 1977). Selain itu, tanaman ini juga mampu bertahan di daerah yang kekurangan air.

Tanaman ini di Indonesia biasanya ditanam pada musim pergiliran tanaman padi. Tanaman ini memiliki panjang antara 30-110 cm. Batang tanaman kacang hijau berbentuk bulat dan berbuku-buku. Ukuran batangnya kecil, berwarna hijau kecoklatan hingga kemerahan (Andrianto dan Indarto, 2004). Kacang hijau memiliki cabang yang menyebar ke segala arah (Rukmana, 1997 di dalam Khairani, 2008). Menurut Tjitrosoepomo (1991) yang dikutip oleh Khairani (2008), taksonomi tanaman kacang hijau adalah sebagai berikut:


(25)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Rosales

Famili : Papilionaceae Genus : Phaseolus

Spesies : Phaseolus radiatus L

Buah polong kacang hijau meripakan polong bulat memanjang, dengan ukuran antara 6-15 cm. Polong muda berwarna hijau tua dan setelah tua berwarna hitam atau coklat jerami. Polong kacang hijau berisi sekitar 12-16 biji dengan panjang sekitar 65-139 mm. Polong kacang hijau dapat terbentuk dari setiap bunga dalam satu tangkai. Polong kacang hijau terdapat sebanyak 11-47 polong pada satu tanaman. Pada saat proses pematangan, polong akan berubah warna menjadi hitam dan daun tanaman kacang hijau akan menguning. Proses pematangan polong berjalan selama 19-22 hari setelah berbunga. Biji kacang hijau dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Biji kacang hijau

Kacang hijau memiliki biji yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan biji kacang-kacangan lainnya. Biji kacang hijau berwarna hijau kusam atau mengkilap, ada juga yang berwarna kuning, coklat, atau hitam (Adrianto dan Indarto, 2004). Biji kacang hijau terdiri dari beberapa bagian yaitu kulit, endosperma, dan lembaga. Kulit biji berfungsi sebagai lapisan pelindung bagian yang lebih dalam dari berbagai kerusakan. Endosperma merupakan bagian biji yang mengandung cadangan makanan untuk menyokong


(26)

pertumbuhan lembaga. Lembaga akan tumbuh membesarselama pertumbuhan biji.

Kacang hijau memiliki kandungan karbohidrat, protein, dan serat yang baik (Kenawi et al., 2009). Komponen karbohidrat merupakan bagian terbesar yang terdapat pada kacang hijau yaitu sebesar 62-63% (Ohwada, 2003). Pada Tabel 3 disajikan komposisi kimia kacang hijau mentah per 100 g bahan.

Tabel 3. Kandungan gizi kacang hijau mentah per 100 g bahan.

Komponen Jumlah

Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalium (mg) Fosfor Fe (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g)

345 22,2 1,2 62,9

125 320 6,7 157 0,64 6 10 Sumber: Prawiranegara (1989)

Karbohidrat yang terdapat pada kacang hijau terdiri dari pati, gula sederhana dan serat (Sathe et al., 1982). Kandungan pati pada kacang hijau adalah sebesar 32-43% (Naivikul, 1979 dan Scoch, 1968 yang dikutip oleh Ohwada, 2003). Kay (1979) menyatakan bahwa kandungan pati yang terdapat pada kacang hijau terdiri dari amilosa sebesar 28,8% dan amilopektin sebesar 71,2%. Sedangkan gula yang terdapat di dalamnya terdiri dari sukrosa, fruktosa, glukosa, rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa.

Komponen terbesar kedua yang terdapat pada kacang hijau adalah protein. Kacang hijau memiliki kualitas protein yang baik seperti jenis kacang-kacangan pada umumnya (Khalil, 2006). Protein yang terdapat pada kacang hijau memiliki daya cerna sebesar 81% (Anonim, 1973). Kandungan asam amino kacang hijau disajikan pada tabel 4.


(27)

Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau (per 100% protein)

Komponen Jumlah (%)

Alanin Arginin* Asam aspartat Asam glutamat Glisin Histidin* Isoleusin* Leusin* Lisin* Metionin* Fenilalanin* Prolin Serin Treonin* Triptofan* Tirosin Valin* 4,15 4,44 11,10 15,00 4,03 4,05 6,75 11,90 7,92 0,84 5,07 4,52 4,33 4,50 1,35 2,82 7,23 Sumber: Marzuki dan Suprapto (2005),

Ket: * = asam amino esensial

Melihat komposisi kimianya, kacang hijau merupakan bahan pangan yang cukup tinggi kandungan proteinnya. Dalam protein kacang hijau tersebut, terkandung asam amino esensial yang penting bagi tubuh. Asam amino esensial adalah asam amino yang hanya dapat diperoleh melalui asupan dari makanan. Asam amino esensial yang terdapat pada kacang hijau diantaranya adalah arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisisn, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan dan valin. Asam amino yang paling banyak terdapat pada kacang hijau adalah asam amino lisin, sedangkan asam amino metionin dan sistin kandungannya lebih sedikit dibandingkan dengan asam amino lisin.

Beberapa fungsi asam amino esensial bagi tubuh diantaranya adalah memiliki peran penting bagi pertumbuhan fisik dan mental (histidin, isoleusin dan leusin), merangsang pembentukan neurotransmitter berupa serotonin dan


(28)

melatonin (triptofan), membantu proses pembentukan otot pada tubuh (valin), membantu proses pada pemeliharaan sistem syaraf serta membantu proses produksi enzim tirosin yang penting bagi pertumbuhan (fenilalanin).

Menurut Sundari et al. (2004), Lisin merupakan asam amino esensial yang memiliki banyak fungsi bagi tubuh. Lisin merupakan prekusor untuk biosintesis karnitin yang merangsang proses β-oksidasi dari asam lemak rantai panjang yang terjadi di mitokondria. Adanya lisin dapat mengakibatkan kadar lemak dan kolesterol pada tubuh menjadi rendah.

Metionin adalah asam amino yang memiliki komponen belerang. Asam amino ini penting dalam sintesa protein (dalam proses transkripsi, yang menterjemahkan urutan basa Nitrogen di DNA untuk membentuk RNA) karena kode untuk Metionin sama dengan kode awal untuk satu rangkaian RNA.

