Interaksi Sosial Antar Pasien Napza Pada Program Therapeutic Community Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

RATIH EKA SUSILAWATI 1110054100002

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, September 2014


(5)

i

ABSTRAK

Ratih Eka Susilawati

Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA Pada Program Therapeutic Community Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta

Penyalahgunaan NAPZA semakin menjadi masalah serius yang harus dicari solusi penyembuhannya. Penggunaan NAPZA dapat berdampak kepada kerusakan-kerusakan, bukan hanya kerusakan fisik maupun psikis tetapi juga dapat merusak kemampuan pengguna NAPZA dalam berinteraksi sosial di masyarakat. Untuk itu, tempat rehabilitasi selain untuk upaya pemulihan dari ketergantungan terhadap NAPZA juga diharapkan menjadi tempat untuk membantu pengguna NAPZA membangun kembali kemampuan interaksi sosialnya. Hal ini tentu akan bermanfaat karena dapat membuat mantan pecandu lebih siap untuk kembali ke masyarakat saat mereka keluar dari tempat rehabilitasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA pada program Therapeutic Community dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi interaksi sosial yang terjadi antar pasien pada program Therapeutic Community.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode yaitu: observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori interaksi sosial yang mencangkup bentuk-bentuk serta faktor-faktor interaksi sosial yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar tahun 2002.

Penelitian ini menemukan bahwa, interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA menjadi jauh lebih baik dari pada saat mereka masuk pertama kali untuk menjalani program TC. Interaksi sosial disini mencangkup bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA pada program therapeutic community. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi diantaranya kerja sama, persaingan, pertikaian dan akomodasi. Kerja sama dilakukan setiap hari antar pasien dalam berbagai kegiatan yang ada di dalam program TC seperti morning meeting, function dan group, kerja sama yang dilakukan didasari oleh sikap saling tolong menolong satu sama lain agar kegiatan yang dijalankan bisa berjalan dengan baik sehingga dapat berpengaruh pada proses pemulihannya. Persaingan terjadi antara kelompok dengan kelompok, dalam hal ini persaingan terjadi di dalam kegiatan olah raga yang dilakukan pada sore hari. Dalam menjalankan berbagai kegiatan pasien tidak luput dari pertikaian atau konflik, pertikaian sering terjadi karena adanya perbedaan pendapat antara pasien satu dengan pasien lainnya. Dalam menyelesaikan konflik atau pertikaian yang terjadi antar pasien dibutuhkan proses akomodassi dengan bantuan chief yang bertugas untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahi robbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan keselamatan kepada kita semua hingga saat ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah SAW sebagai suri tauladan kita menuju jalan yang di ridhoi Allah SWT.

Berkat rahmat dan ridho Allah SWT penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan judul “Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA Pada

Program Therapeutic Community Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata

Satu (S1) pada program Studi Kesejahteraan Sosial, Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak menemui kesulitan terutama dalam mengumpulkan data-data yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Namun, dengan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan, walaupun penulis menyadari dari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah memberi banyak dukungan, baik dukungan moril maupun dukungan materil. Dengan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikannya. Ucapan terima kasih tersebut terutama kepada:


(7)

iii

1. Pertama-tama saya panjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan pemikiran yang jernih kepada penulis, karena berkat rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya skripsi yang dibuat dapat terselesaikan, karena Penulis sadar tanpa rahmat dan hidayah-Nya, Penulis bukanlah apa-apa.

2. Yang terhormat dan terkasih orang tua penulis yaitu Bapak Adi Sukirno dan Ibu Ngatinah atas kasih sayang, do’a, bimbingan, dan motivasinya yang selalu diberikan kepada penulis. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan karunia dan nikmat yang tiada henti sebagai balasan yang telah diberikan kepada penulis.

3. Bapak Ismet Firdaus, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah baik, selalu support dan sabar membimbing penulis dengan memberikan nasehat dan saran yang tidak akan penulis lupakan, karena atas semua itulah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Siti Napsiyah, M.SW dan Bapak Ahmad Zaky, M.Si sebagai Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial dan Sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kesejahteraan Sosial dan seluruh Dosen Staff Pengajar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat sebagai bekal untuk meraih cita-cita dimasa depan dan seluruh Staff Usaha serta Staff Perpustakaan Fakultas


(8)

iv

Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Staff Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Kepada Bapak Dr. Laurentius Panggabean, SpKJ, MS selaku Direktur Utama Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta yang telah mengijinkan penulis untuk dapat melakukan penelitian di RSKO Jakarta.

8. Kepada Bapak Agus Darmawan, S.Sos selaku Pembimbing di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Bapak Syarifhudin, S.Sos yang selalu memberi arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tidak lupa kepada para Konselor dan Seluruh Pasien NAPZA di Rehabilitasi Halmahera House yang telah banyak membantu penulis.

9. Untuk adiku tersayang Bunga Dewi Arum Sari dan Adam Zamalludin yang selalu memberikan motivasi, dan mendo’akan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Spesial untuk Agung Setiyawan, ST terima kasih untuk kesabaran, waktu, tenaga, materi, dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini sehingga dapat memacu dan menyemangati penulis. Semoga Allah SWT selalu meridhoi langkah kita kedepannya.

11.Untuk Sahabat-sahabat penulis yakni Asisah, Ilmawati Hasanah, Nur hikmah, Syarifah Lubna Asseggaf dan Epidasari terima kasih telah memberikan banyak kesan, semangat, do’a serta canda tawa kepada penulis. Terima kasih selalu ada untuk penulis saat suka maupun duka, terima kasih selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan


(9)

v

terima kasih untuk semua yang telah diberikan selama ini. Peluk cium untuk kalian.

12.Untuk Teman-teman Penulis Juwita Deca Ryane, Fifi Nurmagfiroh, Ayu Ratna Sari dan Seluruh Teman-teman Kessos 2010 terima kasih atas kebersamaan kalian.

13.Terakhir, kepada pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya atas semua ini, penulis mendo’akan semoga Allah SWT membalas jasa-jasa mereka sesuai dengan amal dan perbuatan yang telah diberikan dan harapan penulis semoga penulisan skripsi ini ada manfaat baik untuk Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, maupun bagi masyarakat pada umumnya. Aamiin yaa Rabbal’alamin

Ciputat, September 2014


(10)

vi

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metodologi Penelitian ... 9

1. Pendekatan Penelitian ... 9

2. Jenis Penelitian ... 10

3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

4. Sumber Data ... 11

5. Teknik Pemilihan Informan ... 12

6. Teknik Pengumpulan Data ... 13

7. Teknik Analisa Data ... 15

8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 15

9. Tinjauan Pustaka ... 18

10.Pedoman Penulisan Skripsi ... 20

E. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II KAJIAN TEORI A. Interaksi Sosial ... 22

1. Pengertian Interaksi Sosial ... 22

2. Syarat-Syarat Interaksi Sosial ... 24

3. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial ... 27

4. Faktor-Faktor Yang Mendasari Interaksi Sosial ... 32

B. Pasien NAPZA ... 36

1. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya ... 36


(11)

vii

2. Penyebab Penyalahgunaan Narkotika ... 39

3. Dampak Penyalahgunaan NAPZA ... 41

4. Pasien Napza ... 42

a. Pengertian Pasien ... 42

C. Metode Therapeutic Community ... 43

1. Pengertian Metode ... 43

2. Konsep Therapeutic ... 44

3. Karakteristik Metode Therapeutic Community ... 48

4. Nilai-Nilai di dalam Metode Therapeutic Community ... 50

5. Terapi Kelompok ... 51

BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA A. Latar Belakang Berdirinya RSKO Jakarta ... 56

B. Visi dan Misi RSKO Jakarta ... 59

C. Program Lembaga ... 60

1. Perencanaan Program ... 60

2. Rencana Jangka Pendek, Menengah dan Panjang... 60

3. Teknik Perencanaan ... 61

4. Monitoring dan Evaluasi ... 71

D. Jangkauan Layanan ... 72

1. Deskripsi Target Layanan ... 72

2. Penjangkauan dan Perekrutan ... 72

3. Kriterian Pemilihan Pasien ... 73

E. Sarana dan Prasarana ... 73

BAB IV TEMUAN DATA DAN ANALISIS INTERAKSI SOSIAL ANTAR PASIEN NAPZA PADA PROGRAM THERAPUTIC COMMUNITY A. Hasil Temuan... 75

1. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA pada Program Therapeutic Community Tahap Fase Primary ... 75

a. Kerja Sama (Coorperation)... 75

b. Persaingan (Competition) ... 85

c. Pertikaian (Conflict) ... 89

d. Akomodasi (Accomodation)... 96

2. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA pada Program Theraputic Community Tahap Fase Re-Entry ... 98


(12)

viii

B. Analisis Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA Pada

Program Theraputic Community ... 110

1. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA Pada Program Theraputic Community... 110

a. Kerja Sama (Coorperation) ... 111

b. Persaingan (Competition) ... 112

c. Pertikaian (Conflict) ... 113

d. Akomodasi (Accomodation) ... 115

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Teknik Pemilihan Informan

Tabel 2 : Jadwal Kegiatan Pasien Primary di RSKO Jakarta Tabel 3 : Jadwal Kegiatan Pasien Re-Entry di RSKO Jakarta

Tabel 4 : Jumlah Konselor dan Pasien Rehabilitasi di RSKO Jakarta

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Tempat Penelitian.

