IMPLEMENTASI SISTEM PEMBELAJARAN MITIGASI BENCANA DI SEKOLAH SIAGA BENCANA MIN JEJERAN PLERET WONOKROMO BANTUL.

(1)

IMPLEMENTASI SISTEM PEMBELAJARAN MITIGASI BENCANA DI SEKOLAH SIAGA BENCANA MIN JEJERAN

WONOKROMO PLERET BANTUL SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nurul Putri Wulandari NIM 11108244025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI SISTEM PEMBELAJARAN MITIGASI BENCANA DI SEKOLAH SIAGA BENCANA MIN JEJERAN WONOKROMO PLERET BANTUL” yang disusun oleh Nurul Putri Wulandari, NIM 11108244025 ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diujikan.


(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat orang yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang berlaku.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam lembar pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, 5 Oktober 2015

Yang menyatakan,

Nurul Putri Wulandari


(4)

(5)

v MOTTO

“Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri” [Tafsir Surah

An-Nisaa : 79]

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, karya ini penulis persembahkan kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan segala karunia-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak, ibu, dan saudaraku tercinta yang senantiasa memberikan doa, motivasi dan semangat sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah menjadi tempat menuntut ilmu.


(7)

vii

IMPLEMENTASI SISTEM PEMBELAJARAN MITIGASI BENCANA DI SEKOLAH SIAGA BENCANA MIN JEJERAN

PLERET WONOKROMO BANTUL Oleh

Nurul Putri Wulandari NIM 11108244048

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi sistem pembelajaran mitigasi bencana di sekolah siaga bencana MIN Jejeran Wonokromo Pleret Bantul. Aspek yang diteliti meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sistem pembelajaran mitigasi bencana.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penentuan subjek penelitian dilakukan secara purposive. Subjek penelitian adalah informan kunci yaitu kepala sekolah, informan utama yaitu guru khusus menangani siaga bencana dan guru kelas, dan informan tambahan yaitu siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan menggunakan model Miles and Huberman yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik pengujian keabsahan data dengan trianggulasi teknik..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa MIN Jejeran melakukan 2 tipe mitigasi bencana yaitu Hasil penelitian menunjukkan bahwa MIN Jejeran melakukan 2 tipe mitigasi bencana yaitu mitigasi struktural dengan pembangunan gedung sekolah yang memanfaatkan bahan-bahan yang kuat dan aman seperti beton dan penggunaan baja ringan untuk atap sekolah. Penataan ruang kelas yang aman, penyediaan area evakuasi, serta adanya denah evakuasi sekolah. Mitigasi non-struktural dengan pengintegrasian pembelajaran mitigasi bencana pada seluruh mata pelajaran untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan terkait kebencanaan. Selain itu pembiasaan budaya siaga seperti membuang sampah pada tempatnya, menata kendaraan dan sepatu untuk selalu menghadap keluar. Implementasi sistem pembelajaran mitigasi bencana dilakukan dengan 3 tahap yaitu (1) perencanaan sistem pembelajaran mitigasi bencana dilakukan dengan merancang tujuan program siaga bencana melalui visi, misi, dan tujuan sekolah, merancang RPP mitigasi sekolah pada seluruh mata pelajaran serta fasilitas pendukung pelaksanaan pembelajaran mitigasi bencana, serta pembiasaan budaya siaga. (2) pelaksanaan sistem pembelajaran tercermin dalam pembelajaran yang mengintegrasikan pembelajaran mitigasi bencana pada seluruh mata pelajaran yang didalamnya ada pembiasaan budaya siaga dengan memanfaatkan fasilitas pendukung mitigasi bencana.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikanTugas Akhir Skripsi yang berjudul “Implementasi Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana di Sekolah Siaga Bencana MIN Jejeran Wonokromo Pleret Bantul” dengan lancar. Penulis menyadari sepenuhnya, tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, Tugas Akhir Skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Rochmad Wahab, M. Pd. MA, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian. 2. Bapak Dr. Haryanto, M. Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin penelitian untuk keperluan penyusunan skripsi.

3. Ibu Hidayati, M. Hum, Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan rekomendasi dan bantuan dari awal pembuatan proposal hingga penyusunan skripsi ini terselesaikan.

4. Ibu Woro Sri Hastuti, M.Pd, pembimbing I dan Ibu Supartinah, M.Hum, pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing peneliti sampai penyusunan skripsi ini selesai.

5. Bapak Ahmad Musyadad, M.Si, Kepala Sekolah MIN Jejeran yang telah memberikan ijin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.

6. Bapak dan Ibu guru MIN Jejeran yang telah membantu dalam memberikan informasi terkait implementasi sistem pembelajaran mitigasi bencana.


(9)

ix

7. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu peneliti mengaharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 5 Oktober 2015 Penulis,


(10)

x DAFTAR ISI

hal

JUDUL ……….. i

PERSETUJUAN ………... ii

SURAT PERNYATAAN………..……. iii

PENGESAHAN……….. iv

MOTTO……….. v

PERSEMBAHAN ………. vi

ABSTRAK ……….… vii

KATA PENGANTAR……… viii

DAFTAR ISI ………..… x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 8

C. Rumusan Penelitian... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Mengenai Implementasi ... 11

B. Kajian Mengenai Sistem Pembelajaran ... 12

1. Pengertian Sistem Pembelajaran ... 12

2. Ciri-Ciri Sistem Pembelajaran ... 16

3. Komponen Sistem Pembelajaran ... 19

4. Langkah-Langkah Penyusunan Perencanaan Pembelajaran ... 26

C. Kajian Mengenai Mitigasi Bencana ... 30

1. Bencana ... 30

2. Mitigasi Bencana ... 33


(11)

xi

4. Respon/Daya Tanggap ... 42

5. Pemulihan (Recovery) ... 43

D. Kajian Mengenai Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana ... 45

E. Kajian Mengenai Sekolah Siaga Bencana ... 54

1. Pengertian Sekolah Siaga Bencana ... 55

2. Tujuan Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana ... 56

3. Parameter Sekolah Siaga Bencana ... 57

F. Pertanyaan Penelitian ... 62

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 64

B. Tempat dan Waktu Penelitian... 65

C. Subyek Penelitian... 66

D. Teknik Pengumpulan Data ... ... 67

E. Instrumen Pengumpulan Data ... 70

F. Teknik Analisis Data ... 79

G. Rencana Pengujian Keabsahan Data ... 81

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi dan Subyek Penelitian ... 83

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 83

2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 85

B. Hasil Penelitian ... 86

1. Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana di MIN Jejeran ... 86

2. Perencanaan Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana ... 109

3. Pelaksanaan Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana ... 124

4. Evaluasi Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana ... 149

C.Pembahasan Hasil Penelitian ... 153

1. Implementasi Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana di MIN Jejeran... 153

2. Perencanaan Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana ... 164

3. Pelaksanaan Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana ... 173


(12)

xii

D.KeterbatasanPenelitian ... 183

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 185

B.Saran ... 187

DAFTAR PUSTAKA ... 189


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Table 1 Panduan Pengumpulan Data ... 70

Tabel 2 Kisi-kisi Observasi Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana ... 76

Tabel 3 Kisi-kisi Wawancara Kepala Sekolah ... 76

Tabel 4 Kisi-kisi Wawancara dengan Guru Ahli Mitigasi Bencana ... 77

Tabel 5 Kisi-kisi Wawancara Guru Kelas ... 77

Tabel 6 Kisi-kisi Wawancara dengan Siswa ... 78

Tabel 7 Kisi-kisi Dokumen Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana ... 79

Tabel 8 Komponen Pembelajaran Matematika ... 124

Tabel 9 Komponen Pembelajaran PKn ... 131

Tabel 10 Komponen Pembelajaran IPA ... 135

Tabel 11 Komponen pembelajaran IPS ... 138

Tabel 12 Komponen Pembelajaran Bahasa Indonesia ... 141


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1 Peta Kerawanan Bencana di DIY ... 2

Gambar 2 Kerangka Pendekatan Sistem ... 13

Gambar 3 Komponen Sistem Pembelajaran ... 20

Gambar 4 Proses terjadinya bencana ... 31

Gambar 5 Teknik Analisis Data dan Model Miles and Huberman ... 81

Gambar 6 Visi Misi dan Tujuan MIN Jejeran ... 88

Gambar 7 Plakat dari SEAMEO ... 92

Gambar 8 Rambu yang dipasang di area parkir ... 92

Gambar 9 Penjelasan di area evakuasi ... 95

Gambar 10 Penjelasan wilayah sekolah dalam zona merah ... 96

Gambar 11 Suasana Simulasi kecil ... 96

Gambar 12 PLAN lembaga yang memberikan bantuan ... 100

Gambar 13 Proses Pembelajaran yang memanfaatkan media LCD ... 102

Gambar 14 Suasana UKS ... 105

Gambar 15 Ketersediaan obat-obatan ... 105

Gambar 16 Kepemilikan Oksigen UKS MIN Jejeran ... 106

Gambar 17 Area evakuasi kampus 1 ... 106

Gambar 18 Area Evakuasi Kampus 2 ... 106

Gambar 19 Dragbar atau tandu ... 108

Gambar 20 Alat Pemandam Kebakaran ... 108

Gambar 21 Bel Sekolah yang dimanfaatkan sebagai alarm tanda bahaya ... 108

Gambar 22 Penayangan dokumenter oleh guru ... 146

Gambar 23 Kegiatan diskusi siswa ... 146


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Kepala Sekolah ... 192

Lampiran 2 Pedoman Wawancara Guru Mitigasi Bencana ... 195

Lampiran 3 Pedoman Wawancara Guru Kelas ... 199

Lampiran 4 Pedoman Wawancara Siswa ... 202

Lampiran 5 Pedoman Observasi Implementasi ... 204

Lampiran 6 Pedoman Observasi Proses ... 206

Lampiran 7 Pedoman Observasi Guru ... 208

Lampiran 8 Pedoman Dokumentasi Perangkat Sistem ... 210

Lampiran 9 Pedoman Dokumentasi Data dan Kebijakan ... 211

Lampiran10 Hasil Wawancara Kepala Sekolah ... 213

Lampiran 11 Hasil Wawancara Guru Mitigasi Bencana ... 217

Lampiran 12 Hasil Wawancara Guru Mitigasi Bencana ... 224

Lampiran 13 Hasil Wawancara Guru Kelas ... 231

Lampiran 14 Hasil Wawancara Guru Kelas ... 238

Lampiran 15 Hasil Observasi Implementasi ... 243

Lampiran 16 Hasil Observasi Proses ... 247

Lampiran 17 Hasil Observasi guru ... 250

Lampiran 18 Hasil Dokumentasi Perangkat Sistem ... 254

Lampiran 19 Hasil Dokumentasi Data dan Kebijakan ... 256

Lampiran 20 Triangulasi Teknik ... 259

Lampiran 21 Profil MIN Jejeran ... 273

Lampiran 22 RPP Matematika ... 277

Lampiran 23 RPP PKn ... 284

Lampiran 24 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ... 287

Lampiran 25 Kurikulum MIN Jejeran ... 289

Lampiran 26 Surat Ijin dari FIP ... 290

Lampiran 27 Surat Ijin dari Sekertariat Daerah ... 291

Lampiran 28 Surat Ijin dari BAPPEDA ... 292


(16)

