3. Pemilu Era Transisi Reformasi : Pemilu 1999
Pemilu pertama pasca Orde Baru, yaitu era Transisi Reformasi pada tahun 1999 ditandai dengan semangat demokratisasi dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia HAM, akan tetapi juga diwarnai euphoria kebebasan dan penolakan resistensi terhadap semua hal yang berbau Orde Baru sehingga terkesan
irrasional dan emosional. Terlepas dari kekurangannya, Pemilu 1999 dinilai sebagai Pemilu terbaik sesudah Pemilu 1955, karena telah mengalami perbaikan
secara teratur sebenarnya sudah terpenuhi. Akan tetapi, karena Pemilu 1999 tidak menghasilkan mayoritas di MPR yang berwenang memilih Presiden, maka
kemudian timbul lagi krisis ketatanegaraan pada tahun 2001 yang berakibatnya
jatuhnya pemerintahan di bawah Presiden KH.Abdurrahman Wahid.
Pemilu yang berlangsung pada tahun 1999 sebenarnya berpotensi untuk terjadinya perselisihan hasil Pemilu, karena Panitia Pemilihan Indonesia PPI
bersama KPU sebagai penyelenggaraan Pemilu gagal untuk menetapkan hasil Pemilu dimana 27 parpol dar 48 parpol peserta Pemilu tidak mau menandatangani
hasil Pemilu sehingga hasil Pemilu tersebut ditetapkan oleh Presiden Habibie.
4. Pemilu Sesudah Perubahan UUD 1945 : Pemilu 2004 dan Pemilu 2009
Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia telah mengalami perubahan yang menjamin konstitusional yang terdiri atas :
a. Pemilu harus diselenggarakan secara berkala setiap 5 lima tahun sekali
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil b.
Semua Lembaga perwakilan keanggotannya direkrut melalui Pemilu c.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu
d. Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
e. Peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, peserta
Pemilu anggota DPD adalah perseorangan, peserta Pemilu Presiden dan wakil Presiden adalah pasangan calon yang diusulkan partai politik atau
gabungan partai politik, dan peserta Pemilupemilihan kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik
f. Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat
nasional , tetap, dan mandiri g.
Disediakan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil Pemilu di forum Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian diatas, jaminan konstitusional tersebut maka setelah
Perubahan UUD 1945 dikenal 3 Tiga macam Pemilu, yaitu : 1.
Pemilu Legislatif, yaitu Pemilu untuk memilih anggota DPR,DPD,dan DPRD
2. Pemilu Presiden Sering juga disebut Pilpres untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden. 3.
Pemilukada atau Pilkada untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala darerah.
Prinsip demokrasi yang terdiri atas 3 tiga kriteria yakni, kedaulatan
rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur, maka baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 telah memenuhinya. Terlebih lagi
bahwa konstitusi telah menyediakan mekanisme konstitusional penyelesaian perselisihan hasil Pemilu PHPU Legislatif dan Pemilu Presiden di Mahkamah
Konstitusi, sedangkan untuk PemilukadaPilkada perselisihan hasil Pemilu pernah diselesaikan di Mahkamah Agung dan kemudian dialihkan ke Mahkamah
Konstitusi
19
b. Sejarah Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Pemilihan Umum di Indonesia dalam pelaksanaannya terdapat istilah Pengawasan Pemilu. Pengawasan Pemilu sebenarnya baru muncul pada era 1980-
an. Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada
19
Mukhtie Fadjar.Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi,Malang;Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan KDT.2013.hal 1-12
1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang
dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai
Konstituante. Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, tetapi
dapat dikatakan sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapan,
kalaupun terdapat gesekan hanya terjadi diluar wilayah pelaksanaan Pemilu.
Perselisihan yang muncul merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat tersebut. Hingga saat ini, masih muncul keyakinan bahwa
Pemilu 1955 merupakan Pemilu Indonesia yang paling ideal. Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia
Pengawas Pelaksana Pemilu Panwaslak Pemilu. Pada saat itu sudah mulai muncul ketidakpercayaan terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dicampuri
oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi
perhitungan suara yang dilakukan oleh para petugas Pemilu pada Pemilu 1971.Karena pelanggaran dan kecurangan Pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977
jauh lebih massif. Pemerintah dan DPR yang didominasi oleh partai GOLKAR dan ABRI
akhirnya merespon segala bentuk protes-protes tersebut. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki Undang-Undang yang bertujuan meningkatkan “Kualitas”
Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan partai PPP dan partai PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta Pemilu ke dalam kepanitiaan Pemilu.
Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan Pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum LPU.
Era Reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggaraan Pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan penguasa semakin penguat. Untuk
itulah dibentuk sebuah Lembaga Penyelenggaran Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama Komisi Pemilihan Umum KPU. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalisasi campur tangan penguasa dalam pelaksanaan Pemilu mengingat penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, yakni LPU, merupakan bagian dari
Kementerian Dalam Negeri Sebelumnya Departemen Dalam Negeri. Di sisi lain, Lembaga pengawas Pemilu juga berubah dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia
Pengawas Pemilu Panwaslu. Kelembagaan Pengawas Pemilu baru mengalami perubahan mendasar
yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut Undang-Undang ini dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk sebuah
lembaga Ad Hoc terlepas dari struktur KPU yang terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
KabupatenKota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Selanjutnya, kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dengan dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu Bawaslu.