Gambar 2 : Tempat Instalasi Rehabilitasi Halmahera House di RSKO Jakarta. Gambar 3 : Tempat yang di Pakai Dalam Kegiatan Morning Meeting.

Gambar 4 : Tempat untuk Group Lecture, Profesional session, Religius class. Gambar 5 : Tempat untuk Group Confrontation, Na meeting, Encounter. Gambar 6 : Kegiatan Function.

Gambar 7 : Tempat untuk Berolah Raga.

Gambar 8 : Tempat atau Ruangan Kamar Pasien.


(14)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

NAPZA kini merupakan salah satu masalah yang serius, tidak saja pada tingkat lokal dan nasional melainkan juga pada tingkat internasional. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun penyalahgunaan NAPZA semakin meningkat.

Pada awalnya NAPZA hanya digunakan sebagai alat bagi ritual keagamaan di samping itu juga dipergunakan untuk pengobatan. Adapun jenis NAPZA pertama yang digunakan pada mulanya adalah candu atau lazim disebut sebagai madat atau opium.1 Namun di sisi lain, penggunaan NAPZA dapat menyebabkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.2

Terkait dengan penyalahgunaan NAPZA, di Indonesia telah terjadi peningkatan yang cenderung tajam. Data terbaru dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 jumlah kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia terus merangkak naik. Pada tahun 2009 tercatat ada 2.112.503 kasus. Lalu tahun berikutnya naik lagi menjadi 2.222.100 kasus,

1 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternative Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, (Malang: Umum Press, 2009), h.3.


(15)

kenaikan itu semakin bertambah dan yang terakhir pada tahun 2013 jumlah penyalahguna semakin bertambah menjadi 2.578.524 kasus.3

Permasalahan NAPZA di Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah. Awal mula nya muncul pada tahun 1969, lalu pada tahun 1975 pemerintah menyatakan jumlah penyalahgunaan narkotika terdapat 5000 orang. Selanjutnya, pada tahun 1990 atau 15 tahun kemudian dinyatakan jumlahnya meningkat menjadi 85.000 orang dan terus bertambah dengan seiring berjalannya waktu. Ibarat gunung es, kasus penyalahgunaan NAPZA tampak yang berada di permukaan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak tampak. Dengan kata lain artinya bila ada satu yang menyalahgunakan NAPZA berarti ada sepuluh orang lain di belakangnya yang mengkonsumsinya.4

NAPZA sudah seharusnya diperangi dengan dua sudut yaitu yang pertama, supply reduction dan yang kedua adalah demand reduction. Upaya supply reduction adalah upaya penegakan hukum, pencegahan penyelundupan dan peredaran narkotika. Sedangkan upaya demand reduction adalah lebih kepada upaya di bidang prevensi, terapi dan juga rehabilitasi.5 Dari penelitian yang dilakukan oleh Dadang Hawari telah dapat dibuktikan bahwa sebenarnya seorang penyalahguna/ketergantungan NAPZA adalah seorang yang mengalami gangguan kejiwaan, orang yang sakit dan seorang pasien yang memerlukan pertolongan terapi serta rehabilitasi. Penyalahgunaan NAPZA

3 “Kasus Narkoba di Indonesia Naik Tajam, “ artikel ini diakses pada tanggal 14-april-2014 “http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/kasus-narkoba-di-Indonesia-naik-tajam.html.

4Dadang Hawari, AL-QUR’AN Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), cet. Ke-3, h.236-265.


(16)

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang akan berdampak pada kriminalitas, disabilitas, morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu seyogyanya penanganan seorang penyalahguna/ketergantungan NAPZA adalah dengan melakukan rehabilitasi.6

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah Al-Maidah/5 ayat 90 berikut:

َ ﱡ َأ َ ُِ َ ْ َ ِن َ ْ ﱠ ا ِ َ َ ْ ِ ٌ ْ ِر ُم َ ْزَ ْ"اَو ُب َ%ْ&َ ْ"اَو ُ'ِ(ْ َ ْ اَو ُ'ْ َ)ْ ا َ ﱠ&ِإ ا+ُ َ َآ َ ِ-ﱠ ا ُه+

َن+ُ/ِ0ْ1ُ2 ْ3ُ4ﱠ0َ5َ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum arak, khamar, berjudi, berkurban tentang berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kamu mendapat keberuntungan”. (Qs. Al-Maidah ayat 90)

Penyalahgunaan NAPZA adalah penyalahgunaan salah satu atau beberapa jenis narkotika secara berkala atau teratur di luar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.7

Dalam hal ini diharapkan pemerintah dapat menangani permasalahan NAPZA dengan serius agar dapat meminimalisir penyalahguna yang kian bertambah. Perlu penanganan khusus yang dilakukan untuk menangani pengguna NAPZA. Menjalani rehabilitasi adalah tindak lanjut yang dianjurkan pemerintah kepada pengguna NAPZA agar penyalahguna dapat memantapkan kepribadian untuk bisa kembali bersosialisasi dengan masyarakat. Dijelaskan rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan

6 Ibid, h.2-3

7 Astwin, Pengertian Narkoba, artikel ini diakses pada tanggal 20-februari-2014 dari http://astwin.Blogspot.com/2009/03-pengertian-narkoba.


(17)

mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna atau ketergantungan NAPZA agar kembali sehat, dalam arti fisik, psikologis, sosial dan spiritual keagamaan.8 Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan NAPZA wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Berbagai program rehabilitasi NAPZA menjadi salah satu langkah yang serius dalam penanganan penyalahgunaan NAPZA. Adanya program rehabilitasi di Indonesia sesuai dengan pasal 1 butir 16 UU No. 35/2009 tentang narkotika yang menyebutkan bahwa rehabilitasi medis adalah suatu kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan NAPZA. Dan butir lainnya tentang narkotika adalah pasal 1 butir 17 UU No. 35/2009 menyatakan bahwa rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental, maupun sosial agar mantan pecandu NAPZA dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.9

Rehabilitasi pada pengguna NAPZA menjadi penting karena seseorang yang telah menyalahgunakan NAPZA akan mengalami penurunan dan kerugian. Antara lain, merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, perubahan mental dan prilaku anti sosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan kesehatan, mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas, dan tindakan

8 Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan Ketergantungan Napza, (Jakarta: FKUI, 2000), h.132.


(18)

kekerasan lainnya baik yang kuantitatif maupun kualitatif dan akhirnya kematian sia-sia.10

Resiko psikososial penyalahgunaan NAPZA akan mengubah seseorang menjadi pemurung, pencemas, depresi, paranoid dan mengalami gangguan jiwa yang akan menimbulkan sikap bodoh, tidak perduli dengan penampilan, sekolah, rumah, menjadi pemalas serta tidak ada sopan santun dan tidak peduli dengan norma masyarakat, hukum dan agama. Resiko psikososial NAPZA selanjutnya dapat mengganggu kemampuan pengguna dalam berinteraksi sosial, baik di lingkungan keluarga, teman maupun masyarakat sekitarnya. Dengan adanya gangguan-gangguan yang diderita oleh pecandu, akan ada halangan bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi secara sosial di masyarakat, padahal interaksi sosial bagi seorang individu sangat penting untuk menjalankan sebuah hubungan sosial yang dinamis dan menjalankan fungsi serta peranannya. Sedangkan dalam proses rehabilitasi, interaksi sangat dibutuhkan karena dapat membantu para pengguna dalam beradaptasi dengan pengguna lainnya di dalam proses pemulihan. Interaksi sosial yang dibangun di dalam tempat rehabilitasi akan dapat membantu para pengguna untuk menjadi bahan perbandingan ketika keluar nanti bisa atau tidaknya mereka berinteraksi sosial dengan baik di masyarakat. Sebab apabila interaksi sosialnya tidak berjalan dengan baik di tempat rehabilitasi kemungkinan besar ketika pengguna berinteraksi dengan masyarakat juga tidak akan berjalan baik atau tidak wajar.

