Peristiwa Tutur Prinsip Kerja Sama

terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis antara penutur dan lawan tutur Leech, 1983 dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:10-12.

2. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur speech event adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu Abdul Chaer, Leonie Agustina, 2004:47. Menurut Dell Hymes suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah : a Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. b Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. c End, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. d Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. e Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. f Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register. g Norm of Interaction and Interpretaton, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. h Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya Dell Hymes dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:48-47.

3. Prinsip Kerja Sama

Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat didalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu Allan, 1986 dalam I Dewa Putu Wijana 1996:45. Apabila orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang lain diharapkan menangkap apa hal yang dikemukakan. Dengan adanya dua tujuan ini, maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara secara wajar termasuk volume suara yang wajar. Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud tertentu, tetapi penutur harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama. Grice 1975 mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan convertation maxim, yakni: a maksim kuantitas maxim of quantity, yaitu maksim yang menghendaki setiap pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. b maksim kualitas maxim of quality, yaitu maksim yang mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. c maksim relevansi maxim of relevance, yaitu maksim yang mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. d maksim pelaksanaan maxim of manner, yaitu maksim yang mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, dan tidak berlebihan, serta runtut Grice, 1975 dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:46-50.

E. Teori Kesantunan Berbahasa