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bencana yang terjadi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah bencana dan korban jiwa ditimbulkan oleh bencana itu sendiri dan sungguh sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) di Indonesia, peningkatan bencana sejak tahun 1815-2014 yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia cukup sering dilanda bencana alam yang banyak menimbulkan korban jiwa. Terbukti dari sejarah bencana besar yang pernah terjadi di Indonesia.

Peristiwa besar yang pernah menjadi bencana besar di Indonesia, dipengaruhi oleh geologi wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Eurasia di bagian utara dan lempeng Pasifik di bagian timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke utara dengan lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng (Lilik Kurniawan, dkk, 2011: 1).


(17)

2

Wilayah kabupaten Bantul berdiri di tanah yang merupakan pertemuan lempeng tektonik aktif yaitu lempeng Indo-Australia dan lempeng eurasia. Letak wilayah kabupaten Bantul berada di wilayah selatan DIY yang berbatasan langsung dengan samudera Hindia. Dilihat dari keadaan geografis wilayah Bantul, berdasarkan sumber Disdukcapil Kab. Bantul luas wilayah kabupaten 506,85 km2 dengan topografi sebagai dataran rendah 140% dan lebih dari separuhnya (60%) daerah perbukitan yang kurang subur. Selain itu, kabupaten Bantul di aliri 6 sungai yang mengalir sepanjang tahun yaitu: sungai Oyo, Opak, Code, Winongo, Bedog, dan Progo. Banyaknya sungai yang mengalir di wilayah kabupaten Bantul dapat memicu terjadinya bencana banjir dan tanah longsor. Sehingga dengan keadaan wilayah tersebut kabupaten Bantul sangat berpotensi timbulnya berbagai bencana. Berikut adalah peta perseberan bencana yang ada di DIY.

Gambar 01. Peta Kerawanan Bencana di DIY

Menurut Gambar 01. menunjukkan bahwa potensi bencana di DIY cukup tinggi terutama potensi bencana di daerah kabupaten Bantul. Maka


(18)

3

dari itu pemerintah daerah kabupaten Bantul mengeluarkan Peraturan Daerah No 5 Tahun 2010 tentang penanggulangan bencana yang telah disesuaikan dengan keadaan daerah Kabupaten Bantul. Penyelenggaraan penanggulangan bencana alam berdasarkan Perda No 5 Tahun 2010 adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Perda ini dikeluarkan mengingat bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah Daerah, maka perlu dilasanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Penangulangan bencana yang dilakukan oleh pemerintah daerah di kabupaten Bantul bekerjasama dengan berbagai pihak seperti BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), PMI (Palang Merah Indonesia), dan pihak-pihak terkait yang dapat membantu dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sehingga, penyelenggaraan penanggulangan bencana dibutuhkan upaya yang menyeluruh dan proaktif dimulai dari pengurangan risiko bencana.

Pengurangan risiko bencana ini dimulai dari mengenalkan ancaman bencana apa saja yang akan dihadapi, bagaimana cara mengurangi ancaman dan kerentanan, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana yang akan terjadi. Mitigasi bencana merupakan salah satu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana tidak hanya dilakukan di


(19)

4

salah satu bidang saja, namun meliputi di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. sektor pendidikan merupakan sarana yang sangat tepat untuk mengkampanyekan pengurangan risiko bencana ini.

Sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional No. 70a/MPN/SE/2010 tentang pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah, serta mengkampanyekan Sejuta Sekolah dan Rumah Sakit Aman yang diluncurkan 29 Juli 2010, maka Kementerian Nasional memberikan prioritas kusus untuk melakukan rehabilitasi bangunan sekolah untuk menciptakan sekolah aman. Sekolah siaga bencana merupakan salah satu upaya menanamkan budaya siaga dan udaya aman di sekolah dan menyebarluaskan serta mengembangkan pengetahuan kebencanaan masyarakat melalui sekolah.

Maka sangat tepat jika dalam lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai pendidikan kesiapsiagaan bencana atau pendidikan pengurangan risiko bencana sebagai tindakan preventif dan antisipatif terhadap keadaan alam lingkungan kita yang rawan akan terjadinya bencana alam. Sehingga sangat penting memasukkan pendidikan pengurangan risiko bencana dalam kurikulum sekolah. Dimasukkannya pendidikan pengurangan risiko bencana dalam kurikulum sekolah, diharapkan kesiapsiagaan para warga sekolah lebih meningkat.

Peristiwa gempa DIY menjadi tolak ukur pemerintah daerah untuk segera mempersiapkan sekolah yang siaga terhadap segala macam


(20)

5

bencana. Berdasarkan data dari Dikdasmen Bantul, 2009 (dalam Akbar K. Setiawan, 2010: 4) data kerusakan sekolah yang ada di kabupaten Bantul akibat adanya bencana alam gempa bumi tektonik, dari 1.116 sekolah mulai dari TK, SD/MI, SMP/MTs, SLB, SMA/MA dan SMK terdapat 197 sekolah yang hancur, 421 sekolah rusak berat, 344 sekolah rusak ringan, dan 154 sekolah dalam kondisi baik. Dari data banyaknya kerusakan sekolah Kabupaten Bantul, banyak sekolah yang mulai merintis sekolah siaga bencana. Pengintegrasian pendidikan tentang mitigasi bencana dalam setiap pembelajaran di sekolah, diharapkan timbul budaya siaga dan budaya aman warga sekolahnya. Sekolah yang akan mengacu pada pendidikan pengurangan risiko bencana ini, diperlukan sistem pembelajaran yang mengacu pada pendidikan mitigasi bencana.

Pendidikan mitigasi bencana yang diterapkan di sekolah siaga bencana dimulai dengan sistem pembelajaran mitigasi bencana. Pembelajaran merupakan suatu sistem, karena pembelajaran merupakan kegiatan yang bertujuan, yaitu membelajarkan siswa. Proses pembelajaran itu merupakan rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai komponen, itulah pentingnya setiap guru memahami sistem pembelajaran. Melalui pemahaman sistem, minimal setiap guru akan memahami tujuan pembelajaran atau hasil yang diharapkan, proses kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan, pemanfaatan setiap komponen dalam proses kegiatan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana mengetahui keberhasilan pencapaian tersebut (Wina Sanjaya, 2011: 197). Sehingga melalui


(21)

6

pendekatan sistem pembelajaran, penanaman mitigasi bencana dapat diterapkan di sekolah-sekolah yang rawan akan terjadinya bencana.

Indonesia mulai merintis sekolah yang mengacu pendidikan mitigasi bencana saat wilayah Nangroe Aceh Darussalam dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Semenjak kejadian 2004, di NAD banyak sekolah yang sudah menerapkan pendidikan mitigasi bencana dalam sistem pembelajarannya. Di Banda Aceh sudah ada beberapa sekolah rintisan SSB, yaitu SMAN 1, SMAN 6, MAN 2, SMPN 1, SDN 1 dan SDN 2. Sekolah-sekolah ini diinisiasi oleh LIPI, Compress, UNESCO, JTIC TDMRC,UN ISDR dan Uni Eropa pada tahun 2009/2010 (Khairul Anwar, 2014). Monitoring dan evaluasi yang dilakukan pada tahun 2011 memberikan gambaran masih minimnya usaha-usaha yang dilakukan sekolah dalam upaya pengurangan risiko bencana. Akan tetapi, sekolah memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan pengetahuan kebencanaan di masa yang akan datang mengingat rawannya wilayah NAD akan terjadinya bencana gempa dan tsunami (Faisal Ilyas, 2014).

Belajar dari NAD, terutama setelah kejadian gempa bumi 27 Mei 2006 yang melanda wilayah daerah Yogyakarta tepatnya di kabupaten Bantul, banyak sekolah-sekolah yang mulai memasukkan pendidikan mitigasi bencana dalam proses pembelajaran. Sebelum kejadian gempa 2006, belum banyak bahkan belum ada sekolah di Yogyakarta yang memasukkan pendidikan pengurangan risiko bencana dalam pembelajarannya. Belajar dari peristiwa tersebut, sekolah-sekolah di


(22)

7

Yogyakarta mulai merintis sekolah yang berbasis Sekolah Siaga Bencana. Salah satunya MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) Jejeran Wonokromo Pleret, Bantul.