10 Dadang Hawari, AL-QUR’AN Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), cet. Ke-3, h.242.


(19)

Terapi rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA semakin tumbuh dan berkembang di masyarakat baik melalui sistem rumah sakit, panti ataupun tempat keagamaan. Salah satu program penanganan bagi korban penyalahgunaan NAPZA yang profesional dan dibutuhkan pada saat ini adalah penerapan program Therapeutic Community (TC), yaitu sistem pelayanan terpadu di dalam tempat rehabilitasi.

Metode Therapeutic Community mulai berkembang pada tahun 1963 dengan didirikannya Daytop Village di New York Amerika Serikat dan sekarang telah berkembang di 63 negara.11 Therapeutic Community pada mulanya ditunjukan untuk pasien-pasien psikiatri yang dikembangkan sejak perang dunia kedua. Asal mulanya therapeutic community adalah kelompok synanon di Amerika Serikat yaitu self-help group atau kelompok kecil yang saling membantu dan mendukung proses pemulihan yang awalnya sangat dipengaruhi oleh gerakan alcoholic anonymous. Therapeutic community adalah metode rehabilitasi sosial yang di tunjukan kepada korban penyalahgunaan NAPZA, yakni sebuah keluarga yang terdiri atas orang-orang yang mempunyai masalah sama dan memiliki tujuan yang sama yaitu menolong orang lain untuk menolong dirinya sendiri sehingga terjadi perubahan tingkah laku di dalam diri pecandu. Tujuan dari TC adalah merubah tingkah laku pecandu dari tingkah laku negatif ke arah tingkah laku yang positif.12 Metode therapeutic community cukup berhasil di laksanakan di

11 Ayu Oktaviani, Skripsi (Lingkungan Fisik Rumah Rehabilitasi Pengguna Narkoba dengan Metode Therapeutic Community : Studi Kasus di UNITRA Lido BNN dan FAN Campus), Fakultas Teknik UI, 2010.

12 Winanti, “Pendahuluan Therapeutic Community (TC)”, artikel diakses pada 13 November 2014 dari lapas narkotika.file.wordpress.com/2008/07 therapeutic


(20)

luar negeri, sebanyak 80% pasien NAPZA berhasil bertahan pada kondisi terbebas dari zat dalam waktu yang cukup lama, apabila pasien berhasil mengikuti tahapan sampai dengan selesai. Atas dasar keberhasilan tersebut maka Kementrian Kesehatan RI mempertimbangkan untuk menerapkan dan menggunakan metode therapeutic community dalam merehabilitasi pecandu NAPZA.13

Salah satu tempat rehabilitasi yang berada dibawah pengawasan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang menggunakan metode therapeutic community adalah Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta yang terletak di jalan Lapangan Tembak No. 75 Cibubur, Jakarta Timur. Awal mula penerapan metode therapeutic community sendiri pada tahun 2003, dan sampai dengan sekarang sudah hampir 75% metode tersebut berhasil digunakan untuk pemulihan pasien dari ketergantungan terhadap NAPZA di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta.14 Dengan adanya metode tersebut diharapkan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta tidak hanya mampu membantu para pengguna NAPZA bebas dari ketergantungannya tetapi juga dapat membantu memulihkan kondisi psikososial mereka dari tingkah laku negatif ke arah tingkah laku yang positif, dengan begitu pasien NAPZA dapat membangun interaksi sosialnya dengan baik di lingkuan keluarga, teman maupun masyarakat.

Berkaitan dengan hal di atas maka peneliti tertarik untuk membahas bagaimana interaksi sosial yang dilakukan antar pasien NAPZA pada program

13 Ayu Oktaviani, Skripsi (Lingkungan Fisik Rumah Rehabilitasi Pengguna Narkoba dengan Metode Therapeutic Community : Studi Kasus di UNITRA Lido BNN dan FAN Campus), Fakultas Teknik UI, 2010.

14

Wawancara Pribadi dengan Kepala Konselor di Unit Rehabilitasi RSKO Jakarta, Jakarta 21 November 2014.


(21)

therapeutic community dengan judul “Interaksi Sosial Antar Pasien NAPZA

Pada Program Therapeutic Community di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta “.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah dan memperjelas permasalahan yang akan dibahas, dalam penulisan skripsi ini penulis hanya memfokuskan penelitian pada interaksi sosial yang dijalani antar pasien NAPZA pada program Theraputic Community.

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan adalah bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program therapeutic coomunity?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program Therapeutic Community.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: a. Manfaat teoritis


(22)

1) Memberi sumbangan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai interaksi sosial yang terjadi di dalam program Therapeutic Community antar pasien NAPZA.

2) Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya pada kajian yang sama tetapi pada ruang lingkup yang lebih luas dan mendalam tentang interaksi sosial pada program Therapeutic Community.

b. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pasien NAPZA dalam membangun interaksi sosial antar pasien program therapeutic community.

D. Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan strategis umum yang dipakai dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlakukan guna menjawab permasalahan yang diselidiki. Penggunaan metodologi ini dimaksudkan untuk menentukan data valid, akurat dan signifikan dengan permasalahan sehingga dapat digunakan untuk mengungkapkan permaslahan yang diteliti.

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaiamana interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA pada program theraputic community di RSKO Jakarta. Peneliti berusaha memahami dan mendeskripsikan interaksi sosial yang terjadi antar pasien pada program


(23)

therapeutic community. Oleh karena itu, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Sebagaimana yang di ungkapkan Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Lexy J. Moelong, bahwa pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.15

Berbagai data yang diperoleh dari wawancara, observasi maupun dokumentasi yang penulis dapatkan dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian akan diolah sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai bagaimana interaksi sosial yang terjadi pada saat mengikuti therapeutic community di RSKO Jakarta.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat untuk mengungkapkan fakta.16

Jadi gambaran yang dipaparkan secara objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Oleh karena itu dibutuhkan data-data sebagai penguat dalam penelitian tersebut. Data yang di kumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.17 Data dalam penelitian ini dapat

15 Lexy J. Moelong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), Cet Ke-15, h.4.

16

Hadari Nawawi, Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), Cet Ke-11, h.3.

17 Lexy J. Moelong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2006), h.11.


(24)

berasal dari wawancara catatan lapangan, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya.

3. Tempat dan Waktu Penelitian

a. Tempat Penelitian

Penelitian pada skripsi ini dilakukan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta. Yang beralamat di jalan Lapangan Tembak Raya No.75 Cibubur, Jakarta Timur. Alasan penulis memilih tempat tersebut adalah penulis ingin meneliti tentang bagaimana interaksi sosial yang terjadi antar pasien NAPZA pada program Theraputic Community yang berbasis rumah sakit atau medis. Dan juga jarak yang tidak terlalu jauh bagi peneliti.

b. Waktu Penelitian

Peneliti akan melakukan penelitian ini pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2014.

4. Sumber Data

Untuk menetapkan sumber data, peneliti mengklasifikasinnya berdasarkan jenis data yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data, yaitu:

a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian, yaitu Kepala unit Rehabilitasi, Konselor dan para Pasien NAPZA dan pihak Lembaga.

b. Sumber data sekunder, diperoleh melalui catatan-catatan, dokumen, foto maupun benda-benda tertulis lainnya yang berhubungan dengan penelitian.


(25)

5. Teknik Pemilihan Informan

Sesuai karakteristik penelitian kualitatif, dalam pemilihan informan penelitian ini dipilih dengan sengaja atau non random (purposive sampling), yaitu sample yang ditarik dengan sengaja.18

Dimana pada teknik purposive sampling tersebut dimaksudkan untuk memberikan keluluasaan kepada peneliti dalam menyeleksi informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Yang terpenting di sini bukanlah jumlah informan khususnya, melainkan potensi dari tiap kasus untuk memberikan pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai aspek yang dipelajari.

