1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya, akan mengalami banyak perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanak-
kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Diantara masa-masa tersebut ada masa yang disebut masa dewasa awal yang mana
merupakan masa yang paling lama dialami oleh seorang manusia dalam rentang kehidupannya Hurlock, 2000. Pada masa ini, individu memiliki salah satu tugas
perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan ikatan
pernikahan Huvigurst dalam Hurlock, 2000.
Pernikahan adalah hubungan yang diketahui secara sosial antara seorang pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, berproduksi memiliki anak,
adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, serta saling mengetahui tugas masing- masing sebagai suami dan istri Duvall Miller, 1985. Pernikahan juga dipahami
sebagai ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat
seksual dan menjadi lebih matang Papalia Olds, 1998. Pemilihan pasangan hidup biasanya cenderung dilakukan seseorang dengan
memilih pasangan yang mempunyai kesamaan antara dia dan pasangannya Sears,dkk, 1992, baik kesamaan dalam agama, hobi, sifat, bahasa, pola berpikir
bahkan adat istiadat. Hal ini disebut sebagai prinsip kesesuaian matching
Universitas Sumatera Utara
principle. Namun, perkembangan teknologi saat ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi walau dengan jarak yang cukup jauh, bahkan lebih dari sekedar
interaksi yang biasa, tetapi juga dapat memungkinkan terjadinya pernikahan campur Yoshida, 2008.
Pernikahan campur intercultural marriage dilatar belakangi dengan berbagai perbedaan, salah satunya adalah perbedaan kebangsaan Yoshida, 2008.
Pada pernikahan campur intercultural marriage yang berasal dari latar belakang budaya dan bangsa yang berbeda dikategorikan sebagai pernikahan antar bangsa
Maretzki dalam Tseng, 1977. Saat ini pernikahan campur antar bangsa sudah menjadi fenomena yang terjadi pada masyarakat modern dan merupakan dampak
dari semakin berkembangnya sistem komunikasi yang memungkinkan individu untuk mengenal dunia dan budaya lain McDemott Maretzki, 1977. Menurut
catatan dari organisasi yang mengatasi permasalahan pernikahan antar bangsa, yaitu Aliansi Pelangi Antar Bangsa APAB pada tahun 2009, menyebutkan bahwa
pada saat ini terdapat lebih dari 4200 wanita di Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing.
Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data terakhir masih belum dipublikasikan.
Berdasarkan data-data tersebut menunjukkan bahwa wanita Indonesia memiliki minat yang tinggi untuk menikah dengan pria asing. Minat ini cenderung
dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, dimana wanita Indonesia mempersepsikan pria asing memiliki kehidupan yang lebih dari cukup Erriyadi, 2007. Selain itu, dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Holilah 2005 menunjukkan bahwa alasan seorang wanita Indonesia menikah dengan pria kebangsaan asing barat karena
Universitas Sumatera Utara
mereka percaya bahwa menjadi istri pria asing dapat meningkatkan harga diri dan memperbaiki keturunan. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan WM
wanita, 35 tahun pada tanggal 28 November 2011, ketika ditanya alasan menikah dengan pria barat berkebangsaan Jerman :
Bunda seorang janda.. bunda itu alasan pertamanya hanya untuk ini yah memperbaiki kehidupan aja.. apa yah, hm.. memperbaiki masa depan aja dulu
pikirannya.. ya karena kebutuhan ekonomi. Dulu kan bunda janda dan hidup susah, jadi di dukung sama orang tua ya.. menikah saja dengan dia, kebutuhan
bisa tercukupi, dapat memperbaik kehidupan itu ya memperbaiki ekonomi, kebutuhan tercukupi, jadi masa depan pun terjamin, gitu lho.
Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011 Hal serupa juga terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan IN wanita, 33
tahun pada tanggal 28 November 2011, yang menikah dengan pria berkebangsaan Australia :
Jujur ya, saya mau menikah sama suami karena mau hidup berkecukupan dengan cepat, jadi itu keuangan gampang, nggak perlu susah lagi capek-capek
kerja. Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011
Orang bule itu banyak yang suka sama yang hitam-hitam kaya saya gini lah, pas pula ada yang mau, bagus lah ku pikir sekalian memperbaiki keturunan
lah biar nggak hitam kaya saya, kalo kaya bule-bule itu kan nanti jadinya cantik kaya artis-artis kita banyak yang indo, hehehe.. tertawa
Komunikasi Interpersonal, 28 November 2011 Berdasarkan wawancara diatas menunjukkan bahwa motivasi
\wanita Indonesia untuk menikah dengan pria asing khususnya pria barat adalah karena
ingin memperbaiki ekonomi dan keturunan. Namun, dibalik motivasi - motivasi tersebut sebenarnya perasaan cinta adalah alasan utama wanita Indonesia untuk
menjadi pendamping hidup pria asing, khususnya pria barat. Hal ini terlihat dari
Universitas Sumatera Utara
pengakuan IN wanita, 33 tahun yang menikah dengan pria berkebangsaan Australia selama dua tahun :
Diawal perkenalan dulu saya sudah suka, lama-lama cinta juga lah, nggak bisa di elakkan lah kalo cinta ini dek, itu lah yang jadi alasan kenapa saya mau
nikah sama dia. Kalo dulu saya bilang untuk memperbaiki ekonomi dan keturunan itu kan alasan mendukung lah untuk buat hidup saya jadi lebih
baik.
Komunikasi Interpersonal, 15 April 2012 Kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa cinta adalah salah satu hal
yang penting untuk menjadi alasan seseorang dalam memutuskan pernikahan, termaksud untuk menikah dengan pria asing barat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Roediger dkk 1987, yang menyatakan bahwa cinta diyakini sebagai salah satu bentuk emosi yang penting bagi manusia sehingga hampir semua
manusia pernah mengalami jatuh cinta dan membentuk hubungan intim dengan lawan jenisnya, salah satunya adalah hubungan pernikahan.
Tidak hanya pada wanita Indonesia yang memiliki minat yang tinggi untuk melakukan pernikahan antar bangsa, pada pria asing barat pun ternyata memiliki
alasan tertentu untuk menjadikan wanita Indonesia sebagai pendamping hidupnya. Alasan tersebut terlihat dari pengakuan LM 61 tahun pria berkebangsaan Jerman
yang menikah dengan WM selama 4 tahun : Saya menikahi dia karena saya tau kalau orang indonesia khususnya Jawa
terkenal dengan lemah lembut, luwes, ayu, keibuan, sayang, penuh perhatian, dan sopan santunnya yang mengesankan. Wanita seperti itu jarang saya temui
di negara kelahiran saya, bahkan gambaran kehidupannya pun berbeda. Ketika bertemu dengan dia saya merasa dia adalah wanita yang tepat untuk menjadi
istri yang akan terus menemani saya sampai akhir.
Komunikasi Interpersonal, 18 April 2012
Universitas Sumatera Utara
Alasan lainnya juga terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan FFN 43 tahun pria berkebangsaan Rusia yang menikah dengan NR 31 tahun wanita
Indonesia yang di nikahinya selama lima tahun : Saya sangat terkesan dengan wanita asia yang menghormati pria, dari
beberapa wanita asia khususnya Indonesia yang saya kenal mereka cenderung perhatian, pemalu dan keibuan, saya pikir itu kriteria ibu yang baik untuk
anak-anak saya. Hal ini lah yang menjadi alasan saya untuk menikahinya karena hal tersebut ada di istri saya. Tentu saja kriteria ini sulit ditemui di
negara saya karena kebanyakan mereka adalah wanita yang mandiri.
Komunikasi Interpersonal, 21 April 2012 Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kedua pria asing barat diatas
menunjukkan bahwa alasan pria asing barat menikahi wanita asia khususnya wanita Indonesia sebagai pendamping hidupnya adalah karena pria-pria tersebut
memiliki pandangan bahwa wanita Indonesia cenderung menghormati pria, keibuan, lemah lembut, penyanyang, penuh perhatian dan sopan santun, sehingga
dianggap sebagai kriteria yang tepat untuk dijadikan seorang istri dan ibu dibandingkan wanita barat yang mandiri.