MIN Jejeran merupakan salah satu sekolah yang berhasil menerapkan sistem pembelajaran mitigasi bencana. Berdasarkan bimbingan dari PLAN dan forum LINGKAR, MIN jejeran dapat melaksanakan pendidikan mitigasi bencana dalam pembelajarannya. MIN Jejeran juga bekerjasama dengan instansi terkait seperti BPBD, PMI, dan Puskesmas Pleret dalam penyelenggaraan simulasi bencana untuk beberapa pelaksanaan simulasi rutin. Organisasi PLAN dan forum LINGKAR bekerjasama memberikan bimbingan mulai dari kepala sekolah, guru, staf dan karyawan, siswa MIN Jejeran, sarana dan prasarana untuk menunjang pembelajaran mitigasi, serta pengenalan lingkungan sekolah yang termasuk zona rawan bencana. Bahkan sekolah ini pernah menorehkan prestasi menjadi 3rd winner of the

SEAMEO-Japan Award Theme Education for Disaster Risk Reduction. Perolehan prestasi tersebut MIN Jejeran menjalin kerjasama MOU terkait implementasi pendidikan pengurangan risiko bencana dengan sekolah-sekolah peserta lomba dari beberapa negara seperti Thailand, Philipina, dan Myanmar. Pada acara Asian Ministerial Conference on Disaster Risk

reduction (AMCDRR) yang diadakan di Jogja Expo Center (JEC),

Yogyakarta pada tanggal 22-25 Oktober 2012, MIN Jejeran mendapatkan kunjungan untuk melihat bagaimana simulasi tanggap bencana yang dianggap berhasil menanggulangi risiko bencana.


(23)

8

Pentingnya pengadaan sistem pembelajaran mitigasi sebagai wujud aksi pengurangan risiko bencana sangat diperlukan bagi sekolah yang berada di wilayah rawan bencana. MIN Jejeran telah berhasil menerapkan pembelajaran mitigasi bencana sebagai wujud pengurangan risiko bencana di sekolah, diharapkan sistem pembelajaran mitigasi bencana juga dapat diimplementasikan oleh sekolah lain. Dari hasil tersebut mendasari penelitian dilakukan dengan mengangkat judul “Implementasi Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana di Sekolah Siaga Bencana MIN Jejeran Wonokromo Pleret Bantul”.

B. Fokus Penelitian

Dalam pandangan penelitian kualitatif, gejala itu yang bersifat holistic (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), sehingga tidak akan menetapkan penelitian hanya berdasarkan variabel penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti yang meliputi aspek tempat, pelaku, dan kegiatan.

Dalam penelitian ini, menfokuskan penelitian pada implementasi sistem pembelajaran mitigasi bencana di Sekolah Siaga Bencana MIN Jejeran Wonokromo Pleret Bantul.

C. Rumusan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan fokus penelitian di atas, maka rumusan penelitian yang dapat ajukan adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana perencanaan sistem pembelajaran mitigasi bencana di MIN Jejeran?


(24)

9

2. Bagaimana pelaksanaan sistem pembelajaran mitigasi bencana di MIN Jejeran?

3. Bagaimana evaluasi sistem pembelajaran mitigasi bencana di MIN Jejeran?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui.

1. Perencanaan sistem pembelajaran mitigasi bencana di MIN Jejeran. 2. Pelaksanaan sistem pembelajaran mitigasi bencana di MIN Jejeran. 3. Evaluasi sistem pembelajaran mitigasi bencana di MIN Jejeran. E. Manfaat Penelitian

Secara rinci, manfaat dari penelitian tentang implementasi sistem pembelajaran mitigasi bencana di Sekolah Siaga Bencana MIN Jejeran ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat menjadi motivasi siswa untuk menerapkan budaya siaga dan aman dalam menghadapi setiap bencana yang terjadi.

b. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam rangka membelajarkan mitigasi bencana kepada peserta didiknya agar siap untuk menghadapi segala bencana yang terjadi.

c. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam rangka pengawasan, pembinaan, dan evaluasi bagi guru dalam pelaksanaan sistem pembelajaran mitigasi bencana.


(25)

10 2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi sekolah-sekolah yang sedang dalam proses penerapan sistem pembelajaran mitigasi di sekolah yang wilayahnya rawan berpotensi terjadinya bencana alam dengan melakukan tindakan preventif dan antisipatif.


(26)

11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Mengenai Implementasi

Menurut Nurdin Usman (2002: 70) mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan.

“Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.”

Implementasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah pelaksanaan atau penerapan. Menurut Wina Sanjaya (2010: 126), penerapan merupakan tujuan kognitif yang lebih tinggi lagi tingkatannya dibandingkan dengan pengetahuan dan pemahaman. Tujuan ini berhubungan dengan kemampuan mengaplikasikan suatu bahan pelajaran yang sudah dipelajari dengan teori, rumus-rumus, dalil, hukum, konsep, ide dan lain sebagainya ke dalam situasi baru yang konkret. Perilaku yang berkenaan dengan kemampuan penerapan ini, misalnya kemampuan memecahkan suatu persoalan dengan menggunakan rumus, dalil, atau hukum tertentu.

Pengertian implementasi yang dikemukan, dapat dikatakan bahwa implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan yang sudah dirancang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan penerapan atau proses untuk melaksanakan ide, proses atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan melakukan penyesuaian demi terciptanya suatu tujuan yang harus dicapai.


(27)

12 B. Kajian Mengenai Sistem Pembelajaran 1. Pengertian Sistem Pembelajaran

Menentukan kualitas proses pendidikan, dapat menggunakan salah satu pendekatan yaitu pendekatan sistem. Melalui pendekatan sistem dapat dilihat berbagai aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu proses. Dalam sebuah sistem dapat menentukan tujuan, untuk mencapai tujuan dibutuhkan sebuah proses, dan dibutuhkan komponen atau unsur-unsur tertentu selama proses untuk mencapai suatu tujuan. Pembelajaran merupakan sebuah sistem, karena pembelajaran merupakan kegiatan yang bertujuan, yaitu membelajarkan siswa. Proses pembelajaran itu merupakan rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai komponen.

Sebelum beranjak pada pengertian sistem pembelajaran, terlebih dahulu memahami pengertian sistem. Wina Sanjaya (2010: 2) berpendapat sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Zahara Idris, 1987 (dalam Fuad Ihsan, 2003: 108) sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau elemen-elemen atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur, tidak sekedar acak, yang saling membantu untuk mencapai suatu hasil (product). Menurut Hamzah B. Uno (2006: 11-14), sistem adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang saling berinteraksi secara fungsional yang memperoleh masukan menjadi keluaran.


(28)

13

Gambar 2. Kerangka Pendekatan sistem (Hamzah B. Uno, 2006: 14) Pada kerangka pendekatan sistem ini terlihat bahwa apa yang ingin dicapai (restriction) merupakan dasar analisis suatu sistem. Restriction terumusakan dalam tujuan (objective), standar perilaku yang diharapkan (performance standar) juga kemungkinan hambatan dalam mencapai tujuan (constraint). Berdasarkan kepada tujuan sistem, selanjutnya dapat dirumuskan masukan (input), yakni apa yang ingin dicapai sesuai tujuan. Masukan tersebut diproses sehingga menghasilkan keluaran (output) tertentu. Hasil evaluasi terhadap output dijadikan dasar umpan balik (feed back) untuk melakukan perbaikan atau revisi, baik terhadap proses maupun terhadap

input. Atas dasar inilah seluruh komponen sistem berhubungan dan

berinteraksi berdasarkan alur diatas. Berdasarkan uraian ini, pembelajaran merupakan suatu sistem mempunyai sejumlah komponen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan pengertian diatas yang dimaksud sistem disini adalah serangkaian komponen pembelajaran yang saling berhubungan atau

Input

Objectives Performance Standart

Constraint

Feed Back Control Process


(29)

14

berinteraksi antara komponen yang satu dengan yang lain yang memiliki fungsi sendiri-sendiri setiap komponennya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Oemar Hamalik (2010: 57), sistem pembelajaran adalah suatu kombinasi terorganisasi yang meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Manusiawi terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur, fotografi, slide dan film, audio dan video tape.

Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari rungan kelas, perlengkapan audio

visual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya.

Sistem pembelajaran merupakan suatu sistem, karena pembelajaran merupakan kegiatan yang bertujuan, yaitu membelajarkan siswa. Proses pembelajaran itu merupakan rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai komponen itulah pentingnya setiap guru memahami sistem pembelajaran. Melalui pemahaman sistem, minimal setiap guru akan memahami tentang tujuan pembelajaran atau hasil yang diharapkan, proses kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan, pemanfaatan setiap komponen dalam proses kegiatan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana mengetahui keberhasilan pencapaian tersebut.

Sistem bermanfaat untuk merancang atau merencanakan suatu proses pembelajaran. Perencanaan adalah proses dan cara berpikir yang dapat


(30)

15

membantu menciptakan hasil yang diharapkan (Eli, 1979 dalam Wina Sanjaya, 2011: 197).

Merencanakan pembelajaran dengan menggunakan sistem memiliki beberapa manfaat, diantaranya:

a. Melalui pendekatan sistem, arah dan tujuan pembelajaran dapat direncanakan dengan jelas. Melalui pendekatan sistem setiap guru dapat lebih memahami tujuan dan arah pembelajaran, sehingga melalui tujuan yang jelas, bukan saja dapat menentukan langkah-langkah pembelajaran dan pengembangan komponen yang lainnya, akan tetapi juga dapat dijadikan kriteria efektivitas proses pembelajaran.

b. Pendekatan sistem menuntun guru pada kegiatan yang sistematis. Berpikir secara sistem adalah berpikir runtut, sehingga melalui langkah-langah yang jelas dan pasti memungkinkan hasil yang diperoleh akan maksimal. Setiap guru dapat menggambarkan berbagai hambatan yang mungkin akan dihadapi sehingga dapat menentukan berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, pendekatan sistem juga dapat menghindari kegiatan-kegiatan yang tidak perlu dilakukan.

c. Pendekatan sistem dapat merancang pembelajaran dengan mengoptimalkan segala potensi dan sumber daya yang tersedia. Sistem dirancang agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Sehingga guru berusaha memanfaatkan seluruh potensi yang relevan dan tersedia, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh siswa


(31)

16

d. Pendekatan sistem dapat memberikan umpan balik. Melalui proses umpan balik dalam pendekatan sistem, dapat diketahui apakah tujuan itu telah berhasil dicapai atau belum. Melalui umpan balik, dapat diketahui apakah tujuan berhasil dicapai, komponen mana saja yang perlu diperbaiki atau dipertahankan, komponen mana saja yang butuh penyesuaian, dan bagaimana memperbaiki komponen, semua itu dapat diperoleh dari hasil kajian umpan balik (Wina Sanjaya, 2010: 7-8)

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem pembelajaran adalah serangkaian komponen pembelajaran yang memiliki fungsi dimana antar komponen yang satu saling berhubungan dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Sistem pembelajaran bermanfaat untuk memudahkan dalam merencanakan, pelaksanaan, hingga hasil yang ingin dicapai dalam menentukan suatu tujuan pembelajaran.

