55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini dibahas 1 pelaksaan penelitian, 2 hasil penelitian, dan 3 pembahasan.
4.1 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester II tahun pelajaran 20132014, tahun pelajaran Januari
– April 2014. Di bawah ini adalah tabel pelaksanaan pengambilan data wawancara dan observasi selama penelitian berlangsung:
Tabel 4.1 Pelaksaan Observasi
No. Narasumber
Tanggal Waktu
Tempat Keterangan
1. Observasi kondisi
sosial-cultural Rabu, 13
Januari 2014 09.00-09.30
Ruang kelas Mengetahui
keadaan sekolah dan
ruang kelas
2. Observasi
pembelajaran secara umum
Kamis, 14 Januari 2014
08.10-09.00 Ruang kelas
IV B Untuk
mengetahui proses
pembelajaran di kelas
3. Observasi ketika
menggunakan alat peraga
24 Februari 2014
08.10-0915 Ruang kelas
IV B Pertemuan ke-
1 4.
25 Februari 2014
09.00-10.00 Pertemuan ke-
2
Tabel 4.2 Pelaksaan Wawancara
No. Narasumber
Tanggal Waktu
Tempat Keterangan
1. Guru G
Kamis, 14 Januari 2014
12.30-13.00 Ruang guru
Wawancara sebelum
menggunakan alat peraga
2. K siswa 1
Jumat, 15 Januari 2014
10.50-11.20 Ruang
perpustakaan 3.
R siswa 2 Sabtu, 16
Januari 2014 11.20-11.40
4. Z siswa 3
Sabtu, 16 Januari 2014
11.40-12.00 5.
Guru G 24 Januari
2014 Setelah jam
pelajaran selesai
Ruang guru Wawancara
setelah menggunakan
alat peraga 6.
K siswa 1 25 Januari
2014 Setelah jam
pelajaran selesai
Ruang perpustakaan
7. R siswa 2
25 Januari 2014
Setelah jam pelajaran
selesai 8.
Z siswa 3 25 Januari
2014 Setelah jam
pelajaran
56
selesai
4.2 Hasil Penelitian
Dalam bab ini peneliti akan memberikan penjelasan mengeni tiga pokok penting, yaitu 1 latar belakang narasumber, pandangan, kefamiliaran
narasumber, dan pengalaman narasumber terhadap alat peraga sebelum pengaplikasian alat peraga Montessori, 2 pengalaman dan kesan narasumber
setelah menggunakan alat peraga, mengenai apa saja yang dirasakan, kendala dan manfaat yang diperoleh yang dihubungkan dengan karakteristik alat peraga
Montessori. 4.2.1
Penelitian Sebelum Menggunakan Alat Peraga Montessori
Peneliti sebelumnya akan menjabarkan pokok pertama sebelum menggunakan alat peraga matematika berbasis Montessori yaitu latar belakang
narasumber, pandangan, kefamiliaran narasumber terhadap alat peraga sebelum pengaplikasian alat peraga Montessori.
4.2.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
SD N Keceme 1 terletak di Keceme, Caturharjo, Sleman. Keadaan bangunan sekolah dalam keadaan baik dan terawat. Kondisi sekolah yang jauh
dari keramaian karena terletak di sebuah desa yang masih asri sehingga menjaga kegiatan proses pembelajaran menjadi kondusif OSCB1-2. Sekolah tersebut
memiliki satu Kepala Sekolah, 12 guru kelas, 3 guru mata pelajaran, dan 3 karyawan.
SD N Keceme 1 memiliki kelas paralel A dan B dari kelas I sampai kelas VI. Setiap kelas memiliki kelas yang cukup besar dan siswa bisa aktif di kelas
tanpa merasa terganggu dengan kelas yang kecil OSCB4-5. Halaman dan lapangan di sekolah ini juga cukup luas sehingga siswa bisa menggunakan
fasilitas tersebut untuk belajar di luar kelas, namun pada kenyataannya siswa hanya diperbolehkan belajar di dalam kelas. Lingkungan sekolah dan alam yang
tersedia di sekitar sekolah sebenarnya bisa mendukung proses pembelajaran yang lebih baik lagi, hanya saja guru terbiasa memberikan pembelajaran hanya di
dalam kelas. Suasana sekolah yang asri dan dikelilingi sawah serta pepohonan yang sejuk menjadikan suasana di sekolah ini menjadi tenang karena jauh dari
keramaian. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Penelitian dilaksanakan di kelas IV B, kelas tersebut berada di bagian belakang bagian inti sekolah. Ruang kelas luas sehingga siswa lebih mudah untuk
bergerak. Kelas tersebut dihiasi dengan beberapa pajangan gambar pahlawan, globe, maupun teks pancasila, namun tidak terlihat alat peraga yang dipajang
maupun yang digunakan di kelas ini. Meja guru hanya tersusun tumpukan buku yang rapi dan beberapa alat tulis. Papan tulis kelas ini menulisnya menggunakan
kapur sehingga ada limbah kapur yang jatuh ke lantai.
4.2.1.2 Latar Belakang Narasumber
Penelitian ini difokuskan pada kelas IV B dengan jumlah narasumber empat, yaitu tiga siswa kelas IV B dan satu guru matematika yang sekaligus guru
kelas tersebut. Pemilihan narasumber berdasarkan persetujuan guru kelas dan pemilihan dilakukan dengan teknik purposive sampling. Sebelum melakukan
penelitian, peneliti sempat bertanya kepada guru kelas mengenai narasumber untuk penelitian. Pertimbangan pemilihan siswa yang dijadikan narasumber
berdasarkan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal KKM yang memiliki nilai KKM tinggi, nilai KKM sedang, dan nilai KKM yang kurang. Selanjutnya guru kelas
menyarankan peneliti memilih K, R, dan Z untuk dijadikan narasumber. Peneliti juga mengamati kemampuan akademik narasumber ketika proses pembelajaran
berlangsung dan peneliti juga melihat nilai KKM narasumber yang diberikan guru. Dalam pengamatan tersebut, terlihat tiga narasumber tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda. Hal tersebut, dibantu dengan pengamatan peneliti ketika melakukan komunikasi secara langsung kepada narasumber.