Secara umum pernikahan yang terjadi dari penyatuan dua budaya atau latar belakang etnis yang berbeda banyak dijumpai di Indonesia. Hal ini sesuai dengan
penuturan McDermott dan Maretzki 1977 bahwa pernikahan beda budaya merupakan suatu hal yang biasa terjadi dalam masyarakat. Di Provinsi Sumatera
Utara, pernikahan campur Intercultural marriage khususnya pernikahan campur antar bangsa juga dapat ditemui. Hal ini terlihat dari data BPS Badan Pusat
Statistik pada tahun 2010, menunjukkan bahwa tercatat sebanyak 12,982,20 jiwa penduduk di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki keanekaragaman suku
bangsa, diantaranya adalah Melayu, Batak, Karo, Jawa, Tionghoa, India dan orang
Universitas Sumatera Utara
asing lainnya Barat. Artinya, tidak dapat dihindari bahwa akan banyak pernikahan campur Intercultural marriage yang terjadi, tidak hanya pada WNI
yang berbeda etnis, tetapi juga pernikahan antar bangsa pada WNI dengan WNA I dari budaya Barat yang ditemukan di provinsi ini khususnya di Kota Medan
BPS, 2010. Menjalani suatu hubungan dalam ikatan pernikahan tidak segampang seperti
menjalani hubungan ketika masih belum menikah Degenova, 2008. Banyak hal baru yang akan ditemukan oleh individu pada diri pasangannya saat menikah dan
individu harus mulai belajar untuk menerima pasangannya apa adanya. Terlebih jika pasangan pernikahan tersebut berasal dari latar belakang etnis dan budaya
yang berbeda, seperti pada wanita yang menikah dengan pria asing barat maka akan banyak di jumpai berbagai jenis perbedaan seperti nilai-nilai budaya, sikap,
keyakinan, prasangka, stereotype, dll Matsumoto, D. L. Juang, 2008. Selain itu,
melalui pernikahan ini, masing-masing pasangan juga dapat saling
memperkenalkan tradisi yang berlaku dalam kelompok budayanya Duvall, 1985. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada pernikahan campur antar bangsa
perbedaan budaya seringkali menjadi permasalahan yang mendasar dalam kehidupan pernikahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Abigail 2009, yang menunjukkan bahwa secara umum, wanita Indonesia yang menikah dengan pria berkebangsaan Inggris mengalami berbagai permasalahan di
dalam pernikahan, seperti kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural.
Universitas Sumatera Utara
Permasalahan pernikahan antar bangsa dapat dipahami karena pada masing-masing pasangan menganut kebudayaan yang berbeda. Pada kebudayaan
timur Indonesia lebih mengesankan kehidupan kolektif yaitu kekeluargaan dan lebih berdasarkan pada norma-norma yang ada pada lingkungan sekitar, sedangkan
pada kebudayaan barat biasanya lebih mengesankan kehidupan yang bebas dan individual Matsumoto Liang, 2006.
Dengan kata lain, dalam pernikahan seperti ini memiliki orientasi keluarga kolektif-individualistik.
Perbedaan orientasi budaya kolektif-individual di dalam pernikahan antar bangsa juga memiliki perbedaan dalam hal pola pengasuhan anak. Pada budaya
kolektif berorientasi pada extended family, dimana anak dibesarkan tidak hanya dari orang tua, namun orang yang tinggal bersama seperti nenek dan kakek yang
berkontribusi dalam pengasuhan. Selain itu anak juga diajak belajar untuk berpikir bahwa mereka adalah bagian dari kelompok, sedangkan pada budaya individual
didasarkan pada keluarga inti nuclear family, dimana anak diajarkan untuk menjadi mandiri sejak usia dini Hofstede, 2005. Hal ini dapat terlihat dari hasil
wawancara peneliti dengan WM wanita, 35 tahun pada tanggal 23 November 2011, yang menunjukkan adanya perbedaan pola asuh pada budaya kolektif-
individual: Perbedaannya sama kita Indonesia, kita lagi makan ya kan, kita suapin ke
anak kita dari piring kita kan gitu nggak masalah, jadi anak kita pingin nyobain punya mama punya papa
kalo sama dia itu nggak boleh anak
kecil itu selalu harus uda mandiri, umur dua tahun tiga tahun itu uda harus mandiri dia itu, pokoknya semuanya sendiri gitu.
Komunikasi Interpersonal, 23 November 2011
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa pola asuh pada budaya individual lebih mengajarkan anak menjadi mandiri dimulai dari usia dini.
Hal ini tergambar dalam pernyataan yang diberikan WM wanita, 35 tahun pada tanggal 23 November 2011 :
Cuman yang pasti mah pokoknya kalo kita makan sama-sama, anak itu nggak boleh pecicilan lah, nggak boleh kesana-kesini, duduk yang manis
gitu, nah terus makan makanan yang ada dipiring mu jangan liat orang, jangan pengen dari orang lain seperti itu, agak kasar gitu lho.