Treonin merupakan asam amino esensial yang terdapat pada hati, sistem syaraf pusat, dan otot tubuh. Treonin berperan pada proses pembentukan kolagen dan elastin, membantu fungsi hati dan menjaga keseimbangan protein pada tubuh. Sedangkan asam amino Arginin adalah asam amino esensial yang diperlukan tubuh untuk pembuatan cairan seminal dan memperkuat sistem imun.

Pengolahan kacang hijau dalam bentuk tepung akan memberikan manfaat yang lebih besar. Tepung kacang hijau dapat digunakan untuk pembuatan aneka kue tradisional dan bubur. Tepung kacang hijau juga telah digunakan sebagai bahan baku substitusi parsial tepung gandum pada pembuatan biskuit (El-Nahas, 2005). Selain itu, penggunaan tepung kacang hijau sebagai tepung komposit dalam pembuatan produk pangan juga telah dilakukan diantaranya adalah dalam pembuatan mi, roti, dan makanan pendamping ASI (Chong et al., 2008).

E. PANGAN SARAPAN

Menurut Tribelhorn (1991) yang dikutip oleh Muliany (2005), sereal sarapan yang ada di pasaran saat ini dapat dikategorikan menjadi lima jenis yaitu (1) sereal tradisional, yaitu sereal yang dijual di pasaran dalam bentuk


(29)

mentah yang telah diproses. Jenis sereal ini memerlukan pemasakan sebelum dikonsumsi dan umumnya disajikan selagi panas. (2) Sereal siap saji tradisional, yaitu sereal yang dijual dalam bentuk biji-bijian atau serbuk yang telah dimasak dan hanya memerlukan air mendidih dalam persiapannya. (3) Sereal siap santap (ready to eat breakfast meal), yaitu produk sereal yang telah diolah dan direkayasa menurut jenis atau bentuknya, misalnya flakes,

puffed dan shredded. (4) Sereal siap santap campuran (ready to eat-mix meal), yaitu produk sereal yang diolah bersama produk lain seperti biji-bijian, kacang-kacangan, atau buah kering. (5) Bermacam produk sereal lain yang tidak dapat dikategorikan dengan keempat jenis di atas karena proses khusus atau kegunaan akhirnya. Contohnya adalah nugget meal dan makanan bayi (weaning food).

Saat ini sereal yang paling digemari masyarakat adalah jenis ready to eat karena berkaitan dengan kepraktisan dan waktu penyajian yang cepat. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Nurjanah (2000), bahwa jenis sereal sarapan yang paling banyak dikonsumsi atau disukai konsumen adalah produk yang berupa minuman sarapan, produk ekstrusi, dan flakes. Produk ini merupakan produk cepat saji karena waktu persiapannya yang cukup cepat. Mineral dan vitamin seringkali ditambahkan pada produk sereal sarapan, karena pada umumnya konsumen hanya mengonsumsi produk tersebut pada pagi hari. Dengan demikian, produk sereal sarapan harus memenuhi kebutuhan nutrisi (Felicia, 2006).

Teknologi pembuatannya pangan sarapan semakin berkembang seiring dengan tuntutan konsumen yang menginginkan produk dengan kualitas baik. Teknologi sereal sarapan telah berkembang cukup baik, dari metode sederhana dengan hanya menggiling biji serealia untuk produk makanan serealia yang memerlukan pemasakan lebih lanjut, sampai metode yang cukup canggih dengan membuat produk ready to eat yang cepat saji. Saat ini produk sereal sarapan yang banyak terdapat di pasar adalah outmeal, produk ekstrusi, flakes, bubur instan, serta minuman sarapan (Felicia, 2006).

Flakes merupakan bentuk pertama dari produk sereal siap santap. Secara tradisional, pembuatan produk flakes dilakukan dengan mengukus


(30)

bahan yang telah dihancurkan pada kondisi bertekanan selama dua jam atau lebih lalu dipipihkan diantara dua rol baja. Setelah itu dikeringkan dan dipanggang pada suhu tinggi (Tribelhorn, 1991). Pengeringan pati yang telah mengalami gelatinisasi merupakan prinsip dasar sereal sarapan instan berbentuk flakes ini. Pati kering tersebut masih memiliki kemampuan untuk menyerap sejumlah air dalam jumlah yang cukup besar. Setelah air terserap ke dalam pati, maka pati/bahan tersebut dapat langsung bisa dikonsumsi.

Sejauh ini kebanyakan pangan sarapan masih dibuat dari biji-bijian yang ditepungkan ataupun secara utuh (Bouvier, 2001). Padahal banyak sekali bahan baku di Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal. Bahan baku flakes dapat dibuat dari berbagai campuran tepung yang dikombinasikan menjadi tepung komposit (campuran). Menurut Adeyemi dan Ogazi (1985), tepung komposit (tepung campuran) dapat diartikan sebagai campuran dari berbagai tepung yang berasal dari umbi-umbian, sereal, kacang-kacangan. Shahzadi et al. (2005) melaporkan bahwa penambahan tepung yang berasal dari tanaman polong-polongan dapat meningkatkan sifat reologi dari tepung serta dapat meningkatkan nilai gizi produk yang dihasilkan.


(31)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari bahan produksi dan bahan analisis. Bahan baku produksi terdiri dari umbi talas, tepung pisang dan tepung kacang hijau. Umbi talas yang didapat berasal dari beberapa daerah sekitar Jawa Barat, khususnya di pasar-pasar seperti di Sukabumi, Bogor, Pandeglang, dan Sumedang. Sedangkan tepung pisang didapat dari UKM di Ciamis yang menjual tepung pisang kepok. Kacang hijau diperoleh dari toko perlengkapan kue Yoek’s di Bogor yang kemudian ditepungkan. Sedangkan bahan ingredient tambahan yang digunakan meliputi gula bubuk, susu skim bubuk, garam dan air. Bahan-bahan tersebut didapat dari toko perlengkapan kue Yoek’s di Bogor.