Dari ketiga siswa tersebut, siswa Z yang merupakan narasumber yang memiliki kemampuan kurang pandai dalam bidak akademik, namun memiliki
daya komunikasi yang lebih aktif dari narasumber yang lain OK1B44-45. Narasumber R berbanding terbalik dengan narumber Z meskipun mereka berdua
lebih sering terlihat dekat dan sering melakukan sesuatu secara bersama termasuk ketikacara memahami materi pembelajaran OK1B15-17. Narasumber R
memiliki kepribadian yang tidak terlalu banyak bicara, malah terkesan pemalu meskipun memiliki kemampuan akademik yang bagus OK1B12-13. Tidak jauh
berbeda dengan narasumber R, narasumber K juga aktif ketika pembelajaran berlangsung. Dia selalu mencoba untuk menjawab pertanyaan yang diberikan
58
guru dan nilai kemampuan akademiknya pun dirasa guru cukup baik OK1B34- 35. Alasan peneliti memiliki ketiga siswa tersebut sebagai narasumber dalam
penelitian ini dikarenakan mereka memiliki tingkat kemampuan akademik yang berbeda khususnya mata pelajaran matematika, karakteristik siswa yang berbeda,
dan komunikasi yang aktif kepada peneliti.
4.2.1.3 Deskripsi Sosio Cultural
SD N Keceme 1 merupakan sekolah dengan lingkungan pedesaan yang masih asri dengan dikelilingi sawah. Sekolah ini juga difasilitasi dengan ruang
perpustakaan yang nyaman dan berisi alat-alat peraga yang tersusun dengan rapi di gudang perpustakaan, namun alat peraga tersebut tidak terlihat digunakan oleh
guru maupun siswa ketika pembelajaran di kelas berlangsung OSCB22-25. Peneliti tidak menemukan alat peraga di dalam kelas. Guru di kelas juga hanya
menggunakan papan tulis sebagai media penyalur pemberian materi kepada siswa dibantu juga dengan ceramah dan tanya jawab seputar materi ajar OSCB37-41.
Guru mengaku siswa sudah bisa paham mengenai isi pelajaran ketika guru hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab, namun pada saat peneliti
melakukan pengamatan selama pembelajaran berlangsung ada beberapa siswa yang ngobrol dengan teman sebangku, sibuk menyalin catatan yang ada di papan
tulis, dan ada yang hanya melamun di kelas ketika guru menjelaskan pelajaran dengan ceramah sehingga ketika guru bertanya seputar pelajaran ada beberapa
siswa yang tidak bisa menjawab dan hanya diam. Sekolah tersebut juga memiliki fasilitas wifi dengan koneksi cepat
sehingga dapat membantu proses pembelajaran, namun faktanya karena keterbatasan fasilitas untuk menunjang penggunaan internet tersebut, maka
fasilitas wifi tidak bisa digunakan oleh guru dan siswa OSCB6-8. Guru pada saat pembelajaran hanya terlihat menggunakan papan tulis sebagai alat untuk
menyampaikan materi, namun ada beberapa siswa yang terlihat kebingungan dalam memahami pelajaran yang diberikan guru melalui media papan tulis. Dari
pengamatan keseluruhan terlihat bahwa kegiatan pembelajaran di SD tersebut masih menggunakan metode ceramah, tanya jawab maupun penugasan. Di sisi
lain, guru masih menggunakan papan tulis sebagai media penyampaian materi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
kepada siswa, padahal alat peraga memiliki banyak kelebihan yang bisa digunakan dalam media penyampaian materi ajar.
4.2.1.4 Pandangan Narasumber terhadap Alat Peraga
Penelitian ini terfokus pada siswa kelas IVB yang berjumlah tiga siswa. Topik wawancara pada tiga narasumber tersebut diantaranya mengenai
ketertarikan mereka terhadap mata pelajaran matematika. Dari pertanyaan- pertanyaan awal yang diberikan peneliti terhadap narasumber didapatkan jawaban
dari ketiga narasumber bahwa mereka suka matematika. Hal tersebut terlihat dari jawaban narasumber Z, dia mengatakan “suka” W1S3B1 ketika ditanya
mengenai suka tidaknya dengan matematika dengan alasan karena matematika “gampang” W1S3B2. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada
narasumber K dan dia juga menjawab “suka” W1S1B1 dengan alasan yang
sama dengan narasumber Z. Hal yang berbeda sedikit dengan narasumber R meskipun dia menjawab suka dengan matematika, namun narasumber R beralasan
matematika “karena…ada yang susah ada yang mudah” W1S2B2. Selanjutnya peneliti mencoba bertanya mengenai bagaimana pendapat
mereka suka tidaknya ketika guru menggunakan alat peraga. Jawaban yang berbeda terlontar dari narasumber R yang mengatakan “bingung” W1S2B12
ketika ditanya mengenai perasaannya jika guru menggunakan alat peraga. Hal tersebut bukan tanpa alasan karena narasumber mengaku bahwa guru tidak pernah
menggunakan alat peraga matematika sebelumnya W1S2B10. Narasumber K dan narasumber Z mengaku mereka senang jika guru menggunakan alat peraga
matematika, namun pernyataan yang sama juga disebutkan mereka kalau guru tidak pernah menggunakan alat peraga matematika.
Guru berpandangan bahwa siswa diberi penjelasan jauh lebih penting daripada dengan menggunakan alat peraga sebagai media penyampaian
matematika sehingga guru mengaku jarang menggunakan alat peraga W1S4B24-28. Guru biasa menggunakan metode tanya jawab yang dianggap
juga ampuh dalam mengondisikan kelas W1S4B12-20. Guru tidak berbicara banyak mengenai alat peraga karena pada dasarnya guru memulai pembelajaran
dengan penjelasan secara lisan yang kemudian dilanjutkan dengan menuliskannya di papan tulis dengan kapur warna warni W1S4B4-11.