Adapun aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada sampai dengan tingkat kelurahandesa dengan urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia
Pengawas Pemilu KabupatenKota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan
Pengawas Pemilu Lapangan PPL di tingkat kelurahandesa dan Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagian kewenangan dalam pembentukan Pengawas Pemilu merupakan kewenangan dari KPU. Namun
selanjutnya berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007, rekrutmen pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu. Kewenangan utama dari Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi,
pelanggaran pidana Pemilu, serta kode etik. Kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih mengalami dinamika
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Secara kelembagaan pengawas Pemilu
dikuatkan kembali dengan dibentunknya lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat Provinsi dengan nama Badan Pengawas Pemilu Provinsi Bawaslu
Provinsi. Selain itu pada bagian kesekretariatan Bawaslu juga didukung oleh unit kesekretariatan eselon I dengan nomenklatur Sekretariat Jenderal Bawaslu. Selain
itu pada konteks kewenangan, selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Bawaslu berdasarkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum juga memiliki kewenangan untuk menangani sengketa Pemilu.
20
20
http:www.Bawaslu.go.id, diakses pada Tanggal 25 Oktober 2014.
7. Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Pemilihan Umum
a. Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam KUHP
Perkembangan mengenai Tindak pidana Pemilihan Umum berawal dari ketentuan Kitab Undang Hukum Pidana KUHP atau Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946. Di dalam KUHP yang merupakan warisan dari Pemerintahan Belanda terdapat 5 lima pasal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Pemilihan Umum. Kelima pasal tersebut diatur dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai Tindak pidana Kejahatan dalam melaksanakan kewajiban dan hak
kenegaraan, diantaranya adalah : 1.
Pasal 148 yang mengatur tentang merintangi orang yang menjalankan haknya dalam memilih.
2. Pasal 149 yang mengatur tentang penyuapan dengan sanksi pidana.
3. Pasal 150 yang mengatur tentang perbuatan tipu muslihat diancam
pidana penjara Sembilan bulan 4.
Pasal 151 yang mengatur tentang tindak pidana yang mengaku sebagai orang lain diancam pidana satu tahun empat bulan
5. Pasal 152 yang mengatur tentang meninggalkan pemungutan suara
yang telah dilakukan atau melakukan tipu muslihat diancam pidana dua tahun.
Ketentuan pidana yang dimuat berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum di dalam KUHP adalah menarik ketika WvS mulai berlaku ditahun 1917,
dan kedudukan pasal-pasal tersebut telah ada, padahal Indonesia pada masa tersebut masih dalam penjajahan Belanda yang menyatakan bahwa belum
terlaksananya proses Pemilihan Umum di Indonesia.
b. Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1953
Undang-Undang ini mengatur mengenai tindak Pidana Pemilihan Umum yang dapat dilihat dari ketentuan Bab XV Pasal 113-Pasal 129 yang terdiri atas 17
Pasal mengenai Tindak pidana yang diuraikan sebagai berikut : 1.
Pasal 113-Pasal 126 yang mengatur tentang tindak pidana 2.
Pasal 127 yang mengatur tentang perampasanpemusnahan barang bukti
3. Pasal 128 yang mengatur tentang hukuman tambahan
4. Pasal 129 yang mengatur tentang jenis tindak pidana
Keseluruhan pasal ini memuat 14 empat belas pasal yang merupakan jenis kejahatan dan 2 dua pasal yang merupakan jenis pelanggaran. Kemudian
dari segi sanksi pidananya, hanya 9 Sembilan pasal yang mengatur 5 lima tahun penjara sebagai sanksinya, kemudian terdapat hukuman denda dan hukum
penjara antara 3 tiga bulan hingga 3tiga tahun penjara.
c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969
Pengaturan mengenai tindak pidana Pemilihan Umum di dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1969 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 dan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1985 yang kesemuanya merupakan Undang-Undang
Pemilihan Umum pada masa Orde Baru tidaklah banyak terdapat perbedaan. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, pengaturan mengenai Pidana
Pemilihan Umum hanya menyangkut 3 tiga prinsip, yaitu : 1
Hilangnya 2 dua Tindak pidana yang Berkaitan dengan Surat Palsu. Ketentuan yang berkaitan dengan Surat palsu sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 115 dan Pasal 117, yakni “Menyimpan surat palsu dengan
maksud untuk menggunakan atau supaya dipergunakan orang lain” tidak terdapat l lagi pada Undang-Undang Pemilihan Umum pada masa Orde
Baru. Melainkan yang digunakan hanyalah ketentuan Pasal 114 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1953, yakni “Mempergunakan atau menyuruh
menggunakan surat palsu “yang dimasukkan ke dalam Pasal 26 ayat 2 dan 3. 2
Dibuatnya 1 satu Tindak pidana baru. Ketentuan terhadap WNI bekas anggota G-30 SPKI atau organisasi
terlarang lainnya yang tidak diberikan hak pilih suara dan mencalonkan orang yang tidak diberi hak pilih tersebut.