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk keperluan analisis antara lain adalah asam klorida, aseton, pankreatin, indikator PP, asam borat, asam sulfat (pa), pereaksi Cu-Nelson, buffer Na-fosfat, Termamyl, larutan iod, natrium hidroksida (pa), asam borat (pa), asam klorida (pa), heksan (teknis), etanol (pa), kalsium karbonat (pa), timbal asetat (pa), natrium oksalat (pa), dan asam perklorat (pa) dan lain-lain. Bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis sebagian diperoleh dari toko kimia.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat produksi dan alat analisis. Alat untuk produksi yang digunakan diantaranya adalah timbangan, cetakan, oven, kompor, mixer, pengering rak, pin discmill, ayakan 60 mesh dan perlengkapan lainnya. Untuk keperluan analisis digunakan timbangan analitik, cawan alumunium, cawan porselen, oven, tanur, desikator, labu lemak, soxhlet, corong buncher, alumunium foil, waterbath, spektrofotometer, vakum, kjeldahl, sentrifuse, crusibel, kertas saring,

texture analyzer Brookfield Texture CT3 LFRA, HPLC, milipore selulosa asetat dan perlengkapan analisis berupa alat-alat gelas.


(32)

B. WAKTU DAN TEMPAT

1. Waktu : Penelitian dilakukan selama 6 bulan ( Desember 2009-Juni 2010).

2. Tempat : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

C. METODE

1. Penelitian Pendahuluan

a. Karakterisasi Umbi Talas yang Digunakan

Pengamatan karakter umbi pada saat panen meliputi bentuk umbi, warna kulit umbi, warna daging umbi panjang umbi dan berat umbi. Karakter umbi talas diamati menurut deskriptor plasma nutfah talas (Minantyorini dan Somantri 2002). Karakteristik umbi talas yang diamati menurut deskriptor plasma nutfah talas terdapat pada gambar 4 (Minantyorini dan Somantri, 2002).

Ket: : 1 (kerucut), 2 (membulat), 3 (silindris), 4 (elips), 5 (halter), 6 (memanjang), 7 (datar dan bermuka banyak), 8 (tandan)

Gambar 4. Klasifikasi Bentuk Umbi Talas (Minantyorini dan Somantri, 2002)


(33)

Karakter umbi talas diklasifikasikan dengan kode sebagai berikut: a. Panjang umbi : 3 (<8 cm), 5 (8-12 cm), 7 (12-18 cm), dan 99

(>18 cm)

b. Bentuk umbi: 1 (kerucut), 2 (membulat), 3 (silindris), 4 (elips), 5 (halter), 6 (memanjang), 7 (datar dan bermuka banyak), 8 (tandan) dan 99 (lainnya)

c. Warna daging umbi: 1 (putih), 2 (kuning), 3 (oranye), 4 (merah muda), 5 (merah), 6 (merah ungu), 7 (ungu) dan 99 (lainnya)

d. Warna kulit umbi: 1 (Putih), 2 (Kuning atau kuning-oranye), 3 (Merah), 4 (Merah muda), 5 (Coklat), 6 (Ungu), 7 (Kehitaman), dan 99 (Lainnya)

e. Berat umbi: 1 (<0,5 kg) , 2 (0,5-2,0 kg), 3 (2,0-4,0 kg) dan 99 (>4,0 kg)

b. Karakterisasi dan Pemilihan Jenis Tepung Talas

1) Penepungan Umbi Talas

Empat jenis talas yaitu talas Beneng, talas Semir, talas Mentega, dan talas Hijau diproses menjadi tepung dengan metode Fauzan (2005) dengan modifikasi. Dalam rangkaian proses penepungan, talas mengalami proses pengupasan atau peeling. Setelah itu, umbi talas yang telah dikupas kemudian diiris dengan mesin slicer atau mesin sawut yang menghasilkan lempengan umbi dengan ketebalan 1-2 mm. Umbi yang telah diiris kemudian direndam dengan air garam 10% selama 30 menit untuk mereduksi kadar oksalat (Mayasari, 2010). Irisan umbi talas kemudian dikukus selama 20 menit. Setelah itu, irisan talas dikeringkan selama 12 jam pada suhu 50-60oC (Lingga et al., 1989). Irisan talas yang telah dikeringkan kemudian ditepungkan dengan pin disc mill

menggunakan ayakan 60 mesh. Gambar 5 menyajikan diagram proses pembuatan tepung talas.


(34)

Umbi talas

Pengupasan

Slicing

Perendaman dalam larutan garam 10% (30 menit)

Pengukusan 20 menit

Perataan pada tray

Pengeringan dengan tray dryer selama 12 jam (suhu 50-60oC)

Penggilingan (pin disc mill)

Pengayakan (60 mesh)

Tepung talas

Gambar 5. Diagram pembuatan tepung talas (Fauzan, 2005 dengan modifikasi)

2) Karakterisasi Tepung Talas

Hasil pembuatan keempat tepung talas dianalisis secara kimia meliputi analisis proksimat, serat kasar, serat pangan, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, serta jumlah kalori di dalamnya. Tepung juga dianalisis secara fisik meliputi rendemen dan warna.

3) Pemilihan Tepung Talas

Dari keempat tepung talas yang digunakan, kemudian dipilih salah satu tepung talas yang digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan flakes. Proses pemilihan yang digunakan adalah aproksimasi secara kimia dan fisik, serta beberapa pertimbangan teknis seperti ketersediaan talas dan akses untuk mendapatkan talas.


(35)

c. Karakterisasi Tepung Pisang dan Tepung Kacang Hijau

Tepung pisang dan tepung kacang hijau yang digunakan dikarakterisasi komponen kimianya yang meliputi analisis proksimat, serat kasar, serat pangan, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, serta jumlah kalori di dalamnya.

2. Penelitian Utama

a. Formulasi Tepung Komposit

Tepung talas terpilih kemudian dicampurkan dengan tepung pisang dan tepung kacang hijau dalam berbagai tingkat presentase. Terdapat 10 formula tepung komposit yang akan diuji. Tabel 5 menunjukkan 10 formulasi tepung komposit tersebut.

Tabel 5. Sepuluh formula tepung komposit yang akan diuji

Formula Komposisi tepung

Talas (%) Pisang (%) Kacang Hijau (%)

1 80 10 10

2 60 20 20

3 90 5 5

4 50 30 20

5 70 10 20

6 80 15 5

7 50 20 30

8 80 5 15

9 60 35 5

10 70 20 10

Terdapat 10 formula kombinasi antara tepung talas, tepung pisang dan tepung kacang hijau. Presentase tepung yang digunakan, diformulasikan berdasarkan trial and erorr. Tepung talas yang digunakan berkisar antara 50-90% yaitu 50%, 60%, 70%, 80% dan 90%. Sedangkan tepung pisang yang digunakan berkisar antara 5-35% yaitu 5%, 10%, 15%, 20%, 30% dan 35%. Presentase tepung kacang


(36)

hijau yang digunakan berkisar antara 5-30% yaitu 5%, 10%, 15%, 20% dan 30%.