60
Berdasarkan hasil di atas bahwa siswa tertarik apabila guru menggunakan alat peraga dalam penyampaian pelajaran matematika dengan syarat sudah
dijelaskan penggunaan alat peraga sebelum menggunakannya, namun pada kenyataannya memang guru tidak pernah menggunakan alat peraga matematika.
Guru hanya menggunakan metode tanya jawab dalam penyampaian materi ajar dan guru hanya menggunakan papan tulis sebagai media dalam menjelaskan
materi matematika. Pendapat siswa mengenai penggunaan alat peraga perlu mendapat perhatian khusus dari guru karena siswa akan lebih memahami
matematika apabila guru menggunakan alat peraga dalam menyampaikan penjelasan. Siswa menyambut baik jikalau guru menggunakan alat peraga
sehingga pendapat siswa dapat menjadi pertimbangan guru dalam mencari media yang sesuai untuk menyampaikan materi ajar matematika.
4.2.1.5 Kefamiliaran Narasumber terhadap Alat Peraga
SD N Keceme 1 memiliki alat peraga yang dapat mendukung pembelajaran yang lebih baik, namun pada kenyataannya alat peraga hanya
terpajang rapi di ruang perpustakaan. Hal tersebut terlihat jelas di ruang gudang perpustakaan terlihat tumpukan-tumpukan alat peraga yang diperoleh dari
pemerintah. Alat peraga terlihat rapi seperti tidak pernah terpakai hingga berdebu. Peneliti juga tidak pernah melihat guru-guru membuka ruang gudang
perpustakaan yang berisi alat peraga tersebut. Ruang perpustakaan juga tidak pernah digunakan guru untuk kegiatan belajar mengajar kecuali khusus pelajaran
Agama Katolik dan Protestan, padahal ruang perpustakaan tersebut terlihat luas 0SDB22-25. Guru hanya melakukan metode ceramah serta penugasan. Proses
kegiatan belajar mengajar tidak menggunakan alat peraga. Dari data di atas dapat mengidentifikasi bahwa narasumber kurang
familiar terhadap alat peraga. Guru berpendapat bahwa dengan penjelasan saja siswa sudah cukup paham terhadap materi yang disampaikan. Guru hanya
menggunakan alat tulis dengan kapur berwarna untuk memperjelas materi ajar. Metode tanya jawab juga menjadi hal ampuh dalam mengondisikan siswa maupun
kelas. Hal tersebut disebutkan jelas oleh guru. Dengan keadaan seperti ini diperlukan adanya alat peraga sebagai jembatan guru dalam menyampaikan materi
pembelajaran sehingga siswa lebih paham mengenai pembelajaran yang diberikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
dan dengan begitu siswa juga akan terbiasa belajar menggunakan alat peraga. Guru pun akan semakin kreatif dalam menciptakaan alat peraga yang mudah
digunakan siswa maupun guru sendiri.
4.2.1.6 Pengalaman Narasumber terhadap Alat Peraga
Pengalaman narasumber siswa mengaku guru tidak pernah menggunakan alat peraga, sedangkan guru mengaku jarang menggunakan alat peraga. Dari
pernyataan ini terlihat bahwa pengertian alat peraga sendiri belum dipahami antara siswa dan guru. Hal tersebut dapat mengidentifikasi bahwa kurangnya
pendekatan siswa dan guru terhadap alat peraga. Narasumber belum memahami arti pentingnya alat peraga. Guru mengaku dengan model dan metode
pembelajaran yang diterapkan guru selama ini membuat nila-nilai siswa bagus W1S4B32-34. Menurut guru sendiri, penggunaan papan tulis dengan kapur
berwarna dianggap sudah cukup untuk membantu guru dalam menyampaikan materi agar siswa lebih gampang dalam memahami pelajaran yang diberikan guru,
tetapi ketika guru telah menggunakan alat peraga yang telah disediakan, menurutnya siswa senang dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan, guru
mengakui tidak pernah menggunakan alat peraga matematika. Guru mengaku sebelumnya sudah melihat alat peraga yang mirip dengan alat peraga kotak
pecahan W2S4B336-346. Dengan alat peraga siswa jadi lebih tertarik W2S4B8-16. Pernyataan guru didukung oleh pernyataan siswa, yaitu
narasumber K langsung ingin mencoba menggunakan alat peraga ketika pertama kali melihat W2S1B4 karena narasumber belum pernah menggunakan
sebelumnya W2S1B6. Pernyataan yang berbeda yang dikeluarkan narasumber R. Narasumber mengaku mengalami kebingungan ketika pertama kali melihat alat
peraga W2S2B9 karena sebelumnya belum pernah diajarkan menggunakan alat peraga W2S2B10. Di pernyataan selanjutnya narasumber R mengaku hanya
awalnya saja merasa bingung menggunakannya, setelah dijelaskan narasumber bisa menggunakannya W2S2B36. Ketika narasumber bisa menggunakannya
langsung ingin memainkannya W2S2B36. Guru mengaku semua siswa berkesempatan menggunakan alat peraga
W2S4B36-44 karena guru berpendapat mudah menggunakan alat peraga W2S4B27-32. Siswa juga antusias dalam menggunakan alat peraga sehingga
62
meskipun kepingan pecahan kurang tebal, tidak berpengaruh pada antusianisme siswa W2S4B187-198. Menurut narasumber Z, alat peraga bentuknya bagus
W2S3B1 dan memahami pelajaran menjadi lebih mudah W2S3B8. Dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga, narasumber Z satu
kelompok dengan narasumber K dan narasumber R. Semua anggota menggunakan alat peragaW2S3B16. Hal tersebut keluar dari pernyataan narasumber Z dan
narasumber K W2S1B21. Guru menambahkan bahwa ada beberapa siswa yang belum menggunakan alat peraga sehingga guru membimbing siswa agar siswa
mampu mengoperasikan alat peraga W2S4B251-258 meskipun siswa sudah baik dalam menggunakan alat peraga W2S4B211-232. Siswa juga sudah
mampu mengetahui kesalahan jawabannya dari kartu pengendali kesalahan yang terdapat pada kotak pecahan W2S4B287-295. Setelah siswa mengetahui bahwa
kartu pengendali kesalahan itu merupakan jawaban dari pertanyaan soal matematika, siswa jadi malas mencari jawabannya sendiri W2S4B314-335.