Dalam penelitian ini, terdapat informan utama dan informan pendukung. Beberapa kriteria informan yang menjadi sasaran terkait dengan penelitian yaitu:

Kriteria untuk pemilihan residen adalah: a. Pasien NAPZA Program Reguler

b. Pasien Laki-laki

c. Pasien yang Berusia 20-30 Tahun

Pasien NAPZA program reguler adalah pasien yang sedang menjalani proses rehabilitasi pada program therapeutic community karena dapat memberikan pendapat mengenai bagaimana interaksi sosial yang terjadi dalam program tersebut. Pasien laki-laki di pilih karena pasien laki-laki berada dalam fase primary dan re-entry. Dan pasien yang berusia 20-30 tahun agar lebih terarah dan tidak berbeda-beda.

18 Lexy J. Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), h.224.


(26)

6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang objektif maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data yang bersifat kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Observasi (pengamatan)

Observasi adalah usaha untuk memperoleh dan mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan langsung dilapangan terhadap suatu kegiatan secara akurat, serta mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hungan antara aspek dalam fenomena tersebut.19 Peneliti melakukan pengamatan dilapangan dengan cara mengumpulkan data-data lapangan serta data-data yang ada.

b. Wawancara

Wawancara yaitu peneliti mengumpulkan data yang diperoleh dari pengajuan secara lisan kepada informan. Wawancara dengan semua informan di lakukan di RSKO Jakarta dengan catatan tulisan tangan.

Tabel 1

Pengambilan Informan

Adapun yang akan di wawancarai adalah, yaitu:

No Informan Info yang dicari Jumlah Metode

Pengumpulan Data

19

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi, (Jakarta: LPSP3-UI, 1998), Cet Ke-1, h.62.


(27)

1. Pekerja Sosial (PEKSOS) dan Kepala Konselor di Unit

Rehabilitasi Halmaher House RSKO Jakarta

Gambaran program

Therapeutic Community dan Pelaksanaannya.

2 Org Wawancara bebas, terstruktur,

dokumen dan

observasi.

2. Konselor di RSKO

Jakarta

Temuan data tentang

pelaksanaan program

therapeutic community dan kemajuan para pasien saat berinteraksi sosial dengan hasil yang dicapai.

4 Org Observasi

langsung dan wawancara.

3. Klien Aktivitas pasien di tempat rehabilitasi serta perubahan yang dirasakan.

4 Org Observasi

langsung dan wawancara.

Jumlah 10 Org

Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data dari sumber langsung tentang masalah yang akan diteliti. Wawancara ini akan dilakukan secara bebas, tetapi tetap menggunakan pedoman wawancara agar pertanyaan yang terarah.

c. Studi Kepustakaan (Library Reseacrh)

Studi kepustakaan yaitu peneliti mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai macam bentuk data tertulis baik yang berupa data tentang interaksi sosial pada program therapeutic community, pasien NAPZA serta hasil penelitian di perpustakaan yang dapat dijadikan bahan analisa untuk hasil


(28)

dalam penelitian ini. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data yang telah didokumentasikan dalam buku.

7. Teknik Analisis Data

Analisis mempunyai kedudukan yang sangat penting jika dilihat dari tujuan penelitian. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensikannya, mencai dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di pelajari, dan memutuskan apa yang dapat di ceritakan kepada orang lain.20

Bedasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan penelitian yaitu mengenai bentuk-bentuk interaksi sosial pada program therapeutic community. data seputar interaksi sosial pada program TC peneliti dapatkan ketika mengikuti program TC. Setelah mengumpulkan, lalu menyusun, menyajikan, kemudian menganalisis dan menyimpulkan.

8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Data yang digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian. Untuk menjaga keabsahan data dalam penelitian ini diperlukan teknik pemeriksaan.

Adapun teknik yang digunakan untuk menjaga keabsahan data adalah sebagai berikut:

1. Kriteria Kredibilitas/Kepercayan

20 Lexy J. Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007). Edisi Revisi, h.28.


(29)

Fungsi kriterium kredibilitas ini adalah untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai, kemudian mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh penulis pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.

Kriterium kredibilitas ini menggunakan dua tehnik pemeriksaan, yaitu:

a. Ketekunan Pengamatan

Dimaksudkan untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu dalam penelitian ini dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan kata lain, penulis mengadakan pengamatan kepada subjek penelitian yaitu para pasien program reguler di RSKO Jakarta. Sehingga data yang didapat benar-benar valid, objektif dan saling mendukung, untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut (triangulasi).

b. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Hal tersebut dapat dicapai melalui: (a) membandingkan data hasil wawancara dengan pengamatan penelitian. Misalnya


(30)

peneliti membandingkan hasil wawancara subyek penelitian dengan hasil temuan pengamatan lapangan. (b) membandingkan keadaan dan persepektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain. (c) membandingkan hasil wawancara dengan hasil dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Wawancara tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.21

2. Kriterium Kepastian

Mengutip pendapat Scriven, yang menyatakan bahwa masih ada unsur ‘kualitas’ yang melekat pada konsep objektivitas. Hal ini dapat digali, dari pengertian bahwa jika sesuatu objektif, berarti dapat dipercaya, faktual dan dapat dipastikan. Dari sini peneliti dapat membuktikan bahwa data-data yang diperoleh dari hasil rekaman wawancara informan dan observasi terhadap subyek penelitian.

Kepastian dengan teknik pemeriksaan audit, kepastian auditor dalam hal ini ialah objektif atau tidak tergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat dan penemuan seseorang. Dapatlah dikatakan bahwa pengalaman seseorang itu subjektif, sedangkan jika disepakati oleh beberapa orang barulah dapat dikatakan objektif.

21 Lexy J. Moelong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006), h.331.


(31)

9. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini sebelum peneliti mengadakan penelitian lebih lanjut kemudian menyusunnya menjadi sebuah karya ilmiah, maka langkah-langkah awal yang peneliti akan lakukan adalah mengkaji terlebih dahulu terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu. Setelah peneliti melakukan suatu kajian kepustakaan, peneliti akhirnya menemukan beberapa hasil penelitian yang membahas tentang narkotika. Di antaranya adalah hasil penelitian karya Mohammad Khafid Rossid

(104052001988) mahasiswa jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam dengan judul “Efektifitas Konseling pada Rehabilitasi NAPZA di

Rumah Sakit Khusus Darma Graha BSD”. Dalam karya tersebut

menjelaskan bagaimana efektifitas dari konseling untuk korban NAPZA, namun dalam karya tersebut tidak menjelaskan kegiatan apa saja yang dilakukan untuk melihat efektifitas atau tidak layanan konseling di Rumah Sakit tersebut. Dan yang menjadi pembeda antara skripsi ini dengan skripsi peneliti adalah peneliti hanya terfokus kepada interaksi sosial yang dilakukan antar pasien NAPZA pada program therapeutic community dan bukan berpusat kepada konselingnya atau bukan melihat bagaimana penanganan pengguna NAPZA seperti penelitian-penelitian sebelumnya.

Selanjutnya penulis juga dapat membandingkan pada judul skripsi “Gambaran Interaksi Sosial Pada Anak dengan Kesulitan Belajar

(Studi Deskriptif Pada 3 Siswa dengan Kesulitan Belajar di SD Pantara)”. Yang disusun oleh Sabrina Alya Paramitha (0606096534)


(32)

mahasiswi jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Dalam skripsi tersebut berisi tentang gambaran mengenai interaksi sosial pada anak dengan kesulitan belajar dan juga berisi tentang hambatan apa saja yang terjadi dalam berkomunikasi pada anak dengan kesulitan belajar. Sedangkan yang menjadi pembeda antar skripsi tersebut dengan penulis adalah penulis membahas tentang bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program theraputic community tetapi dalam hal ini skripsi tersebut juga dijadikan penulis untuk menjadi referensi pada pembuatan pedoman wawancara bagi informan.

Selanjutnya tinjauan pustaka lain yang peneliti gunakan adalah skripsi karya Nina Riyanti Januarita (108052000014) Mahasiswa jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 dengan jdul skripsi “Interaksi Sosial Para Pengguna

NAPZA Dalam Mengikuti Metode Therapeutic Community Di Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP), Galih Pakuan Putat Nutug-Bogor”

dalam karya tersebut menjelsakan bagaimana interaksi sosial para pengguna NAPZA dalam mengikuti metode therapeutic community dan juga menjelaskan tentang faktor penghambat dan pendukung pada metode tersebut. Dan yang menjadi pembeda dalam karya tersebut dengan karya penulis adalah dalam skripsi ini penulis menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien NAPZA pada program TC yang di dalamnya mencangkup kerja sama, persaingan, pertentangan/pertikaian, dan juga akomodasi.