2. Ciri-ciri Sistem Pembelajaran

Menurut Wina Sanjaya (2010: 2), sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Konsep tersebut memiliki tiga ciri utama suatu sistem yaitu:

a. Sistem memiliki tujuan

Setiap sistem memiliki tujuan yang pasti. Tujuan itulah yang menggerakkan sistem. Tujuan keberadaan lembaga pendidikan adalah agar dapat melayani setiap anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan.


(32)

17 b. Sistem memiliki fungsi

Agar proses pendidikan berjalan dan dapat mencapai tujuan secara optimal diperlukan fungsi perencanaan, fungsi administrasi, fungsi kurikulum, fungsi bimbingan, dan lain sebagainya. Fungsi inilah yang terus menerus berproses hingga tercapainya tujuan.

c. Sistem memiliki komponen.

Untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, setiap sistem mesti memiliki komponen-komponen yang satu sama lain saling berhubungan. Komponen-komponen inilah yang dapat menentukan kelancaran proses suatu sistem. Sebagai suatu sistem setiap komponen harus dapat melaksanakan fungsinya dengan tepat. Manakala salah satu komponen tidak berfungsi, maka akan mempengaruhi sistem tersebut.

Ada beberapa sifat komponen dalam suatu sistem yaitu:

1) Pertama, komponen ada yang bersifat integral dan ada komponen yang

tidak integral. Komponen integral adalah komponen yang tidak dapat dipisahkan dari keadaan suatu sistem itu sendiri. Sedangkan komponen yang tidak integral sama dengan komponen pelengkap. Artinya, walaupun komponen itu tidak ada, maka tidak akan mempengaruhi keberadaan suatu sistem, walaupun mungkin akan mengganggu perjalanan sistem itu sendiri.

2) Kedua, setiap komponen dalam suatu sistem saling berhubungan atau


(33)

18

3) Ketiga, setiap komponen dalam suatu sistem merupakan keseluruhan

yang bermakna. Dalam suatu sistem komponen-komponen itu bukan hanya bagian-bagian yang terpisah, akan tetapi satu kesatuan yang bermakna.

4) Keempat, setiap komponen dalam suatu sistem adalah bagian dari sistem

yang lebih besar. Komponen-komponen dalam suatu sistem pada dasarnya adalah subsistem dari suatu sistem.

Menurut Oemar Hamalik (2010: 126-127), ada dua ciri utama pendekatan sistem pembelajaran, yakni.

a. Pendekatan sistem sebagai suatu pandangan tertentu mengenai proses pembelajaran dimana berlangsung kegiatan belajar mengajar, terjadi interaksi antara siswa dan guru, dan memberikan kemudahan bagi siswa untuk belajar secara efektif.

b. Penggunaan metodologi untuk merancang sistem pembelajaran, yang meliputi prosedur perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan penilaian keseluruhan proses pembelajaran, yang tertuju ke pencapaian tujuan pembelajaran tertentu (konsep, prinsip, keterampilan, sikap dan nilai, kreativitas, dan sebagainya).

Selain itu, ada tiga ciri khas utama yang terkandung dalam sistem pembelajaran, yaitu:

1) Rencana, ialah penataan ketenagaan, material, dan prosedur, yang merupakan unsur-unsur sistem pembelajaran, dalam suatu rencana khusus.


(34)

19

2) Saling ketergantungan (interdependence), antara unsur-unsur sistem pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan. Tiap unsur bersifat esensial, dan masing-masing memberikan sumbangannya kepada sistem pembelajaran.

3) Tujuan, sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tujuan utama sistem pembelajaran agar siswa belajar. Tugas seorang perancang sistem adalah mengorganisasi tenaga, material, dan prosedur agar siswa belajar secara efisien dan efektif. Dengan proses mendesain sistem pembelajaran perancang membuat rancangan untuk memberikan kemudahan dalam upaya mencapai tujuan sistem pembelajaran tersebut (Oemar Hamalik, 2010: 66).

Dari penjelasan yang telah disebutkan dapat disimpulkan ciri-ciri dari sistem pembelajaran adalah tujuan, komponen, dan fungsi. Ketiga ciri tersebut saling berhubungan yang di dalamnya meliputi proses perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan penilaian keseluruhan proses pembelajaran, yang tertuju ke pencapaian tujuan pembelajaran tertentu.

3. Komponen Sistem Pembelajaran

Wina Sanjaya (2010: 9-13) Perencanaan pembelajaran adalah proses pengambilan keputusan hasil berpikir secara rasional tentang sasaran dan tujuan pembelajaran tertentu, sehingga rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut dengan memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada. Untuk mencapai tujuan


(35)

20

pembelajaran tersebut dibutuhkan komponen-komponen yang berproses sesuai dengan fungsinya agar tercapai secara optimal.

Gambar 3. Komponen sistem pembelajaran

digambarkan oleh Brown (1983) (dalam Wina Sanjaya, 2010: 11) Komponen sistem pembelajaran menurut Brown, 1983 (dalam Wina Sanjaya, 2010: 9-13) berdasarkan Gambar 3. yakni:

a. Siswa

Proses pembelajaran pada hakikatnya diarahkan untuk membelajarkan siswa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan demikian, maka proses pengembangan perencanaan dan desain pembelajaran, siswa

A. Tujuan

Tujuan apa yang harus dicapai?

B. Kondisi

Dalam kondisi yang bagaimana siswa dapat mencapai tujuan TUJUAN KHUSUS

Pengetahuan Sikap Keterampilan

ISI

PENGALAMAN BELAJAR Dengan menekankan secara individu

MODEL BELAJAR MENGAJAR EVALUASI DAN

PENGEMBANGAN

BAHAN DAN ALAT

FASILITAS FISIK C. HASIL

Bagaimana pencapaian tujuan? Apa yang perlu dirubah?

D. SUMBER

Apa sumber yang diperlukan untuk menambah pengalaman belajar?


(36)

21

harus dijadikan pusat dari segala kegiatan. Artinya, keputusan-keputusan yang diambil dalam perencanaan dan desain pembelajaran disesuaikan dengan kondisi siswa yang bersangkutan, baik sesuai dengan kemampuan dasar, minat dan bakat, motivasi belajar, dan gaya belajar siswa itu sendiri. b. Tujuan

Tujuan adalah komponen terpenting dalam pembelajaran setelah komponen siswa sebagai subjek belajar. Dalam konteks pendidikan, persoalan tujuan merupakan persoalan tentang misi dan visi suatu lembaga pendidikan itu sendiri. Artinya tujuan penyelenggaraan pendidikan diturunkan dari visi dan misi lembaga pendidikan itu sendiri. Selanjutnya tujuan yang bersifat umum itu diterjemahkan menjadi tujuan yang lebih spesifik. Tujuan-tujuan tersebut sebenarnya merupakan arah yang harus dijadikan rujukan dalam proses pembelajaran. Artinya, tujuan-tujuan khusus, yang dirumuskan harus berorientasi pada pencapaian tujuan umum tersebut. Tujuan-tujuan khusus yang direncanakan oleh guru meliputi:

1) pengetahuan, informasi, serta pemahaman sebagai bidang kognitif, 2) sikap dan apresiasi sebagai tujuan bidang afektif, dan

3) berbagai kemampuan sebagai bidang psikomotorik.

Dalam konteks pembelajaran, tujuan khusus dirumuskan sebagai teknik untuk mencapai tujuan pendidikan.

c. Kondisi

Kondisi adalah berbagai pengalaman belajar yang dirancang agar siswa dapat mencapai tujuan khusus seperti yang telah dirumuskan. Pengalaman


(37)

22

belajar harus mendorong agar siswa aktif belajar baik secara fisik maupun nonfisik. Merencanakan pembelajaran salah satunya adalah menyediakan kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gayanya sendiri. Demikian juga dalam mendesain pembelajaran desainer perlu menciptakan kondisi agar siswa dapat belajar dengan penuh motivasi dan penuh gairah, oleh sebab itu, tugas guru adalah memfasilitasi pada siswa agar mereka belajar sesuai dengan minat, motivasi, dan gayanya sendiri. Semuanya itu bisa diarancang melalui pendekatan belajar secara klasikal dalam kelompok kelas besar, kelompok kelas kecil dan bahkan belajar secara mandiri. Namun demikian, walaupun para desainer menggunakan berbagai pendekatan pada akhirnya sasaran terakhir adalah bagaimana agar setiap individu dapat belajar. Oleh karena itu, tekanan dalam menentukan kondisi belajar adalah siswa secara individual.

d. Sumber-Sumber Belajar

Sumber belajar berkaitan dengan segala sesuatu yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar, di dalamnya meliputi lingkungan fisik seperti tempat belajar bahan dan alat yang dapat digunakan, personal seperti guru, petugas perpustakaan dan ahli media, dan siapa saja yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung untuk keberhasilan dalam pengalaman belajar. Dalam proses merencanakan pembelajaran, perencana harus dapat menggambarkan apa yang harus dilakukan guru dan siswa dalam memanfaatkan sumber belajar secara optimal. Mendesain


(38)

23

pembelajaran para desainer perlu menentukan sumber belajar apa dan bagaimana cara memanfaatkannya.

e. Hasil Belajar

Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan. Dengan demikian, tugas utama guru dalam kegiatan ini adalah merancang instrumen yang dapat mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran.