4.2.2 Penelitian Setelah Menggunakan Alat Peraga
Peneliti telah memberi penjelasan mengenai pengalaman narasumber setelah menggunakan alat peraga, terkait apa yang dirasakan, kendala, dan
manfaat yang diperoleh dikaitkan dengan karakteristik alat peraga Montessori.
4.2.2.1 Perasaan Narasumber Setelah Menggunakan Alat Peraga Berbasis
Montessori
Pengalaman baru narasumber menggunakan alat peraga dalam pembelajaran matematika. Guru sebelumnya sudah pernah melihat alat peraga
matematika yang mirip dengan alat peraga berbasis Montessori mungkin cara penggunaannya saja yang merupakan pengalaman baru yang dirasakan guru,
seperti yang dikatakannya, “Alat peraga pecahan itu mirip ya mbak, memang seperti itu jadi bulat trus dijadikan pecahan-pecahan, di sekolah sudah ada tapi
kalo metodenya kan ini dengan e..apa namanya menukar-menukar ya mbak begitu, kalo yang seperti itu baru caranya saja mungkin, cara penggunaannya saja
baru menemukan sekarang ini, tapi kalo dilihat dari bentuk-bentuknya saya sudah pernah melihat dan menggunakannya
” W2S4B336-346, namun siswa sebelumnya belum pernah melihat apalagi menggunakan alat peraga berbasis
Montessori W2S1B6 dan W2S2B10. Dua dari tiga narasumber mengaku PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
senang pertama kali melihat alat peraga tersebut dan langsung ingin menggunakannya W2S1B4 dan W2S3B7, namun berbeda hal yang dirasakan
oleh narasumber R yaitu dia merasa bingung ketika melihat alat peraga karena menurutnya memang sebelumnya guru belum pernah menggunakan alat peraga
apalagi alat peraga berbasis Montessori dalam pembelajaran matematika W2S2B10. Setelah mendapatkan bimbingan dari guru mengenai bagaimana
cara penggunaan alat peraga, narasumber R langsung ingin menggunakannya dan merasa tertarik W2S2B36. Hal tersebut terbukti ketika selama pembelajaran
matematika berlangsung, narasumber R selalu memegang alat peraga sambil melihat lembar soal LKS O1S2B136-137. Setelah guru menghampiri ke meja
kelompok dari ketiga narasumber tersebut, mereka memperhatikan ketika guru menjelaskan cara penggunaan alat peraga. Narasumber R terlihat sangat tertarik
dan sibuk dengan alat peraga yang ada di depannya O1S2B150-151. Hal yang berbanding terbalik dengan narasumber K dan narasumber Z yang mengaku
senang dan dengan menggunakan alat peraga jadi lebih paham, namun pada kenyataannya ketika pembelajaran menggunakan alat peraga kedua narasumber
tersebut terlihat kurang aktif dalam menggunakan alat peraga. Ketika narasumber R selalu aktif mengoperasikan alat peraga setelah mendapat penjelasan guru
mengenai bagaimana mengoperasikannya, sedangkan narasumber Z hanya sesekali menggunakannya dan narasumber K lebih banyak diam serta tidak sering
memegang alat dan terlihat bingung O1S1,S2,S3B156-157. Narasumber Z lebih banyak melakukan aktivitas lain seperti memukul-mukul pensil ke meja.
Narasumber R aktif bertanya dan menjawab pertanyaan guru O1S2B142, sedangkan narasumber K dan narasumber Z hanya mengikuti
perintah dari guru O1S3B148. Narasumber K dan narasumber Z mengaku semua kelompok menggunakan alat peraga W2S1B21, W2S3B16, namun
ketika pembelajaran berlangsung terlihat ada beberapa orang dari kelompok terlihat tidak menggunakan alat peraga O1B159. Hal tersebut juga
dikemukakan oleh narasumber R yang mengaku ada beberapa orang dari kelompoknya yang menggunakan alat peraga dan ada juga yang menggunakan
alat peraga W2S2B26. Guru menambahkan ketika awal penggunaan alat peraga ada beberapa siswa yang tidak menggunakan alat peraga di kelas tersebut,
64
namun guru menghampiri siswa-siswa tersebut dan membimbing siswa menggunakan alat peraga agar siswa merasa tertarik serta mau menggunakan alat
peraga W2S4B251-258. Dilihat dari hasil wawancara dan hasil observasi ada perbedaan dari ketiga narasumber tersebut, narasumber tetap menggunakan alat
peraga meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda O1S1,S2,S3B154-155. Alat peraga kotak pecahan sudah dirancang untuk pembelajaran
matematika materi pecahan. Guru menuturkan, ”Ya bentuknya sesuai, sudah saya bilang di awal bahwa itu sesuai, bentuknya itu sesuai dengan konsep materi
pecahan jadi di sana kan ada satu pecahan ut uh dan sampai satu per duapuluh,”
W2S4B116-170. Guru merasa alat peraga berkontribusi karena sangat membantu guru dalam penanaman konsep pecahan W2S4B112-137.
Narasumber K merasakan kemudahan dalam memahami materi pecahan ketika menggunakan alat peraga berbasis Montessori W2S1B14 bahkan narasumber
ingin menggunakannya di luar jam pelajaran W2S1B53 agar mempermudah dalam menjawab soal W2S1B62. Hal tersebut sama dengan apa yang dirasakan
oleh narasumber R dan narasumber Z W2S2B61, W2S3B62. Guru menyebutkan bahwa alat peraga berbasis Montessori tersebut sudah
bagus dan warnanya juga menarik W2S4B20-26. Hal tersebut sama seperti yang diutarakan oleh narasumber. Ketiga narasumber juga mengaku bahwa alat
peraga bagus karena warnya cerah sehingga menarik W2S1B48, W2S2B45, W2S3B45, namun guru menambahkan bahwa meskipun warna kepingannya
sudah mencolok tetapi kepingan pecahannya kurang tebal. Hal tersebut tidak berpengaruh pada antusias siswa W2S4B187-198.