Pemilihan satu jenis tepung komposit terbaik dilakukan dengan pendekatan komponen kimia tepung komposit dan evaluasi sensori. Evaluasi sensori menggunakan metode uji rangking hedonik terhadap parameter sensori produk. Uji ini dilakukan untuk mendapatkan satu formula yang paling disukai oleh konsumen berdasarkan parameter uji yang digunakan (Meilgaard, 2007).

Parameter uji yang digunakan adalah warna, aroma, dan tekstur. Terdapat 30 orang panelis yang digunakan dalam uji tersebut. Panelis merangking formula dari yang paling disukai hingga paling tidak disukai berdasarkan parameter uji masing-masing. Angka terendah menunjukan formula yang paling disukai sedangkan angka tertinggi menunjukan formula yang paling tidak disukai.

b. Formulasi flakes I: Optimasi Proses dalam Pembuatan Flakes Tepung Komposit dengan Menggunakan RSM (Response Surface

Method)

1) Proses Perancangan Variabel Eksperimental

Tiga variabel eksperimental terkontrol berupa suhu pemanggangan (oC), waktu pemanggangan (menit), dan ketebalan

flakes (mm) ketika proses pemanggangan dalam oven masing-masing ditetapkan nilai maksimal dan minimalnya berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, seperti sweet potato flakes oleh Purwanto (2009); flakes talas Fauzan (2005); flakes

shorgum oleh Felicia (2006); dan flakes ubi jalar merah oleh Hutami (2004). Kombinasi perlakuan ketiga variabel proses tersebut akan dioptimasi menggunakan Response Surface Method

(RSM). Metode ini mengacu kepada penelitian Bhattacharya Sila, B. Sumithra, (2008).

Variabel eksperimenal terkontrol yang digunakan dalam perancangan desain proses ini adalah suhu pemanggangan, waktu


(37)

pemanggangan, dan ketebalan flakes. Sedangkan variabel respon yang digunakan adalah parameter tekstur dari hasil analisis profil tekstur (texture profile analysis/compression test). Rancangan RSM yang digunakan adalah central composite design. Hasil rancangan berdasarkan nilai variabel proses yang dimasukkan menghasilkan 20 perlakuan yang kemudian akan dibuat menjadi

flakes. Nilai yang digunakan untuk suhu (oC) berkisar antara 110oC-150oC. Sedangkan untuk waktu (menit) adalah 10-20 menit dan untuk ketebalan adalah 0,25-1,5 mm. Desain proses yang dihasilkan dari rancangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Desain proses hasil kombinasi perlakuan dengan metode RSM

For-mula

Kode Perlakuan Nilai

Suhu (oC)

Waktu (menit)

Ketebalan (mm)

Suhu (oC

)

Waktu (menit)

Ketebalan (mm)

1 -1 -1 -1 118,11 12,02 0,50

2 -1 -1 1 118,11 12,02 1,25

3 -1 1 -1 118,11 17,97 0,50

4 -1 1 1 118,11 17,97 1,25

5 1 -1 -1 141,89 12,02 0,50

6 1 -1 1 141,89 12,02 1,25

7 1 1 -1 141,89 17,97 0,50

8 1 1 1 141,89 17,97 1,25

9 -1,682 0 0 110 15 0,88

10 1,682 0 0 150 15 0,88

11 0 -1,682 0 130 10 0,88

12 0 1,682 0 130 20 0,88

13 0 0 -1,682 130 15 0,25

14 0 0 1,682 130 15 1,50

15 0 0 0 130 15 0,88

16 0 0 0 130 15 0,88

17 0 0 0 130 15 0,88

18 0 0 0 130 15 0,88

19 0 0 0 130 15 0,88


(38)

Dua puluh formula desain proses dari hasil rancangan RSM (Response Surface Method) yang diuji terdiri dari 6 formula yang merupakan titik aksial, 8 formula yang merupakan titik faktorial dan 6 formula yang merupakan titik pusat. Rancangan formula yang didapatkan kemudian dievaluasi untuk melihat kesesuaian rancangan formula dalam memberikan efek yang diinginkan. Hal tersebut dilakukan dengan menganalisis ada tidaknya alias dan menganalisis nilai Ri2. Adanya alias menunjukan kurangnya titik unik dalam model yang digunakan. Pada model yang digunakan tidak terdapat alias yang berarti model rancangan ini cukup untuk memprediksi hasil yang diinginkan.

2) Proses pembuatan Flakes

Proses pembuatan flakes disajikan pada Gambar 6 sebagai berikut.

Gambar 6. Proses pembuatan flakes tepung komposit (Fauzan, 2005 dengan modifikasi)

Tp talas + tp pisang + tp kacang hijau

Diaduk sampai rata

Bahan tambahan (gula, garam)

Dilarutkan dalam air

Dimasukkan dalam roller sesuai ketebalan Dicampur dengan mixer sampai rata

Dicetak ukuran 1 x 2 cm

Ditata pada loyang

Dioven sesuai suhu desain proses


(39)

Bahan kering seperti tepung komposit, gula, garam, dicampur hingga merata. Kemudian diaduk dengan mixer sampai merata. Setelah itu, dimasukan air sejumlah 30% dari total tepung (Fauzan, 2005). Kemudian, bahan-bahan tersebut dibuat adonan hingga merata. Proses flaking dilakukan setelah adonan cukup kalis menggunakan roller. Setelah didapatkan ketebalan sesuai ukuran yang diinginkan, selanjutnya adonan dimasukan ke dalam loyang dan dipanaskan dengan oven sesuai dengan desain proses yang terdapat pada Tabel 6.

3) Proses Optimasi Variabel Respon

Dalam optimasi proses, terlebih dahulu dilakukan penentuan persamaan polinomial dengan ordo yang sesuai untuk masing-masing variabel respon. Variabel respon yang digunakan merupakan parameter tekstur dari hasil analisis profil tekstur (texture profile analysis/TPA) meliputi hardness, total work, dan

fracturability. Penentuan persamaan polinomial dan ordo yang sesuai dari setiap variabel respon dilakukan dengan memilih ordo tertinggi yang hasil analisis ragamnya masih memiliki perbedaan nyata. Model persamaan dan ordo yang dipilih adalah model dengan standar deviasi terkecil dengan nilai R2 dan nilai adjusted

R2 mendekati 1.

