Tindak Tutur Meminta Izin

3. Tindak Tutur Meminta Izin

Meminta izin adalah menginginkan sesuatu kepada orang lain agar sesuatu tersebut dikabulkan. Jadi tindak tutur meminta izin, adalah tindak pertuturan yang disampaikan oleh penutur agar mitra tutur tersebut mengizinkan terhadap apa yang dikehendaki penutur. Untuk menggambarkan tindak tutur tersebut dapat dilihat pada contoh berikut. Konteks tuturan : Bratasena meminta izin kepada Pandhita Durna, karena ingin segera mencari tirta pawitrasari. Bentuk tuturan : B : Yen pancen ngono, Bapa Guru aku njaluk pamit sarta njaluk pangestumu Bapa Guru. ‘Jika memang demikian, Bapa Guru aku minta ijin serta minta doa restumu Bapa Guru.’ PD : Ooh lhadalah ha ha ha. Ya, kanthi santosane atimu Bratasena, muga- muga kalakon panjangkamu ngger, Bratasena. ‘Ooh lhadalah ha ha ha. Ya, dengan kekuatan hatimu semoga tercapai keinginanmu nak, Bratasena.’11 Tuturan tersebut terjadi antara Bratasena P dengan Pandhita Durna MT. Keduanya berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan status sosial, Pandhita Durna berkedudukan lebih tinggi karena seorang guru sedangkan Bratasena hanya seorang murid. P dengan rendah hati meminta izin kepada gurunya agar diizinkan segera berangkat mencari tirta pawitrasari. MT nampaknya memberi izin, yaitu dengan mengatakan “Ya, kanthi santosane atimu Bratasena, muga-muga kalakon panjangkamu ngger, Bratasena.” ‘Ya, dengan kekuatan hatimu semoga tercapai keinginanmu nak, Bratasena.’. Dengan mengatakan tuturan tersebut, MT telah memberikan izin kepada P untuk segera berangkat mencari tirta pawitrasari. Frasa njaluk pamit ‘minta izin’ merupakan penanda lingual dari TT meminta izin. Dalam hal ini yang meminta izin adalah seorang murid yang berstatus sosial lebih rendah. Jadi kehadiran frasa tersebut sangat mutlak, karena apabila tidak hadir, tuturan yang disampaikan penutur akan bermakna lain. Dalam tuturan tersebut status sosial menjadi faktor penentu tindak tutur meminta izin walaupun penutur tidak mematuhi Prinsip Kesantunan skala jarak sosial, karena telah mengatakan sesuatu dengan cara memakai ragam ngoko. Hal ini terjadi karena tingkat keakraban yang tinggi antara Bratasena dengan Durna, walaupun status sosial mereka berbeda yaitu antara murid dengan guru. Konteks tuturan : Bratasena meminta izin agar bisa tetap tinggal di guwa garbaning ‘perut’ Dewaruci. Bentuk tuturan : DR : Bratasena aja kaget cahya mancorong maneka warna iku. Iku minangka pratandha lamun sira wis kasembadan mbingkas harbane hawa nepsu lumantar laku sembah raga, sembah cipta, sembah rasa lan sembah jiwa. ’Bratasena jangan terkejut dengan cahaya yang berkilauan beraneka warna itu. Itu adalah pertanda bahwa kamu sudah bisa membuang hawa nafsu melalui sembah raga, sembah cipta, sembah rasa dan sembah jiwa.’ B : Waah bingah manah kula, menawi tetela mekaten dipunparengna kula mapan wonten ing ngriki selaminipun. ’Waah senang hati saya, apabila begitu izinkan saya berada di sini selamanya.’ DR : Aja ngger, iku durung wancine. ’Jangan nak, itu belum saatnya.’12 Tuturan tersebut terjadi antara Bratasena dengan Dewaruci, dilakukan dalam situasi serius. Keduanya berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan status sosial dan jarak sosial, Dewaruci berkedudukan lebih tinggi karena Dewaruci adalah dewa dan berusia lebih tua dibandingkan dengan Bratasena. Pokok pembicaraan di antara keduanya yaitu membicarakan tentang keinginan Bratasena agar bisa tetap tinggal di guwa garbaning ’perut’ Dewaruci. P dengan rendah hati memohon kepada MT agar diperkenankan tinggal di guwa garbaning ’perut’ Dewaruci. Dengan mengatakan ”Aja ngger, iku durung wancine.” ’Jangan nak, itu belum saatnya.’, MT tampak tidak menyetujui keinginan P. Kata ”dipunparengna” ’diizinkan’ merupakan penanda lingual dari TT meminta izin. Seandainya kata tersebut dilesapkan, maka yang terjadi adalah TT memberitahu. Dalam hal ini yang meminta izin adalah seorang murid yang berstatus sosial lebih rendah. Jadi kehadiran kata tersebut sangat mutlak, karena bila tidak hadir, tuturan yang disampaikan P akan bermakna lain. Faktor yang mempengaruhi terjadinya TT meminta izin adalah faktor tujuan pertuturan. Dalam hal ini P bermaksud ingin tetap tinggal di dalam guwa garba ’perut’ Dewaruci karena merasa lebih bahagia, akan tetapi MT tidak mengizinkannya. Selain itu faktor status sosial juga ikut menguatkan terjadinya TT meminta izin. Konteks tuturan : Sengkuni meminta izin kepada Pandhita Durna karena ingin melacak kepergian Bratasena. Bentuk tuturan : S : Sing baku kula ajeng nututi Bratasena, kula buktekake lelakon iki. ’Yang paling utama saya mau mengikuti Bratasena, saya buktikan tindakan ini.’ PD : Mangga mawon, mangga Dhi Sengkuni, ning samad sinamadan kebak ing pengati-ati. ‘Silakan saja, silakan Dik Sengkuni, tapi tetap waspada dan tetap berhati-hati.’ S : Nyuwun pamit kakang. ‘Minta ijin kakak.’13 Tindak tutur tersebut terjadi antara Pandhita Durna dengan Sengkuni, pokok pembicaraan di antara keduanya yaitu Sengkuni meminta izin kepada Pandhita Durna untuk melacak kepergian Bratasena. Berdasarkan jarak sosial, Pandhita Durna berkedudukan lebih tinggi karena usianya lebih tua daripada Sengkuni. Frasa “nyuwun pamit” ‘minta izin’ merupakan penanda lingual dari TT meminta izin. Nampaknya MT menanggapinya dengan sinis melalui tuturan “Mangga mawon, mangga Dhi Sengkuni, ning samad sinamadan kebak ing pengati-ati.” ‘Silakan saja, silakan Dik Sengkuni, tapi tetap waspada dan tetap berhati-hati.’. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya TT meminta izin adalah faktor isi tuturan. Selain itu, di dalam tuturan tersebut Pandhita Durna memanggil Sengkuni dengan sebutan Dhi yang berarti P berusia lebih muda daripada MT, sehingga faktor jarak sosial juga mempengaruhi terjadinya tuturan tersebut.

4. Tindak Tutur Menguji