Guru menemukan adanya kartu pengendali kesalahan pada alat peraga kotak pecahan berbasis Montessori.Di awal penjelasan mengenai bagaimana
menggunakan alat peraga, guru belum mengenalkan siswa dengan penggunaan kartu pengendali kesalahan. Guru merasakan siswa jadi malas mencari jawaban
sendiri ketika guru menjelaskan fungsi kartu pengendali kesalahan. Hal tersebut berdasarkan penutu
ran guru, “Oh ya, jadi sebelum siswa gak tau apa gunanya kartu, ternyata dibalik kartu itu ada jawaban yang benar, mereka itu e..antusias
mbak jadi dikerjakan, nanti sesuai dengan kartu soalnya itu dikerjakan kemudian nanti e..berapa gitu tapi mereka belum tau setelah tau jawabannya itu disebaliknya
65
ada nah itu dari situ mereka malah malah males-malesan gitu loh mbak. Ah jawabannya ini, mereka langsung merangkai angka yang ada dibalik jawaban itu,
tidak ditukar-tukar lagi gitu. Jadi, menurut saya e..kalo tidak diberi tahu jawaban yang benar itu ada disebalik kartu angka justru itu malah akan e.. membuat rasa
ingin tau siswa lebih besar, tapi kalo mereka sudah bisa mengetahui jawaban dari kartu soal disebaliknya itu malah nanti meraka kalo ditanya ini tambah ini berapa?
Langsung kartunya ini dibalik jawabannya ini buk. Gitu ” W2S4B314-335.
Dari data di atas penelitian ini menunjukkan bahwa alat peraga Montessori yang digunakan memiliki karakteristik auto-education. Pada alat peraga ini
ditunjukkan oleh guru ketika merasakan pengalaman baru mengenai bagaimana cara penggunaan alat peraga tersebut meskipun merasa sebelumnya sudah melihat
alat peraga yang mirip dengan kotak pecahan berbasis Montessori. Karakteristik menarik pada alat peraga ini dirasakan oleh narasumber yang mencoba
menggunakan alat peraga meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda. Guru dan siswa merasakan kertetarikan dengaan alat peraga berbasis Montessori dalam
pembelajaran matematika. Karakteristik bergradasi pada alat peraga berbasis Montessori ini dikemukakan guru dan siswa yang merasa bahwa alat ini memiliki
warna yang bagus, yaitu merah dan bentuknya yang lentur serta tidak mudah robek meskipun menurut guru kepingan pecahannya kurang tebal, namun tidak
berpengaruh pada antusias siswa dalam menggunakannya. Guru dan siswa juga merasakan kemudahan dalam menggunakan alat peraga tersebut. Menurut guru,
alat peraga tersebut bisa digunakan lebih dari satu kompetensi dasar pada materi pecahan. Bahan yang digunakan pada alat peraga berbasis Montessori tersebut
mudah ditemukan siswa di kehidupan sehari-hari sehingga karakteristik kontekstual pada alat peraga tersebut sudah memenuhi karakteristik alat peraga
Montessori. Karakteristik auto-correction sudah ada pada alat peraga kotak pecahan tersebut berdasarkan apa yang ditemui guru pada alat tersebut. Alat
peraga berbasis Montessori tersebut terdapat kartu pengendali kesalahan sehingga siswa dapat mengetahui kesalahannya melalui kartu tersebut, namun guru
merasakan adanya kekurangan pada kartu tersebut karena menurut guru, siswa jadi malas mengerjakan sendiri setelah tahu bahwa kartu tersebut merupakan kartu
jawaban. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
4.2.2.2 Kendala Narasumber Menggunakan Alat Peraga Montessori
Alat peraga dimaksudkan agar pembelajaran berjalan lancar dan memudahkan siswa dalam memahami materi yang diberikan. Alat peraga dapat
digunakan secara maksimal apabila dirancang secara tepat guna. Seperti halnya alat peraga berbasis Montessori kotak pecahan telah dirancang secara sitematis
sesuai dengan kriteria alat peraga berbasis Montessori yang dilakukan oleh kelompok pengembang alat. Perancangan dan pengembangan alat tersebut harus
dibuktikan melalui pengujian alat kepada narasumber. Alat tersebut dapat dikatakan berhasil jika berkontribusi aktif dan dapat digunakan secara
berkelanjutan bagi pembelajaran. Setelah pengujian dilakukan maka dibutuhkan saran yang membangun demi memaksimalkan penyempurnaan alat peraga
tersebut. Selain saran juga kendala yang dialami selama narasumber menggunakan alat peraga tersebut juga bisa menjadi pertimbangan karena
semakin besar kendala yang ditemukan selama menggunakan alat peraga maka semakin besar pula hal yang harus diperbaiki oleh pengembang terhadap alat
peraga tersebut. Kendala yang dihadapi narasumber selama menggunakan alat peraga
tersebut adalah siswa harus secara bergantian menggunakannya karena keterbatasan jumlah alat peraga. Seperti yang dituturkan oleh guru “…
alat peraganya digunakan secara bergantian karena kan hanya ada satu alat peraga di dalam
satu kelompok, jadi siswanya itu harus menggunakan semua jadi bergantian karena di LKS itu ada soalnya lebih dari satu, nah nanti nomor satu dikerjakan oleh misalnya si A
kemudian nomor dua si B nomor tiga si C itu …”
W2S4B150-165. Ada beberapa siswa yang terlihat tidak menggunakan alat pe
raga. Guru menuturkan “
E..menurut penglihatan saya hampir semuanya e..menggunakan tapi kalo yang tidak menggunakan
itu biasanya cuma saya datangi, eh ayo leh ayo nok. Gimana caranya menggunakan alat peraga ini ayo kerjakan soal nomor ini menggunakan alat peraga ini, gitu. Jadi saya
tuntun begitu mbak ”
W2S4B251-258 sehingga guru harus membimbing siswa agar bisa aktif mengoprasionalkan alat peraga. Selain itu juga menurut guru,
kepingannya pecahannya kurang tebal namun meskipun demikian, kendala tersebut tidak mengurangi antusianisme siswa dan tidak mengganggu siswa dalam
mengoprasikan alat peraga tersebut W2S4B187-198. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Selain jumlah alat peraga yang dirasa kurang banyak, ternyata ada kendala lain yang ditemukan guru. Meskipun kartu pengendali kesalahan bermanfaat agar
siswa menemukan sendiri kesalahan jawaban, kartu tersebut membuat siswa menjadi malas untuk mencari jawabannya. Guru mengatakan, “Sebelum siswa tau
apa gunanya kartu, ternyata dibalik kartu itu ada jawaban yang benar, mereka itu e..antusias mbak jadi dikerjakan, nanti sesuai dengan kartu soalnya itu dikerjakan
kemudian nanti e..berapa gitu tapi mereka belum tau setelah tau jawabannya itu disebaliknya ada nah itu dari situ mereka malah malah males-malesan gitu loh
mbak. Ah jawabannya ini, mereka langsung merangkai angka yang ada dibalik jawaban itu, tidak ditukar-tukar lagi gitu. Jadi menurut saya e..kalo tidak diberi
tahu jawaban yang benar itu ada disebalik kartu angka justru itu malah akan e.. membuat rasa ingin tau siswa lebih besar, tapi kalo mereka sudah bisa mengetahui
jawaban dari kartu soal disebaliknya itu malah nanti mereka kalo ditanya ini tambah ini berapa? Langsung kartunya
ini dibalik jawabannya ini buk” W2S4B314-335. Pengalaman guru menjadi kendala yang dialami siswa ketika
siswa telah mengetahui fungsi kartu pengendali kesalahan. Pemahaman siswa masih kurang mengenai fungsi utama dan kapan kartu tersebut bisa digunakan.
4.2.2.3 Manfaat Alat Peraga Berbasis Montessori
Alat peraga dapat membantu guru dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa sehingga alat peraga memiliki banyak manfaat.
Manfaat alat peraga tidak hanya bisa dirasakan oleh guru saja, tetapi siswa juga bisa merasakan manfaat dari alat peraga. Alat peraga Montessori juga memiliki
beragam manfaat dalam pembelajaran. Alat peraga berbasis Montessori juga harus memiliki karakteristik, yaitu menarik, memiliki auto-correction, memiliki auto-
education, bergradasi, serta kontekstual. Alat peraga juga dapat menarik perhatian siswa sehingga membuat guru
semakin termotivasi untuk memberikan pembelajaran yang lebih baik lagi. Begitu juga kesan guru terhadap alat peraga kotak pecahan berbasis Montessori. Guru
turut senang ketika siswanya dari awal sudah tertarik pada pembelajaran dengan adanya alat peraga. Hal tersebut memotivasi guru dalam menjalankan tugasnya
W2S4B199-209. Alat peraga dianggap mampu membuat siswa memahami materi dan siswa bisa secara mandiri menggunakannya W2S451-56. Menurut
68
guru, alat peraga berkontribusi dalam penanaman konsep pecahan W2S4B112- 137. Narasumber K juga menuturkan memahami materi pecahan jadi lebih
mudah dengan menggunakan alat peraga W2S1B14. Narasumber Z senang menggunakan alat peraga karena dengan alat peraga pembelajaran seperti bermain
sehingga dari awal melihat alat peraga langusung ingin memainkannya W2S3B34.
Berbeda dengan penuturan narasumber R yang malah merasa bingung karena sebelumnya belum pernah melihat alat peraga meskipun ada rasa senang
dalam dirinya ketika menemui hal baru tersebut W2S2B10. Narasumber R berpendapat bahwa alat peraga tidak berfungsi W2S2B30, namun ketika ketika
pembelajaran berlangsung narasumber terlihat selalu menggunakan alat peraga dalam mengerjakan soal yang diberikan guru O1S2B136-137. Dalam hal ini
narasumber belum memaknai pertanyaan dengan jelas mengenai apakah alat peraga memiliki fungsi atau tidak. Narasumber R menambahkan bahwa alat
peraga membantu dia mengonfirmasi jawabannya dalam menjumlahkan dan mengurangi pecahan W2S2B64. Awalnya dia merasa bingung dalam
menggunakan alat peraga, tetapi kemudian dia mengerti bagaimana cara menggunakannya W2S2B36. Dalam hal ini, kebingungan yang dimaksud
narasumber merupakan ketertarikan narasumber terhadap alat peraga sehingga alat peraga selalu digunakan selama pembelajaran berlangsung O1S2B142.
Karakteristik yang dimiliki alat peraga kotak pecahan berbasis Montessori selain memberikan kemudahan kepada siswa dalam memahami materi
karakteristiknya juga harus memiliki banyak manfaat. Karakteristik pengendali kesalahan atau auto-correction juga membantu siswa dalam menemukan
kesalahan dalam pengerjaan soal. Dalam alat peraga kotak pecahan terdapat kartu pengendali kesalahan yang merupakan kunci jawaban. Siswa bisa langsung
mengetahui mencocokan jawabannya melalui kartu tersebut. Hal itu dibenarkan oleh guru, menurutnya siswa bisa mengetahui kesalahan pengerjaanya dari kartu
pengendali kesalahan W2S4B287-295. Karakteristik tersebut memiliki kekurangan ketika siswa sudah mengetahui jika kesalahannya bisa langsung
diketahui dengan membuka kartu tersebut. Dengan kartu pengendali kesalahan, siswa menjadi malas mencari jawabannya sendiri W2S4B314-335.
69
4.3 Pembahasan
Belajar merupakan proses perubahan perilaku yang berasal dari pengalaman dan latihan. Seperti yang dikemukakan Dahar 2011: 2, belajar
merupakan suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalamannya. Pengalaman juga bagian dari komponen dalam
belajar. Pemilihan komponen yang tepat dapat memfasilitasi proses kegiatan belajar mengajar. Salah satu komponen penting dalam pembelajaran yaitu media
pembelajaran. Media pembelajaran siswa SD yang dapat diusahakan sebagai media kontekstual siswa adalah alat peraga. Alat peraga yaitu suatu alat yang
digunakan sebagai media pembelajaran yang berfungsi untuk memperagakan sajian pembelajaran Anitah, 2009: 83. Meskipun telah tersedia alat peraga di SD
N Keceme 1, pada kenyataannya alat peraga tersebut tidak digunakan secara maksimal. Padahal alat peraga Sundayana, 2015: 7 merupakan media yang
bermanfaat untuk meningkatkan motivasi belajar anak dalam mencapai tujuan pembelajaran. Guru matematika di SD Negeri Keceme 1 tersebut menganggap
dengan penjelasan saja siswa sudah bisa mendapatkan nilai yang bagus. Sundayana 2015, 24-25 berpendapat hendaknya pembelajaran di kelas
ditekankan pada keterkaitan konsep-konsep matematika dengan pengalaman sehari-hari. Dalam hal itulah pembelajaran matematika membutuhkan media
pembelajaran yang dalam hal ini alat peraga sebagai jembatannya guna mengaitkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Sarana dan prasarana yang tersedia seperti alat peraga tersebut dapat dimanfaatkan guna meningkatkan minat siswa dalam memahami pelajaran yang
diberikan sehingga siswa bisa secara aktif belajar berinteraksi dengan lingkungannya karena media pembelajaran kontekstual sangat dekat kaitannya
dengan siswa. Alat peraga berbasis Montessori memiliki empat karakteristik, yaitu menarik, bergradasi, auto-education,auto-correction. Karakteristik tersebut seperti
yang telah disebutkan oleh Montessori Montessori 2002: 170-176 yang bermaksud agar alat peraga tersebut bertujuan membuat siswa merasa nyaman dan
mampu berkembang sendiri. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Karakteristik menarik dapat dilihat dari warna dan bentuk dari alat peraga itu sendiri sehingga siswa secara alamiah tertarik untuk menggunakannya.
Bergradasi dibedakan menjadi dua, yaitu warna dan bentuk serta keefektifan alat peraga yang dapat digunakan secara fleksibel untuk berbagai kompetensi dasar.
Auto-education yang berarti alat peraga dapat melatih tingkat kemandirian siswa sehingga diharapkan siswa mampu mengoperasionalkan alat peraga tersebut tanpa
bantuan orang lain maupun paksaan dari pihak manapun. Auto-correction yang berarti dengan penggunaan alat peraga Montessori siswa mampu mengetahui
kesalahannya sehingga siswa diharapkan bisa menemukan pembenarannya Montessori 2002: 170-176. Karakteristik kontekstual merupakan karakteristik
yang sengaja ditambahkan oleh peneliti yang bermaksud bahwa alat peraga Montessori secara keseluruhan terbuat dari bahan di sekitar siswa. Alat peraga
Montessori yang bernama kotak pecahan sudah memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas.
Pengaplikasian alat peraga Montessori di SD Negeri Keceme 1 khususnya kotak pecahan merupakan hal baru di sekolah tersebut. Semua siswa terlihat
antusias ketika melihat alat peraga tersebut. Mereka terlihat sangat tidak sabar untuk langsung menggunakannya. Hal tersebut terbukti ketika narasumber ditanya
mengenai perasaannya ketika pertama kali melihat alat tersebut dia menjawab bahwa dia langsung ingin menggunakannya dengan menampakkan ekspresi
senang. Guru mengaku siswa sangat antusias sekali ketika baru melihat alat peraga tersebut dan ketika pembelajaran berlangsung menggunakan alat tersebut
siswa mengikuti pembelajaran dengan sangat aktif. Hal tersebut seperti apa yang telah disampaikan Sundayana 2015: 24-25 yang mengatakan bahwa media dapat
mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat. Media sangat penting untuk menarik minta belajar siswa dan membuat siswa
antusias dengan materi yang diberikan dan dapat meningkatkan prestasi siswa. Guru matematika SD Negeri Keceme 1 juga mengungkapkan kepuasannya
terhadap nilai evaluasi siswa yang lebih baik daripada ketika guru tidak menggunakan alat peraga Montessori. Diungkapkan pula bahwa guru sangat
senang ketika siswa mampu belajar secara mandiri dan terlihat sibuk dengan alat peraga tapi tetap mampu konsentrasi dalam pembalajaran.
71
Dalam penjelasan di atas, terlihat hal baru yang ditemukan peneliti. Peneliti melihat penggunaan alat peraga Montessori tersebut memunculkan
perasaan maupun respon dari guru maupun siswa. Dalam bukunya Suharnan 2005: 23, Matlin mengatakan proses penggunaan pengetahuan yang dimiliki
yang disimpan dalam ingatan untuk mendeteksi dan menginterpretasikan stimulus, tanggapan, maupun respon yang diterimanya melalui alat indera disebut
persepsi. Penggunaan alat peraga Montessori merupakan pengalaman baru bagi
guru maupun siswa di SD N Keceme 1. Pengalaman tersebut memunculkan persepsi narasumber terhadap apa yang telah dialami maupun dirasakannya alat
indera. Hal tersebut didukung oleh Slameto 2010: 102 yang mengatakan bahwa persepsi berhubungan melalui indera yang dimiliki, yaitu indera penglihatan,
pendengar, peraba, perasa, dan pencium. Bagaimana persepsi narasumber akan sangat berpengaruh terhadap efektivitas penggunaan alat peraga Montessori.
Persepsi yang muncul bisa sangat beragam. Persepsi akan membentuk perilaku maupun perasaan seseorang. Ada dua hal yang membedakan persepsi, yaitu
persepsi positif dan persepsi negatif. Perilaku dan perasaan positif yang terbentuk merupakan imbas dari persepsi positif dan begitu sebaliknya. Efek dari perilaku
tersebut akan berkelanjutan pada tindakan selanjutnya yang akan timbul. Intensitas penggunaan alat peraga Montessori dapat menjadi patokan dalam
melihat persepsi guru maupun siswa. Apabila intensitas penggunaan alat peraga terlihat tinggi maka akan muncul persepsi positif, dan apabila intensitas
penggunaan alat peraga terlihat rendah maka akan muncul persepsi negatif yang ditimbulkan. Hal tersebut seperi yang tertuang pada Walgito 2003: 116 yang
mengatakan bahwa persepsi positif dan negatif yang muncul pada individu berasal dari pengalaman yang dialaminya dan menimbulkan sikap tertentu pada objek
tersebut serta akan muncul sikap yang berpengaruh pada tindakan selanjutnya. Dengan begitu, persepsi dapat mempengaruhi intensitas seseorang dalam
melakukan tindakan selanjutnya. Dari hasil observasi penggunaan alat peraga terlihat bahwa guru maupun
siswa sangat antusias dalam menggunakan alat peraga Montessori. Hal tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
juga diimbangi dengan pernyataan guru yang mendukung penggunaan alat peraga tersebut dan narasumber pun mengaku bahwa sangat senang ketika menggunakan
alat peraga tersebut. Intensitas penggunaan alat peraga yang tinggi ditunjukkan ketika wawancara dengan narasumber juga ingin menggunakannya lagi di luar
jam pelajaran. Guru menyampaikan bahwa alat peraga Montessori membantu siswa dalam memahami materi dan guru pun merasa terbantu dengan adanya alat
tersebut. Menurut guru, siswa juga bisa menemukan kesalahan pengerjaan evaluasi dengan menggunakan alat peraga. Monteesori mendesain alat peraga
secara khusus dengan mengembangkan unsur kesederhanaan dan kemungkinan anak belajar secara kreatif dan belajar dari penemuan, dan memungkinkan anak
dapat memperbaiki kesalahannya sendiri Lillard, 1997: 11. Guru matematika di SD Negeri Keceme 1 berharap alat tersebut dapat diperbanyak lagi sehingga
setiap siswa dapat menggunakan alat peraga secara maksimal. Penggunaan alat peraga secara baik dapat menunjang keberlangsungan
pembelajaran yang lebih baik. Alat peraga yang digunakan secara maksimal mampu memiliki kontribusi aktif apabila alat peraga juga didasarkan pada
kriteria-kriteria yang sesuai. Alat peraga berbasis Montessori, yaitu kotak pecahan juga memiliki kriteria menarik, auto-correction, auto-education, bergradasi, dan
kontekstual. Ketertarikan siswa sejak awal melihat alat peraga kotak pecahan sudah bisa dikatakan alat peraga tersebut menarik. Hal tersebut terlihat selama
proses pembelajaran siswa aktif menggunakan alat tersebut. Kriteria selanjutnya auto-correction, alat peraga tersebut memiliki kunci jawaban sehingga siswa
dapat langsung mencocokkan jawaban dan mengetahui kesalahannya. Kriteria ketiga auto-education yang berfungsi untuk mengendalikan siswa agar belajar
mandiri. Dalam penelitian ini siswa terlihat fokus dan mandiri dalam mengerjakan tugas yang diberikan dengan bantuan alat peraga. Kriteria bergradasi dapat dilihat
dari keefektifan alat peraga yang dapat digunakan lebih dari satu kompetensi dasar. Kriteria terakhir yang harus dipenuhi yaitu kontekstual, dimana bahan dan
bentuk yang digunakan dalam kotak pecahan sudah biasa ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
73
Alat peraga ini memiliki keterbatasan jumlah alat peraga yang digunakan sehingga siswa harus secara bergantian menggunakannya. Ada beberapa siswa
yang tidak menggunakan alat peraga, namun guru mengusahakan dalam membimbing siswa agar menggunakan alat peraga. Guru juga membantu siswa
dalam mengoperasikan alat peraga ketika siswa tidak menggunakan alat peraga karena belum paham cara menggunakannya. Selain itu juga, kartu pengendali
kesalahan sebenarnya sangat bermanfaat agar siswa menemukan sendiri kesalahannya, namun guru mengakui bahwa kartu tersebut membuat siswa
menjadi malas untuk mencari jawabannya setelah siswa mengetahui kegunaan kartu pengendali kesalahan tersebut. Pemahaman siswa masih kurang mengenai
fungsi utama dan kapan kartu tersebut bisa digunakan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian ini akan dibahas 1 kesimpulan, 2 keterbatasan penelitian, dan 3 saran
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1.
Penggunaan alat peraga berbasis Montessori merupakan suatu pengalaman baru bagi guru selama beliau menjadi guru matematika. Hal tersebut
berbeda dengan pengalaman guru selama ini yang menggunakan metode ceramah dan tanya jawab dalam menyampaikan pembelajaran matematika.
Pengalaman tersebut memunculkan persepsi guru terhadap penggunaan alat peraga berbasis Montessori. Guru memiliki pandangan yang lebih baik
terhadap manfaat alat peraga berbasis Montessori dalam membantu menyampaikan pembelajaran matematika. Guru semakin termotivasi
karena ketertarikan siswa dalam menggunakan alat peraga berbasis Montessori dalam pembelajaran matematika sehingga guru berharap alat
peraga berbasis Montessori bisa diperbanyak sehingga siswa bisa menggunakannya secara pribadi. Peran alat peraga berbasis Montessori
membantu siswa untuk lebih mandiri dan dapat mengetahui kesalahannya melalui kartu pengendali kesalahan, namun menurut guru kartu tersebut
memiliki sedikit kekurangan yaitu siswa jadi malas untuk mengerjakan setelah tahu bahwa kartu tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan.
Guru juga beranggapan bahwa kepingan pecahan pada alat peraga kurang tebal, namun hal tersebut tidak mengganggu proses pembelajaran.
2. Penggunakan alat peraga berbasis Montessori memberikan pengalaman
baru bagi siswa karena siswa beranggapan bahwa guru tidak pernah menggunakan alat peraga. Pengalaman baru tersebut membentuk persepsi
siswa terhadap penggunaan alat peraga berbasis Montessori. Alat peraga tersebut memberikan kemudahan bagi siswa dalam memahami
pembelajaran matematika. Kebingungan siswa dalam penggunaan alat peraga berbasis Montessori ini merupakan ketertarikan siswa terhadap alat