berpindah kelompok untuk mensharingkan materi yang mereka miliki. Karena kebanyakan materi yang diberikan oleh guru kepada siswa
menggunakan metode ceramah sehingga siswa lebih sering merasa bosan dalam kegiatan belajar mengajar.
C. Pembahasan
1. Ranah Kognitif
Berdasarkan data aspek kognitif, terjadi peningkatan pada nilai post-test siswa dari siklus I ke siklus II. Peningkatan tersebut dapat
digambarkan dalam bentuk grafik seperti berikut :
Gambar 4.15.Diagram Batang Perbandingan Hasil Post-Test Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan grafik tersebut, presentase siswa yang mengalami ketuntasan KKM pada siklusi I mencapai 62,5 menjadi 87,5 di
siklus II. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sebanyak 25 pada siklus II.
Untuk rata-rata kelas pada siklus I hasilnya adalah 74,31 dengan jumlah siswa yang tuntas KKM sebanyak 20 siswa dan 12 siswa yang
siklus I siklus II
20 40
60 80
100
siklus I siklus II
belum tuntas KKM dengan presentase ketuntasan sebanyak 62,5. Presentase ini belum mencapai indikator ketercapaian yang ditargetkan
oleh peneliti yang menargetkan 70 siswa tuntas KKM. Pada siklus II, nilai rata-rata kelas hasilnya adalah 84,68 dengan jumlah siswa yang
tuntas KKM sebanyak 28 siswa dan 4 siswa yang sudah mencapai indikator keberhasilan yang ditergetkan oleh peneliti. Siklus II ini
mengalami peningkatan dari siklus I. Penelitian ini dapat dikatakan berhasil karena adanya peningkatan
yang terjadi dari siklus I ke siklus II baik dalam rata-rata kelas, presentase ketuntasan maupun jumlah siswa yang tuntas KKM. Hal ini
dipengaruhi oleh cara pembelajaran yang diubah dari hanya sekedar mendengarkan ceramah materi dari guru menjadi keaktifan siswa dalam
mencari jawab dan materi pembelajaran dari kegiatan diskusi kelompok dengan metode Two Stay Two Stray. Hasil yang diperoleh menandakan
bahwa terjadi peningkatan hasil dari siklus I ke siklus II. Peningkatan ini sesuai dengan pengertian arti belajar yang dikemukakan oleh
Suprijio 2009 yang mengatakan bahwa belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas.
Salah satu bahwa seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan tigkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut
menyangkut perubahan yang bersifat pegetahuan kognitif, dan keterampilan psikomotorik maupun menyangkut nilai dan sikap
afektif.
Dalam proses pembelajaran di siklus I, peneliti masih gugup dalam mengajar didepan siswa karena kurang percaya diri sehingga suara saat
mengajar masih kecil dan kurang keras serta tegas. Peneliti juga masih susah dalam mengelola kelas terutama saat pembagian kelompok untuk
berdiksusi sehingga siswa juga menjadi bingung dalam mencari dan berpindah kelompok. Untuk memperbaiki kekurangan yang terjadi,
peneliti melakukan kegiatan refleksi baik dalam diri sendiri maupun dengan bertanya kepada teman observer dan guru mata pelajaran
tentang apa yang harus saya perbaiki dan tingkatkan pada pertemuan maupun untuk pembelajaran disiklus selanjutnya.
Pada siklus II, peneliti sudah mulai dapat mengelola kelas dengan baik dan siswa juga sudah mulai memahami metode diskusi TSTS ini
sehingga suasana kelas lebih kondusif dibanding pada pertemuan di siklus I. Peningkatan hasil aspek kognitif ini jug dipengaruhi cara
pandang belajar siswa yang dari pasif hanya mendengarkan guru menyampaikan materi menjadi lebih aktif karena siswa sendiri yang
mencari jawaban tanpa harus guru mmberikan ceramah terus-menerus. Ini dapat menjadikan siswa lebih memahami materi yang akan
dipelajarinya sehingga saat diberikan post-test, banyak siswa yang memiliki nilai diatas rata-rata. Namun, meskipun ada beberapa siswa
yang tidak tuntas di siklus I dan siklus II, jumlah siswa yang belum tuntas di siklus II menurun dibanding siklus I yang semula jumlah siswa
yang belum tuntas di siklus I sebanyak 12 siswa kemudian menurun menjadi 4 siswa pada siklus II.