Setelah dilakukan penentuan ordo dan persamaan polinomial, dilakukan analisis ANOVA untuk melihat perbedaan nyata yang terdapat pada masing-masing variabel respon pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis ragam akan menyatakan variabel respon memiliki nilai yang berbeda nyata jika pada selang

kepercayaan 95%, nilai P lebih kecil dari α=0,05. Variabel respon

yang hasil analisis ragamnya memiliki perbedaan nyata dapat digunakan sebagai model prediksi dalam tahap optimasi. Sedangkan variabel repon yang tidak berbeda nyata, tidak menjadi variabel utama dalam optimasi.


(40)

Setelah dilakukan analisis ANOVA dan didapatkan variabel respon yang signifikan pada selang kepercayaan 95%, maka dilakukan optimasi formula. Optimasi formula dilakukan dengan menetapkan nilai karakteristik yang diinginkan dari variabel respon yang memiliki perbedaan signifikan pada selang kepercayaan 95%. Penetapan nilai karakteristik variabel respon yang diinginkan dilakukan dengan membandingkan nilai variabel respon dari produk sejenis yang terdapat di pasaran yaitu produk Nestle corn flakes.

Optimasi dilakukan untuk mendapatkan formula optimal dengan nilai prediksi variabel respon yang paling sesuai dengan nilai variabel respon yang diinginkan. Kesesuaian antara nilai variabel respon yang diprediksi dengan nilai variabel respon yang diinginkan digambarkan dengan nilai desirability.

4) Validasi dengan Texture Analyzer

Hasil optimasi formula yang didapatkan atau diprediksi dari

Response Surface Method (RSM) kemudian divalidasi dengan

texture analyzer menghasilkan variabel respon aktual. Hasil yang didapat kemudian dibandingkan dengan nilai variabel respon yang diprediksi oleh Response Surface Method (RSM).

c. Formulasi flakes II: Formulasi Bahan Pembantu flakes

Dilakukan formulasi terhadap parameter bahan baku pembuatan flakes, meliputi jumlah tepung komposit, gula, dan susu. Empat formulasi yang didapatkan kemudian diujikan secara organoleptik kepada 30 orang panelis. Kemudian dipilih satu hasil formula terbaik menggunakan evaluasi sensori dengan metode uji rangking hedonik berdasarkan atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa terhadap flakes yang dihasilkan (Fauzan, 2005).


(41)

3. Perhitungan dan Analisis

a. Analisis Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui, mengukur, menganalisis dan mengintrepretasikan atribut pangan melalui sensori manusia (Stone dan Sidel, 1993). Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji afektif secara kuantitatif yaitu uji rangking hedonik dan uji rating hedonik (uji penerimaan konsumen) (Meilgaard et al., 2007). Uji afektif ini dilakukan dengan menggunakan panelis tidak terlatih untuk mengevaluasi dan menentukan kesukaan terhadap produk.

1) Uji Rangking Hedonik (Meilgaard et al., 2007)

Uji rangking hedonik dilakukan untuk menentukan produk yang paling disukai. Tahap penelitian yang menggunakan uji rangking hedonik adalah tahap formulasi tepung komposit dan formulasi akhir flakes tepung komposit. Pada tahap formulasi tepung komposit, parameter sensori yang diuji adalah warna, rasa dan tekstur. Analisis organoleptik pada formulasi flakes lanjutan meliputi parameter sensori rasa, aroma, warna dan tekstur. Uji ini dilakukan dengan menggunakan panelis semi-terlatih berjumlah 30 orang.

Pada tahap ini panelis diminta untuk mengurutkan sampel yang diuji menurut perbedaan tingkatan mutu sensori. Urutan pertama menyatakan sampel yang paling disukai sedangkan urutan terakhir merupakan sampel yang paling tidak disukai menurut kategori atribut masing-masing. Data yang didapatkan dari uji tersebut kemudian diolah dan ditranformasikan sehingga dapat dianalisis dengan uji Friedman untuk melihat perbedaan signifikan antar sampel yang diuji.

2) Uji Rating Hedonik (Meilgaard et al., 2007)

Uji rating hedonik atau uji penerimaan konsumen dilakukan untuk mengungkapkan tanggapan panelis terhadap parameter rasa, aroma, tekstur, warna dan penerimaan keseluruhan (overall)


(42)

produk yang terpilih. Skala hedonik yang digunakan adalah 1-7 yaitu 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=agak tidak suka, 4=netral, 5=agak suka, 6=suka, 7=sangat suka. Uji ini dilakukan pada produk akhir untuk melihat tingkat penerimaan panelis terhadap produk yang dihasilkan.

b. Analisis Fisik

1) Analisis Tekstur (Bhattacharya Sila, B. Sumithra, 2008)

Analisis tekstur dilakukan dengan mengukur texture profile analysis menggunakan texture analyzer Brookfield Texture CT3 LFRA. Pengujian dengan menggunakan texture analyzer dilakukan pada tahap optimasi bahan penolong dan tahap formulasi lanjutan pada pembuatan flakes. Parameter tekstur yang diuji meliputi

hardness, total work dan fracturability.Test speed yang digunakan adalah 0,5 mm/s dengan beban 4,5 g.

2) Analisis Warna dengan Chromameter Minolta (Gaurav, 2003)

Analisis warna dilakukan dengan menggunakan

Chromameter Minolta. Uji warna dilakukan dengan sistem warna Hunter L*, a*, b*. Chromameter terlebih dahulu dikalibrasi dengan standar warna putih yang terdapat pada alat tersebut. Sampel yang dianalisis adalah tepung talas Hijau, tepung talas Beneng, tepung talas Mentega dan tepung talas Semir. Hasil analisis derajat putih yang dihasilkan berupa nilai L*, a*, b*. Pengukuran total derajat warna digunakan basis warna putih sebagai strandar (L1, a1, b1) dengan rumus:

∆ = ( − ) + ( − ) + ( − )

3) Rendemen Tepung (Fauzan, 2005)

Perhitungan rendemen tepung dihitung berdasarkan bobot awal sebelum umbi talas dikupas dan berat tepung setelah diayak dengan ayakan 60 mesh. Rendemen tepung dihitung menggunakan persamaan:


(43)

c. Analisis Kimia

1) Analisis Kadar Oksalat (Ross et al., 1999)

Analisis kadar oksalat dilakukan pada tepung talas untuk mengetahui jumlah oksalat yang terdapat di dalamnya. Tepung dengan kadar oksalat yang rendah merupakan tepung yang sesuai digunakan sebagai bahan baku. Sampel sebanyak 5 g ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu erlenmeyer 100 ml. Kemudian ditambahkan 50 ml HCl 2M (pH 0,08) untuk analisis total oksalat. Campuran tersebut dihomogenisasi dan ditutup dengan parafilm. Kemudian dipanaskan dalam waterbath pada suhu 800C selama 20 menit. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambah HCl 2M hingga tanda tera. Setelah itu, dimasukan ke dalam tabung sentrifuse dan disentrifuse dengan kecepatan 1400 rpm selama 15 menit. Supernatan dari hasil sentrifuse diambil dan disaring dengan milipore selulosa asetat 0,45 µm. Kemudian diinjeksikan ke dalam HPLC.

Pada HPLC, sampel akan terlarut dengan pelarut berupa HCl. Pelarut dan sampel akan menjadi fase gerak yang akan bergerak melalui kolom yang berisi fase diam. Komponen pada sampel akan terpisah pada waktu yang berbeda sesuai dengan perbedaan kelarutan terhadap fase gerak dan fase diam. Metode ini merupakan kromatografi kolom yang menggunakan tekanan tinggi untuk mempercepat proses pemisahan senyawa.

2) Kadar Air (AOAC, 2005) metode 925.10

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1-2 g sampel ditimbang. Setelah itu dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC selama 3 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator, lalu


(44)

ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar air = ( )x100%

c b a c 

Keterangan:

a= berat cawan dan sampel akhir (g) b= berat cawan (g)

c= berat sampel awal (g)

3) Kadar Abu (AOAC, 2005) metode 923.03

Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 2 – 3 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC selama 4 – 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat konstan. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar abu =

100

%

)

(

)

(

x

g

sampel

berat

g

abu

berat

4) Kadar Lemak (AOAC, 2005) metode 920.85

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100– 110oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 1-2 g dibungkus dengan selongsong kertas saring yang dilapisi dengan kapas dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut heksana.

Refluks dilakukan selama 6 jam (minimum) pada suhu 800. Setelah itu pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi.


(45)

Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar lemak (%) =

100

%

)

(

)

(

x

g

sampel

berat

g

lemak

berat

5) Kadar Protein (AOAC, 2005) metode 988.05

Sebanyak 0,5 – 1 g contoh ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml. Tambahkan 2 g campuran selen dan 25 ml H2SO4 pekat. Sampel dididihkan selama kurang lebih 2 jam sampai cairan menjadi jernih kehijau-hijauan.

Sampel didinginkan dan dimasukan ke dalam labu ukur 100 ml. Setelah itu sampel diencerkan dengan akuades hingga tanda tera. Kemudian sebanyak 5 ml larutan dipipet dan dimasukan ke dalam alat penyuling, ditambahkan 5 ml NaOH 30% dan indikator PP. Sampel disuling selama 10 menit, sebagai penampung digunakan 10 ml larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator PP. Titrasi dengan larutan HCl 0,01 N. Lakukan penetapan blanko.

Penetapan kadar N dan kadar protein dilakukan dengan persamaan berikut:

Kadar N (%) =

sampel mg x x N x blanko ml HCl

ml ) 14,007 100

( 

Kadar Protein = %N x faktor konversi (tepung talas 5,87, tepung kacang hijau 5,7, tepung pisang 6,25, flakes 6,25)

6) Analsis Kadar Karbohidrat (by difference) (Winarno, 1986)

Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference

yaitu dengan perhitungan melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Berikut ini adalah persamaan yang digunakan dalam menghitung kadar karbohidrat dengan metode by difference.


(46)

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (a + b + c + d)

Keterangan:

a= % kadar air b= % kadar abu c= % kadar protein d= % kadar lemak

7) Kadar Serat Kasar (AOAC, 2005) metode 920.86

Sebanyak 2,0 g contoh halus ditimbang dan diekstrak lemaknya dengan sokhlet. Bila bahan yang akan dianalisa mengandung lemak dalam jumlah yang sedikit, pemisahan dapat diabaikan. Contoh dipindahkan ke dalam labu ekstraksi (500 ml) dengan pendingin tegak. Contoh dididihkan dengan 200 ml H2SO4 1,25% selama 30 menit. Dilakukan penimbangan pada kertas saring yang akan digunakan (A). Sampel disaring dengan kertas saring pada corong Buchner yang dihubungkan dengan vakum dan dicuci dengan air panas. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (B). Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, kemudian didinginkan dan ditimbang hingga bobotnya tetap (C). Bila ternyata kadar serat kasar lebih besar dari 1%, kertas saring beserta isinya diabukan, ditimbang dan didinginkan hingga bobot tetap (D).

Serat kasar < 1%

Kadar serat kasar = 100%

) (g x sampel berat

A B C 

Serat kasar > 1%

Kadar serat kasar = 100%

) ( ) (

x g sampel berat

D A C 

8) Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin (AOAC, 2005) metode 976.11

Analisis amilosa-amilopektin dilakukan pada tepung talas untuk mengetahui komponen penyusun pati yang terdapat di


(47)

dalamnya. Penetapan amilosa dan amilopektin dilakukan secara iodometri berdasarkan reaksi antara amilosa dengan senyawa iod yang menghasilkan warna biru. Sampel sebanyak 100 mg ditempatkan dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N.

Campuran dipanaskan dalam air mendidih hingga terbentuk gel dan selanjutnya seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Gel ditambahkan dengan air dan dikocok, kemudian ditepatkan dengan air hingga 100 ml. Sebanyak 5 ml larutan dimasukan ke dalam labu takar dan ditambahkan dengan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Larutan ditepatkan hingga 100 ml kemudian dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa dihitung berdasarkan persamaan kurva standar amilosa. Kadar amilopektin dihitung berdasarkan selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa yang didapatkan.