(33)

Dan terakhir adalah hasil penelitian karya Tino Hapsoro Tertanto dengan judul “Gambaran Status Depresi Pada Pecandu

Narkoba Yang Berada Dalam Pusat Rehabilitasi (12 Step dan Therapeutic Community)”. Dalam karya mahasiswa jurusan Psikologi

Universitas Indonesia ini fokus pembahasannya mengenai status depresi pecandu narkoba di pusat rehabilitasi dan yang menjadi pembeda antara skripsi ini dengan skripsi peneliti adalah peneliti hanya terfokus kepada interaksi sosial yang terjadi antar pasien napza pada program therapeutic community.

10. Pedoman Penulisan Skripsi

Untuk tujuan mempermudah, tehnik penulisan yang dilakukan dalam skripsi ini merujuk pada buku pedoman penulisan kaya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai pedoman penulisan skripsi ini.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahsan dalam skripsi ini penulis menguraikan dalam beberapa BAB, yaitu:

BAB I, Pendahuluan, yang membahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan peumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. BAB II, Menguraikan landasan teori, yang mencangkup pengertian interaksi


(34)

NAPZA, pengertian therapeutic community, teori dalam Therapeutic Community, dan karakteristik Therapeutic Community. BAB III, Gambaran Umum Lembaga, menjelaskan tentang profil lembaga, yang mencangkup latar belakang berdirinya, visi dan misi. Sarana dan prasarana, dan struktur organisasi.

BAB IV, Memaparkan gambaran umum program Theraputic Community di RSKO Jakarta, temuan analisa yakni, bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial antar pasien pada program Therapeutic Community. BAB V, Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari

semua permasalahan yang ada dalam skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(35)

22

KAJIAN TEORI

A. Interaksi Sosial

1. Pengertian Interaksi Sosial

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di antara mahluk-mahluk lainnya. Berbeda dengan mahluk lain yang biasanya mahluk tersebut secara keseluruhan perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya. Hewan tidak perlu menentukan apa yang harus dimakannya atau diperbuatnya karena hal itu diatur oleh naluri. Sedangkan manusia merupakan mahluk tak berdaya karena dilengkapi oleh naluri yang relatif tidak lengkap. Oleh sebab itu, manusia kemudian mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri. Manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan yang lainnya, karena satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan saling membutuhkan. Manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan masyarakat yang lainnya agar dapat mengerti dengan apa yang diinginkan orang lain.22

Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan antar perseorangan, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial merupakan kunci dalam sendi-sendi kehidupan sosial karena tanpa berlangsungnya proses interaksi tidak mungkin terjadi aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara

22 Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Persepktif Islam, (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), h.50.


(36)

sederhana interaksi sosial dapat terjadi apabila dua orang saling bertemu, saling mengatur, saling berkenalan dan saling mempengaruhi. Pada saat itulah interaksi sosial terjadi.23

Menurut Bimo Walgito dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sosial mengatakan bahwa Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain, atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian disini dalam arti luas, yaitu bahwa individu dapat meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan.24

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa, Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia.25 Sedangkan menurut Bonner mengemukaan bahwa, Interaksi sosial ialah suatu hubungan antara dua orang atau lebih sehingga kelakuan

23 Ibid, h.57. 24

Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: CV Andi Offset,2003). H.65.

25 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.61.


(37)

individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain dan sebaliknya.

Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan dua orang atau lebih yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga terjadinya suatu hasil yang dapat dicapai bersama.

Dalam mempelajari interaksi sosial digunakan pendekatan tertentu, yang dikenal dengan nama interactionist perspective. Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik (symbolic interactionism). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George dan Herbet Mead. Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.26

2. Syarat-Syarat Interaksi Sosial

Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi terjadinya suatu interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi. Terjadinya suatu kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut. Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah bila seseorang memberikan tafsiran pada sesuatu.27

26

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h.35.

27 J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2007), h.16.


(38)

Dalam buku sosiologi yang berjudul Sosiologi Sebuah Pengantar karya Yusran Razak juga menjelaskan secara rinci bahwa suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat sebagai berikut:

1. Adanya kontak sosial (Social Contact).

Kata kontak berasal dari bahasa latin, yaitu con atau cum (bersama-sama) dan tango (menyentuh) jadi artinya bersama-sama menyentuh. Kontak sosial mempunyai dua sifat. Yang pertama bersifat primer, artinya terjadi apabila hubungan diadakan secara langsung yang berhadapan muka. Yang kedua bersifat sekunder artinya suatu kontak memerlukan suatu perantara.

Kontak sosial dapat terjadi melalui dua cara. Cara yang pertama adalah verbal/gestural, yaitu kontak yang terjadi melalui saling menyapa, saling berbicara, dan berjabat tangan. Cara kedua adalah non verbal/non-gestural yaitu kontak yang tidak mepergunakan kata kata-atau bahasa melainkan dengan adanya isyarat.

2. Adanya komunikasi (communication)

Arti terpenting komunikasi adalah seseorang memberikan tafsiran pada prilaku orang lain. Tafsiran tersebut dapat berwujud melalui pembicaraan, gerak-gerik badan atau sikap perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. 28


(39)

Komunikasi melalui syarat-syarat sederhana adalah bentuk paling elementer dan yang paling pokok dalam komunikasi. Karakteristik dari komunikasi manusia adalah mereka tidak terbatas hanya menggunakan isyarat-isyarat fisik sebagaimana halnya dilakukan binatang. Di dalam berkomunikasi manusia menggunakan kata-kata, yakni simbol-simbol suara yang menganduk arti bersama dan bersifat standar. Dalam hal ini, tidak perlu selalu ada hubungan yang intristik antara satu bunyi tertentu dengan respon yang disimbolkan. Simbol di sini berbeda dengan tanda. Makna sebuah tanda biasanya identik dengan bentuk fisiknya dan dapat di tangkap dengan panca indera, sedangkan simbol bisa abstrak.29

Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Interaksi sosial baru bisa berlangsung apabila dilakukan minimal dua orang atau lebih.

b. Adanya interaksi dari pihak lain atas komunikasi dan kontak sosial.

c. Adanya hubungan timbal balik yang saling mempengruhi antara satu dan yang lainnya.

d. Interaksi cenderung bersifat positif, dinamis, dan berkesinambungan.

e. Interaksi cenderung menghasilkan penyesuaian diri bagi subjek-subjek yang menjalin interaksi.

29 J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2007), h.17.


(40)

f. Berpedoman pada norma-norma atau kaidah-kaidah secara acuan dalam interaksi.30

3. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

Berlangsungnya suatu proses interaksi menurut Soerjono Soekanto didasarkan pada berbagai bentuk, antara lain dapat berupa kerja sama (coorperation), persaingan (competition), pertentangan/pertikaian (conflict) dan juga akomodasi (accomodation).

a. Kerja sama (coorperation)

Kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial, dimana di dalamnya terdapat aktifitas tertentu yang ditunjukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami terhadap aktifitas masing-masing.31

Bentuk dan pola-pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok manusia. Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa kanak-kanak didalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Atas dasar itu, anak tersebut akan menggambarkan bermacam-macam pola kerja sama setelah menjadi dewasa. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam

30

Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Persepkitf Islam, (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), h.59.

31 Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h.156.


(41)

perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama, supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.32

Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in group-nya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out group-nya). Kerja sama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah tertanam didalam kelompok, dalam diri seseorang atau segolongan orang. Kerja sama dapat bersifat agresif apabila kelompok dalam jangka waktu yang lama mengalami kekecewaan akibat perasaan tidak puas, karena keinginan-keinginan pokoknya tak dapat terpenuhi oleh karena adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok itu. Keadaan tersebut dapat menjadi lebih tajam lagi apabila kelompok demikian merasa tersinggung atau dirugikan sistem kepercayaan atau dalam salah satu bidang agresif dalam kebudayaan. Betapa pentingnya fungsi kerja sama, digambarkan oleh Charles H. Cooley sebagai berikut33 :

“Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang bersama”.