Komunikasi Interpersonal, 23 November 2011 Berdasarkan penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan yang berkaitan
dengan orientasi kolektif-individual yang muncul dalam penikahan antar bangsa, tentu saja menyebabkan pasangan harus melakukan penyesuaian pernikahan
dimana mereka mencoba mengubah perilaku dan hubungan untuk mencapai kesepakatan bersama dalam pernikahan mereka Degenova, 2008. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Inman dkk dalam Inman, Altman, Davidson, Carr Walker, 2011, yang menunjukkan bahwa salah satu konflik
pada pasangan pernikahan campur antar bangsa Asia india White Amerika
adalah sulitnya menghadapi perbedaan yang berkaitan dengan orientasi keluarga kolektif-individual, sehingga dibutuhkan penyesuaian pernikahan.
Penyesuaian pernikahan adalah proses memodifikasi, beradaptasi, dan mengubah individu, pola perilaku dan interaksi pasangan untuk mencapai
kepuasan maksimal dalam hubungan Degenova, 2008. Terkadang penyesuaian tertentu yang dilakukan bukanlah dianggap terbaik oleh seseorang, tapi hal itu
merupakan yang terbaik untuk dapat mencapai tingkat kepuasan tertinggi dalam pernikahan. Tentunya penyesuaian tidak lah bersifat statis dan bukan juga langkah
Universitas Sumatera Utara
yang diambil hanya sekali. Penyesuaian merupakan proses dinamis yang terus menerus terjadi pada kehidupan pernikahan pasangan Degenova, 2008.
Menurut Hurlock 2000, penyesuian pernikahan merupakan proses adaptasi antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik
dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri dan penting bagi kebahagiaan pernikahan, yaitu penyesuaian dengan pasangan,
penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan Hurlock, 2000. Setiap pernikahan tentunya membutuhkan
penyesuaian, begitu pula pada pernikahan antar bangsa antara wanita Indonesia dan pria asing barat. Hal ini tergambar dalam pernyataan yang diberikan NL
wanita, 29 tahun yang menikah selama tiga tahun dengan pria Inggris dan menunjukkan adanya penyesuaian dengan pasangan di dalam pernikahannya :
Menikah dengan orang asing merubah diri kita seperti yang saya rasakan. Kakak harus beradaptasi dengan budaya suami seperti belajar etika
budayanya. Misalnya, ketika makan harus rapi, tidak bersuara, sedangkan kakak dulu orangnya nggak bisa diam gitu. Terus selesai makan tidak boleh
bersendawa kalau pun bersendawa harus permisi dulu karena itu nggak sopan.
Komunikasi Interpersonal, 26 November 2011 Gambaran penyesuaian dengan pasangan juga terlihat dari hasil wawancara
peneliti dengan NR wanita, 31 tahun yang sudah menikah selama lima tahun dengan pria berkebangsaan Rusia :
Alhamdulillah, penyesuaian dengan suami nggak terasa sulit buat kakak, kebetulan kami punya sudut pandang yang selaras. Ada beberapa kesamaan
diantara kami seperti budaya yang ramah tamah dan senang bersilahturahmi. Hanya saja, suami kakak itu orangnya sangat disiplin dan tegas, jadi kakak
harus terbiasa untuk tidak telat atau pun lelet dalam melakukan hal yang
Universitas Sumatera Utara
sudah terjadwal seperti ke pesta atau jalan-jalan bersama. Yang seperti ini kan jarang ditemui di Indonesia.
Komunikasi Interpersonal, 14 Maret 2012 Kutipan wawancara di atas, merupakan beberapa gambaran penyesuaian
pernikahan terhadap pasangan yang dilakukan oleh wanita yang menikah dengan pria asing barat. Dalam kutipan wawancara diatas telihat bahwa NL dan NR
melakukan penyesuaian terhadap pasangannya dengan belajar memahami pasangannya terlebih dahulu dan menyesuaikan dirinya dengan keinginan suami.