9) Analisis Kadar Serat Pangan Metode Enzimatis (Asp et al., 1983)

Analisis kadar serat pangan dilakukan pada tepung talas untuk mengetahui jumlah komponen serat pangan yang terdapat di dalamnya. Metode analisis yang digunakan adalah metode secara enzimatis. Satu g sampel bebas lemak dimasukan ke dalam Erlenmeyer, ditambahkan 25 ml 0,1 M buffer Na-phosphat pH 6 dan diaduk. Setelah itu, ditambah 0,1 ml enzim termamyl. Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 1000C selama 15 menit. Labu sampel diangkat, didinginkan kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Pengukuran pH hingga 1,5 untuk mengkondisikan agar aktivitas enzim maksimum. Erlenmeyer kemudian ditutup dan diinkubasikan kembali pada suhu 400C. Setelah diagitasi selama 60 menit, sampel ditambah 20 ml air


(48)

destilata dan pH diatur menjadi 6,8 untuk memaksimalkan aktivitas pankreatin. Setelah itu ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 400C selama 60 menit sambil diagitasi. Terakhir pH diatur dengan HCl hingga 4,5. Residu kemudian disaring menggunakan crusibel kering yang telah ditimbang beratnya dan dicuci dua kali dengan menggunakan 10 ml air destilata.

Residu yang merupakan serat makanan tidak larut (IDF) dicuci dengan dua kali 10 ml etanol 95% dan dua kali 10 ml aseton dan dikeringkan pada suhu 1050C sampai berat tetap. Setelah itu didinginkan dalam desikator, ditimbang (D1) lalu diabukan dalam tanur 5000C dan ditimbang kembali (I1). Filtrat merupakan serat makanan larut (SDF). Volume filtrat diatur dengan air sampai dengan 100 ml ditambah 400 ml etanol 95% hangat dan diendapkan selama 1 jam. Endapan disaring dengan crusibel kering dan dicuci dengan dua kali 10 ml etanol 78% dan dua kali 10 ml aseton. Setelah itu dikeringkan pada suhu 1050C hingga berat konstan, setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2). Selanjutnya diabukan pada tanur 5000C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2).

Nilai blanko untuk serat makanan tidak larut (IDF) dan serat larut (SDF) diperoleh dengan cara yang sama, namun tanpa menggunakan sampel. Serat makanan total (TDF) ditentukan dengan menjumlahkan nilai serat makanan tidak larut dan serat makanan larut.

IDF = 1 1 1x100%

w B I D  

SDF = 2 2 2x100%

w B I D  

TDF = SDF + TDF

Keterangan:


(49)

D= berat setelah dianalisis dan dikeringkan (g) I= berat setelah diabukan (g)

B= berat blanko bebas serat (g)

10) Kadar Pati (Nelson, 1944)

Tepung dengan kadar pati yang tinggi merupakan tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku. Sampel dicuci dengan alkohol 80% dalam waterbath untuk menghilangkan gula-gula sederhana. Kemudian endapan dipisahkan dan dihidrolisis kembali dengan 9,2 N HClO4 sebanyak tiga kali dan dinetralisir kembali dengan 1 N NaOH. Selanjutnya direduksi dengan pereaksi Cu dan Nelson (Nelson A: KNa-tartarat, Na2CO3 anhidrat, NaHCO3, Na2SO4 anhidrat dan Nelson B: CuSO4.5.H2O, Na2SO4 anhidrat, H2SO4 pekat). Kadar Pati diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm.

11) Kalori (Winarno, 1986)

Kadar kalori dihitung berdasarkan jumlah karbohidrat, protein dan lemak yang terdapat dalam bahan pangan. Berikut ini adalah perhitungan yang dilakukan untuk menentukan jumlah kalori.

Kalori (Kkal/100g) = (a x 4) + (b x 4) + (c x 9)

Keterangan:

a= hasil analisa karbohidrat (g/100g) b= hasil analisa protein (g/100g) c= hasil analisa lemak (g/100g)


(50)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

1. Karakterisasi Talas

Untuk melihat karakteristik talas yang akan digunakan, talas perlu dikarakterisasi sebelum dijadikan tepung. Beberapa varietas talas yang digunakan yaitu talas Mentega, talas Hijau, talas Semir dan talas Beneng dikaraktersasi untuk mendapatkan talas pilihan sebagai bahan baku flakes. Umbi talas yang digunakan adalah talas dengan umur panen berkisar 8-10 bulan. Pengamatan karakter umbi pada saat panen meliputi bentuk umbi, warna kulit umbi, warna daging umbi, panjang umbi dan berat umbi. Karakteristik berbagai varietas talas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Karakteristik kualitatif fisik varietas talas yang digunakan

Karakteristik talas Varietas

Mentega Hijau Semir Beneng

Asal Sukabumi Bogor Sumedang Pandeglang

Bentuk Umbi Kerucut Membulat Halter Memanjang

Gambar bentuk umbi

Warna kulit umbi merah Merah coklat coklat

Warna daging umbi kuning Putih putih kuning

Empat varian talas yang digunakan rata-rata memiliki tampilan fisik dan ukuran yang bervariasi. Minantyorini dan Hanarida (2002) mengklasifikasikan bentuk umbi talas ke dalam 8 kategori (Gambar 1). Talas Mentega yang berasal dari daerah sekitar Sukabumi memiliki umbi berbentuk kerucut (kode 1). Berbeda dengan talas Mentega, talas Hijau yang berada di daerah Bogor memiliki bentuk umbi yang membulat (kode 2). Sedangkan talas Semir yang berasal dari daerah Sumedang memiliki umbi berbentuk halter (kode 5) dan talas Beneng dari daerah Pandeglang


(1)

Lampiran 20. Hasil Analisis Sidik Ragam Variabel Respon Fracturability

dengan RSM

Lampiran 21. Kuisioner Uji Rangking Hedonik Sampel Flakes

KUISIONER UJI RANGKING HEDONIK

Nama : Tanggal:

Sampel: Flakes

Petunjuk: Bandingkanlah keempat sampel menurut kriteria masing-masing. Urutkan sampel dari yang paling anda sukai (tulis angka 1 pada kolom) hingga sampel yang paling sedikit anda sukai (tulis angka 4 pada kolom).

