20
sudah terjadi pembagian hak, tanggung jawab, dan wewenang antara masyarakat dengan pemerintah dalam pengambilan keputusan. Dengan
tingkatan kontrol masyarakat citizen control, pelimpahan kekuasaan deleganted control dan kemitraan partnership; b Tokenism, hanya
sekedar formalitas yang memungkinkan masyarakat mendengar dan memiliki hak untuk memberikan suara, tetapi pendapat mereka belum
menjadi bahan dalam pengambilan keputusan. Dengan tingkatan penetraman placation, konsultasi consultation dan informasi
information; c Non Partcipation, masyarakat hanya menjadi objek. Dengan tingkatan terapitherapy dan manipulasi manipulation.
Berbeda dengan teori Shery Arstein, Siti Irene Dwiningrum 2011: 73-74 mengatakan tingkat keterlibatan orang tua di sekolah
tidak hanya ditentukan oleh orang tua, tetapi juga ditentukan oleh sistem pendidikan yang berlaku. Proses keterlibatan orang tua di
sekolah yang disusun secara hirarkhis antara lain sebagai berikut: a Spectator: menunjukkan keterlibatan orang tua di sekolah sangat kecil
bisa dikatakan tidak ada; b Support: menunjukkan keterlibatan orang tua di sekolah hanya pada saat khusus dimana pihak sekolah meminta
keterlibatan mereka; c Engagement: hubungan orang tua dan sekolah saling menghormati dalam suasana yang saling mendukung; dan d
Decision making: orang tua menuntut hubungan yang saling tergantung antara rumah dan sekolah.
21
Pemaparan di atas dapat di tarik kesimpulan, tingkat partisipasi masyarakat paling tinggi berdasarkan teori Shery Arstein adalah pada
tahap dalam pengambilan keputusan, tingkat partisipasi masyarakat paling sedang adalah hanya sekedar formalitas yang memungkinkan
masyarakat mendengar dan memiliki hak untuk memberikan suara, sedangkan tingkat partisipasi masyarakat paling rendah adalah
masyarakat hanya menjadi objek. Sedangkan tingkat keterlibatan orang tua secara hirarkhis yang dinyatakan oleh Siti Irene Dwiningrum
menunjukkan bahwa level terendah ada pada level spectator dan level tertinggi pada level decision making dimana orang tua menuntut
hubungan yang saling tergantung antara rumah dan sekolah.
2. Peran Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan
Muhammad Supriono dan Sapari Ahmad 2001: 13 mengungkapkan bahwa peranserta masyarakat dalam pendidikan memiliki
pengaruh yang sangat besar dan strategis. Hal ini diakui secara resmi, baik dalam Undang-Undang UU maupun Peraturan Pemerintah PP. Dalam
UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Bab IV Pasal 8, “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi program pendidikan”. Dari pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk berperan dalam pendidikan kaitannya
dengan perencanaan, pelaksaan, pengawasan, dan evalusai program. Oleh karena itu, masyarakat merupakan aset penting dalam pembangunan
termasuk dalam dunia pendidikan.
22
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1992, di dalamnya juga terdapat pasal yang mengatur tentang peranserta partisipasi masyarakat
dalam pendidikan. Yang mana disebutkan dalam BAB III pasal 4: “Peransertapartisipasi maysarakat dapat berbentuk:
a. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur
pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada
semua jenjang pendidikan di jalur pendidikan sekolah; b.
Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu melaksanakan pengajaran,
pembimbingan danatau pelatihan peserta didik; c. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan
kegiatan belajar-mengajar danatau penelitian dan pengembangan;
d. Pengadaan danatau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan danatau
diselenggarakan oleh Pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional; e Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat
berupa wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis; f Pengadaan dan pemberian bantuan ruangan,
gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar- mengajar; g Pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran
dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar- mengajar; h Pemberian kesempatan untuk magang danatau
latihan kerja; i Pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan
pendidikan nasional; j Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan danatau
penyelenggaraan pengembangan pendidikan; k Pemberian bantuan dan kerjasama dalam kegiatan penelitian dan
pengembangan; dan l Keikutsertaan dalam program pendidikan danatau penelitian yang diselenggarakan oleh Pemerintah di
dalam danatau di luar negeri.”
Dari isi pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari peransertapartisipasi masyarakat dikategorikan kedalam beberapa hal
diantaranya dalam bentuk pendirian satuan pendidikan, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan,
serta ikut serta dalam program pendidikan. Melihat uraian dari pasal di
23
atas, sangatlah jelas ditekankan perlunya peran partisipasi masyarakat dalam pendidikan guna mempermudah penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat penting bagi
peningkatan mutu pendidikan. Partisipasi merupakan proses eksternalisasi individu, sebagaimana dijelaskan oleh Berger Siti Irene Astuti
Dwiningrum, 2011: 195, bahwa eksternalisasi adalah suatu pencurahan kehadiran manusia secara terus menerus kedalam dunia, baik dalam
aktivitas fisik maupun mental. Pada proses eksternalisasi menurut Berger, adalah suatu keharusan karena manusia pada praktiknya tidak bisa
berhenti dari proses pencurahan diri kedalam dunia yang ditempatinya. Manusia akan bergerak keluar mengekspresikan diri dalam dunia
sekelilingnya. Siti Irene Astuti Dwiningrum 2011: 196 mengungkapakan
partisipasi sebagai proses interaksi sosial ditentukan oleh objektivitas yang ditentukan oleh individu dalam dunia intersubjektif yang dapat dibedakan
oleh kondisi sosiokultural sekolah. Bagi sekolah partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan adalah kenyataan objektif yang dalam
pemahamannya ditentukan oleh kondisi subjektif orang tua siswa. Dengan demikian, partisipasi menuntut adanya pemahaman yang sama atau
objektivasi dari sekolah dan orang tua dalam tujuan sekolah. Artinya, tidak cukup dipahami oleh sekolah bahwa partisipasi sebagai bagian yang
penting bagi keberhasilan sekolah dalam meningkatkan mutu, karena