2. Ranah Afektif
Hasil penelitian ranah afektif dengan menggunakan lembar observasi untuk melihat sikap siswa selama proses pembelajaran
berlangsung. Presentase siswa pada ranah afektif siswa di siklus I masuk dalam kategori tinggi mencapai 65,62 dan yang masuk dalam
kategori sedang mencapai 34,37, dan pada siklus II mengalami peningkatan dengan hasil presentase siswa dalam kategori tinggi
mencapai 96,87 dan yang masuk dalam kategori sedang mencapai 3,12. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada siklus I siswa
sudah belum memiliki sikap yang baik dalam proses pembelajaran dan lebih mengalami peningkatan pada siklus II. Presentase ranah afektif
siswa pada siklus I dan II dapat dilihat pada grafik berikut :
Gambar 4.16. Diagram Garis Presentase Ranah Afektif Siklus I dan Siklus II
Data Gambar Grafik ini menunjukkan bahwa peningkatan sikap terjadi dari siklus I ke siklus II. Hal ini berarti sikap siswa kelas X-F di
SMA Negeri 1 Depok, Sleman, Yogyakarta dalam kegiatan pembelajaran sudah antusias dan bersemangat dan memperhatikan
50 100
150
Tinggi Rendah
Siklus I Siklus II
penjelasan yang disampaian oleh peneliti, percaya diri dalam mempresentasikan hasil diskusi, serta tertarik dalam berdiskusi dengan
metode Two Stay Two Stray. Dari hasil data juga peningkatan pada ranah afektif ini menunjukkan bahwa metode diskusi Two Stay Two
Stray dapat meningkatkan sikap siswa dalam proses pembelajaran. Dengan penggunaan metode Two Stay Two Stray ini, siswa
menjadi lebih aktif untuk mencari jawaban dan aktif bertanya kepada kelompok lain saat kegiatan bertukar informasi, bergerak aktif untuk
berpindah tempat duduk dan teman kelompok. Dengan aktifnya siswa ini, diharapkan saat mengerjakan soal post-test, siswa dapat
mengejakan soal-soal tersebut dengan baik dan mendapatkan hasil yang maksimal.
Kelemahan di siklus I, siswa masih sering ribut di dalam kelas dan membuat suasana kelas menjadi tidak kondusif, serta siswa masih suka
memilih-milih teman dalam berelompok untuk kegiatan diskusi. Pengelolaan waktu yang kurang baik dari peneliti membuat proses
pembelajaran terkesan terlalu tergesa-gesa. Namum di siklus II, peneliti sudah dapat mengatasi kekuranga-kekurangan yang erjadi selama siklus
I dengan reflesksi pribadi maupun masukan dari teman-teman observer sehingga peneliti lebih tegas dalam bersikap, suara diperjelas,
menjelaskan langkah-langkah kerja dari metode Two Stay Two Stray agar siswa tidak bingung lagi dan juga lebih tegas dalam mengatur
alokasi waktu agar waktu berjalan sesuai yang direncanakan.
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada ranah kognitif, dapat disimpulkan bahwa siswa memiliki sikap afektif yang baik pada
saat proses pembelajaran berlangsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Isjoni 2009 bahwa belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok
kecil dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa bekerjasama umtuk memaksimalkan belajar mereka dan anggota lainnya dalam
kelompok tersebut. Ini juga sesuai tujuan utama pembelajaran kooperatif yaitu agar peseta didik dapat belajar berkelompok bersama
teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan
gagasannya dengan
menyampaikan pendapat
mereka secara
berkelompok. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil berupa prestasi akademik.
3. Minat Belajar Siswa
Minat belajar siswa diukur dengan menggunakan kuisioner. Kusisioner diisi dua kali oleh siswa. Kuisioner ini digunakan untuk
mengukur minat siswa dalam pembelajaran biologi. Kuisioner pertama yang diberikan pada awal pertemuan di siklus I untuk melihat minat
awal siswa tehadap pembelajaran biologi secara umum, sedangkan kuisioner kedua diberikan pada akhir pembelajaran di siklus II untuk
melihat minat siswa terhadap pembelajaran biologi setelah digunakan metode Two Stay Two Stray.