Sampel Kriteria

Response 3 Fracturability

ANOVA for Response Surface Linear Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 0.469473522 3 0.156491174 51.14194 < 0.0001 significant A-Suhu 0.197965636 1 0.197965636 64.69596 < 0.0001

B-Waktu 0.073284988 1 0.073284988 23.94983 0.0002 C-Tebal 0.198222899 1 0.198222899 64.78004 < 0.0001 Residual 0.048959009 16 0.003059938

Lack of Fit 0.0279417 11 0.002540155 0.604301 0.7743

not significant Pure Error 0.021017309 5 0.004203462


(2)

Lampiran 22. Kuisioner Uji Rating Hedonik Sampel Flakes KUISIONER UJI RATING HEDONIK

Nama : Tanggal:

Sampel: Flakes

Petunjuk: Lakukanlah pencicipan sampel satu per satu dari kiri ke kanan. Kemudian berilah penilaian kesukaan anda terhadap kriteria rasa, aroma, warna , dan tekstur pada tabel yang disediakan tanpa membandingkan antar sampel. Setelah menilai, netralkan dengan air minum kemudian cicip sampel berikutnya.

Penilaian: 1=Sangat Tidak Suka 2=Tidak Suka 3=Agak tidak suka 4=Netral

5=Agak suka 6= Suka

7= sangat tidak suka

Kriteria

Sampel

475 684 139 257

Rasa Aroma Warna Tekstur


(3)

Lampiran 23. Hasil Olah Data Uji Rangking Parameter Warna Flakes dengan SPSS

NPar Tests

Friedman Test

Test Statistics(a)

N 30

Chi-Square 21.840

df 3

Asymp. Sig. .000 a Friedman Test

Sampel

A1-A2 16.00

A1-A3 46

A1-A4 22

A2-A3 30

A2-A4 6

A3-A4 24

Descriptive Statistics

30 2.4667 1.04166 1.00 4.00

30 3.2000 .96132 1.00 4.00

30 2.6667 1.06134 1.00 4.00

30 1.6667 .88409 1.00 4.00

A1 A2 A3 A4

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Ranks

2.47 3.20 2.67 1.67 A1

A2 A3 A4


(4)

Lampiran 24. Hasil Olah Data Uji Rangking Parameter Aroma Flakes dengan SPSS

NPar Tests

Friedman Test

Sampel

A1-A2 19.00

A1-A3 33

A1-A4 4

A2-A3 14

A2-A4 23

A3-A4 37

A1 A2 A3 A4

ac Ab B c

Descriptive Statistics

30 3.0333 .99943 1.00 4.00

30 2.9000 1.09387 1.00 4.00

30 2.2667 1.11211 1.00 4.00

30 1.8000 .84690 1.00 3.00

A1 A2 A3 A4

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Ranks

3.03 2.90 2.27 1.80 A1

A2 A3 A4

Mean Rank

Test Statisticsa

30 17.800 3 .000 N

Chi-Square df

Asymp. Sig. Friedman Test a.


(5)

Lampiran 25. Hasil Olah Data Uji Rangking Parameter Aroma Flakes dengan SPSS

NPar Tests

Friedman Test

Sampel

A1-A2 47.00

A1-A3 50

A1-A4 47

A2-A3 3

A2-A4 0

A3-A4 3

A1 A2 A3 A4

Descriptive Statistics

30 2.1333 .97320 1.00 4.00

30 3.7000 .70221 1.00 4.00

30 2.1333 1.04166 1.00 4.00

30 2.0333 .80872 1.00 4.00

A1 A2 A3 A4

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Ranks

2.13 3.70 2.13 2.03 A1

A2 A3 A4

Mean Rank

Test Statisticsa

30 34.680 3 .000 N

Chi-Square df

Asymp. Sig. Friedman Test a.


(6)

Lampiran 26. Hasil Olah Data Uji Rangking Parameter Aroma Flakes dengan SPSS

NPar Tests

Friedman Test

Sampel

A1-A2 41.00

A1-A3 51

A1-A4 24

A2-A3 10

A2-A4 17

A3-A4 27

A1 A2 A3 A4

a bc b c

Descriptive Statistics

30 2.6667 1.12444 1.00 4.00

30 3.4667 .68145 2.00 4.00

30 2.1000 .88474 1.00 4.00

30 1.7667 .97143 1.00 4.00

A1 A2 A3 A4

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Ranks

2.67 3.47 2.10 1.77 A1

A2 A3 A4

Mean Rank

Test Statisticsa

30 29.880 3 .000 N

Chi-Square df

Asymp. Sig. Friedman Test a.


Dokumen yang terkait

Formulasi Flakes Tepung Komposit Pati Garut dan Tepung Singkong dengan Penambahan Pegagan sebagai Pangan Fungsional Sarapan Anak Sekolah Dasar

1 2 64

analisis Zat Gizi Dan Uji Daya Terima Flakes Dari Tepung Pisang Barangan Mentah Dan Tepung Talas

2 14 108

FORMULASI DAN EVALUASI SIFAT SENSORIS DAN FISIKOKIMIA FLAKES KOMPOSIT DARI TEPUNG TAPIOKA, TEPUNG KONJAC (Amorphophallus oncophyllus) DAN TEPUNG KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus L.).

0 0 12

Karakteristik Sifat Fisik, Kimia, Dan Sensori Flakes Breakfast Cereal Dari Tepung Komposit (Tepung Mocaf, Tepung Jagung Dan Tepung Kacang Merah)

0 0 16

Karakteristik Sifat Fisik, Kimia, Dan Sensori Flakes Breakfast Cereal Dari Tepung Komposit (Tepung Mocaf, Tepung Jagung Dan Tepung Kacang Merah)

0 0 2

Karakteristik Sifat Fisik, Kimia, Dan Sensori Flakes Breakfast Cereal Dari Tepung Komposit (Tepung Mocaf, Tepung Jagung Dan Tepung Kacang Merah)

0 0 4

Karakteristik Sifat Fisik, Kimia, Dan Sensori Flakes Breakfast Cereal Dari Tepung Komposit (Tepung Mocaf, Tepung Jagung Dan Tepung Kacang Merah)

0 0 15

Karakteristik Sifat Fisik, Kimia, Dan Sensori Flakes Breakfast Cereal Dari Tepung Komposit (Tepung Mocaf, Tepung Jagung Dan Tepung Kacang Merah) Chapter III V

0 0 48

Karakteristik Sifat Fisik, Kimia, Dan Sensori Flakes Breakfast Cereal Dari Tepung Komposit (Tepung Mocaf, Tepung Jagung Dan Tepung Kacang Merah)

1 2 4

Karakteristik Sifat Fisik, Kimia, Dan Sensori Flakes Breakfast Cereal Dari Tepung Komposit (Tepung Mocaf, Tepung Jagung Dan Tepung Kacang Merah)

0 0 33