32 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.72.


(42)

Sehubungan dengan pelaksanaan kerja sama, ada lima bentuk kerja sama, yaitu:

1. Kerukunan yang mencangkup gotong royong dan tolong menolong.

2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih. 3. Ko-optasi, yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru

dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan. 4. Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang

mempunyai tujuan-tujuan sam. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu, karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktur yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi karena maksud utama adalah untuk mencapai satu tujuan bersama, maka sifatnya adalah kooperatif.

5. Joint-ventrue, yaitu kerja sama dalam perusahaan proyek-proyek tertentu. Misalnya, pemboran minyak, pertambangan batu bara, perfilman, perhotelan dan seterusnya.34

b. Persaingan (competition)

Persaingan merupakan suatu usaha dari seseorang untuk mencapai sesuatu yang lebih dari pada yang lainnya. Sesuatu itu bisa

34 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.74-75.


(43)

berbentuk harta benda atau popularitas tertentu. Persaingan biasanya bersifat individu, apabila hasil dari persaingan itu dianggap cukup untuk memenuhi kepentingan pribadi. Akan tetapi apabila hasilnya dianggap tidak mencukup bagi seseorang, maka persaingan bisa terjadi antar kelompok, yaitu antara satu kelompok kerja sama dengan kelompok kerja sama yang lainnya. Dengan kata lain, bahwa terjadinya persaingan oleh karena ada perasaan atau anggapan seseorang bahwa ia akan lebih beruntung jika tidak bekerja sama dengan orang lain. Orang lain dianggap dapat memperkecil hasil suatu kerja. Persaingan ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu persaingan pribadi dan persaingan kelompok. Persaingan pribadi adalah persaingan yang berlangsung antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok secara langsung. Sedangkan persaingan kelompok adalah persaingan yang berlangsung antara kelompok dengan kelompok.

Menurut Soedjono Dirdjosisworo, persaingan merupakan suatu kegiatan yang berupa perjuangan sosial untuk mencapai tujuan, dengan bersaing terhadap yang lain, namun secara damai atau setidak-tidaknya tidak saling menjatuhkan.35

c. Pertikaian atau Pertentangan (conflict)

Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang secara negatif, artinya di satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk menyingkirkan pihak lainnya. Singkatnya pertikaian dapat diartikan sebagai usaha penghapusan keberadaan

35 Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan,(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), h.157.


(44)

pihak lain. Menurut Soedjono, pertikaian adalah suatu bentuk dalam interelasi sosial dimana terjadi usaha-usaha pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain, atau berusaha mengenyahkan yang lain yang menjadi rivalnya. Hal ini terjadi mungkin karena perbedaan pendapat antara pihak-pihak tersebut. Pertikaian ini bisa berhubungan dengan masalah-masalah ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya. Kemudian menurut Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa “pertentangan adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan”.

Kendatipun demikian, pertikaian tidak selamanya disertai kekerasan bahkan ada pertikaian yang berbentuk lunak dan mudah untuk dikendalikan misalnya pertentangan antara orang-orang dalam seminar, dimana perbedaan pendapat bisa diselesaikan secara ilmiah atau sekurang-kurangnya tidak emosional.36

d. Akomodasi (accomodation)

Akomodasi adalah suatu keadaan hubungan antara kedua belah pihak yang menunjukan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi sebenarnya suatu bentuk proses sosial yang merupakan perkembangan dari bentuk pertikaian, dimana masing-masing pihak melakukan penyesuaian dan berusaha mencapai kesepakatan untuk tidak saling

36Abdulsyani, Sosiologi Skematika, Teori Dan Terapan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), h.158.


(45)

bertentangan. Menurut Soerjono Soekanto dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar mengatakan bahwa, “akomodasi adalah suatu keadaan dimana suatu pertikaian atau konflik, mendapat penyelesaian, sehingga terjalin kerja sama yang baik kembali”. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu: yang pertama untuk mengurangi pertentangan orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai perbedaan paham. Akomodasi disini bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru. Yang kedua untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan, untuk sementara waktu atau secara temporer. Yang ketiga akomodasi terkadang diusahakan untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial yang sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, hidupnya terpisah seperti halnya yang dijumpai pada msayarakat-masyarakat yang mengenai sistem berkasta. Dan yang keempat mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti yang luas.37

4. Faktor-Faktor Yang Mendasari Interaksi Sosial

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.


(46)

faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.38

1. Faktor Imitasi

Imitasi berasal dari kata imitation, yang berarti peniruan. Meskipun manusia memiliki pola dasar masing-masing yang uni (individualis), tetap saja dalam diri manusia ada keinginan untuk meniru seperti orang lain atau kelompok. Dengan demikian imitasi merupakan proses seseorang mencontoh orang lain atau kelompok.

Faktor imitasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif dimana misalnya, yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Kecuali dari pada itu imitasi juga dapat melemahkan atau bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.39

2. Faktor Sugesti

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi akan tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya

38

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 63.

39 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.63


(47)

sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, hal mana menghambat daya berpikirnya secara rasional.

Proses sugesti terjadi apabila orang yang memberikan pandangan adalah orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya yang otoriter. Kiranya mungkin pula bahwa sugesti terjadi oleh sebab yang memberikan pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan atau masyarakat.40

3. Faktor Identifikasi

Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Indentifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar), maupun dengan disengaja oleh karena seringkali memerlukan tipe-tipe ideal tertentu didalam proses kehidupannya. Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain (yang menjadi idealnya), sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku dalam pihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan menjiwainya. Nyatalah bahwa berlangsungnya identifikasi mengakibatkan terjadinya pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam ketimbang proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan

40


(48)

bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali oleh imitasi dan sugesti.

Menurut Polak, identifikasi berjalan lebih jauh dari pada simpati. Dengan demikian dimaksudkan bahwa orang dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tetapi identifikasi seolah-olah diri kita sendiri yang menjadi dia. Seseorang yang mengidentifikasikan diri dengan orang lain biasanya akan menirunya, merasa simpati dengannya dan terkena sugestinya. Tetapi sebaliknya, imitasi, simpati dan sugesti tidak perlu disertai dengan identifikasi.41

4. Faktor Simpati

Proses simpati sebenarnya merupakan proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Inilah perbedaan utamanya dengan identifikasi yang didorong oleh keinginan-keinginan untuk belajar dari pihak lain yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati karena mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tertentu yang patut dijadikan contoh. Proses simpati akan dapat berkembang didalam suatu keadaan dimana faktor saling mengerti dan terjamin.

Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun

41 Polak Mayor, Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas, (Jakarta: PT. Ikhtiar, 1979), h.68.


(49)

didalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembeda tegas antara faktor-faktor tersebut. Akan tetapi dapatlah dikatakan bahwa imitasi dan sugesti terjadi lebih cepat, walau pengaruhnya kurang mendalam bila dibandingkan dengan identifikasi dan simpati yang secara relatif agak lebih lambat proses berlangsungnya.42

B. Pasien NAPZA

1. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adikitif Lainnya) a. Pengertian Narkotika

Narkotika berasal dari bahasa inggris “narcitics” yang berarti obat yang menidurkan atau obat bius.43

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Narkotika adalah obat untuk menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa ngantuk atau rangsangan (opium, ganja, dsb).44Kemudian Departemen Agama RI, Mengungkapkan bahwa Narkotika adalah bahan atau zat aktif yang bekerja pada sistem syaraf, dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan rasa sakit, dan dapat pula menyebabkan ketergantungan atau adiksi. Jenis-jenisnya adalah putaw, ganja, kokain, morfin, hasish dan opium.45

42

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 64.

43 S. Warjowarsito dan Tito W, Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, (Bandung: 1998), h.122.

44

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h.609.

45 Departemen Agama RI, Penyalahgunaan Narkoba Oleh Masyarakat Sekolah, (Jakarta: 2003), h.4.


(50)

Dalam buku A. Kadarmanta menurut pasal 1 butir (1) Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika (UU No.22/1997): Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.46

b. Pengertian Psikotropika

Psikotropika merupakan salah satu zat yang dapat digunakan untuk pengobatan dan dapat berbahaya jika digunakan dengan dosis yang berlebihan.

Di dalam buku Penggunaan Penyalahgunaan NARKOBA Oleh Masyarakat Sekolah, Psikotropika adalah zat atau bahan yang bekerja pada sistem syaraf pusat, dapat menyebabkan perubahan pada aktifitas mental dan prilaku, dan dapat menyebabkan ketergantungan atau adiksi. Jenis-jenisnya yaitu ekstasi, shabu-shabu, LSD, pil BK, rohypnol, magadon, valium, mandrax.47

Kemudian Hari Sasangka mengungkapkan bahwa

“Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan, atau pengalaman”.48

Adapun jenis-jenis psikotropika berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 psikotropika dibedakan menjadi empat golongan, yaitu:

46 Gatot Sumpramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007), h.159. 47

Departemen Agama RI, Penggunaan Penyalahgunaan NARKOBA Oleh Masyarakat Sekolah, (Jakarta:2003), h. 4.

48 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Jakarta:Mandar Maju, 2003), cet. Ke-1, h.125-126.


(51)

1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat yang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang yang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan sindroma ketergantungan.49

Dari beberapa pengertian diatas penulis memahami bahwa psikotropika merupakan zat yang bisa menjadi obat untuk pengobatan jika digunakan dalam dosisi yang sesuai akan tetapi akan menjadi zat yang dapat merusak susunan sistem syaraf pusat jika dikonsumsi secara berlebihan.


(52)

c. Pengertian Zat adiktif Lainnya

Hari Sasangka menjelaskan bahwa “zat-zat adiktif lainnya yaitu selain narkotika dan selain psikotropika. Penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan, contohnya adalah rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan, cafein pada kopi dan jamur pada tahi sapi”.50

2. Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Ketika seseorang memutuskan untuk mengkonsumsi NAPZA terdapat beberapa penyebab yang ditemukan sehingga seseorang sering mengkonsumsinya. Menurut Dadang Hawari yang terdapat didalam bukunya, terdapat tiga faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA ditinjau dari sudut pandang psikodinamik, yaitu: faktor predisposisi, faktor kontribusi dan faktor pencetus.

a. Faktor predisposisi

Merupakan gangguan kepribadian (anti sosial), kecemasan dan depresi. Seseorang dengan gangguan kepribadian tidak mampu untuk berfungsi secara wajar dan efektif dalam menjalani kehidupan sehari-hari atau bergaul dengan lingkungan sosial. Untuk mengatasi ketidakmampuan berfungsi secara wajar dan untuk menghilangkan kecemasan dan depresinya itu maka orang cenderung menyalahgunakan NAPZA. Upaya ini dimaksudkan untuk mencoba mengobati dirinya sendiri atau sebagai bentuk pelarian.

50 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Mandar Maju, 2003), cet. Ke-1, h.43.


(53)

b. Faktor kontribusi

Merupakan kondisi keluarga yang terdiri dari tiga komponen, yaitu keutuhan keluarga, kesibukan keluarga dan hubungan interpersonal antar keluarga. Seseorang yang berada dalam kondisi keluarga yang tidak baik akan merasa tertekan dan ketertekanan itu dapat menjadi faktor penyerta bagi dirinya sendiri terlibat dalam penyalahgunaan NAPZA.

Kondisi keluarga yang tidak baik atau disfungsi keluarga yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Keluarga tidak utuh. 2. Kesibukan orang tua.

3. Hubungan interpersonal yang tidak baik. c. Faktor pencetus

Merupakan pengaruh teman kelompok sebaya dan NAPZA itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Hawari menyebutkan bahwa pengaruh kelompok teman sebaya mempunyai andi sebesar 81,3 % bagi seseorang yang terlibat penyalahgunaan NAPZA. Sedangkan tersedianya dan mudahnya NAPZA diperoleh mempunyai andil 88 % bagi seseorang yang terlibat penyalahgunaan NAPZA.51

Ditinjau dari pendekatan kesehatan jiwa, pemakai zat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

51 Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA : Narkotika, Alkohol dan Zat adikitif lain, (Jakarta: FKUI, 2006), h. 24-29.


(54)

a. Experimental Use, yaitu pemakaian zat yang tujuannya ingin mencoba, sekedar memenuhi rasa ingin tahu.

b. Sosial Use, disebut juga recreational use yaitu penggunaan zat-zat tertentu pada waktu resepsi (minum wishky) atau untuk mengisi waktu senggang (merokok) atau pada waktu pesta ulang tahun atau waktu berkemah (menghisap ganja bersama teman-teman).

c. Situasional Use, yaitu penggunaan zat pada saat mengalami ketegangan, kekecewaan, kesedihan dan sebaginya dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.

d. Abuse atau penyalahgunaan, yaitu suatu pola penggunaan yang bersifat patologik, paling sedikit satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan fungsi sosial.

e. Dependent Use, yaitu bila sudah dijumpai toleransi dan gejala putus zat bila pemakaian zat dihentikan atau dikurangi dosisnya.52

3. Dampak Penggunaan NAPZA

Pemakaian NAPZA dapat mengakibatkan dampak yang negatif terhadap penggunanya, terutama bila dilakukan dengan cara disalahgunakan. Selain merusak kesehatan dampak lain adalah kecanduan. Kecanduan menyebabkan prilaku obsesif komplusif, artinya pengguna harus terus menerus menggunakan NAPZA untuk menghindari rasa sakit. Kemudian terhadap ekonomi dampak penggunaan NAPZA semakin besar.

52 Satya Joewana, Gangguan Penggunaan Zat : Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif Lain, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 13-14.


(55)

Dampak kesehatan bagi penyalahgunaan NAPZA terdiri dari dampak langsung karena zat aktifnya, baik kesehatan fisik aupun kesehatan psikis. Seperti HIV, Hepatitis C, rusaknya organ-organ tubuh. Dan secara psikis NAPZA merusak hubungan sosial dan perubahan kejiwaan.53

4. Pasien NAPZA

a. Pengertian Paisen

Kata pasien berasal dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dari Bahasa Inggris. Patient diturunkan dari bahasa latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya menderita.54

Ada beberapa pengertian pasien yang penulis kutip dari beberapa buku, berikut uraian pengertian pasien:

1) Menurut Christine Brooker dalam bukunya Kamus Saku Perawat:

a. Pasien adalah penderita penyakit yang mendapatkan penanganan medis dan/atau asuhan keperawatan.

b. Klien yang memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan.55 2) Menurut Barbara F. Weller dalam buku Kamus Saku Perawat,

pasien adalah orang yang sakit atau yang menjalani pengobatan karena menderita penyakit.56

53 A. Kadarmata, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta: Forum Media Utama, 2010), h. 54-56.

54

Wikipedia,“Pengertian Pasien”,artikel ini diakses 17 Juli 2014 dari http://wikipedia. Org.id/2014/0116/Index.html.

55 Christine Brooker, Kamus Saku Keperawatan, (Jakarta: EGC, 2001), h. 309 56 Barbara F. Weller, Kamus Saku Perawat, (Jakarta: EGC, 2005), h.508.


(56)

3) Menurut Bahder Djohan, paisen adalah seseorang yang menderita penyakit jasmaniah maupun rohaniah.57

Dari beberapa pengertian pasien diatas penulis dapat menarik kesimpulan, pasien adalah seseorang yang menderita suatu penyakit baik jasmaniah maupun rohaniah yang mendapatkan pengobatan dan perawatan medis. Dalam hal penyakit pasien ada penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya tetapi umumnya setiap penderita memerlukan bantuan dari seorang dokter dan seorang perawat.58

C. Therapeutic Community 1. Pengertian Metode

Metode atau cara sering sekali didengar dimanapun, karena dalam berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan kita selalu menggunakan metode atau cara baik dalam kehidupan yang sederhana maupun yang sulit sekalipun.

Sedangkan metode secara etimologi adalah berasal dari dua kata yaitu meta artinya melalui dan hodos artinya jalan atau cara. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methados (jalan). Dalam pengertian yang lebih luas, metode bisa pula diartikan sebagai “segala sesuatu atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan”.59

57 Bahder Djohan, Hubungan Antara Dokter, Perawat, dan Pasien Dalam Pembangunan Mental Bangsa Kita, (Jakarta: PT.Sinar Hudaya, 1972), h.15.

58 Ibid., h. 15-16.

59 M. Lutfi, Dasar-Dasar Bimbingan dan Penyuluhan (Konseling) Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h.120.


(57)

Dari beberapa pengertian diatas penulis dapat dipahami bahwa pengertian metode yang dimaksud adalah cara atau jalan dengan sistematis untuk mencapai hasil yang sempurna.

2. Konsep Therapeutic

Kata terapi sering sekali didengar dalam berbagai bentuk pengobatan dan penyembuhan baik pengobatan medis ataupun non medis. Dan terapi telah banyak digunakan dipusat-pusat penelitian, rehabilitasi, rumah sakit dan Departemen Kesehatan.

Secara etimologi perkataan “terapi” berasal dari bahasa Inggris, yakni “therapy” dan dalam bahasa Indonesia dimaknai dengan “pengobatan, perawatan dan penyembuhan”. Sedangkan dalam kamus istilah Konseling dan Terapi, therapeutic ialah menunjuk pada sifat menyembuhkan atau menyehatkan.60

Untuk pertama kalinya program Therapeutic Community atau yang biasa disebut TC di implementasikan oleh James Moerono pada tahun 1934, yang disebut juga sebagai Bapak dari Psychodrama. TC juga di implementasikan oleh Maxwell Jones pada tahun 1952 untuk orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Program TC pertama kali dijalankan untuk sebuah rehabilitasi ketergantungan obat di Amerika bagi para pecandu pengguna jarum suntik, sebagai akibat gagalnya terapi yang selama ini telah diberikan oleh sebuah rumah sakit.61

60

Andi Mapiare A.T, Kamus Istilah Konseling dan Terapi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.334.

61Instalasi Rehabilitasi Halmahera House RSKO Jakarta, Walking Paper Reguler Program.


(58)

Menurut Satya Joewana dalam bukunya Gangguan Penggunaan Zat : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya:

“Therapeutic Community adalah suatu bentuk terapi sosial atau terapi milieu, orang-orang berkumpul untuk tinggal bersama dan bekerja bersama-sama dengan tujuan yang sama yaitu mendapat terapi. Dimana anggotanya mendapat kesempatan untuk mengubah sifat-sifatnya dari yang belum terlepas dari ketergantungan menjadi lepas. Dalam therapeutic communty pasien merupakan faktor yang aktif dalam terapi”.62

Dalam jurnal penelitian dari Gouw Aij Lien, “therapeutic community adalah sebagai pusat perawatan dan rehabilitasi untuk gangguan kecanduan zat yang menyediakan berbagai kelompok untuk memfasilitasi perubahan yang positif dan meningkatkan proses pemulihan untuk klien kecanduan”.63 Kemudian jurnal David dan Wendi mengemukakan bahwa:

“Model therapeutic community diterapkan dengan kedua pengaturan yaitu pasien rawat dan pasien jalan. Komunitas ini mengadakan terapi filsafat umum bhawa lingkungan dari lingkungan theraputik dalam dan dari dirinya sendiri merupakan bagian terpenting dari pemulihan. Prinsip dari therapeutic community adalah tanggung jawab diri sendiri, pembuatan keputusan bersama dan komunikasi terbuka serta keyakinan bahwa setiap anggota masyarakat, staff dan pasien lama adalah agen dalam pemulihan”.64

Therapeutic Community merupakan salah satu teknik penyembuhan atau rehabilitasi. TC adalah kumpulan atau komunitas dengan masalah yang sama tinggal ditempat yang sama, memiliki seperangkat peraturan, filosofi, norma dan nilai yang semuanya dijalankan

62 Satya Joewana, Gangguan Penggunaan Zat : Narkotika, Alkohol dan zat adiktif lain, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 121.

63 Gouw Aij Lien, Group Psychotherapies For Subtance Addiction Client in Therapeutic Community Setting, Psikomedia – Jurnal Psikologi Maranatha, Vol. 5 No. 5, September 2008.

64 David dan Wendi, Treating post-traumatic stress disorder in a therapeutic community: the experience of Canadian psychiatric hospital, tehrapeutic community : the journal international for therapeutic community and supportive organization 21 (2) : 105-118 summer 2000.


(1)

3. Tempat berlangsungnya kegiatan Morning Meeting

Gambar diatas merupakan ruangan atau tempat yang biasanya dipakai oleh pasien Primary untuk melaksanakan kegiatan morning meeting setiap hari senin sampai dengan jum’at pukul 08.00-10.00. morning meeting merupakan pertemuan yang dilakukan setiap pagi dan dihadiri oleh seluruh anggota rumah yang bertujuan sebagai pembuka hari yang selalu dipimpin oleh mayor (staff) yang bertugas. Dalam kegiatan ini membutuhkan kerja sama antara pengatur rumah yang bertugas dengan seluruh anggota rumah agar kegiatan morning meeting bisa berjalan dengan baik.

Dalam kegiatan morning meeting terdapat beberapa tahapan diantaranya yang pertama adalah feeling check (yakni bagaiamana perasaan yang dirasakan saat ini), lalu announcement (yakni pemberitahuan atau pengumuman yang tujuannya memberi informasi baik untuk komunitas maupun individu), selalunjutnya pull up (yakni satu perangkat untuk membantu kesadaran/daya ingat dalam rumah serta sebagai mata dan telinga rumah. Dilakukan dengan menuliskan berbagai macam hal yang ada dalam rumah yang dinilai tidak sesuai), berikutnya adalah pemberian motivasi lalu pemberian penghargaan (biasanya untuk anggota rumah yang rajin/anggota rumah yang perubahannya memberikan pengaruh yang positif kepada anggota rumah lainnya), setelah itu second half (biasanya diisi dengan obrolan-obrola kecil sambil merokok), memberikan berita lalu seluruh anggota rumah memberikan tanggapan


(2)

untuk tema hari ini dan yang terakhir ditutup dengan membacakan doa kedamaian oleh seluruh anggota rumah. Dalam kegiatan ini biasanya posisinya dengan membentuk lingkaran oleh seluruh anggota rumah termasuk mayor yang bertugas.

4. Gambar 4 Tempat atau Ruangan untuk Group (Lecture Group, Profesional Sesson, dan Religius Class).

Gambar diatas merupakan ruangan atau tempat untuk berbagai kegiatan group yakni diantaranya lecture group (lecture group merupakan work shop yang berisi tentang berbagai hal yaang berhubungan dengan adiksi). Lalu profesional session (berisi seminar tentang kesehatan oleh tenaga medis yang bertugas di RSKO Jakarta), selanjutnya religius class (yang berisi tentang ceramah keagamaan oleh Peksos).

5. Gambar 5 Tempat atau Ruangan yang di Gunakan Untuk Kegiatan Confrontation Group, Na Meeting, dan Encaounter Group.


(3)

Gambar diatas merupakan tempat atau ruangan yang dipakai untuk kegiatan confrontation group (yang merupakan group dimana berisi untuk mempertanggung jawabkan permohonan yang dilakukan misalnya kenaikan fase dan juga mengevaluasi seluruh pasien oleh mayor dan membahas prilaku negatif, mengungkapkan masalah yang dialami oleh pasien serta mencari solusinya. Bertujuan untuk membantu para pasien agar mampu melihat prilaku negatif yang ada di sekitar mereka kemudian merenungkan dan dipecahkan masalah yang ada secara bersama-sama), lalu ada na meeting (kegiatan yang berisi tentang pengalaman terdahulu dari anggota rumah dengan cara sharing) dan selanjutnya adalah kegiatan encounter group (dimana seluruh anggota rumah berhak mengeluarkan perasaan yang ingin diungkapkan terhadap pasien lain).


(4)

Gambar diatas merupakan kegiatan function yang dilakukan oleh seluruh anggota rumah. Function merupakan kegiatan untuk melatih para pasien hidup sehat dan juga selalu menjaga kebersihan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari pada saat pagi dan sore hari.

7. Gambar 7 Tempat untuk Kegiatan Berolah Raga.

Gambar diatas merupakan tempat atau fasilitas untuk para pasien melakukan kegiatan olah raga. Bertujuan untuk menyehatkan fisik para pasien setelah fisik mereka rusak karena mengkonsumsi NAPZA.


(5)

Gambar diatas merupakan tempat atau ruang kamar yang digunakan oleh para pasien.di dalam ruangan ini terdiri dari 5 orang dalam satu ruangan.


(6)

Gambar diatas merupakan tempat atau ruangan yang biasanya dipakai untuk makan bersama oleh pasien atau seluruh anggota rumah. Dalam kegiatan ini bertujuan untuk membangun kerja sama dan interaksi yang baik dengan seluruh anggota keluarga.