Menurut Hamzah B. Uno (2006: 14-21), pembelajaran merupakan suatu sistem mempunyai sejumlah komponen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Komponen sistem pembelajaran meliputi kondisi pembelajaran, strategi pembelajaran dan hasil pengajaran senantiasa saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain. Penjelasan dari ketiga komponen ini adalah:

1) Metode Pembelajaran

Variabel metode pembelajaran diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu

a) Strategi pengorganisasian (organizational strategy) adalah metode untuk mengorganisasi isi bidang studi yang telah dipilih untuk pembelajaran. “mengorganisasi” mengacu pada suatu tindakan seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format dan lainnya yang setingkat dengan itu.


(39)

24

b) Strategi penyampaian (delivery strategy) adalah metode untuk menyampaikan isi pembelajaran kepada siswa dan atau untuk menerima serta merespon masukan yang berasal dari siswa. Media pembelajaran merupakan bidang kajian utama dari strategi ini. c) Strategi pengelolaan (management strategy) adalah metode untuk

menata interaksi antara siswa dan variabel metode pembelajaran lainnya, variabel strategi pengorganisasian dan penyampaian isi pembelajaran.

2) Kondisi Pembelajaran

Untuk mendeskripsikan metode pembelajaran, maka variabel kondsi haruslah berinteraksi dengan metode, dan sekaligus berada diluar kontrol perancang pembelajaran. Mengidentifikasi variabel kondisi pembelajaran memiliki pengaruh utama pada tiga variabel metode pembelajaran. Atas dasar ini, Reigeluth dan Merril mengelompokkan variabel kondisi pembelajaran menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu

a) Tujuan pembelajaran.

Tujuan pembelajaran adaah pernyataan tentang hasil pembelajaran apa yang diharapkan. Tujuan ini bisa sangat umum, sangat khusu atau dimana saja dalam kontinu khusus.

b) Kendala dan Karakteristik Bidang Studi

Karakteristik bidang studi adalah aspek-aspek suatu bidang studi yang dapat memberikan landasan yang berguna sekali dalam


(40)

25

mendeskripsikan strategi pembelajaran. Kendala adalah keterbatasan sumber-sumber, seperti waktu, media, personalia, dan uang.

c) Karakteristik Siswa

Karakteristik siswa adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa seperti bakat, motivasi, dan hasil belajar yang telah dimiliknya. Tujuan dan karakteristik bidang studi ini biasanya dihipotesiskan memiliki pengaru utama pada pemilihan strategi, pengorganisasian pembelajaran, kendala (dan karakteristik bidang studi) pada pemilihan strategi penyampaian dan karakteristik siswa pada pemilihan strategi pengelolaan. Bagaimanapun juga, pada tingkat tertentu, mungkin sekali suatu variabel kondisi akan mempengaruhi setiap variabel metode (misalnya, karakteristik siswa bisa mempengaruhi pemilihan strategi penyampaian), di samping pengaruh utamanya pada strategi pengelolaan pembelajaran.

3) Hasil pembelajaran

Variabel hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu a) keefektifan (effectiveness);

b) efesiensi (efficiency); dan c) daya tarik (appeal).

Keefektifan pembelajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian isi belajar. Ada 4 (empat) aspek penting yang dapat dipakai untuk mempreskripsikan keefektifan pembelajaran, yaitu (1) kecermatan penguasaan perilaku yang dipelajari atau sering disebut dengan “tingkat


(41)

26

kesalahan”, (2) kecepatan unjuk kerja, (3) tingkat alih belajar, dan (4) tingkat retensi dari apa yang dipelajari.

Efisiensi pembelajaran biasanya diukur dengan rasio antara keefektifan belajar dan jumlah waktu yang dipakai si belajar dan/atau jumla biaya pembelajaran yang digunakan. Daya tarik pembelajaran biasanya diukur dengan mengamati kecenderungan siswa untuk tetap belajar. Daya tarik pembelajaran erat sekali kaitannya dengan daya tarik bidang studi, dimana kualitas pembelajaran biasanya akan mempengaruhi keduanya. Itulah sebabnya, pengukuran kecenderungan siswa untuk terus atau tidak terus belajar dikaitkan dengan proses pembelajaran itu sendiri dengan bidang studi.

Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa komponen dalam sistem pembelajaran adalah tujuan pembelajaran, karakteristik siswa yang menjadi subjek pembelajaran, metode penyampaian, kondisi pembelajaran, sumber-sumber belajar, dan hasil belajar yang diharapkan.

4. Langkah-langkah Penyusunan Perencanaan Pembelajaran

Berdasarkan komponen-komponen dalam sistem pembelajaran, selanjutnya menentukan langkah-langkah dalam penyusunan perencanaan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:

a. Merumuskan tujuan khusus

Selain sekolah yang sudah merumuskan tujuan yang ingin dicapai, peran pertama guru sebagai penerjemah tujuan umum pembelajaran adalah menentukan tujuan khusus beserta materi pembelajarannya. Fungsi rumusan


(42)

27

pembelajaran khusus adalah sebagai teknik untuk mencapai tujuan pembelajaran umum. Rumusan tujuan pembelajaran, harus mencakup tiga domain yang diistilahkan oleh Bloom, 1956 (dalam Wina Sanjaya, 2010: 40-45)

1) Domain Kognitif

Domain kognitif adalah tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan pengembangan aspek intelektual siswa, melalui penguasaan pengetahuan dan informasi.

2) Sikap dan apresiasi

Domain sikap adalah domain yang berhubungan dengan penerimaan dan apresiasi seseorang terhadap suatu hal. Domain afektif bersentuhan dengan aspek psikologis yang sulit, untuk didefinisikan pada bentuk tingkah laku yang dapat diukur. Hal ini disebabkan aspek sikap dan apresiasi berhubungan dengan perkembangan mental yang ada dalam diri seseorang, sehingga muncul dalam aspek perilaku belum tentu menggambarkan sikap seseorang.

3) Keterampilan dan penampilan

Domain keterampilan adalah domain yang menggambarkan kemampuan atau keterampilan seseorang yang dapat dilihat dari unjuk kerja atau

performance. Keterampilan merupakan tujuan pembelajaran khusus yang


(43)

28 b. Pengalaman Belajar

Langkah selanjutnya dalam merencanakan pembelajaran adalah memilih pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran. Belajar bukan hanya sekedar mencatat dan menghafal, akan tetapi proses berpengalaman. Oleh sebab itu, siswa harus didorong secara aktif melakukan kegiatan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar siswa ikut mengamati dan mengalami secara langsung sehingga siswa mendapatkan proses pembelajaran yang bermakna. Karena keterampilan ini akan sangat berguna saat siswa kembali ke masyarakat dan terjun langsung dalam masyarakat.

c. Kegiatan Belajar Mengajar

Menentukan kegiatan belajar mengajar yang sesuai, pada dasarnya dapat dirancang melalui pendekatan kelompok atau pendekatan individual. Pendekatan kelompok atau klasikal adalah pembelajaran dimana setiap siswa belajar secara kelompok baik dalam kelompok besar maupun kelompok kecil. Sedangkan pendekatan individual adalah pembelajaran dimana siswa belajar secara mandiri melalui bahan belajar yang dirancang sedemikian rupa, sehingga siswa dapat belajar menurut kecepatan dan kemampuan masing-masing.

d. Orang-orang yang Terlibat

Perencanaan pembelajaran dengan pendekatan sistem juga bertanggung jawab dalam menentukan orang yang membantu dalam proses pembelajaran. Orang-orang yang akan terlibat dalam proses pembelajaran


(44)

29

khususnya berperan sebagai sumber belajar meliputi infrastruktur atau guru, dan juga tenaga profesional. Peran guru dalam proses pembelajaran adalah sebagai pengelola pembelajaran. Dalam pelakasanaan peran tersebut diantaranya guru berfungsi sebagai penyampai informasi dan memberikan pengalaman belajar yang memadai bagi setiap siswa.

e. Bahan dan Alat

Penyeleksian bahan dan alat juga merupakan bagian dari sistem perencanaan pembelajaran. Penentuan bahan dan alat dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1)Keberagaman kemampuan intelektual siswa.

2)Jumlah dan keberagaman tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai siswa.

3)Tipe-tipe media yang diproduksi dan digunakan secara khusus.

4)Berbagai alternatif pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran.

5)Bahan dan alat yang dapat dimanfaatkan. 6)Fasilitas fisik yang tersedia.

f. Fasilitas Fisik

Fasilitas fisik merupakan faktor yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Fasilitas fisik meliputi ruangan kelas, pusat media, laboratorium atau ruangan untuk kelas berukuran besar (semacam aula).


(45)

30

g. Perencanaan Evaluasi dan Pengembangan

Melalui evaluasi dapat dilihat keberhasilan pengelolaan pembelajaran dan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Evaluasi terhadap hasil belajar siswa akan memberikan informasi tentang:

1) Kelemahan dalam perencanaan pembelajaran, yakni mengenai isi pelajaran, prosedur pembelajaran dan juga bahan-bahan pelajaran yang digunakan.

2) Kekeliruan mendiagnosis siswa tentang kesiapan mengikuti pengalaman belajar.

3) Kelengkapan tujuan pembelajaran khusus.

4) Kelemahan-kelemahan instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa mencapai tujuan pembelajaran

C. Kajian Mengenai Mitigasi Bencana 1. Bencana

Bencana menjadi suatu peristiwa yang turut serta mengiringi kehidupan manusia di berbagai belahan bumi. Sebelum membahas mengenai apa itu bencana, terlebih dahulu memahami makna dari bahaya atau hazard, karena dari bahaya yang ada kemungkinan bisa menyebabkan terjadinya bencana.

Bahaya atau ancaman (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan Iingkungan (Lilik Kurniawan, dkk; 2011: 3). Bencana dapat terjadi apabila terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bencana akan terjadi apabila ada bahaya yang mengancam dan ada kondisi rentan di suatu kawasan. Bentuk dari bencana


(46)

31

sendiri dapat berupa bahaya banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran, badai. Sedangkan kondisi rentan seperti pertumbuhan penduduk yang tinggi, kepadatan penduduk, kurangnya kesadaran akan bencana, degradasi lingkungan (Bevaola Kumalasari, 2014: 17). Apabila antara bahaya dan kondisi rentan ada pemicu yang menimbulkan bencana maka bencana akan terjadi.

Gambar 4. Proses terjadinya bencana diadopsi dari Mauro, 2004 (dalam Bevaola Kusumasari, 2014: 17).

Bencana atau disaster menurut NFPA 1600: Standard on Disaster/

Emergency Management and Business Continuity Programs disebutkan

bencana adalah kejadian dimana sumberdaya, personel atau material yang tersedia di daerah bencana tidak dapat mengendalikan kejadian luar biasa yang dapat mengancam nyawa atau sumberdaya fisik dan lingkungan (Soehatman Ramli, 2010:11).

Definisi lain tentang disaster dari Parker yakni:

“... an unsual nature or man-made event, including an event caused by failure of technological systems, which temporarily overwhelms the response capacity of human communities, groups of individual or natural environments and which causes massive damage, economic loss, disruption, injury, an/or loss of life. ... “ (Parker, 1992 dalam Shaluf,

2007:707).

(“... suatu kejadian alam yang jarang terjadi ataupun akibat ulah manusia, termasuk kejadian yang ditimbulkan oleh kesalahan sistem teknologi, akan mengganggu daya beli dalam waktu singkat pada komunitas, organisasi atau alam sekitar dan menyebabkan kerusakan besar, kerugian ekonomi, kehancuran, trauma, kematian. ...”) (Parker, 1992 dalam Shaluf, 2007: 707).

BAHAYA BENCANA KONDISI


(47)

32

Suatu kejadian yang disebut sebagai bencana adalah kejadian luar biasa yang terjadi di dalam suatu tatanan masyarakat yang menyebabkan kerusakan yang parah bagi lingkungan, jatuhnya korban jiwa (kematian, korban luka), terganggunya kegiatan perekonomian sehingga menimbulkan kerugian, serta dapat meninggalkan trauma bagi korbannya. Selain itu bencana sendiri terjadi karena adanya potensi yang menyebabkan kejadian dapat menimbulkan jatuhnya korban dan menimbulkan kerugian material maun non-material.

a. Klasifikasi Bencana

Bencana diklasifikasikan menjadi tiga tipe yakni (dalam Shaluf, 2007: 704-705):

1) Natural disaster, yakni bencana-bencana yang dikarenakan alam itu

sendiri dan bisa disebut karena merupakan kehendak Tuhan, seperti erupsi gunung berapi, gempa bumi.

2) Man-made disaster, bencana yang dikarenakan atau disebabkan oleh ulah

atau tindakan manusia

3) Hybrid disaster, merupakan bencana yang disebabkan karena kombinasi

antara kesalahan manusia dan dari alam itu sendiri, seperti tanah longsor yang pada mulanya karena ulah manusia yang menebang hutan sembarangan setelah pada titik maksimal alam sudah tidak dapat menanggung lagi maka bencana bisa terjadi.

Dari pemaparan FEMA (Federal Emergency Management Agency) (dalam Shaluf, 2007: 712) bencana dibedakan menjadi 2 jenis yang lebih


(48)

33

spesifik yakni natural disasters (bencana alam) dan technological disasters (bencana yang disebabkan karena teknologi). Bencana alam meliputi bencana-bencana yang dikarenakan oleh alam itu sendiri, seperti gempa bumi, tornado, gelombang panas, tsunami. Jenis bencana kedua yang disebutkan oleh Federal Emergency Management Agency (FEMA) adalah technological

disasters yakni bencana yang disebabkan karena adanya unsur teknologi di

dalamnya. Ketika penggunaan teknologi yang tidak sesuai (asal-asalan) dan terjadi kesalahan yang fatal akan menyebabkan terjadinya suatu bencana.

Dari penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya mengenai klasifikasi bencana dapat ditarik kesimpulan, bencana dibagi menjadi tiga yakni bencana yang disebabkan oleh alam, bencana yang karena penggunaan teknologi yang biasanya dikendalikan oleh manusia dan bencana yang disebabkan karena alam dan maupun manusia.

2. Mitigasi Bencana

Penelitian ini fokus membahas pada point mitigasi untuk itu akan diperjelas lagi bahasan mengenai mitigasi bencana khususnya mitigasi bencana gempa bumi. Dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 dijelaskan mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sedangkan menurut FEMA, 2006 (dalam Shaluf, 2008: 121), mitigasi meliputi segala aktivitas yang dimaksudkan untuk mengurangi ataupun mencegah terjadinya bahaya, mengurangi efek kerusakan dari bahaya yang tidak terhindarkan. Mitigasi


(49)

34

pada dasarnya merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana maupun untuk meminimalisir jatuhnya korban atauun kerusakan yang ditimbulkan.

Penjelasan lain mengenai mitigasi yakni:

“Mitigation efforts attempt to prevent hazards from developing into disasters altogether, or to reduce the effects of disaster when they occur. The mitigation phase differs from the other phase becauseit focuses on long-term measures for reducing or eliminating risk. The implementation of mitigation strategies can be considered a part of the recovery process if applied after a disaster occurs (Scaglia:2)”.

”Mitigasi bencana bertujuan untuk mencegah bahaya dari hal yang dapat menimbulkan bencana tersebut, atau untuk mengurangi akibat yang ditimbulkannya jika bencana tersebut terjadi. Tahapan mitigasi bencana berbeda dengan tahap lain karena kegiatan ini berfokus pada perhitungan jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan risiko yang diterima. Penerapan strategi mitigasi bencana dapat mempertimbangkan untuk proses pemulihan jika diterapkan setelah bencana terjadi” (Scaglia:2).

Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai tindakan untuk mencegah ataupun mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana yang terjadi. Mitigasi bencana diperlukan sebagai upaya meminimalisir risiko dari suatu bencana yang terjadi. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan mitigasi bencana, mulai dari pembangunan fisik yakni bisa dalam bentuk pemasangan alat yang berfungsi sebagai sistem peringatan dini, membuat rancangan bangunan tahan gempa. Atau melalui langkah penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, hal ini sangat perlu dilakukan, karena ketika masyarakat yang ada dikawasan rawan bencana bahkan tidak memiliki kesadaran akan bencana itu sendiri baik itu ancaman maupun cara penyelamatan diri maka akan menyebabkan banyaknya korban yang ada akibat dari suatu bencana. Mitigasi bencana perlu


(50)

35

dilakukan secara terencana dan secara rutin. Dan kegiatan mitigasi bencana bisa diterapkan untuk jangka panjang karena bisa diterapkan untuk beberapa lama.

Mitigasi bencana dibagi menjadi dua tipe yakni mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural (Coppola, 2007:178-179).

a. Mitigasi Struktural

Mitigasi struktural merupakan mitigasi yang lebih fokus pada tindakan pembangunan fisik, dengan memanfaatkan teknik-teknik yang telah dikembangkan sebelumnya yang berguna untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari suatu bencana. Salah satu contoh mitigasi struktural khususnya untuk bencana gempa bumi adalah dengan pembuatan desain rumah tahan gempa. Seperti dijelaskan Coppola mitigasi struktural adalah:

“Structural mitigation measures are those that involve or dictate the necessity for some form of construction, engineering, or other mechanical changes or improvements aimed at reducing hazard risk likelihood or consequence. They often are considered attempts at “man controlling nature” when applied to natural disasters. Structural measures are generally expensive and include a full range of regulation, compliance, enforcement, inspection, maintenance, and renewal issues (Coppola, 2007: 179).”

(Langkah-langkah mitigasi struktural adalah hal-hal yang melibatkan atau memberi perintah untuk kebutuhan dalam beberapa bentuk konstruksi, teknik, atau perubahan mekanis lainnya atau perbaikan yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan risiko bahaya atau konsekuensi. Mitigasi struktural lebih banyak memandang dan melakukan pertimbangan pada "manusia yang mengendalikan alam" ketika diterapkan pada bencana alam. Tindakan struktural umumnya mahal dan termasuk berbagai macam peraturan, penyesuaian, paksaan, peninjauan, pemeliharaan, dan pembaharuan (Coppola, 2007: 179).


(51)

36 b. Mitigasi Non-Struktural

Sedangkan mitigasi non-struktural adalah mitigasi yang fokusnya lebih pada modifikasi perilaku manusia misalnya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bencana gempa bumi baik itu mengenai bencana nya itu sendiri maupun mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan jika gempa bumi terjadi. Pemberian pendidikan mengenai kebencanaan juga termasuk kedalam tipe mitigasi non-struktural ini. Selain itu modifikasi perilaku manusia yang bertujuan untuk mengurangi potensi risiko bencana dilakukan dengan pembuatan regulasi, bila dikaitkan dengan mitigasi bencana gempa bumi dapat berupa peraturan mengenai ketentuan pelaksanaan simulasi gempa bumi. Penjelasan mengenai mitigasi non-struktural dijelaska oleh Coppola :

” Nonstructural mitigation, as defined previously, generally involves a reduction in the likelihood or consequence of risk through modifications in human behavior or natural processes, without requiring the use of engineered structures. Nonstructural mitigation techniques are often considered mechanisms where “man adapts to nature.” They tend to be less costly and fairly easy for communities with few financial or technological resources to implement (Coppola, 2007: 185).”

(Mitigasi non-struktural, seperti yang didefinisikan sebelumnya, umumnya melibatkan pengurangan kemungkinan atau konsekuensi dari risiko melalui modifikasi perilaku manusia atau proses alam, tanpa memerlukan penggunaan struktur rekayasa. Teknik mitigasi nonstruktural sering dianggap mekanisme dimana "manusia beradaptasi dengan alam." Mereka cenderung lebih murah dan cukup mudah bagi masyarakat dengan sedikit sumber daya teknologi dan finansial untuk penerapannya (Coppola , 2007 : 185).

Menurut Coppola (2007: 185-190), mitigasi non-struktural contohnya yakni:


(52)

37

a. Regulatory measures (Penetapan peraturan), penetapan peraturan dapat

berguna untuk kepentingan kebaikan bersama. Khususnya berkaitan dengan pengurangan risiko bencana, misal mengenai peraturan pelaksanaan mitigasi di suatu daerah.

b. Community awareness and education programs (Kesadaran masyarakat

dan program pendidikan), kesadaran dari masyarakat itu sendiri mengenai akan bahaya yang dapat ditimbulkan bila gempa bumi terjadi. Untuk mendukung semakin besar kesadaran masyarakat akan bencana dapat dilakukan pelatihan pelatihan terkait kebencanaan atau dengan memberikan pendidikan kebencanaan.

c. Nonstructural physical modifications (modifikasi fisik nonstruktural),

meliputi modifikasi fisik pada bangunan atau properti yang dapat menghasilkan penurunan risiko. Contoh meliputi: Mengamankan perabotan, lukisan/foto, dan peralatan, dan memasang kait pada lemari. Pada banyak kejadian gempa bumi, sebagian besar luka disebabkan oleh kejatuhan perabotan dan barang-barang lainnya yang tidak aman posisinya.

d. Environmental control (Pengendalian Lingkungan), contohnya: Ledakan

bahan peledak untuk mengurangi tekanan seismik (gempa bumi ).

e. Behavioral modification (Modifikasi Perilaku), melalui kegiatan

kelompok, sebuah komunitas dapat mengubah perilaku individu, sehingga menghasilkan beberapa manfaat pengurangan risiko secara


(53)

38

umum. Dorongan pajak, atau subsidi, dapat membantu meningkatkan keberhasilan pelatihan modifikasi perilaku.

Mitigasi dibedakan menjadi mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural, mitigasi strukutural merupakan tindakan pencegahan yang dilakukukan untuk mengurangi dampak yang disebabkan dari suatu bencana, dimana upaya yang dilakukan lebih fokus pada tindakan yang memanfaatkan adanya teknologi atau upaya yang dilakukan yang bersifat fisik. Mitigasi struktural untuk bencana gempa bumi diantaranya, pembangunan konstruksi bangunan tahan gempa. Jadi dalam mitigasi struktural ini manusia dengan segala kemampuannya melakukan upaya pencegahan terhadap bencana dengan cara pembangunan fisik untuk mengurangi dampak dari bencana.

Mitigasi non-struktural adalah upaya pencegahan yang dilakukan khususnya dengan tindakan memodifikasi perilaku manusia. Jadi upaya-upaya yang dilakukan lebih pada peningkatan kesadaran masyarakat akan bencana dengan memberikan informasi maupun pengetahuan terkait bencana yang berpotensi tejadi di wilayah mereka. Selain itu mitigasi non-struktural dapat berupa penetapan peraturan-peraturan terkait dengan mitigasi.

Soehatman Ramli (2010: 33-34) berpendapat mitigasi bencana dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan yakni:

1) Pendekatan teknis, misalnya dengan membuat rancangan bangunan tahan gempa, membuat material-material yang tahan rusak apabila bencana terjadi. Pendekatan ini sebagai wujud mitigasi bencana yang berasal dari segi eksternal dan bersifat teknis. Perancangan dan


(54)

39

penciptaan benda-benda yang bersifat teknis ini dilakukan sebagai mencegah timbulnya dampak yang lebih parah ketika bencana terjadi. 2) Pendekatan manusia, pada pedekatan ini mitigasi dilakukan untuk

memberikan dan membentuk kesadaran dan pemahaman manusia akan bencana maupun risiko yang disebabkan dari bencana tersebut dan pemahaman akan tahap respon yang harus dilakukan ketika bencana terjadi. Namun poin penting dari pendekatan ini lebih kepada penyadaran kepada manusia mengenai pengertian dari bencana maupun potensi yang dapat ditimbulkan dari bencana dan bagaimana cara mencegah agar bencana tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan manusia.

3) Pendekatan administratif, pemerintah ataupun pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan administratif dalam manajemen bencana khususnya tahap mitigasi, misalnya: penyusunan tata ruang yang memperhitungkan aspek risiko bencana, pengembangkan program pembinaan dan pelatihan bencana di seluruh tingkat masyarakat dan lembaga pendidikan, penyiapan prosedur tanggap darurat dan organisasi tanggap darurat di setiap organisasi baik pemerintahan maupun industri berisiko tinggi. Dalam pendekatan administratif ini diperlukan sebagai payung resmi untuk melakukan mitigasi bencana. Dengan adanya pendekatan adminstratif ini maka mitigasi tidak hanya dilakukan (diupayakan) oleh masyarakat ataupun organisasi tertentu namun juga dari pemerintah


(55)

40

4) Pendekatan kultural, di kalangan masyarakat masih ada anggapan bahwa ketika bencana terjadi maka manusia hanya bisa pasrah menerima bencana yang terjadi. Pendekatan kultural mengenai mitigasi bencana dapat dilakukan dengan menyesuaikan kearifan lokal yang diyakini oleh masyarakat. Pendekatan kultural mitigasi ini dilakukan sebagai langkah untuk merubah cara pikir masyarakat bahwa bencana dapat dicegah dan manusia dapat melakukan segala upaya untuk mencegah bencana atau minimalnya dengan mitigasi, risiko bencana dapat diminimalisir. Melalui kearifan lokal yang diyakini oleh masyarakat mitigasi bencana dapat diterapkan secara sedikit demi sedikit sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana yang dapat dilakukan pencegahan bencana dengan alterrnatif- alternatif yang ada, bukannya ketika ada bencana masyarakat hanya pasrah menerima bencana yang terjadi tanpa melakukan upaya-upaya pencegahan yang sebenarnya dapat dilakukan.

Mitigasi bencana merupakan salah satu fase yang terdapat dalam siklus manajemen bencana tepatnya pada fase pra bencana. Dalam fase ini dilakukan segala upaya untuk mencegah ataupun mengurangi dampak yang ditimbulkan dari suatu bencana. Karena bencana terjadinya tidak dapat diprediksi dengan pasti khususnya bencana gempa bumi, maka diperlukan adanya persiapan perlu dilakukan. Mitigasi dapat dilakukan dengan berbagai macam tindakan baik yang berhubungan dengan pembangunan fisik maupun yang berhubungan dengan perilaku manusia. Khususnya mitigasi bencana


(56)

41

gempa bumi dapat dilakukan dengan berbagai macam tindakan mulai dari dengan pembangunan rumah tahan gempa, penetapan peraturan, penyadaran masyarakat akan pentingnya mitigasi bencana.

3. Kesiapsiagaan

Untuk mengoptimalkan mitigasi bencana dalam fase persiapan mengghadapi bencana yakni dengan juga melaksanakan fase prepardness (kesiapsiagaan). Karena antara fase mitigasi dan fase kesiapsiagaan dalam manajemen bencana erat kaitannya untuk persiapan menghadapi suatu bencana yang intinya untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan bila bencana terjadi. Dalam UU no 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana djelaskan kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Sementara itu Coppola menjelaskan:

“Disaster preparedness defined as actions taken in advance of a

disaster to ensure adequate response to its impacts, and the relief and recovery from its consequences—is performed to eliminate the need for any last-minute actions (Coppola, 2007:209).

“Kesiapsiagaan bencana didefinisikan sebagai aksi yang dilakukan sebelum bencana untuk memastikan tanggapan yang memadai terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan, dan pertolongan dan pemulihan dari akibat bencana yang terjadi, hal ini dilakukan untuk menghilangkan kebutuhan untuk tindakan pada detik-detik terakhir (Coppola, 2007:209).

Tujuan dari kesiapsiagaan bencana adalah untuk mengetahui apa yang dilakukan dari akibat yang ditimbulkan dari bencana, mengetahui bagaimana melakukannya, dan memperlengkapi dengan perlengkapan yang


(57)

42

tepat agar menjadi lebih efektif. Untuk itu langkah yang harus dilakukan oleh komponen pemerintah, termasuk di dalamnya administrasi, manajemen darurat, kesehatan publik dan bagian pelayanan lainnya, adalah menetapkan dan menyelenggarakan kreasi dan aplikasi dari Emergency Operations Plan (EOP) dan didukung dengan pelatihan dan latihan langsung (Coppola, 2007: 209-210).

Dari beberapa penjelasan diatas prepardness (kesiapsiagaan) adalah fase dimana dilakukan upaya-upaya persiapan yang dilakukan untuk menghadapi bencana yang terjadi. Bentuk upaya atau tindakan dapat berupa pelatihan, simulasi bencana. Dalam fase kesiapsiagaan ini dilakukan persiapan-pesiapan untuk menghadapi bencana yang bisa datang sewaktu-waktu. Tindakan-tindakan yang telah dilakukan ini dimaksudkan agar ketika bencana terjadi masyarakat tidak gagap terhadap apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi. Untuk itu di dalam fase kesiapsiagaan ini selain dilakukan perencanaan-perencanaan juga dilakukan pemberian pelatihan dalam hal tindakan yang harus dilakukan ketika bencana terjadi.

4. Respon/Daya Tanggap

Menurut Bevaola Kusumasari (2014: 28) respon adalah tindakan yang dilakukan segera sebelum, selama, dan setelah bencana terjadi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyelamatkan nyawa, mengurangi kerusakan harta benda, dan meningkatkan pemulihan awal dari insiden tersebut (Shaluf, 2008). Respon meliputi pemberian bantuan atau intervensi selama atau segera setelah bencana terjadi, serta memenuhi kelestarian hidup dan


(58)

43

kebutuhan hidup dasar masyarakat yang tekena dampak. Respon adalah tahapan yang paling kompleks dari tahapan manajemen bencana karena respon dilakukan dalam periode stres yang sangat tinggi, lingkungan yang terbatas, serta waktu informasi yang terbatas pula. Respon ini dilakukan untuk mempercepat kembalinya masyarakat berfungsi secara normal saat dan setelah bencana terjadi.

Dalam kaitannya respon/tanggap darurat di sekolah, proses respon terhadap bencana dimulai segera setelah tampak bahwa bencana akan segera terjadi dan berlanjut sampai keadaan darurat dinyatakan berakhir. Sekolah harus bertindak cepat sesaat setelah bencana agar kegiatan belajar mengajar dapat segera diaktifkan kembali. Tindakan yang dapat dilakukan sesaat setelah bencana terjadi jika saat poses belajar mengajar berlangsung diantaranya adalah segera mengevakuasi warga sekolah di tempat yang dianggap aman atau di area evakuasi sesaat setelah mendengar alarm peringatan, mengecek jika ada korban luka dan melakukan perawatan medis, memulihkan jaringan komunikasi dan listrik, memastikan pendistribusian makanan dan air bersih, memperkirakan kerusakan ekonomi dengan berkoordinasi dengan LSM ataupun instansi pemerintah daerah terkait. Hal ini dilakukan agar kegiatan belajar mengajar dapat berfungsi seperti normal kembali.

5. Pemulihan (Recovery)

Pemulihan adalah kegiatan mengembalikan sistem infrastruktur kepada standar operasi minimal dan panduan upaya jangka panjang yang dirancang


(59)

44

untuk mengembalikan kehidupan ke keadaan dan kondisi normal atau keadaan yang lebih baik setelah bencana. Pemulihan dimulai sesaat setelah bencana terjadi (Bevaola Kusumasari, 2014: 30). Kegiatan pemulihan meliputi keputusan dan tindakan yang diambil setelah bencana dengan maksud memulihkan atau meningkatkan kondisi kehidupan prabencana dari masyarkat yang terkena dampak.

Proses pemulihan dapat dibagi menjadi kegiatan jangka pendek dan jangka panjang. Tahap pemulihan jangka pendek dilakukan segera setelah peristiwa bencana terjadi dengan tujuan menstabilkan kehidupan mereka yang terkena dampak. Tahap pemulihan jangka panjang lebih menekankan pada pembangunan kembali dengan mengakomodasi informasi-informasi baru tentang bencana sambil tetap mempertahankan sebanyak mungkin keaslian budaya dan kondisi masyarakat seperti sebelum terjadinya bencana. Proses pemulihan yang dapat dilakukan di sekolah dapat menggunakan tahap pemulihan jangka panjang dan jangka panjang. Untuk tahap jangka pendek, pihak sekolah dapat melakukan diantaranya pemulihan psikologi warga sekolah atas trauma yang dialami saat bencana, pemulihan infrastruktur sekolah yang mengalami kerusakan, dan penyediaan kelas atau ruang yang nyaman untuk proses belajar mengajar pasca bencana. Tahap selanjutnya yaitu untuk pemulihan jangka panjang adalah dengan melakukan pendampingan pemulihan psikologi warga sekolah yang mengalami traumatic pasca bencana, serta melakukan upaya-upaya pemulihan komponen sekolah seperti sebelum terjadinya bencana. Untuk


(60)

45

proses pemulihan, sekolah membutuhkan dukungan masyarakat sekitar dan juga lembaga-lembaga terkait sebagai upaya pengurangan risiko bencana di sekolah.

D. Kajian Mengenai Sistem Pembelajaran Mitigasi Bencana

Mitigasi bencana pada dasarnya merupakan langkah yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana maupun untuk meminimalisir jatuhnya korban ataupun kerusakan yang ditimbulkan. Dalam hal ini, akan dikaji mitigasi bencana dalam konteks sistem pembelajaran yang ada di sekolah. Berdasarkan dari penjelasan bab sebelumnya, mitigasi yang sesuai diterapkan di sekolah adalah mitigasi non-struktural. Mitigasi non-struktural adalah mitigasi yang fokusnya lebih pada modifikasi perilaku manusia misalnya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bencana gempa bumi baik itu mengenai bencana nya itu sendiri maupun mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan jika gempa bumi terjadi.

Penggunaan pendekatan sistem pembelajaran, diharapkan penanaman pengetahuan dan pemahaman tentang mitigasi dapat digunakan sebagai salah satu upaya untuk pengurangan risiko bencana yang terjadi saat proses belajar mengajar berlangsung. Oleh karena itu dibutuhkan upaya yang menyeluruh dan berkesinambungan dalam menanamkan pemahaman tentang mitigasi bencana.

Pelaksanaan sistem pembelajaran mitigasi bencana, peran guru sangat dibutuhkan untuk menerjemahkan pendidikan mitigasi bencana kepada siswa. Maka dibutuhkan kompetensi peran guru berdasarkan pendapat Hamzah B


(61)

46

Uno (2011: 19) sebagai pengelola proses pembelajaran yang harus memiliki kemampuan seperti berikut:

1. Merencanakan sistem pembelajaran a. Guru dapat merumuskan tujuan khusus

b. Guru dapat memilih prioritas materi yang akan diajarkan c. Guru dapat memilih dan menggunakan metode

d. Guru dapat memilih dan menggunakan sumber belajar yang ada e. Guru dapat memilih dan menggunakan media pembelajaran 2. Melaksanakan sistem pembelajaran

a. Guru dapat memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang tepat b. Guru dapat menyajikan urutan pembelajaran

3. Mengevaluasi sistem pembelajaran

a. Guru dapat memilih dan menyusun jenis evaluasi

b. Guru dapat melaksanakan kegiatan evaluasi sepanjang proses c. Guru dapat mengadministrasikan hasil evaluasi

4. Mengembangkan sistem pembelajaran

a. Guru dapat mengoptimalisasi potensi peserta didik

b. Guru dapat meningkatkan wawasan kemampuan diri sendiri c. Guru dapat mengembangkan program pembelajaran lebih lanjut

Peran guru dalam menjalankan sistem pembelajaran dalam hal ini adalah sistem pembelajaran mitigasi harus memperhatikan tujuan dari pendidikan risiko bencana. Menurut Etty Sofyatiningrum (2009: 102) bahan ajar merupakan informasi, alat, dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk


(62)

47

perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Jadi dapat dikatakan bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.

Langkah-langkah menyusun bahan ajar yang mengintegrasikan PRB adalah sebagai berikut:

a. Memahami teknik penyusunan bahan ajar

b. Mengidentifikasi KD yang dapat diintegrasikan materi PRB c. Menganalisis KD yang dapat diintegrasikan materi PRB

Untuk itu, dibutuhkan suatu perencanaan yang matang dalam membelajarkan mitigasi bencana di sekolah. Pihak sekolah harus terlebih dahulu merencanakan apa yang akan diberikan kepada siswa, bagaimana pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas, hingga hasil yang ingin dicapai dalam penerapan pendidikan mitigasi bencana ini dalam proses pembelajaran.

Menurut Etty Sofyatiningrum (2009: 44-45), tahapan Perencanaan dalam pengintegrasian PRB terhadap mata pelajaran di sebagai berikut:

1. Identifikasi materi pembelajaran tentang pengurangan risiko bencana Konsep mengenai pendidikan pengurangan risko bencana (PRB) dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran pokok dalam kurikulum, diantaranya:


(63)

48

IPA Terpadu, IPS Terpadu, Bahasa Indonesia, Muatan Lokal, dan Penjas Orkes. Materi pembelajaran yang diberikan meliputi apa yang harus dilakukan sebelum bencana, saat terjadi bencana, dan hal yang dilakukan setelah bencana terjadi. 2. Analisis Kompetensi Dasar (KD) yang memungkinkan dapat diintegrasi

dengan PRB.

Kompetensi-kompetensi dasar yang terdapat pada KTSP dapat diintegrasikan dengan materi PRB dalam bentuk KTSP daerah bencana. Model ini disusun sesuai dengan kondisi, kebutuhan, potensi, dan karakteristik satuan pendidikan dan siswa di daerah bencana yang diharapkan dapat digunakan sebagai acuan atau referensi bagi satuan pendidikan di daerah lain yang punya karakteristik yang sama. Melalui bahan ajar yang disusun pada pembelajaran tematik dan di setiap mata pelajaran dapat diintegrasikan mengenai jenis-jenis bencana beserta penyebabnya, usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam menghindari terjadinya beberapa bencana, apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana, dampak yang ditimbulkan oleh bencana dan usaha-usaha yang dalam mengurangi dampak tersebut, apa yang dilakukan setelah bencana itu terjadi, dan lain-lain.

Standar kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam mengantisipasi bahaya gempa adalah mampu mengantisipasi sebelum gempa terjadi. Bertindak tepat pada saat dan setelah gempa terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut, siswa harus dilatih agar memiliki kemampuan dalam melakukan tindakan praktis untuk (1) menyelamatkan diri dari bencana gempa; (2) berpartisipasi dalam membantu upaya mitigasi bencana gempa.


(64)

49 3. Menyusun silabus yang terintegrasi PRB

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran , indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar yang diintegrasikan dengan nilai-nilai pengurangan risiko bencana (PRB).

Pengembangan silabus dapat dilakukan para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan. Pengembangan silabus disusun dibawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.

Silabus terintegrasi PRB dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah dan jenis ancaman bencana yang rentan di wilayahnya.

Langkah-langkah penyusunan silabus yang mengintegrasikan PRB diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Mengkaji dan menentukan standar kompetensi (SK) yang dapat diintegrasikan dengan PRB.

b. Mengkaji dan menentukan kompetensi dasar (KD) yang sesuai dengan SK yang diintegrasikan.

c. Merumuskan indikator pencapaian kompetensi dengan mengacu pada SK dan KD.

d. Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran yang sesuai dengan PRB gempa bumi.

e. Mengembangkan kegiatan pembelajaran berintegrasi PRB gempa bumi, seperti penyampaian informasi bahaya gempa, simulasi penyelamatan diri, pertolongan, dan lainnya.

f. Menentukan jenis penilaian. g. Menentukan alokasi waktu.

h. Menentukan sumber belajar yang berhubungan dengan PRB gempa bumi. 4. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)