Namun, pada NR terlihat bahwa penyesuainnya dengan pasangan dirasa tidak sulit karena memiliki beberapa keserupaan nilai. Selain penyesuaian terhadap pasangan,
wanita yang menikah dengan pria asing barat juga melakukan penyesuaian keuangan. Gambaran penyesuaian keuangan terlihat dari hasil wawancara peneliti
dengan WM wanita, 35 tahun yang sudah menikah selama empat tahun dengan pria berkebangsaan Jerman yang menunjukkan bahwa adanya penyesuaian dalam
mengelolah keuangan untuk kebutuhan hidup berumah-tangga : Suami bunda itu orangnya royal banget, apa-apa dibeli, sedangkan bunda
itu beli barang yah karena memang butuh barangnya. Makanya, kadang- kadang pusing kalau uang itu kesannya di hambur-hamburin. Jadi bunda
share kan ke suami tentang pengeluaran dan kita sepakat kalau mau beli sesuatu harus dikomunikasikan dulu dan uang bunda yang kelolah dan bunda
yang simpan.
Komunikasi Interpersonal, 23 November 2011 Penyesuaian selanjutnya yang dilakukan adalah penyesuaian terhadap
keluarga pasangan. Hal ini tergambar dari hasil wawancara peneliti dengan NR wanita, 31 tahun yang menunjukkan bahwa subjek melakukan penyesuaian
terhadap keluarga pasangan:
Universitas Sumatera Utara
Dengan keluarga di Samara Rusia kakak masih canggung dan sangat menjaga sikap. Walaupun kita sama-sama muslim tapi budaya disana sangat
sulit untuk diikuti karena nggak sesuailah sama kebiasaan kita. Misalnya, kalau kumpul bersama biasanya harus minum alkohol sebagai tanda kita
menghormati keluarganya. Makanya, kakak sangat strict keras dalam hal itu, harus dijelaskan dengan baik, sopan. Yah, dalam beradaptasi dengan
keluarganya kami sama-sama bertoleransi untuk menerima adat kebiasaan masing-masing.
Komunikasi Interpersonal, 14 Maret 2012 Beberapa kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa wanita Indonesia
yang menikah dengan pria asing barat melakukan penyesuaian dalam pernikahannya. Ada yang merasa sulit dalam melakukan penyesuaian dalam
pernikahannya dan ada yang merasa mudah. Dalam penyesuaian kehidupan pernikahan, penyesuaian yang paling sulit yang harus dilakukan oleh kaum dewasa
awal adalah pada kehidupan satu atau dua tahun pertama pernikahan Hurlock, 2000. Jadi penyesuaian yang paling sulit adalah awal-awal pernikahan. Hal ini
terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan NL wanita, 29 tahun yang menikah dengan pria berkebangsaan Inggris :
Nah, diawal tahun pertama pernikahan kakak rasakan itu lah yang sangat sulit karena kita mulai belajar membiasakan diri dan menerima perbedaan
masing-masing. Di awal nikah ya bulan-bulan pertama pasti ada kebahagiaan tetapi setelahnya kita lebih banyak ributnya, sering adu mulut bahkan untuk
masalah sepele seperti waktu berkunjung dengan keluarga menjadi perdebatan diawal pernikahan kami. Di budayanya untuk berkunjung harus
buat janji dulu karena dia merasa tamu yang berkunjung tanpa adanya janji akan mengganggu privasinya, sedangkan kita kan kapan pun boleh saja
berkunjung.
Komunikasi Interpersonal, 26 November 2011
Penyesuaian diri yang sehat di dalam pernikahan akan membawa pada suatu kondisi pernikahan yang bahagia begitu juga sebaliknya, individu yang gagal
dalam menyesuaikan diri akan mengalami masalah di dalam pernikahannya
Universitas Sumatera Utara
Hurlock, 2000. Penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam
sebuah pernikahan merupakan hal yang penting karena akan berdampak pada keberhasilan hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap adanya kepuasan hidup pernikahan, mencegah kekecewaan dan perasaan-perasaan bingung, sehingga memudahkan seseorang
untuk menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri dan kehidupan lain di luar rumah tangga Hurlock, 2000.
Wanita yang menikah dengan pria asing barat membutuhkan penyesuaian yang baik di dalam pernikahannya, karena banyaknya perbedaan-perbedaan di
dalam pernikahan. Pada pernikahan antar bangsa seperti ini, perbedaan -perbedaan yang ada pada masing-masing individu, seperti latar belakang budaya, hukum,
nilai, bahasa, perbedaan pola pikir dan agama dapat menjadi kendala atau masalah dalam pernikahan Lerrigo, 2005.
Melihat fenomena yang dipaparkan diatas, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penyesuaian pernikahan pada wanita yang menikah dengan
pria asing barat.
B. PERUMUSAN MASALAH