3 Perubahan sistematika yang berupa penyerdehanaan pasal.
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
Undang- Undang ini mengatur mengenai tindak pidana Pemilihan Umum dalam Bab XIII yang terdiri atas 4 empat Pasal, yakni :
1. Pasal 72 yang terdiri atas 3 tiga ayat
2. Pasal 73 yang terdiri atas 11 sebelas ayat memuat rumusan dari
14 empat belas tindak pidana Pemilihan Umum Terdapat 13 tiga belas pasal diantaranya telah dimuat dalam Undang-Undang
Pemilihan Umum pada masa Orde Baru dan ditambah satu tindak pidana Pemilihan Umum yang berkaitan dengan pemberian dana kampanye melebihi
ketentuan. Selanjutnya : 3.
Pasal 74 mengatur tentang tindak pidana yang dikategorikan sebagai Kejahatan dan Pelanggaran
4. Pasal 75 mengatur tentang barang-barang bukti dalam tindak
pidana Pemilihan Umum.
e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003
Undang –Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang yang sebelumnya berdasarkan tuntutan dan perkembangan masyarakat sebagaimana
dituangkan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dimana Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan DPRD KabupatenKota serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Perbandingan dengan Undang-Undang sebelumnya, ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini terdapat sejumlah perbedaan dari awal proses
Pemilihan Umum hingga Pengawasan dan Sanksi pidana. Di dalam Undang- Undang ini juga diatur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana
sebagaimana diatur pada Bab XV, yaitu Pasal 137 hingga Pasal 140. Demikan juga ketentuan Pasal 141 yang mengatur mengenai dasar pemberatan pidana.
f. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
Undang- Undang ini memuat perkembangan mengenai tindak pidana Pemilihan Umum terlihat dalam pasal 260-pasal 311 yang mengatur tentang
tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan, calon, dan tim kampanye, Pejabat negara, PNS, TNI, dan POLRI,Petugas anggota KPU,Bawaslu di semua tingkatan,
percetakan, lembaga penghitungan hasil Pemilihan Umum cepat. Dengan kata lain terdapat pembagian antara subjek hukum pelaku Tindak pidana yang terdiri atas
perorangan dan institusi.
g. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
Pengaturan tindak pidana Pemilihan Umum dalam Undang-Undang ini dikategorikan lebih jelas antara Kejahatan dan Pelanggaran yang berkaitan dengan
denda pidana dan kurungannya. Selain itu terdapatnya penghapusan terhadap pidana minimum guna memberikan Asas Kepastian Hukum dan memudahkan
bagi Hakim dalam memberikan putusan. Undang-Undang ini juga memperkuat peranan Badan Pengawas Pemilihan Umum Bawaslu yang juga dilakukan
melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Hal ini dapat dilihat dari penambahan waktu terhadap
pelaporan pelanggaran Pemilihan Umum menjadi 7 tujuh hari, penambahan penanganan laporan pelanggaran Pemilihan Umum yang dilakukan menjadi 5
lima hari yang kemudian pengawas Pemilihan Umum dapat mengklasifikasi penggaran tersebut ke dalam :
1. Pelanggaran Kode Etik penyelenggaraan Pemilihan Umum yang akan
diteruskan kepada Dewan Kehormatan Pelanggaran Kode Etik DKPP.Pada Undang-Undang Pemilihan Umum yang lama tidak
mengatur mengenai hal ini
2. Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum diteruskan kepada Komisi
Pemilihan Umum KPU, KPU Provinsi, atau KPU KabupatenKota. 3.
Sengketa Pemilihan Umum diselesaikan oleh Bawaslu, yang pada Undang-Undang Pemilihan Umum lama hal ini juga tidak diatur.
4. Tindak pidana Pemilihan Umum diteruskan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia POLRI Undang-Undang Pemilihan Umum ini juga mengatur tentang Sentra
Penegakan Hukum Terpadu Sentra Gakkumdu terkait mengenai penanganan tindak pidana Pemilihan Umum dengan tujuan untuk menyamakan pemahaman
dan pola penanganan Tindak pidana Pemilihan Umum antara Bawaslu, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
21
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipejenis penelitian lapangan field research dan penelitian kepustakaan library research. Jenis
penelitian lapangan, yakni penelitian yang dilakukan dimaksudkan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai Peranan Panitia Pengawas
Pemilihan Umum PANWASLU dalam menanggulangi Tindak pidana Pemilihan Umum yang terjadi melalui wawancara dengan responden yang menjadi objek
penelitian untuk memperoleh data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Penulis juga menggunakan jenis penelitian kepustakaan library research. Penulis mendapatkan data dari literatur berupa buku-buku, jurnal, dan tulisan-
tulisan lainnya yang membahas mengenai penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma yang terdiri atas asas-asas, norma,
kaidah dari peraturan perundang-undangan , putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.
22
2. Sifat Penelitian