Dari hasil data perhitungan pada lembar kuisioner, terjadi peningkatan presentasi minat siswa dari siklus I ke siklus II. Presentasi minat siswa
dapat dilihat pada grafik berikut :
Gambar 4.17. Diagram Batang Presentase Minat Awal dan Minat Akhir Siswa
Presentase minat awal belajar siswa adalah 78,12 dan pada siklus II adalah 100. Minat sbelajar siswa ini sudah termaksud dalam
kategori tinggi. Peningkatan kategori siswa untuk minat ini dikarenakan siswa sudah mulai terbiasa dan mulai menyenangi kegiatan diskusi
dengan menggunakan metode Two Stay Two Stray ini. Peningkatan ini juga sesuai dengan tujuan penerapan pembelajaran
yang ingin meningkatkan minat belajar siswa. Penggunaan metode TSTS ini mengarahkan siswa agar lebih aktif baik dalam berfikir
maupun dalam psikomotor siswa dan tidak hanya monoton dengan mendengar penjelasan yang disampaikan oleh guru. Metode ini juga
mengajarkan siswa untuk saling bekerja sama baik dalam teman kelompoknya
maupun dengan teman-teman dikelompok lain. Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan
20 40
60 80
100 120
Tinggi Sedang
Minat Awal Minat Akhir
metode Two Stay Two Stray dapat meningkatkan minat belajar siswa yang tinggi sesuai dengan harapan dari peneliti.
4. Faktor Pendukung Penerapan Metode Two Stay Two Stray
Dalam penelitian ini, terdapat faktor yang mendukung keberhasilan penerapan metode Two Stay Two Stray pada materi phylum
Platyhelminthes, Nemathelminthes dan Annelida di kelas X-F SMA Negeri 1 Depok, Sleman, Yogyakarta. Faktor-faktor pendukung
tersebut adalah : a
Peneliti Peneliti merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan
penerapan metode TSTS. Kesiapan baik dalam batin maupun kesiapan materi beserta perangkatnya sangatlah berperan dalam
kesuksesan pelaksanaan penelitian. Saat siswa ada yang masih kurang aktif, peneliti langsung melakukan pendekatan personal
kepada siswa tersebut sehingga peneliti mengetahui masalah apa yang dialami siswa dan bisa memperbaikinya dan siswa bisa lebih
aktif lagi dala proses pembelajaran. b
Siswa Kondisi siswa dikelas X-F pada umumnya banyak yang aktif,
namum ada beberapa siswa yang lebih pendiam pasif. Latar belakang siswa juga mempengaruhi pengetahuan. Semester
sebelumnya, kelas ini masuk dalam kelas IIS Ilmu-Ilmu Sosial sehingga kelas X-F suasana kelasnya sangat ribut. Namun, setelah
peneliti masuk dan bisa membaur dan akrab dengan siswa-siswa tersebut, siswa menjadi lebih menghargai sehingga proses
pembelajarann dapat berlangsung dengan baik. c
Fasilitas Sekolah Kelas X-F di SMA Negeri 1 Depok, Sleman, Yogyakarta
sudah memiliki fasilitas yang memenuhi kebutuhan untuk proses pembelajaran. Kelas ini sudah dilengkapi dengan viewer, LCD,
papan tulis whiteboard yang memudahkan peneliti dalam menerapkan metode Two Stay Two Stray TSTS. Adanya
kelengkapan fasilitas ini membuat peneliti dan siswa tidak mengalami kesulitan.
5. Faktor Penghambat Penggunaan Metode Two Stay Two Stray
Selain faktor pendukung, penelitian ini juga tidak luput dari faktor penghambat yang dapat memperhambat kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan dengan metode Two Stay Two Stray. Faktor-faktor penghambat tersebut adalah :
a Pembagian Kelompok
Pada siklus I, pembagian kelompok ditentukan sendiri oleh siswa, siswa memilih sendiri teman-teman yang menjadi teman
kelompoknya. Karena kelompoknya berdasarkan pilihan siswa sendiri, kegiatan diskusi menjadi kurang optimal karena siswa lebih
banyak berbicara dibanding bekerja dalam kegiatan diskusi.
Untuk siklus II, pembagian kelompok ditentukan oleh guru sehingga anggota kelompok berdasarkan keragaman kemampuan
akademiknya. Jadi pembagian kelompok di siklus II dilakukan secara merata dan alokasi waktu lebuh baik dibanding pada siklus
I. b
Alokasi Waktu Materi hewan invertebrata sebenarnya sangatlah banyak dan
kompleks. Materi phylum Platyhelinthes, Nemathelminthes dan Annelida yang banyak dengan waktu pertemuan yang sedikit
membuat peneliti susah dalam mengelola waktu. Terutama saat kegiatan diskusi berlangsung. Peneliti masih harus mengkondisikan
siswa agar tidak membuang waktu dengan ribut dikelas. Dan juga siswa masih awal mengetahui metode TSTS ini sehingga pada
sikus I siswa masih bingung dalam kegiatan diskusi. Untuk itu, peneliti lebih tegas dalam mengkoordinasi siswa saat pembagian
kelompok maupun saat kegiatan diskusi berlangsung.
118
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN