Pengaruh Revolusi Amerika, Revolusi Perancis dan Revolusi Industri

91 industrialisasi di Inggris. Pusat-pusat industri pun bermunculan di kota- kota di antero Inggris. Dalam bidang politik, industrialisasi yang pesat menimbulkan kepentingan politik kaum industriawan agar kepentingan tetap terjaga.Muncullah Partai Liberal yang mendukung liberalisme dalam bidang ekonomi yang menginginkan campurtangan minimal pemerintah dalam perekonomian.Sebagai penentang kaum liberal, muncul pula Partai buruh yang beraliran sosialisme dan marxisme yang memperjuangkan kepentingan kelas pekerja.

d. Pengaruh Revolusi Amerika, Revolusi Perancis dan Revolusi Industri

terhadap Indonesia Di Indonesia, pengaruh Revolusi Industri masuk melalui mulai kuatnya Partai Liberal di Belanda pada pertengahan abad ke-19. Partai Liberal Belanda yang menginginkan peran swasta di Hindia-Belanda bersama- sama dengan orang-orang yang berpandangan etis memperjuangkan penghapusan Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel. Tokoh Partai Liberal Belanda seperti Baron van Hoevell mengeritik Sistem Tanam Paksa dan perbudakan di Hindia Belanda. Ia merupakan teman Eduard Douwess Dekker atau yang dikenal dengan nama samaran Multatuli. Multatuli menulis buku yang menghebohkan publik Belanda pada 1860 berjudul Max Havelaar yang menceritakan praktik-praktik kolonial yang menyengsarakan rakyat di Hindia-Belanda. 1 Struktur Pemerintahan Kolonial Adalah Herman Wilhem Daendels, seorang bekas tentara pada masa Revolusi Perancis, yang dikirim Lodewijk Napoleon dari Belanda untuk menjadi Gubernur Jenderal pertama di Hindia Belanda. Tugas utamanya memang untuk mempertahankan kedudukan Belanda dari kemungkinan serangan Inggris. Maka untuk itu, ketika ia sampai di Batavia pada bulan Januari 1808, Daendels mencoba membangun kekuatan di bidang militer, antara lain membangun beberapa gudang peluru, meriam, senapan serta reorganisasi satuan serdadu Kompeni yang lama, disamping membuat jalan dari Anyer ke Panarukan sepanjang 1000 KM dan banyak lagi yang lain. Akan tetapi langkah-langkah kebijaksanaan yang paling penting bagi perkembangan kolonialisme Belanda di Indonesia selanjutnya adalah usahanya merintis dan memperkenalkan konsep negara kolonial moderen dengan sistim administrasi yang rasional dan hirarkhis. Selaku Gubernur Jen-deral pertama, Daendels benar-benar mewakili ’Kerajaan Belanda’ untuk menjalankan pembaharuan administrasi pemerintahannya di negara jajahan Indonesia menurut cara-cara Barat. Walaupun selama masa pemerintahannya 1808-1811, Daendels tidak luput dari perkara-perkara yang menyakitkan hati, baik di kalangan orang Belanda sendiri, karena terbukti menyimpang dari gagasan 92 liberal sebagaimana yang diinginkan para pendukungnya, atau dengan menggunakan jabatannya untuk memperkaya dirinya sendiri, maupun dikalangan pribumi, karena terbukti mengurangi wibawapengaruh para bupati dan kebengisannya yang bertangan besi. Namun para penggantinya kemudian, seperti Jansens 1811, T. S. Raffes 1811-1316, pemerintah Komisaris Jenderal sampai tahun 1830, dan seterusnya sebenamya lebih banyak meneruskan gagasan-gagasan liberalnya daripada melakukan pembaharuan yang sungguh-sungguh. Kenyataan ini membawa orang pada kesimpulan bahwa Daendels-lah yang dianggap peletak dasar dari bangunan Negara kolonial dengan menggunakan sistim birokrasi modem. Yang dimaksud dengan birokrasi disini ialah adanya suatu struktur aparatur negara yang diorganisir secara rasional dan hirarkhis dengan batasan kerja yang jelas dan ditegaskan oleh seperangkat aturan permainan yang dinamakan undang-undang atau peraturan. Cirinya yang paling utama adalah hadimya pemerintahan pusat yang kuat dan pengaturan secara hirarkhis atas para pejabatnya; proses pengambilan keputusan menurut prosedur rutin berdasarkan komunikasi tertulis dan hubungan impersonal antara fungsionaris dan publik. Berikut uraian mengenai struktur pemerintahan kolonial. a Pemerintah Pusat. Di puncak kekuasaan pemerintahan kolonial Hindia Belanda ditempatkan seorang Gubernur Jenderal Gouvemeur Generaal. Ia diangkat berdasarkan surat keputusan besluit Kerajaan Belanda dengan persetujuan Menteri Jajahan Minister van Kolonien. Seorang Gubernur Jenderal harus orang Belanda asli dan paling kurang berumur 30 tahun. Seorang Gubernur Jenderal bertindak atas nama Ratu Koning yang digariskan menurut undang-undang yang berlaku di Hlndia Belanda. Sebagai pejabat kolonial tertinggi di Hindia Belanda, seorang Gubernur Jenderal membawahi wewenang semua departemen yang ada. Tetapi disamping itu juga memiliki beberapa hak istimewa sebagai panglima angkatan darat dan laut. Masa jabatan Gubernur Jenderal tidak ditetapkan oleh undang-undang karena setiap lima tahun ia bisa saja diangkat kembali untuk masa- masa jabatan berikutnya. Gubernur Jenderal bertanggung jawab sepenuhnya kepada Ratu Kerajaan, bukan kepada Menteri Jajahan. Sebagai sekretariat GG dibentuk pula apa yang dinamakan Algemeene Secretarie di Buitenzorg Bogor, bukan di Batavia. Kegiatan badan ini adalah menangani administrasi ke dalam, dengan pengertian berfungsi sebagai gudang penerima surat-surat masuk dan merancang konsep-konsep kedinasan yang diperlukan Gubernur Jenderal. Personil dari Algemeene Secretarie ini terdiri dari seorang Sekretaris Umum, dua sampai empat orang sekretaris pemerintah dengan sejumlah staf pegawainya. 93 Tugas terpenting dari Algemeene Secretarie ialah mengadakan korespondensi dengan Menteri Jajahan di Den Haag dan juga memberitahukan atau menyelidiki semua missive surat-surat dinas dari instansi bawahan GG seperti Gubernur, Residen, Assistent Residen di daerah kepada GG di Batavia. Staatsblad lembaran negara dan Regeerings-almanak almanak pemerintah juga dikerjakan oleh Algemeene Secretarie. Suatu badan pemerintahan pusat yang juga cukup berperan adalah apa yang disebut Algemeene Rekenkamer, yang terdiri dari seorang ketuanya dan empat orang anggota staf dengan sejumlah pegawai administratif. Mirip dengan nama lembaga yang ada di negeri induk Belanda, Indische Rekenkamer di Hindia Belanda juga berfungsi sebagai pengawas tertinggi aparatur pemerintah dan mengontrol pertanggung jawaban keuangan dan barang-barang milik negara. Oleh karena badan ini sama sekali berada di luar struktur pemerintahan yang resmi, maka semua stafnya diangkat oleh Kerajaan. Dalam menjalankan tugasnya, GG dibantu oleh kepala-kepala departermen. Hindia Belanda mengenal setidaknya delapan departemen sampai abad ke 20, yaitu enam departemen sipil atau burgelike departementen dan dua departemen militer. Departemen sipil umum itu antara lain: - Binnenland Bestuur Pemerintahan Dalam Negeri - Onderwijs en Eerediensten Pendidikan dan Peribadatan Agama - Financien Keuangan - Verkeer en Waterstaat Lalu lintas dan Penyedian Air Negara - Justitie Kehakiman atau Peradilan - Economische Zaken Urusan Ekonomi Sedangkan kedua departemen militer ialah Departement van Oorlog Peperangan dan Marine Angkatan Laut. Sebagaimana yang berlaku di negeri induk, di Hindia Belanda masing-masing kepala departemen membawahi departemennya sendiri-sendiri sesuai dengan tanggungjawab tugas yang dipikulkan kepadanya. Akan tetapi sebaliknya departemen di Hindia Belanda ini bukanlah merupakan bagian dari departemen di negeri induk. Mereka berdiri serdiri dengan aparat pemerintahannya sendiri. Di samping GG dengan sejumlah departemen pemerintahan, ada lagi satu lembaga negara yang disebut Raad van Nederlandsch Indie, terdiri dari seorang direktur dengan wakil-wakilnya sekitar empat sampal enam orang. Mereka ini tidak harus orang Belanda asli, meskipun bcgitu harus berstatus warga negara Belanda. Karena itu mereka ini mungkin saja 94 berasal dari orang Belanda campuran yang lahir di Hindia Belanda atau Cina-lndo yang sudah menjadi wama negara kolonial Belanda. Raad van Nederlandsch Indie Dewan Hindia Belanda sering dianggap sebagai lembaga “dewan penasehat” yang terpisah dari lembaga pemerintahan yang dipimpin GG. Namun dalam tradisi birokrasi negara kolonial Belanda abad ke 19 Raad van Indie, kecuali berfungsi sebagai dewan penasehat GG dan pengawas peraturan porundang- undangan, juga turut bekerjasama dalam menjalankan pemerintahan. Oleh karena itu, yang disebut dengan “Pemerintahan Hindia” de lndische Regeering itu ialah GG dan Raad van Nederlandsch Indie. Suatu pemisahan yang agak tegas antara GG sebagai badan pelaksana pemerintahan eksekutif dan Raad sebagai badan pengawas yudikatif baru terjadi kemudian, ketika Volksraad dibentuk pada tahun 1916. Jumlah anggota Volksraad pemah mencapai 60 orang, terdiri dari 30 orang anggota dari kalangan bumiputera dan selebihnya orang Belanda, di samping beberapa wakil negara asing Cina dan Arab. Pada kenyataannya Volksraad tak lebih dari lembaga semi-parlemen yang tetap dikuasai oleh kelompok orang kulit putih Belanda meskipun lembaga ini diperuntukkan bagi wakil-wakil rakyat di negeri jajahan, Hindia Belanda. b Pemerintah Daerah. Pada awal abad ke 19, kekuasaan kolonial Belanda masih berfokus pada pulau Jawa. Sebagai Gubernur Jenderal I, Daendels berusaha melakukan pembaharuan dalam bidang administrasi pemerintahan. Pertama-tama ia membagi Jawa menjadi lima daerah administrasi yang disebutnya prefectuur. Masing- masing prefectuur dikepalai oleh seorang prefek berkebangsaan Eropa kulit putih, yang memiliki wewenang yang luas dan langsung berada dibawah pengawasan GG. Dengan menciptakan pembagian daerah administrasi semacam itu, Daendels mulai menyusun hirarki kekuasaan secara tegas, baik untuk pejabat-pejabat Belanda sendiri maupun untuk pejabat bumiputera. Yang terakhir ini ditandai dengan didirikannya 30 buah kabupaten. Sebagai bagian dari unit prefectuur, kabupaten dipercayakan kepada bupati bumiputra. Dengan ini Daendels sebenamya telah mengubah kedudukan bupati dari jabatan tradisionalnya. Kedudukan bupati sebagai penguasa daerah yang otonom kini bergeser menjadi kepala daerah karena statusnya sejak itu berubah menjadi pegawai pemerintah kolonial. Dengan dimasukkannya jabatan bupati ke dalam hirarki birokrasi pemerintah kolonial, penguasa Belanda bermaksud agar hak-hak tradisionalnya sebagai figur sentral dalam sistim politik tradisional dapat dimanfaatkan bagi kepentingan kolonial, seperti kekuasaan memungut upeti pajak hasil bumi serta kewajiban kerja rodi dari rakyat. Sebagai bawahan dari birokrasi kolonial, bupati tidak lagi memiliki otonomi yang luas; ia telah kehilangan banyak 95 pendapatan karena sejak itu pemasukkan hanya dari gaji yang diberi pemerintah Belanda, pengaruh serta kebebasan bertindak terhadap rakyatnya seperti yang biasa berlaku. Disamping itu kebijaksanaan politik yang diambil Daendels juga telah menghancurkan potensi kemiliteran bupati karena penguasa kulit putih telah mengambil-alihnya dengan berbagai cara. Loyalitas mutlak dari rakyat terhadap bupati dikurangi manakala jabatannya harus digariskan menurut pengaturan-pengaturan baru. Upacara kebesaran raja-raja disederhanakan. Demikian juga jumlah pengiring yang menyertai bupati pada setiap perjalanan kelilingnya. Pada masa akhir VOC jumlah pengiring bupati kurang lebih sebanyak 500 orang. Bupati Gresik misalnya, dalam perjalanannya ke Semarang membawa pengiringnya sebanyak 700 orang, sedang bupati Pekalongan diikuti sebanyak 359 pengiring. Tetapi pada masa Daendels jumlah itu dikurangi, paling banyak sekitar 170 orang pengiring dan lama kelamaan semakin diperkecil jumlahnya. Usaha membangun struktur birokrasi moderen dengan jalan menyingkirkan birokrasi tradisional raja-raja juga dilanjutkan oleh Rafes. Manakala pada masa Daendels kedudukan bupati telah diubah menjadi bawahan dari birokrasi kolonial, tetapi karena di bupati tidak adanya lembaga yang secara efektif mengawasi pembatasan-pembatasan hak tradisionalnya yang lama, maka hubungan antara rakyat dengan bupati sebenarnya tidak berubah. Untuk itu Rafes lalu melangkah lebih maju dengan menempatkan seorang pejabat Eropa, yaitu Resident sebagai atasan bupati. Sejajar dan menjadi pendamping bupati diangkat seorang Asisten Resident. Di tingkat distrik suatu unit administrasi di bawah kabupaten, ditempatkan lagi seorang pejabat Eropa yaitu kontrolir Controleur. Yang terakhir ini merupakan organ terbawah dari birokrasi orang kulit putih. Kecuali sebagai penasehat, seorang kontrolir sekaligus memata-matai pejabat bumiputera di tingkat bawah. Ketika perhatian pemerintah mulai tercurah ke daerah luar Jawa sejak akhir abad ke 19, secara perlahan-lahan, pembagian daerah administratifnya juga semakin diperluas. Sebagaimana temyata kemudian, Hindia Belanda dibagi dalam delapan daerah Proviencies yaitu tiga di Jawa: Jawa Barat, Tengah dan Timur; sedangkan dua yang lain yang juga terdapat di Jawa adalah daerah pemerintahan khusus, yang disebut dengan Vorstenlanden, yaitu daerah Yogyakarta dan Surakarta. Selebihnya masih ada tiga daerah pemerintahan di luar Jawa Buiten Gewesten, yaitu Sumatera, Bomeo, dan Groot Oost Daerah Indonasia Timur sekarang. Ada beberapa perbedaan antara daerah proviencies di Jawa dan di daerah pemerintahan governements biasa seperti yan terdapat di luar Jawa. Antara lain, apabila pemerintah proviencie lebih bersifat 96 demokratis karena orang-orangnya dipilih oleh suatu Dewan Provinsi Provincialen Raad, governements di luar Jawa diperintah secara autokratis karena kepala daerahnya ditunjuk oleh yang berwenang di pusat Batavia. Suatu provinsi diperintah oleh suatu kelompok colleges Dewan Provinsi yang anggotanya sebagian besar terdiri dari penduduk non Eropa bumiputera dan timur asing seperti Cina dan Arab. Sebahagian anggota Dewan Provinsi dipilih dan sebahagian lain diangkat oleh GG. Sedang wanita tidak dapat dipilih sebagai Gubernur merupakan Ketua dari Dewan Provinsi dan bertanggung jawab langsung kepada GG. Provinsi dibagi lagi ke dalam beberapa Residentien atau Afdeelingen dan yang terakhir ini dipecah lagi ke dalam Districten distrik. Seperti halnya dengan Gubernur, Resident juga diangkat oleh GG. Unit administrasi ini semuanya dipalai oleh pejabat kulit putih Eropa. Disamping itu ada lagi yang namanya Regenschap Keregenan atau lazim-nya disebut kabupaten. Dalam setiap Residentie biasanya terdapat sekitar 4 atau 5 Keregenan yang diperintah oleh Dewan Keregenan Regenschap Raad di bawah pimpinan seorang Regent Bupati bumiputera. Fungsi Regent, khususnya di Jawa sangat penting karena posisinya sebagai perantara untuk menterjemahkan setiap kepentingan pemerintah kolonial terhadap penduduk setempat. Oleh karena kharisma kekuasaannya yang tradisional masih berpengaruh di tengah-tengah masyarakat, maka pejabat kulit putih tidak mungkin mengabaikan peranannya begitu saja. Meskipun keanggotaan Raad van Regenschap ini hampir semuanya orang bumiputera, namun pemerintah tetap berusaha menyisipkan dua atau tiga orang pejabat kulit putih. Di samping ada Keregenan yang bersifat otonom di setiap provinsi, masih ada lagi badan otonom lainnya, yaitu apa yang disebut Stadsgemeente dengan Gemeenteraad-nya. Sebagai badan yang berpemerintahan sendiri Stadsgemeente diketuai oleh seorang Burgemeester Wali Kota dan Wethouders Dewan Kotapraja sebagai pendampingnya. Karena itu suatu wilayah Stadsgemeente terlepas dari campur tangan Regent Bupati, karena ditentukan batas-batas wilyah perkotaan yang dikuasainya. Berbeda dengan unit administratif provincies yang terdapat di pulau Jawa, unit administratif governement di luar Jawa abad ke 19 hanya terdiri dari tiga daerah pemerintahan: Sumatera, Borneo Kalimantan dan Groot Oost di Indonesia bagian timur. Struktur pemerintahannya agak sedikit berlainan pada birokrasi di tingkat bawah, tetapi hampir sama dengan di Jawa dalam garis-garis besarnya. Sebagaimana sudah disebutkan di muka, Gubernur merupakan kepala daerah tertinggi, dan yang bertanggung jawab sepenuhnya kepada GG di pusat Batavia. Di bawahnya secara berturut-turut adalah Residentie yang dikepalai oleh seorang Resident dan dibantu oleh Assistent Resident, kemudian Afdeelingen dan Onder-afdeelingen yang masing-masing dipimpin 97 oleh Controleur kontrolir dan aspirant-controleur sebagai pembantunya. Semua pejabat Belanda di tingkat daerah ini bertanggungjawab kepada Gubernur, dan yang terakhir ini seterusnya mempertanggung-jawabkan tugasnya kepada GG. Tentu saja perlu diingat, bahwa bentuk-bentuk lembaga pemerintahan ini mengalami perubahan dan perbedaan dari masa ke masa dan antara satu daerah dengan yang lain. Sekedar untuk mendapat gambaran data kasar mengenai badan pemerintahan di daerah administratif Luar Jawa berikut ini dapat dilihat, bahwa untuk Sumatera terdapat 10 residentie yaitu: Atjeh en Onderhoorigdheden dan sekitarnya, Sumatera Timur, Tapanoeli, Sumatera Barat, Riouw dan sekitarnya, Djambi, Bengkoelen, Palembang, Lampoeng dan Bangka Billiton, Di Kalimantan Borneo hanya ada dua residentie, yaitu Borneo Tenggara dan Borneo Barat. Sedangkan untuk Groot 0ost antara lain residentie: Sulawesi dan sekitarnya, Manado, Molukken, Timor dan sekitarnya, serta Bali dan Lombok. Selain itu masih ada lagi daerah administratif yang bersifat otonom, yaitu apa yang disebut Stadsgemeente PlaatselijK Gemeenschap. Sampai abad ke 20 di Sumatera terdapat 8 buah Stadsgemeente Kotapraja yang dipimpin seorang Burgermeester Walikota, di Borneo badan otonomi ini tidak ada, sedangkan di Groot Oost hanya ada tiga Stadsgemeente. Berbeda dengan kategori di atas ada lagi wilayah yang berpemerintah sendiri, yang tidak mendapat campur tangan Pemerintah Belanda. Wilayah ini biasanya merupakan warisan kekuasaan kerajaan lama sebelum kedatangan Belanda, seperti daerah Vorstenlanden di Jawa. Di daerah Luar Jawa jumlahnya relatif besar sampai 300 kerajaan atau kesultanan yang masih diakui eksistensinya, seperti Kesultanan Deli, Makasar, Ternate dan sebagainya. Keberadaan Raffles di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kondisi yang terjadi di Eropa. Sebagaimana kita ketahui pada akhir abad ke-18 Belanda jatuh ke tangan kekuasaan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon. Napoleon pada waktu itu sedang giatnya menjalankan ekspansi untuk menguasai seluruh Eropa. Raja Belanda yang ketika itu adalah Willem V berhasil melarikan diri dari kekuasaan Perancis dan meminta perlindungan ke Inggris. Inggris bersedia menerima raja Willem V dengan imbalan yang diberikan Belanda yaitu wilayah Nusantara. Hal itu ada kaitannya dengan sebuah surat yang dibuat oleh raja Willem V kepada pihak kerajaan Inggris. Surat tersebut dikenal dengan nama dokumen Kiev. 2 Sistem Sewa Tanah Tidak lama setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendeles dari Nusantara, Jawa diduduki oleh Inggris dalam tahun 1811. Zaman 98 pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakkan dasar-dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris. Azas-azas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh penga-laman Inggris di India. Pada hakekatnya, Rafes ingin mencip-takan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh VOC Belanda VOC dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. Secara konkrit Raffles ingin menghapus segala penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu dibebankan kepada rakyat, khususnya para petani. Kepada para petani ini Rafes ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha. Jelaslah kiranya bahwa Raffles dalam hal ini telah dipengaruhi oleh cita-cita revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai “kebebasan, persamaan dan persaudaraan” bagi setiap warga, walaupun ia tentu menyadari pula dalam konstelasi keadaan yang berlaku di Jawa, tidak dapat sepenuhnya mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam hal ini pandangan Rafes dalam banyak hal sama-dengan pandangan seorang pejabat Belanda dari akhir zaman VOC yang bernama Dirk van Hogendorp. Van Hogendorp ini telah menarik kesimpulan dari pengamatannya di Nusantara bahwa sistem feodal yang terdapat di Nusantara pada waktu itu dan yang telah berhasil dimanfaatkan oleh VOC mematikan segala daya usaha rakyat Nusantara. Oleh karena itu ia menganjurkan agar kekuasaan, khususnya hak kuasa tanah para bupati atas rakyat, dibatasi. Seperti diketahui, untuk mencapai tujuannya dalam memperoleh hasil-hasil bumi Nusantara, VOC telah mempergunakan raja-raja dan para bupati sebagai alat dalam kebijak-sanaan dagangnya. Sebagai pengganti sistem paksa yang berlaku hingga waktu itu, van Hogendorp menganjurkan agar para petani diberikan kebebasan penuh dalam menentukan tanaman-tanaman apa yang hendak ditanam mereka maupun dalam menentukan bagaimana hasil panen mereka hendak dipergunakan. Di bawah sistem VOC kebebasan ini tidak ada. Raffles sendiri menentang sistem VOC karena keyakinan-keyakinan politiknya, yang sekarang dapat disebut liberal, maupun karena berpendapat bahwa sistem ekploitasi seperti yang telah dipraktekkan oleh VOC tidak menguntungkan. Apa yang dikehendakinya sebagai pengganti sistem VOC adalah suatu sistem pertanian di mana para petani atas kehendak sendiri menanam tanaman dagangan cash crops yang dapat diekspor ke luar negeri. Dalam hal ini pemerintah kolonial hanya berkewajiban untuk menciptakan segala pasaran yang diperlukan guna me-rangsang para petani untuk menanam tanaman-tanam ekspor yang paling menguntungkan. 99 Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolo nial yang baru, Rafes ingin berpatokan pada tiga azas. Pertama, segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan apapun juga. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka di-jadikan bagian yang integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerin tahan di negeri-negeri Barat. Secara konkrit hal ini berarti bahwa para bupati dan kepala-kepala pemerintahan pada tingkat ren-dahan harus memusatkan perhatiannya kepada proyek-proyek pekerjaan umum. yang dapat meningkatkan kesejahteraan pen-duduk. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tenant tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah landrent atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah inilah selanjutnya yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintah Inggris di bawah Raffles. Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung konsekwensi- konsekwensi yang jauh sekali atas hubungan antara pemerintah kolonial di satu pihak dan rakyat Nusantara dengan penguasa-penguasanya di lain pihak. Perubahan yang dipertimbangkan itu malahan dapat dikatakan revolusioner, karena mengandung perubahan azasi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan digantikannya dengan suatu sistem di mana hubungan ekonomi antara pemerintah di satu pihak dan rakyat di lain pihak didasarkan atas kontrak yang diadakan secara sukarela oleh kedua belah pihak. Jadi perubahan ini pada dasarnya bukan merupakan perubahan ekonomi semata-mata, tetapi lebih penting lagi, yaitu merupakan suatu perobahan sosial-budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal. Dengan demikian maka dasar kehidupan masyarakat Jawa yang tradisional hendak digantikan dengan dasar kehidupan masyarakat seperti yang dikenal di negara-negara Barat. Demikian pula ekonomi masyarakat Jawa yang tradisional dan feodal itu hendak digantikan dengan sistem ekonomi yang didasarkan atas lalulintas pertukaran yang bebas. Sistem sewa tanah tidak meliputi seluruh Pulau Jawa. Misalnya, di daerah- darah sekitar Jakarta, pada waktu itu Batavia, maupun di daerah-daerah Parahiyangan sistem sewa tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta pada umumnya adalah milik swasta, sedangkan di daerah Parahiyangan pemerintah kolonial berkeberatan untuk menghapus sistem tanam paksa kopi yang memberi keuntungan besar. Jelaslah kiranya, bahwa pemerintah kolonial tidak bersedia untuk menerapkan azas-azas leberal secara konsisten jika hal ini mengandung kerugian material yang besar. Oleh karena itu daerah Parahiyangan tidak pernah mengenal 100 suatu fase menengah yang agak bebas di antara dua masa yang dicirikan oleh unsur paksaan dalam kehidupan ekonomi, seperti telah dikenal oleh daerah-daerah lain di Jawa, melainkan daerah ini terus-menerus hanya mengenal sistem tradisional dan feodal sampai pada tahun 1870. Mengingat bahwa Raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa, yaitu lima tahun, dan mengingat pula terbatasnya pegawai-pegawai yang cukup dan dana-dana keuangan, tidak mengherankan bahwa Raffles akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang bertalian dengan sistem sewa tanah itu. Meskipun demikian gagasan- gagasan Raffles mengenai kebijaksanaan ekonomi kolonial yang baru, terutama yang bertalian dengan sewa tanah, telah sangat mempengaruhi pandangan dari pejabat-pejabat pemerintahan Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan politik atas Pulau Jawa dari pemerintah Inggris. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kebijaksanaan Ra umumnya diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belan da yang baru, pertama-tama di bawah Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capellen 1816-1819, dan kemudian di bawah Gubernur Jenderal Van der Capellen 1819-1826 dan Komisaris Jenderal du Bus de Gisignies 1826-1830. Sistem sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan seorang Gubernur Jenderal yang baru, Van den Bosch, dalam tahun 1830 yang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman-dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien dari pada di bawah VOC. Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung tiga aspek yaitu: pertama, penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar- dasar modern. Kedua, pelaksanaan pemungutan sewa. Ketiga, penanaman tanaman dagangan untuk diekspor. Mengenai aspek yang pertama, apa yang dimaksud oleh Raffles dengan pemerintahan yang modern adalah penggantian pemerintahan tidak langsung yang dahulu diselenggarakan melalui raja-raja dan kepala-kepala tradisional dengan suatu pemerintahan yang langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala-kepala tradisional sangat dikurangi dan bahwa sumber-sumber penghasilan mereka yang tradisional dihilangkan. Fungsi-fungsi pemerintahan yang mereka tunaikan sampai waktu itu, sekarang dilakukan oleh pegawai-pegawai Eropa, yang jumlahnya bertambah banyak. Oleh Raffles diadakan fungsi asisten-residen, yang bertugas untuk mendam-pingi dan mengawasi para bupati, dan “pengawas penghasilan yang diperoleh dari tanah” opzieners der landelijke inkomsten yang kemudian disebut pengawas pamongpraja controleur van het Binnenlands Bestuur. Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat-pejabat bangsa Eropa, pengaruh para bupati pribumi makin berkurang. Malahan di antara pejabat-pejabat Eropa timbul pikiran untuk meng-hilangkan sama sekali jabatan bupati. Tidak mengherankan bahwa perkembangan ini sangat menggelisahkan para bupati, yang sebelum Rafes mempunyai kekuasaan dan gengsi sosial yang amat besar. 101 Pada waktu Van der Capellen menerima jabatan sebagai Gubernur Jendral dalam pemerintahan Belanda yang telah dipulihkan, pengaruh para bupati sudah sangat berkurang dibandingkan dengan zaman VOC. Namun Van der Capellen menyadari bahwa mereka mempunyai pengaruh tradisional yang besar atas rakyat dan ia menyadari pula bahwa pejabat- pejabat Eropa tidak pernah bisa menggantikan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat Jawa. Oleh karena itu ia menempuh kebijaksanaan yang menghormati kedudukan sosial para bupati dan berusaha pula untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk tujuan- tujuan pemerintah kolonial. Meskipun demikian tidak dapat dihindarkan bahwa secara lambat-laun kekuasaan efektif telah bergeser dari para bupati pejabat-pejabat Eropa. Hal ini jelas kelihatan dalam hubungan kekuasaan para bupati atas tanah. Sejak dahulu kala untuk jasa-jasa mereka para bupati diberikan tanah. Bukan saja tanah yang mereka peroleh, akan tetapi menurut kebiasaan adat mereka maupun pekerjaan rodi dari penduduk yang tinggal di atas tanah. Di bawah Raffles kebiasaan ini dihapus dan para bupati kemudian mulai diberi gaji dalam bentuk uang untuk jasa-jasa mereka pada pemerintah kolonial. Dengan putusnya hubungan antara para bupati dan tanah, lenyaplah pula kewajiban rakyat untuk melakukan penyerahan wajib pekerjaan rodi untuk para bupati. Dalam menilai keberhasilan perubahan yang diadakan dalam kedudukan para bupati, dapat dikatakan bahwa secara marginal memang terjadi pembatasan dalam kekuasaan para bupati. Hal ini misalnya jelas dari beberapa pengaduan yang telah dilakukan oleh rakyat terhadap kepala- kepala mereka jika mereka mengalami apa yang mereka rasakan sebagai tindakan sewenang-wenang. Akan tetapi pada umumnya kebiasaan- kebiasaan yang tradisional maupun penghormatan yang tradisional dari rakyat terhadap kepala-kepala mereka tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan keputusan-keputusan orang-orang asing, meskipun orang-orang yang terakhir ini mempunyai kekuasaan politik yang efektif. Hal ini misalnya terlihat dalam kewajiban rakyat untuk melakukan pekerjaan paksa atau rodi untuk kepala-kepala mereka. Meskipun pemerintah kolonial secara resmi telah menghapus kebiasaan ini, namun kebiasaan tradisional ini tetap diteruskan. Selanjutnya adalah mengenai aspek kedua, yaitu pelaksanaan pemungutan sewa tanah. Selama zaman VOC “pajak” berupa beras yang harus dibayar oleh rakyat Jawa kepada VOC ditetap-kan secara kolektif untuk seluruh desa. Dalam mengatur pungutan wajib ini para kepala desa oleh VOC diberikan kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh masing-masing petani. Sudah barang tentu kebebasan ini mengakibatkan tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat. Sebagai seorang liberal, Raffles menentang kebiasaan ini. Berdasarkan keyakinannya bahwa penduduk Jawa harus dapat menikmati kepastian hukum maka ia mempertim- 102 bangkan penetapan pajak secara perorangan. Peraturan mengenai penetapan pajak berupa pajak tanah yang harus dibayar oleh perorangan dan bukan lagi oleh desa sebagai keseluruhan dikeluarkan dalam tahun 1814. Daerah pertama yang terkena peraturan ini adalah Banten. Namun, tidak lama kemudian ternyata bahwa pelaksanaan pemungutan pajak secara perorangan mengalami banyak kesulitan. Salah satu faktor yang penting dalam hal ini adalah tidak tersedianya bahan-bahan keterangan yang baik dan dapat dipercayai untuk penetapan jumlah pajak yang harus dibayar oleh tiap-tiap orang. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa penetapan pajak tidak dilakukan dengan tepat, sehingga sering malahan memperberat beban pajak untuk rakyat, dan bukan memperingannya seperti yang dimaksudkan oleh Raffles. Kesulitan-kesulitan ini mengakibatkan dalam tahun 1816, sewaktu kekuasaan atas Pulau Jawa telah dikembalikan kepada Belanda, para Komisaris Jenderal menghapus penetapan pajak secara perorangan dan kembali lagi ke penetapan pajak secara kolektif untuk tiap-tiap desa sebagai keseluruhan. Sudah barang tentu dengan penggunaan prosedur pemungutan pajak cara ini penetapan pajak secara sewenang-wenang muncul kembali, walaupun tidak sehebat ekses-ekses yang terjadi selama zaman VOC. Aspek ketiga dari sistem sewa tanah adalah promosi penanaman tanaman-tanaman perdagangan untuk ekspor. Sampai seberapa jauh pelaksanaan sistem sewa tanah berhasil memajukan pena naman tanaman- tanaman dagangan untuk diekspor ke luar negeri ? Pengalaman menunjukkan bahwa pada umumnya eksperimen ini telah mengalami kegagalan. Penanaman kopi, misalnya, yang pada awal abad ke sembilan belas merupakan tanaman perdagangan yang terpenting di Jawa, di bawah sistem sewa tanah mengalami kemunduran yang berarti. Perkembangan yang sama juga terlihat pada tanaman dagangan lainnya, seperti gula dan lain-lain. Salah satu sebab dari kegagalan ini adalah kekurangan pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas, sehingga sering penjualan ini diserahkan kepala- kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan bahwa kepala-kepala desa sering menipu petani itu sendiri atau si pembeli, sehingga akhirnya pemerintah kolonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan lagi penanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan. 3 Sistem Tanam Paksa Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jenderal yang baru untuk Nusantara, yaitu Johannes van den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung. Dalam membebankan Van den Bosch dengan tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah 103 Belanda dibebani hutang-hutang yang besar. Oleh karena masalah gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni-koloninya di Asia, yaitu di Nusantara. Hasil daripada pertimbangan-pertimbangan ini adalah gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh van den Bosch sendiri. Pada dasarnya sistem tanam paksa ini, yang selama zaman Belanda terkenal dengan nama Cultuurstelsel, berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Raffles telah mencoba untuk mendorong para petani di Jawa untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor mereka dengan jalan membebaskan mereka dari penyerahan- penyerahan wajib dan dengan memberikan mereka perangsang- perangsang positif, yaitu setelah mereka melunasi kewajiban pembayaran sewa tanah land rent maka mereka dapat memperoleh hasil bersih dari penjualan hasil-hasil pertanian mereka sendiri. Kegagalan sistem pajak tanah menyakinkan Van den Bosch bahwa pemulihan sistem penyerahan wajib perlu sekali untuk memperoleh hasil tanaman dagangan yang dapat diekspor ke luar negeri. Lagi pula, pengalaman selama sistem pajak tanah berlaku telah memperlihatkan bahwa pemerintah kolonial tidak dapat menciptakan hubungan langsung dengan para petani yang secara efektif dapat menjamin arus tanaman ekspor dalam jumlah yang dikehendaki tanpa mengadakan hubungan lebih dahulu para bupati dan kepala-kepala desa. Artinya, ikatan-ikatan feodal dan tradisional yang berlaku di daerah pedesaan masih perlu dimanfaatkan jika hasil-hasil yang diharapkan ingin diperoleh. Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman-tanaman dagangan untuk diekspor ke pasaran dunia. Walaupun antara sistem eksploatasi VOC dan sistem tanam paksa terdapat persamaan, khususnya dalam hal penyerahan wa jib, namun pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih menggoncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih dua abad. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Van den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan- pungutan pajak dalam natura ini tanaman dagangan bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual di sana kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan yang besar bagi pemerintah dan pengusaha-pengusaha Belanda. Sistem tanam paksa tersebut ketentuan pokoknya sebagai berikut: pertama, persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk 104 agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa. Kedua, bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa. Ketiga, pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan un tuk menanam padi. Keempat, bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. Kelima, tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang di sediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat. Keenam, panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat. Terakhir, penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya. Dibanding dengan penyerahan wajib contingenteringen yang dipaksakan VOC kepada penduduk, maka sistem tanam paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat. Jika selama zaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib. diserahkan kepada para kepala rakyat sendiri, maka selama sistem tanam paksa para pegawai Eropa dari pemerintahan kolonial langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa tersebut. Hal ini sering berarti peningkatan “efsiensi” dari sistem tanam paksa, dalam arti kata bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak peningkatan “efsiensi” ini tentu berarti penambahan beban yang harus dipikul rakyat. Untuk menjamin bahwa para pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa menunaikan “tugas” mereka dengan baik, maka pemerintahan kolonial memberikan perangsang fnansil kepada mereka yang terkenal dengan nama cultuurprocenten, yang diberikan kepada mereka di samping pendapatan biasa mereka. Cultuurprocenten ini merupakan persentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada para pegawai Belanda dan para bupati dan kepala-kepala desa jika mereka berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada tiap-tiap desa. Cara-cara ini tentu saja menimbuikan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala- kepala desa mempunyai vested interest dalam usaha untuk meningkatkan produksi tanaman-tanaman perdagangan untuk ekspor. 105 Di samping ini cara penanaman paksa yang hanya dapat dijalankan dengan unsur kekerasan di tinjau dari segi ekonomis tidak efsien karena banyak pemborosan terjadi dalam penggunaan tenaga kerja untuk penanaman paksa. Hal ini dapat dimengerti karena pemerintah kolonial dengan mudahnya saja dapat mengarahkan tenaga-tenaga kerja yang diperlukan dengan cara komando lewat para kepala rakyat. Andaikata pemerintah kolonial hanya dapat memperoleh tenaga kerja yang diperlukan dengan cara ’membeli’ jasa-jasa mereka di pasaran tenaga kerja yang bebas, artinya jika mereka harus membayar upah untuk jasa-jasa tenaga kerja yang dipekerjakan, maka sudah barang tentu pemborosan tersebut di atas sedapat mungkin dihindarkan karena merugikan pemerintah sendiri. Selain itu menurut ketentuan resmi mengenai sistem tanam paksa, tanah- tanah milik rakyat yang harus disediakan untuk tanaman paksa hanya boleh meliputi seperlima dari tanah-tanah milik penduduk desa. Dalam praktek ternyata bahwa angka ini sering dilampaui, sehingga sering mencapai separoh atau lebih dari tanah-tanah milik rakyat. Hal ini tentu sangat merugikan rakyat, dan bukan ini saja, tetapi juga membahayakan kehidupan mereka. Jika penduduk desa dikerahkan untuk menanam tanam an untuk ekspor, maka mereka tentu saja tidak mempunyai cukup waktu tenaga untuk mengerjakan tanah yang disediakan untuk penanaman bahan makanan. Memang dalam kenyataannya tanam paksa tersebut pelaksaannya banyak yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Terlepas dari pelaksaannnya yang meyimpang itu yang jelas sistem tanam paksa tersebut telah menimbulkan berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat. Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mempengaruhi dua unsur pokok kehidupan agraris pedesaan Jawa, yaitu tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa telah mengakibatkan terjadinya pergeseran pemilikan tanah dan penguasaan tanah di lingkungan petani pedesaan. Pergeseran sistem pemilikan tanah itu terjadi karena adanya pertukaran atau pembagian tanah pertanian untuk pemerataan pembagian kewajiban penyediaan tanah kepada pemerintah mapun karena adanya kecenderungan perubahan pemilikan tanah perseorangan menjadi tanah komunal desa. Pergeseran pemilikan tanah itu terutama terjadi di pusat penanaman dan pabrik tebu. Dalam hal tenaga kerja, sistem tanam paksa membutuhkan pengerahan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, pemanenan, pengangkutan dan pengolahan di pusat-pusat pengolahan atau pabrik-pabrik. Pengerahan tenaga kerja itu dilakukan dengan memanfaatkan organisasi desa. Karena itu sistem tanam paksa bersinggungan dengan unsur tenaga kerja dari kehidupan masyarakat agraris Jawa. 4 Sistem Liberal 106 Sistem ekonomi kolonial antara tahun-tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Maksudnya adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Nusantara, khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di daerah- daerah luar Jawa. Selama masa itu pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-undang Agraria Agrarische Wet yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada satu pihak undang-undang ini melindungi hak milik petani-petani Nusantara atas tanah mereka. Di lain pihak Undang-undang Agraria membuka peluang bagi orang-orang asing, artinya orang-orang bukan pribumi Nusantara, untuk menyewa tanah dari rakyat Nusantara. Sama halnya dengan negara-negara lain, di negeri Belanda para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa pemerintah sepatutnya tidak campur tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada kekuatan-kekuatan pasar. Mengikuti Adam Smith, para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa satu-satunya tugas negara adalah memelihara ketertiban umum menegakkan hukum, agar jangan demikian ke hidupan ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini dapat diwujudkan, para pengikut aliran liberalisme menghendaki agar segala rintangannya yang sebelumnya telah dibuat oleh negara dihapuskan. Rintangan-rintangan ini menghambat kelancaran kehidupan ekonomi dan oleh karena itu perlu disingkirkan. Ketika orang-orang liberal mencapai kemenangan politik di negeri Belanda setelah tahun 1850 mereka mencoba menerapkan azas-azas liberalisme di koloni-koloni Belanda khususnya di Nusantara, sedikit- dikitnya di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka. Mereka berpendapat ekonomi Hindia Belanda akan berkembang dengan sendirinya jika diberi peluang sepenuh-nya kepada kekuatan-kekuatan pasar untuk bekerja sebagaimana mestinya. Dalam praktek hal ini berarti kebebasan berusaha, yang dalam konteks Hindia Belanda khususnya berarti kebebasan sepenuhnya bagi usaha dan modal swasta Belanda untuk mengem-bangkan sayapnya di Hindia Belanda dalam berbagai usaha kegiatan ekonomi. Walaupun para pengikut liberalisme di Negeri Belanda mengecam peranan pemerintah Hindia Belanda selama zaman sistem tanam paksa, namun mereka tetap memandang Hindia Belanda sebagai suatu “perusahaan” yang perlu menghasilkan laba. Perbedaan mereka dengan orang-orang seperti Van den Bosch dan pendukung sistem tanam paksa lainnya hanya terletak pada gambaran mereka mengenai koloni mereka. Jika Van den Bosch memandang Hindia Belanda sebagai suatu perusahaan negara, maka kaum liberal menganggap koloni mereka sebagai suatu perusahaan swasta. Akan tetapi kedua-duanya 107 menghendaki agar perusahaan itu menghasilkan laba atau saldo surplus batig slot yang dapat di transfer ke Negeri Belanda. Orang-orang liberal berkeyakinan bahwa perkembangan ekonomi yang pesat yang dicetuskan oleh kegiatan usaha swasta akan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat Nusantara tanpa tindakan khusus dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Dengan lain perkataan, mereka berkeyakinan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat terdapat hubungan yang langsung. Di lain pihak kaum liberal memperingatkan bahwa campur tangan dari pihak pemerintah dalam kehidupan ekonomi dengan tujuan memajukan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang justru akan mempunyai efek yang buruk atas kesejahteraan rakyat. Satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah memberikan perlindungan dasar kepada orang-orang Nusantara agar kedudukan lemah mereka tidak disalahgunakan sehingga merugikan kepentingan-kepentingan mereka. Perlindungan dasar ini adalah Undang-undang Agraria dari tahun 1870 yang menegaskan hak milik dari penduduk pribumi atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik ini kepada orang-orang bukan Nusantara. Jikalau pengusaha-pengusaha Barat memerlukan tanah misalnya untuk membuka perkebunan besar mereka paling banyak hanya dapat menyewa tanah penduduk. Dalam zaman liberal penetrasi ekonomi uang yang lebih mendalam masuk ke dalam masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat Jawa. Hal itu terutama disebabkan oleh penyewaan tanah penduduk oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan- perkebunan besar tersebut. Tanah yang disewakan tidak saja terbatas pada tanah-tanah kosong, tetapi meliputi juga areal persawahan. Selain itu juga disebabkan oleh kesempatan yang diberikan kepada para petani di Jawa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan besar sebagai buruh harian atau buruh musiman. Meluasnya pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat Nusantara selama zaman liberal tidak saja terbatas pada penanaman tanaman-tanaman perdagangan di perkebunan-perkebunan besar, akan tetapi juga meliputi impor barang-barang jadi yang dihasilkan oleh industri- industri yang sedang berkembang di negeri Belanda. Impor barang- barang jadi, yang untuk sebagian besar terdiri atas barang-barang konsumsi ringan, mempunyai akibat-akibat yang buruk bagi usaha- usaha kerajinan rakyat Nusantara, karena pada umumnya hasil-hasil produksi mereka, baik dalam harga maupun mutu tidak dapat bersaing dengan barang jadi hasil industri-industri Barat itu. Misalnya, impor bahan-bahan tekstil dari daerah industri Twente di negeri Belanda mengakibatkan matinya usaha-usaha penenunan dari penduduk di Pulau Jawa. 108 Akibat dari perkembangan yang menyedihkan ini penduduk Pulau Jawa makin didorong ke dalam ekonomi uang, karena hilangnya mata pencaharian mereka yang tradisional sehingga memaksanya mencari pekerjaan pada perkebunan-perkebunan besar yang dimiliki oleh Belanda dan lain-lain orang Eropa. Namun pada umumnya respons penduduk di Jawa terhadap meluasnya ekonomi uang adalah pasif; artinya untuk sebagian besar mereka tetap bergantung dari mata pencaharian di bidang pertanian, dan menjadi buruh pertanian hanya untuk melengkapi pendapatnya yang diperoleh dari hasil-hasil pertanian jika pendapatan ini tidak mencukupi.20 jika para petani ini terpaksa mencari pekerjaan di perkebunan besar untuk melengkapi pendapatannya, mereka senantiasa berusaha untuk meninggalkan pekerjan tambahan itu jika tidak dirasakan perlu lagi. Perluasan produksi tanaman-dagangan untuk ekspor dari per kebunan-perkebunan swasta tersebut serta impor barang-barang konsumsi ringan dari negara-negara industri Barat yang meningkat, mengakibatkan perdagangan internasional makin ramai an-tara Nusantara dan negara-negara lainnya. Perkembangan per dagangan internasionsl juga mendorong perkembangan per-dagangan perantara di daerah pedalaman Pulau Jawa. Perdagangan perantara itu pada umumnya terdiri atas dua fungsi, yaitu perdagaugan distribusi dan perdagangan koleksi. Per-dagangan distribusi terutama menyebarkan barang-barang kon-sumsi yang diimpor dari luar negeri di antara penduduk di daerah pedesaan, sedangkan perdagangan koleksi terutama mengum-pulkan hasil-hasil tanaman-tanaman dagangan dari pada petani dan meneruskannya kepada para pedagang besar. Kesempatan-kesempatan ekonomi yang baru terbuka itu pada umumnya tidak dimanfaatkan oleh penduduk di Jawa, tetapi oleh orang-orang yang termasuk golongan Timur Asing, khususnya orang- orang Cina. Seperti telah dikatakan oleh Wertheim, sebagai orang-orang yang berasal dari negara lain atau keturunan orang pendatang, golongan ini tidak begitu terikat pada tradisi-tradisi dan norma-norma agraris yang masih dianut oleh penduduk di Jawa, sehingga mereka berada dalam kedudukan yang lebih baik untuk memenuhi fungsi perdagangan antara. Seperti telah dikemukakan di atas, para petani di Jawa juga mulai mencari pekerjaan di luar bidang pertanian, akan tetapi hal ini hanya mereka lakukan jika diperlukan, misalnya untuk membayar pajak tanah atau untuk membeli barang-barang konsumsi impor. Akan tetapi pada umumnya sikap para petani tersebut terhadap meluasnya ekonomi uang adalah pasif; artinya mereka tidak secara aktif memanfaatkan kesempatan-ekonomi yang baru untuk keun-tungan material mereka sendiri dan untuk meningkatkan taraf hidup mereka, akan tetapi mereka hanya menyesuaikan diri secara pasif dengan keadaan yang baru dan hanya berusaha untuk mem-peroleh sekedar tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang minimal. 109 Salah satu akibat lain yang penting dari penetrasi Barat yang makin mendalam di Jawa adalah pertumbuhan penduduk yang makin pesat. Pertumbuhan penduduk yang pesat ini disebabkan menurunnya angka kematian sedangkan angka kelahiran tetap tinggi. Faktor-faktor yang turut mengakibatkan menurunnya angka kematian adalah tindakan- tindakan dalam bidang kesehatan rakyat yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda, seperti vaksinasi terhadap berbagai penyakit menular, perbaikan dalam sistem distribusi bahan makanan kepada rakyat antara lain melalui perbaikan jaringan jalan raya dan lain-lainnya. 5 Perlawanan Rakyat Sejak wilayah Nusantara kekuasaannya diserahkan kepada pemerintahan kolonial Belanda, maka wilayah Nusantara memasuki sebuah periode dimana terjadi proses penetrasi yang semakin meningkat di seluruh kepulauan. Belanda semakin intensif ingin menguasai wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan raja-raja atau penguasa setempat. Yang jelas dengan semakin meluasnya kekuasaan Belanda pada satu sisi, maka pada sisi yang lain kekuasaan raja-raja atau penguasa-penguasa daerah atau negara-negara tradisional semakin merosot. Tindakan Belanda yang ingin menguasai wilayah- wilayah di Nusantara pada akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat di daerah-daerah yang mengalami kolonisasi tersebut. Perlawanan yang terjadi itu ada yang berskala besar dan ada yang skala kecil. Perlawanan yang berlangsung dengan jangkauan waktu yang panjang dan jangkauan wilayah yang luas disebut juga dengan perang. Sementara perlawanan yang berskala kecil terjadi ketika muncul pergolakan rakyat yang bersifat lokal dan berlangsung singkat. Meskipun begitu secara kualitas baik perlawanan berskala besar maupun berskala kecil tidak menunjukkan perbedaan jika dilihat dari hakikat dan sifatnya. a Perang Patimura 1817 Perlawanan yang dilakukan Patimura terhadap pemerintahan kolonial Belanda disebabkan adanya tuntutan agar pemerintah kolonial Belanda melakukan perbaikan-perbaikan di Maluku Tengah sebagaimana pernyataan yang dikemukakan pada tanggal 29 Mei 1817. Sejak VOC menguasai Maluku dalam abad ke 17, timbul permukiman- permukiman baru dengan nama “negeri” di daerah pantai kepulauan Maluku Tengah. Berangsur-angsur muncul suatu struktur sosial di negeri-negeri yang merupakan gabungan antara unsur-unsur dari.sistem budaya lama dengan unsur-unsur baru yang dimasukkan oleh VOC. Masyarakat negeri di pantai kepulauan Ambon-Uliase mendapat hak atas tanah dati untuk perkebunan-perkebunan cengkeh, di samping tanah-tanah pusaka-pusaka milik keluarga masing-masing. Hasil cengkeh dar setiap dati dijual pada VOC dengan harga tertemu, sedangkar hasil dari tanah pusaka berupa bahan makanan dipakai oleh keluarga famili 110 yang mengerjakannya. Selain itu VOC juga mengembangkan suatu sistem pemerintah desa negeri serta sistem pendidikan desa. Bila para penguasa desa mempunya; ikatan kekerabatan dalam desa negeri masing-masing, make para guru desa selalu dipindah-pindahkan dari suatu desa ke desa lainnya. Sistem perkebunan cengkeh, serta sistem pemerintahan desa, dan sistem pendidikan desa, merupakan unsur-unsur yang mengikat kehidupan penduduk Ambon-Lease dengan serasi. Namun di samping itu terasa pula kepincangan-kepincangan yang ditimbulkan sistem-sistem itu. Ekspedisi hongi yang diorganisir VOC banyak menimbulkan tragedi bagi masyarakat Maluku. Ekspedisi yang terdiri dari kora-kora milik masing-masing negeri di kepulauan Ambon-Uliase, dimaksudkan untuk mengawasi pulau-pulau Seram, Buru dan Manipa, dan lain-lain, yang dilarang menghasilkan cengkeh. Setiap pohon cengkeh di pulau- pulau tersebut ditebang oleh serdadu-serdadu VOC yang diangkut armada kora-kora tersebut. Selama berlangsungnya ekspedisi itu banyak pemuda-pemuda negeri yang menjadi pendayung kora-kora meninggal karena kekurangan makanan atau dibunuh. Selain itu waktu yang digunakan sering melebihi waktu yang disepakati yaitu tiga bulan. Kepincangan lain sistem yang dibangun VOC di Maluku Tengah adalah korupsi. Terutama sejak bagian kedua abad ke-18, penyakit ini mulai menjalar di kalangan pejabat-pejabat Belanda. Mental pedagang yang merupakan ciri bekas pejabat-pejabat Belanda pada abad ke-17, mulai berganti dengan mental pegawai pemerintah dalam abad ke-18 sehingga untung-rugi perusahaan sebagai dorongan utama, berganti dengan usaha memperkaya diri masing-masing. Para Residen di daerah- daerah menjual suplai bahan-bahan keperluan yang disalurkan VOC kedaerah-daerah dengan harga yang menguntungkan. Sumber keresahan lainnya yang disebut oleh pengikut-pengikut Pattimura adalah sirkulasi uang kertas. Sejak masa VOC pen duduk selalu menerima uang logam untuk hasil penjualan cengkeh mereka. Uang kertas mulai di introdusir Daendels di Jawa dan kemudian baru pada tahun 1817 di Ambon. Pernyataan pengikut-pengikut Pattimura menjelaskan adanya penyelewengan dalam hal ini. Pejabat-pejabat daerah membayar hasil cengkeh dengan uang kertas, tetapi penduduk yang membeli bahan-bahan kebutuhan seperti tekstil di toko-toko pemerintah, diwajibkan membayar dengan uang logam. Soal uang kertas terutama ditekankan dalam “Pernyataan Hatawano” Saparua Utara ketika diadakan perundingan dengan pihak Belanda pada bulan Juli 1817. Antara lain disebut bahwa uang kertas tidak bisa dipergunakan untuk memberi sum-bangan digereja tabung diakoni yang dibuat khusus untuk uang logam. Menurut Pernyataan Hatawano mereka yang menolak menerima uang kertas akan dirantai dan diangkut ke Batavia. Selain menguraikan adanya hambatan-hambatan yang 111 dikenakan atas kegiatan para guru desa yang juga mempunyai kewajiban mengasuh upacara-upacara agama Kristen, penduduk Hatawano juga menuntut dikirimnya dua orang pendeta. Pelayanan upacara-upacara keagamaan oleh pendeta-pendeta Belanda sudah terhenti jauh sebelum pendudukan Inggris. 10 Pihak Inggris yang mengerti sikap penduduk dalam soal ini, menyediakan seorang pendeta Inggris sebagai penggantinya. Hal ini tidak dilakukan para pejabat mengambil alih kekuasaan pada bulan Maret 1817. Suatu sumber keresahan lainnya adalah paksaan atas pemuda-pemuda negeri untuk menjadi serdadu di Jawa. Sejak awal abad ke-17 sudah ada orang Ambon yang menjadi anggota tentara VOC, tetapi jumlahnya berkurang sejak pertengahan abad ke-18. Ketika Daendels tiba di Batavia 1808 dengan rencana-rencana pertahanannya ia memerlukan pemuda-pemuda untuk “milisi”nya. Antara lain sejumlah pemuda Ambon dan pulau Saparua diangkut dengan cara paksaan. Tindakan sewenang-wenang inilah yang tidak disetujui. Selain itu pengalaman pahit semasa Daendels menyebabkan orang menganggap pekerjaan serdadu sebagai suatu hukuman buangan. Mungkin dalam pandangan penduduk praktek ini disamakan dengan kewajiban hongi. Perlawanan yang dilakukan Patimura meletus pada tanggal 14 Mei 1817. Rakyat memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial Belanda di benteng Duurstede yang terletak di pulau Saparua. Perlawanan Patimura berlangsung sebentar. Semula pihak Patimura memperoleh kemenangan. Namun kemudian mengalami kemunduran Pada akhirnya Patimura tertangkap pada tanggal 12 Nopember 1817. Patimura dan tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan dibawa ke Ambon dan disidangkan. Patimura memperoleh hukuman mati sementara yang lain dibuang ke Jawa. b Perang Padri 1821-1838 Perang melawan kolonialisme di daerah Minangkabau bermula dari pertentangan antara dua pihak dalam masyarakat, dan sering dinamakan gerakan Padri yang mulai pada awal abad ke-19. Tujuannya adalah untuk memurnikan ajaran agama Islam, membasmi adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di Pagaruyung. Raja dibantu oleh empat orang pembantu yang disebut Basa Ampek Balai. Mereka adalah Bandaro di Sungai Tarab yang mengurus persoalan adat, Tuan Kadi di Padang Gantiang yang mengurus masalah- masalah agama, Makhudum di Sumaniak yang mengurus persoalan pertahanan dan keamanan dan Indomo di Saruaso yang bertugas`menjadi penasehat raja. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara Minangkabau, akan tetapi tidak mempunyai kekuasaan. 112 Penduduk Minangkabau hidup bersuku-suku. Tiap suku dipimpin oleh seorang penghulu. Pada hakekatnya kekuasaan terletak ditangan para penghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Nagari. Raja, bangsawan dan para penghulu inilah yang menjalankan peranan penting dalam pemerintahan adat. Perkembangan yang kemudian tampak di Minangkabau adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk, sedang para pembesar tak mampu menghalangi, bahkan turut menjalankan kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut, yaitu menyabung ayam, madat, berjudi dan minum minuman keras. Kebiasaan ini makin meluas dan mempengaruhi kelompok pemudanya. Apabila diadakan acara menyabung ayam, mereka datang berduyun-duyun dari berbagai tempat. Menghadapi keadaan ini kaum ulama atau Padri mulai mengadakan reaksi, sehingga gerakannya lalu dikenal dengan gerakan Padri. Kaum Padri ingin memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran Islam yang murni. Sejak itu timbul bibit- bibit pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Upaya pemurnian ajaran Islam berawal dari adanya upaya melakukan pembaharuan yang dilakukan oleh Tuanku Koto Tuo dari Ampek Angkek Agam. Ia mempunyai seorang murid yang bernama Tuanku Nan Renceh. Pembaharuan yang dilakukan itu mendapat dukungan dari tiga orang ulama yang baru kembali dari Mekah menunaikan ibadah haji pada tahun 1803. Ketiga orang tersebut menyaksikan secara langsung bagaimana kaum Wahabbi di Mekah meluruskan agama dan membasmi bid’ah, sehingga mereka ingin meluruskan pula agama di negerinya Ketiga orang haji tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang. Pembaharuan yang dilakukan para ulama tersebut mendapat tantangan keras dari kaum Adat. Ketika Haji Miskin melarang dilaksanakan menyabung ayam, kaum Adat tidak memperdulikan. Haji Miskin lalu membakar tempat menyabung ayam tersebut. Kaum adat menjadi marah. Sejak itu konfik antara kaum Padri dan kaum Adat berlangsung dengan kerasnya. Konfik- konfik yang terjadi antara kaum Padri dan kaum Adat itu pada akhirnya menimbulkan perang saudara di ranah Minangkabau. Perang saudara ini meluas terus dan kemudian mengalami perkembangan baru setelah kekuasaan asing mulai campur tangan. Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen Du Puy beserta Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian. Dengan dasar perjanjian ini maka beberapa daerah di Minangkabau diduduki Belanda. Langkah Belanda tidak semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri, akan tetapi lebih banyak ditujukan untuk menanamkan kekuasaannya. 113 Pada tanggal 18 Pebruari 1821 Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam dan seratus orang tentara. Sejak itu dimulailah perang Padri melawan Belanda. Peranan kaum Adat sebagai musuh utama kaum Padri digantikan oleh Belanda. Kaum Padri menghadapi Belanda yang mempunyai sistem persenjataan modern dan personel yang terlatih. Peperangan itu dibagi dalam tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825, ditandai dengan meluasnya per lawanan rakyat ke seluruh daerah Minangkabau. Masa kedua adalah antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan gerakan kaum Padri yang mulai melemah. Ketika itu pihak Belan-da sedang memusatkan perhatiannya pada perang Diponegoro di Jawa. Masa ketiga antara tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran, kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri. c Perang Diponegoro 1825-1830 Perang melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Timur yang berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan 1830, disebut juga Perang Diponegoro, atau Perang Jawa, karena meletus di hampir seluruh daerah di Jawa. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan Yogyakarta. Yang menjadi pemimpin peperangan adalah putra Sultan Hamengku Buwono III yang bernama Pangeran Diponegoro. Perang Diponegoro merupakan perlawanan terbesar terakhir yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Perang tersebut berlangsung disebab oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah politik. Secara politik ada kaitannya dengan perkembangan yang terjadi di Mataram. Sebagaimana diketahui Mataram yang pernah mengalami kejayaan pada masa Sultan Agung pada akhirnya mengalami keruntuhan dan terpecah belah menjadi beberapa kerajaan. Belanda semakin kuat penguasaanya atas wilayah Mataram. Sementara Mataram kekuasaan politiknya semakin sempit. Belanda menjadi orang yang mengatur bagaimana jalannya roda pemerintahan. Sedangkan raja tidak mampu berdikari atas kekuasaan yang dipegangnya, ia selalu diawasi Belanda. Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam urusan tata peme rintahan Mataram, sebenarnya tidak terlepas dari faktor intern dalam negara Mataram sendiri yaitu adanya gejala pertentangan antar- bangsawan. Kericuhan istana, perebutan tahta, perang antara bangsawan merupakan gejala kronis dalam sejarah negara Mataram sampai abad ke- 18. Nampak sekali bahwa gejala ter sebut membawa akibat makin lemahnya kekuasaan Mataram, sebaliknya memperkuat kedudukan Belanda. Terpecahnya wilayah negara setelah Perjanjian Gianti pada tahun 1755 menjadi Surakarta dan Yogyakarta, kemudian pada tahun 1757 dengan perjanjian Salatiga ditambah dengan munculnya kekuasaan Mangkunegara. 114 Pada permulaan abad ke-19 pengaruh Belanda pada kerajaan-kerajaan Surakarta dan Yogyakarta bertambah kuat. Pada masa Daendels ada usaha untuk mencampuri sedemikian jauh tatacara di dalam istana. Khusus di Yogyakarta, Daendels menuntut persamaan derajat dengan Sultan dalam upacara kunjungan resmi seperti penghapusan keharusan menyajikan sirih oleh Sultan bagi pembesar Belanda dan memperbolehkan pembesar Belanda duduk sejajar dengan raja. Tindakan Daendels ini menimbulkan kekhawatiran. Golongan memandang gejala tersebut sebagai tanda kemerosotan martabat kerajaan. Selain di bidang politik, di bidang ekonomi pun pengaruh Belanda cukup besar. Berkurangnya kekuasaan raja secara politik mengakibatkan merosotnya penghasilan raja dan para bangsawan. Pajak yang menjadi pendapatan raja dikuasai oleh Belanda. Di luar kehidupan istana, terdapat juga kekecewaan di kalangan sebagian besar rakyat, khususnya para petani. Kekecewaan ter-hadap pemerintah kerajaan selain dikarenakan tekanan-tekanan pajak dan kerja wajib, juga karena tindakan raja yang mengizinkan penyewaan tanah pada perkebunan-perkebunan swasta asing. Penyewaan tanah berarti penyewaan penduduknya juga. Para bangsawan yang menyewakan tanah lungguh mereka kepada kaum penguasa asing makin menggantungkan penghasilan untuk hfdupnya pada uang sewa yang sebagian besar digunakan tidak secara produktif. Tak mengherankan apabila larangan penyewaar tanah pada penguasa swasta asing yang dikeluarkan oleh Van der Capellen menjelang meletusnya perlawanan Diponegoro, sangat menggoncangkan para bangsawan yang tersangkut dalam penyewaan tanah. Sebab lain yang menyebabkan terjadinya perang Diponegoro adalah adanya rencana pembuatan jalan yang menerobos tanah Diponegoro dan membongkar makam keramat. Hal lainnya adalah Diponegoro memperoleh ilham untuk menyelamatkan tanah Jawa ketika ia bertapa di Tegal Rejo. Sementara itu, gejala baru yang timbul sebagai akibat hubungan dengan kekuasaan asing ialah makin meluasnya peredaran minuman keras baik di kalangan bangsawan maupun rakyat umum. Gejala ini oleh golongan agama dalam istana dianggap membahayakan kehidupan agama Islam. Golongan bangsawan yang taat menjalankan syari’at agama antara lain Diponegoro. Gelar kekhalifahan Sultan menjadi merosot dalam pandangan agama. Diponegoro mengecam kehidupan istana waktu itu dengan mengatakan bahwa para bangsawan telah mengabaikan ajaran agama dan tidak menghormati lagi para ulama. Ketika pada tahun 1822 Sultan Hamengku Buwono IV wafat secara mendadak, maka atas persetujuan penguasa Belanda yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah putranya Pangeran Menol yang baru berusia tiga tahun dengan gelar Sultan Hamengku Buwono V. Sultan ini 115 memerintah dari tahun 1822 sampai 1826. Karena belum dewasa maka dibentuk suatu dewan perwalian yang bertugas mendampingi Sultan dalam menjalankan pemerintahan. Anggota dewan terdiri dari nenek Sultan permaisuri Sultan Hamengku Buwono III, ibu dari Sultan permaisuri Sultan Hamengku Buwono IV, Pengeran Mangkubumi putra Sultan Hamengku Buwono II dan Pangeran Diponegoro. Kedudukan Diponegoro dalam dewan perwalian ini pada prakteknya tidak berarti sama sekali, ia tidak pernah diajak bicara urusan pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya usaha penyingkiran atas dirinya. Akhirnya Diponegoro mengundurkan diri dari dewan per walian dan tak mau turut campur dalam urusan istana. Urusan pemerintahan kemudian banyak dipegang oleh Patih Danurejo IV yang selalu bekerja sama dengan Belanda. Atas dukungan Belanda Patih Danurejo berpengaruh besar atas diri Sultan. Pengaruh Patih pada Sultan nampak pada rencana pemungutan pajak baru dengan alasan mengisi kekosongan kas kerajaan. Kekecewaan golongan anti Belanda di dalam istana menjadi semakin besar. Benih-benih penentangan makin berkembang. Sikap acuh tak acuh Diponegoro terhadap urusan istana menunjukkan kekecewaan terhadap sikap raja dan pejabat-pejabat tinggi pengikutnya. Sebaliknya kecurigaan Belanda terhadap Diponegoro makin bertambah. Pengawasan terhadap orang-orang yang dicurigai makin teliti dilakukan oleh pembesar-pembesar Belanda. Sementara golongan pro Belanda, baik dari bangsawan maupun pejabat birokrasi istana mendapat perlindungan dari fihak Belanda. Kekecewaan yang dialami Diponegoro semakin meningkat ketika pada bulan Mei 1825 akan dibangun jalan raya di Tegalreja. Terjadilah bentrokan antara pengikut Diponegoro disatu pihak dengan pengikut Patih Danureja IV pada pihak lainnya ketika patok-patok untuk pembuatan jalan raya itu dipancangkan. Pada bulan Juli Belanda mengirimkan pasukan untuk menangkap Diponegoro. Sejak itu terjadilah perang terbuka antara Diponegoro dengan pihak Belanda. Perang tersebut dengan cepat meluas ke seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pihak Belanda berusaha untuk menumpas pemberontakan itu, tetapi mendapat perlawanan dari pihak Diponegoro. Perlawanan Diponegoro ternyata tidak berlangsung lama. Pada akhir tahun 1926 Diponegoro hanya menguasai sebagian besar wilayah pedalaman Jawa Tengah. Memasuki tahun 1927 pihak Belanda menerapkan benteng stelsel dalam menghadapi perlawanan Diponegoro. Dalam sistem tersebut satuan-satuan bergerak kecil beroperasi secara sendiri lepas dari jaringan pos-pos berbenteng dan mengawasi penduduk setempat secara permanen. Sistem itu ternyata cukup ampuh untuk melemahkan posisi pasukan Diponegoro. Pada bulan Nopember 1828 mulai satu persatu pengikut Diponegoro menyerahkan diri pada Belanda. Awalnya menyerah Kyai Maja. Kemudian Pangeran Mangkubumi, paman 116 Diponegoro juga menyerah. Pukulan berat dirasakan Diponegoro ketika panglima perangnya Sentot Ali Basa menyerahkan diri pada Belanda dalam bulan Oktober 1829. Akhirnya pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia melaksanakan perundingan dengan pihak Belanda di Magelang. Dalam perundingan itu Diponegoro ditangkap dan ditawan Belanda. Ia diasingkan ke Manado dan kemudian dipindahkan ke Makassar sampai wafatnya tahun 1855. d Perang Aceh 1873-1903 Meskipun pada abad ke-19 Aceh mengalami kemunduran dan kekuasaannya sudah berkurang dibandingkan dengan kondisi pada abad ke-17, tetapi eksistensinya sebagai sebuah kerajaan masih tetap ada. Bahkan sultan Aceh yang bernama Ala’uddin Muhammad Daud Syah yang berkuasa pada tahun 1823-1838 berusaha untuk mengangkat kembali kebesaran kerajaan Aceh. Apalagi berdasarkan Traktat London tahun 1824, kedaulatan Aceh sebagai sebuah kerajaan diakui secara penuh oleh negara-negara Barat terutama Belanda dan Inggris. Akan tetapi dalam perkembangannya terjadi kondisi yang membuat Aceh merasa terancam kedudukannya. Hal itu dikarenakan Belanda melakukan penetrasi ke dalam wilayah Sibolga dan Tapanuli pada tahun 1830-an. Penetrasi kekuasaan kolonial Belanda itu berlanjut terus dengan terjadinya Traktat Siak pada tahun 1857 antara Sultan Siak dengan Belanda. Di dalam traktat tersebut disebutkan bahwa Siak mengakui kedaulatan kolonial Belanda di Sumatera Timur. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang berada di bawah pengaruh Siak seperti Deli, Asahan, Kampar dan Inderagiri juga berada di bawah pengaruh kekuasaan kolonial Belanda. Perkembangan berikutnya yang terjadi adalah makin meningkatnya jumlah kapal-kapal yang berlayar melalui Selat Malaka. Banyaknya kapal-kapal itu lewat Selat Malaka karena dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869. Dengan itu maka posisi Aceh semakin lebih penting karena ia menjadi pintu gerbang untuk masuk ke Selat Malaka. Kondisi itu makin mendorong Belanda untuk berkeinginan menguasai wilayah Aceh. Untuk itu ia mendesak Inggris untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Akhirnya antara Inggris dan Belanda tercapai kesepakatan yang disebut dengan Traktat Sumatera pada tanggal 2 Nopember 1871. berdasarkan traktat tersebut, Belanda diberi kekuasaan untuk memperluas kekuasaan di Sumatera termasuk Aceh, sementara Inggris mendapat kebebasan untuk berdagang di daerah Siak. Pada sisi yang lain Aceh sebagai sebuah kerajaan yang merasa khawatir dengan sepak terjang Belanda selama ini berusaha untuk mengadakan hubungan dengan Turki, Italia dan Amerika. Hubungan itu dilakukan untuk meminta bantuan dari negara-negara tersebut dalam menghadapi Belanda. Melihat tindakan yang dilakukan Aceh, pemerintah kolonial Belanda mengirim utusan ke Aceh dan menuntut agar Aceh mengakui 117 kedaulatan kolonial Belanda di Aceh. Sultan Aceh mengabaikan surat yang dibawa oleh utusan tersebut. Komisaris Nieuewenhuysen mengirimkan surat yang kedua, tetapi tetap tidak mendapat tanggapan dari sultan Aceh. Setelah berkali-kali tidak diperdulikan oleh sultan Aceh maka pada tanggal 26 Maret 1873 kolonial Belanda memaklumkan perang terhadap Aceh. Dengan pernyataan perang tersebut maka berkobarlah peperangan di wilayah Aceh. Peperangan itu melibatkan seluruh rakyat Aceh baik rakyat biasa maupun ulebalang, ulama dan Sultan Aceh. Peperangan tersebut pada awalnya mampu menghambat laju penetrasi kolonial Belanda karena dalam perang tersebut rakyat Aceh didorong oleh semangat perang sabil. Kepemimpinan yang dilakukan ulebalang dan ulama serta simbol perjuangan yaitu sultan Aceh menjadikan peperangan tersebut berlangsung lama dan kemenangan terjadi silih berganti. Belanda melaksanakan berbagai taktik untuk mampu mengalahkan Aceh. Dalam penyerangan pertama Belanda tidak mampu mengalahkan Aceh. Menjelang penyerangan kedua Belanda mencoba dengan memblokade wilayah Aceh. Namun usaha blokade itu tidak membawa hasil yang baik. Pada penyerangan berikutnya Belanda melaksanakan sistem pasifikasi. Penyerangan dipusat di masjid raya Aceh. Rakyat Aceh melakukan perlawanan sengit sebelum akhirnya masjid raya diduduki dan dikuasai oleh Belanda. Setelah berhasil menguasai masjid raya, perhatian Belanda ditujukan ke istana sultan. Rakyat Aceh berusaha untuk mempertahankan istana, tetapi tidak berhasil karena mendapat gempuran yang terus menerus dari Belanda selama dua minggu. Meskipun istana sudah dikuasai Belanda bukan berarti Aceh telah takluk kepada Belanda. Perlawanan tetap berlanjut di bawah pimpinan sultan Aceh. Hanya sayang sultan Aceh tidak mampu bertahan dari serangan wabah kolera yang menyebabkan ia meninggal pada tanggal 28 Januari 1874. Perlawanan dilanjutkan oleh para panglima polim. Sultan pengganti waktu itu baru berusia 6 tahun. Untuk menjalankan pemerintahan dibentuk Dewan Mangkubumi yang dipimpin oleh Tuanku Hasyim. Perlawanan yang dilakukan rakyat Aceh semakin meningkat walaupun istana telah dikuasai oleh Belanda. Belanda melakukan perubahan strategi penyerangan dengan menggunakan sistem konsentrasi dan bergerak secara ofensif. Selain itu Belanda berusaha melakukan strategi diplomasi dengan melakukan pendekatan dengan para ulebalang. Strategi berunding itu ternyata cukup membawa hasil. Banyak ulebalang yang mau berdamai dengan Belanda. Pada sisi yang lain ternyata di kalangan rakyat Aceh juga muncul perpecahan. Ada saja dikalangan rakyat yang memihak kepada Belanda seperti rakyat Keureutu. Itu dapat dilihat dari konfik yang terjadi 118 antara Negri Simpang Ulin dan Tanjung Seumantok dalam menghadapi Keuretu yang dibantu Belanda. Perpecahan dikalangan rakyat Aceh itu semakin menguat dengan semakin banyaknya para ulebalang yang mengadakan perjanjian damai dengan kolonial Belanda seperti yang terjadi di Aceh Barat, Aceh Utara dan Aceh Timur. Walaupun perpecahan terjadi, perlawanan terhadap kolonial Belanda tetap berlangsung. Perlawanan yang banyak terjadi berupa serangan gerilya karena kolonial Belanda tidak begitu mengenal medan peperangan. Serangan-serangan bergerilya itu semakin meningkat ketika seorang tokoh ulama bernama Habib Abdurrachman pulang dari Turki pada tahun 1877. Ia bersama Teuku Cik Di Tiro menyusun dan mengatur strategi perang gerilya yang dilakukan dalam menghadapi pasukan Belanda. Belanda merobah taktik peperangan dengan menerapkan stelsel konsentrasi. Taktik ini menitik beratkan untuk memusatkan perhatian ke daerah-daerah yang telah dikuasai. Meskipun telah ada perobahan strategi perang, perlawanan dari rakyat Aceh tetap saja berlangsung terus. Oleh karena perlawanan rakyat Aceh cukup sulit untuk dihentikan, kemudian Belanda merobah strategi perangnya setelah pihak Belanda mendapat masukan dari Snouck Hurgronye. Ia memberikan masukan kepada pemerintah kolonial Belanda setelah melakukan penelitian mengenai kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh. Penelitian dilakukan dengan cara menyamar dan menggunakan nama Abdul Gafur. Snouck Hurgronye mengusulkan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk dapat mengalahkan rakyat Aceh maka yang perlu diserang dan dikuasai adalah para ulama yang ada di Aceh. Atas dasar masukan yang diberikan itu maka kolonial Belanda melakukan penyerangan terhadap tokoh-tokoh ulama. Sejak itu satu persatu para ulama pemimpin perang berguguran dalam perang menghadapi Belanda. Pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar meninggal dalam pertempuran, sementara istrinya ditangkap dan dibuang ke Jawa Barat tahun 1906. Sultan Aceh sendiri juga menyerah pada tanggal 20 Januari 1903. Panglima Polim pada akhirnya juga menyerah kepada Belanda pada tanggal 6 September 1903. Dengan demikian perlawanan rakyat Aceh semakin lemah dan kemudian Aceh dikuasai oleh kolonial Belanda. b. Perkembangan Pergerakan Nasional Di Indonesia 1 Faktor Pendorong Munculnya Pergerakan Kebangsaan Kebijakan Politik Etis memiliki peran penting dalam melahirkan nasionalisme Indonesia. Politik Etis adalah kebijakan balas budi terhadap rakyat Indonesia yang telah berjasa dalam membantu pemerintah Belanda. Kebijakan itu dilakukan dalam tiga hal; irigasi, 119 transmigrasi dan edukasi. Pencetus Politik Etis ialah Conrad Theodore van Deventer. Di antara ketiga kebijakan itu, pendidikan yang berhasil dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan perlakuan untuk setiap golongan masyarakat. Pencetus Politik Etis ialah Conrad Theodore van Deventer. Pada bulan Agustus 1899, dia menulis sebuah artikel dalam majalah de Gids dengan judul “Een Eereschuld” atau “Hutang Kehormatan”. Dalam artikel tersebut, van Deventer menuliskan bahwa cucuran keringat dan air mata penderitaan rakyat Indonesia telah banyak berjasa dalam membantu pemerintah Kerajaan Belanda I memperbaiki kondisi keuangan negara. Oleh karena itu, sudah sepantasnyal apabila budi baik rakyat Indonesia tersebut dibayar kembali. Menurutnya utang budi itu harus dibayar dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui tiga program politik etis politik balas budi, yaitu irigasi, transmigrasi, edukasi. Program Politik Etis itu sebenarnya baik. Hanya saja dalam penerapannya terjadi berbagai kendala. Dalam hal irigasi, program yang semula ditujukan untuk mengairi sawah-sawah penduduk agar hasil panen padi meningkat ternyata diselewengkan di lapangan. Para penanggungjawab hanya memberikan aliran air ke sawah-sawah yang pemiliknya berani membayar upeti tinggi kepada mereka, sementara yang tidak memberikan komisi kepada petugas tidak mendapatkan bagian air. Akibatnya, hasil panen padi tidak maksimal sehingga tidak terjadi peningkatan kesejahteraan hidup rakyat. Hal yang sama terjadi dalam program transmigrasi. Program ini sebenarnya dimaksudkan untuk pemerataan jumlah penduduk dan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi penduduk Pulau Jawa dengan bekerja sebagai buruh kontrak di perkebunan-perkebunan. Akan tetapi, ternyata penduduk Jawa yang ditransmigrasikan ke Sumatra hidupnya lebih menderita di tempat yang baru. Hal itu dikarenakan upah mereka sebagai buruh sangat kecil dan tidak sesuai dengan kontrak yang tertulis. Di antara ketiga program Politik Etis itu, hanya program edukasi atau pendidikan yang menunjukkan perkembangan yang cukup positif bagi rakyat Indonesia, meskipun ada perbedaan tujuan di kalangan orang Belanda. Van Deventer mencanangkan program ini untuk membuat rakyat Indonesia bebas dari buta huruf dan kebodohan sehingga kelak mereka dapat memimpin sendiri bangsa dan negaranya. Mahlenfeld dalam hasil penelitiannya yang dimuat dalam harian de Locomotief menggambarkan bagaimana keadaan bangsa Indonesia pada umumnya tahun 1900-an terutama di bidang pendidikan. Di Pulau Jawa, rata-rata dari 1000 orang hanya 15 orang saja yang dapat membaca dan menulis. Bila perempuan ikut dihitung jumlahnya menjadi 16. Di 120 daerah Madiun, dari 1000 orang hanya 24 orang yang tidak buta huruf. Di Jakarta hanya 9 orang, Madura 6 orang yang bisa membaca dan menulis dan Tangerang, Jatinegara dan Karawang masing-masing 1 orang. Atas dasar kondisi itu, pemerintah kolonial maupun kalangan swasta Belanda menyetujui program edukasi dengan maksud yang berbeda, yaitu untuk mendapatkan tenaga administrasi rendahan dan murah di instansi-instansi pemerintah kolonial maupun di perkebunan dan pabrik-pabrik milik Belanda. Namun dalam perkembangannya, program pendidikan itu sendiri kemudian membantu terbentuknya elite baru Indonesia berupa kaum terpelajar. Adapun bentuk penyelenggaraan pendidikan pada masa kolonial terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut : Pendidikan Kolonial. Lembaga pendidikan ini secara langsung diatur dan dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Akan tetapi, dalam lembaga pendidikan kolonial ini terdapal praktek diskriminasi rasial dan kelas. Bagi anak-anak keturunan Eropa, mereka umumnya masuk sekolah ELS Europesche Lagere School sedangkan anak-anak bumiputra mengikuti sekolah-sekolah yang terbagi menurut kelas-kelas sosial. Adapun sekolah-sekolah untuk kaum bumi putra adalah sebagai berikut. • Bagi anak pribumi golongan bawah petani, buruh, tukang, didirikan sekolah rakyat volkschool atau rajatschool. Sekolah setingkat SD ini ditempuh dalam waktu selama tiga tahun. Pada umumnya sekolah rakyat menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar dalam kegiatan belajar sehari-hari. Lulusan sekolah ini dapat melanjutkan pendidikannya ke vervolgschool sekolah lanjutan setingkat SMP sekarang. • Bagi anak pribumi kalangan menengah pedagang, tuan tanah, pegawai kolonial, pemerintah Belanda mendirikan sekolah dengan nama HIS Hollands Inlandsche School setingkat SD sekarang. Waktu belajar sekolah ini adalah tujuh tahun dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Lulusannya dapat melanjutkan pendidikan ke MULO Meer UitgebreidLagere Onderwijs. Bagi lulusan sekolah setingkat SMP ini tersedia AMS Algemeene Middlebare School setingkat SMA sekarang. • Khusus bagi anak-anak bumiputera kalangan atas bangsawan, setelah HIS mereka dapat melanjutkan pendidikannya ke HBS Hogere Burger school. Sekolah yang merupakan penggabungan tingkat SMP dan SMA ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Selain itu, pemerintah kolonial juga mendirikan sekolah-sekolah tinggi, seperti Recht Hooge School sekolah hukum, STOVIA School tot Opleiding Vanlndische 121 Aartsen, atau sekolah kedokteran dan Technische Hooge School Sekolah Teknik. 2 Perguruan Kebangsaan Program pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan suatu hal yang cukup menggembirakan bagi berbagai kalangan. Hanya sayang, tidak semua golongan masyarakat dapat menikmatinya. Kondisi seperti ini menyebabkan munculnya suatu kesimpulan bahwa hanya anak orang mampu saja yang dapat sekolah dan menjadi pintar. Dalam suasana tersebut, sejumlah pendidik dari kalangan penduduk Indonesia mengulurkan tangan untuk membagi pengetahuan kepada anak-anak dari kalangan tidak mampu ini. Mereka kemudian mendirikan sejumlah perguruan kebangsaan untuk membentuk kepribadian dan mental bangsa melalui semangat nasionalisme. Umumnya, sekolah- sekolah ini tidak mengenal diskriminasi dalam hal derajat, perekonomian, maupun keturunan. Para muridnya diperlakukan sama sebagai anak-anak bangsa. Di antara perguruan-perguruan tersebut, antara lain sebagai berikut: • Perguruan Taman Siswa Sekolah ini didirikan oleh R.M. Suwardi Suryaningrat Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Dalam pengajarannya, perguruan ini memusatkan pendidikan terhadap rasa cinta pada tanah air, semangat kebangsaan, dan sikap anti terhadap penjajahan. • Perguruan Kayu Tanam Nama asli perguruan ini adalah INS Indonesiche Nederlandse School Kayu Tanam. Perguruan ini didirikan oleh Mohammad Syafei pada tahun 1926 di Sumatra Barat. Perguruan ini bertujuan mempersiapkan para pemuda untuk menjadi tenaga kerja yang terampil dan siap pakai dengan pembentukan watak positif untuk kepentingan bangsa yang mandiri. • Perguruan Kesatrian Perguruan Kesatrian, atau Ksatrian School, didirikan oleh E. F. E. Douwess Dekker Dr. Danudirdjo Setiabudi pada tahun 1924. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri sebagai manusia yang merdeka bagi anak-anak bumiputera melalui pendidikan. • Perguruan Rakyat Perguruan Rakyat didirikan pada 11 Desember 1928 oleh Mr. Sunario, A. Wilson Mononutu, dan M.H. Thamrin. Perguruan ini berpijak pada dasar kebangsaan Indonesia dan berusaha melenyapkan pikiran-pikiran kedaerahan yang ada di dalam diri para pelajar. Pelajaran utama yang diberikan di sekolah ini adalah 122 sejarah Indonesia dan bahasa Indonesia. Tujuannya agar dalam setiap jiwa para pelajar tertanam bahwa mereka adalah bangsa Indonesia. 3 Pendidikan Perguruan Islam a Muhammadiyah Muhammadiyah adalah perguruan Islam modern pertama, yang didirikan di Yogyakarta pada 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Tujuannya untuk memperluas pendidikan agama Islam dan memupuk perasaan kebangsaan siswa yang menjadi landasan perjuangan menegakkan kebenaran melawan penjajahan. Pada tahun 1922, berdiri sekolah khusus untuk wanita di bawah Muhammadiyah yang diberi nama Aisyiah di bawah Pimpinan Ny. Siti Wardah Ahmad Dahlan. Tujuannya untuk menciptakan kaum muslimah yang mandiri dan berkepribadian positif dalam mendukung perjuangan bangsa Indonesia. b Pesantren Persatuan Islam Persis Didirikan di Bandung pada tahun 1923 oleh Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir, sekolah ini bertujuan mempersiapkan calon-calon ulama yang tidak kaku dalam menghadapi masyarakat yang tertekan akibat pemerintahan kolonial Belanda. Dengan demikian diharapkan para santri memiliki kesanggupan menyiarkan, membela, dan mempertahankan Islam secara benar. Dari pemahaman Islam yang baik, maka mereka pun dapat melaksanakan jihad membela agama dan bangsa yang tertindas oleh penjajahan. c Nahdlatul Ulama NU Sebenarnya perguruan yang dikelola oleh NU ini sudah berdiri sejak 1899 dalam bentuk pesantren, yaitu Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur. Sejak tahun 1938, NU mulai memperbanyak sekolahmadrasah dari tingkat Diniyah setara SD hingga Aliyah setara SMA. Tujuannya untuk melaksanakan ajaran Al-Qur’an dan Hadits dengan benar menurut mazhab Syaf’i. Manfaat yang cukup besar bagi penyelenggaraan pendidikan adalah lahirnya golongan terpelajar, yang kemudian menjadi modal perjuangan rakyat bumiputera. Dengan tingkat pendidikan cukup tinggi, pemikiran-pemikiran golongan terpelajar ini kemudian memberikan sumbangan besar berupa pembentukan dan pengembangan berbagai organisasi pergerakan kebangsaan yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Indonesia. Di antara golongan terpelajar yang memelopori pembentukan organisasi pergerakan adalah dr. Wahidin Sudiro Husodo, Sutomo, Ciptomangunkusumo, 123 Iwa Kusuma Sumantri, Ki Hajar Dewantara, K.H. Hasyim Asy’ari, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Dalam aktivitas mereka, banyak di antara golongan terpelajar yang nasionalis juga berasal dari kelompok profesional. Mereka ini antara lain bekerja sebagai dokter, pengacara, guru, dan ulama. Sebagai contoh, pergerakan nasional mengenal para dokter, seperti Wahidin Sudiro Husodo, Sutomo, dan Cipto Mangunkusumo, yang di samping menjalankan profesinya sebagai dokter juga aktif dalam aktivitas pergerakan kebangsaan. Di antara para tokoh pergerakan yang menjadi ahli hukum, ekonomi, dan teknik terdapat Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan Iwa K. Sumantri. Dari kalangan guru dan ulama terdapat nama-nama Ki Hajar Dewantara dan K. H. Hasyim Asy’ari. Oleh karena, latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka, kelompok terpelajar dan profesional ini dapat menjadi motor penggerak nasionalisme Indonesia secara mantap dan terarah. Meskipun pada perkembangannya muncul berbagai pergerakan kebangsaan namun semuanya tetap bermuara pada satu tujuan, yaitu memerdekakan bangsa Indonesia. c. Organisasi-Organisasi Pergerakan Awal 1 Budi Utomo Organisasi pergerakan nasional diawai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo terbentuk atas kesadaran kaum pelajar, Sutomo dan kawan- kawannya. Sutomo yakin bahwa usaha melepaskan diri dari penjajahan dapat dilakukan dengan kekuatan diri-sendiri. Semboyan ampuh yang dimiliki Sutomo dan kawan-kawannya adalah keperca-yaan pada diri sendiri dan kepada Tuhan sesuai dengan ajaran agama. Namun berdirinya Budi Utomo menjadi masalah yang hangat dan terus diperdebatkan di antara para pengajar STOVIA. Mereka menuduh Sutomo dan kawan-kawannya itu ingin mengadakan perlawanan kepada pemerintah kolonial. Tersiar berita bahwa kemungkinan Sutomo akan dikeluarkan dari sekolah dokter karena perbuatannya itu. Kawan-kawan Sutomo bertekad minta dikeluarkan juga jika hal itu terjadi. Demikianlah rasa solidaritas itu telah tumbuh dan terpatri di antara para pendirinya. Beruntung saat itu pimpinan umum STOVIA, Dr. H.F. Roll, bersimpati atas usaha Gambar 33. Suasana Kongres Budi Utomo 1908 124 Sutomo dan kawan-kawannya. Dalam satu kesempatan bahkan Roll membela Sutomo bukan menghukumnya. Berita tentang pendirian Budi Utomo segera tersebar luas melalui media massa. Para pelajar Yogyakarta, Magelang dan Probolinggo segera mendirikan cabang Budi Utomo di daerahnya masing-masing. Sutomo juga melakukan propaganda tentang pendirian organisasi ini dari rumah ke rumah sampai akhirnya bertemu dengan Wahidin Sudirohusodo, yang menyambut gembira tentang pendirian organisasi ini. Sebagai bentuk dukunganya Wahidin mengusulkan pendirian studiefonds, meskipun ditolak oleh para hadirin dalam kongres pertama Budi Utomo tanggal 3-4 Oktober 1908. Namun kongres menyepakati bahwa tujuan perkumpulan adalah kemajuan selaras untuk negara dan bangsa, terutama memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kesenian dan pengetahuan. Dalam kenyataannya, meskipun Budi Utomo berkeinginan memajukan penduduk Hindia, namun gerakannya hanya terbatas di Jawa dan Madura saja. Hal ini dikarenakan masih kentalnya sifat kedaerahan, sehingga azas perjuangannya terbatas pada usaha memajukan pendidikan serta kebudayaan Jawa saja. Baru pada tahun 1920 corak perjuangan Budi Utomo beralih, dari bidang pendidikan dan kebudayaan menjadi berkecimpung dalam bidang politik. Hal ini dikarenakan dr. Sutomo berpendapat bahwa “azas kebangsaan Jawa” tidak sesuai lagi dengan perkembangan rasa kebangsaan. Oleh karena itu, Budi Utomo kemudian bergabung dengan PPPKI Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Pada tahun 1935, Budi Utomo bergabung dengan PBI Persatuan Bangsa Indonesia dan membentuk Parindra Partai Indonesia Raya. 2 Sarekat Islam Sarekat Islam pada mulanya merupakan perkumpulan dagang bernama Sarekat Dagang Islam SDI. Perkumpulan dagang tersebut didirikan pada tahun 1911oleh Haji Samanhudi di kota Solo, Jawa Tengah. Adapun latar belakang pendiriannya adalah persaingan dagang antara para pedagang Cina dan muslim pribumi. Di samping itu, pendirian SDI juga merupakan suatu reaksi terhadap aktivitas penyebaran agama Kristen yang dijalankan oleh para misionaris. Setelah kongres pertama SDI pada tahun 1913, perkumpulan dagang itu berganti nama menjadi Sarekat Islam SI karena keanggotaan SI tidak hanya terbatas pada para pedagang Islam saja, melainkan semua kalangan masyarakat. Organisasi yang sering disebut sebagai pergerakan nasionalis-demokratis dan ekonomis ini merupakan organisasi massa pertama di Indonesia dengan jumlah anggota yang sangat besar di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan pada masa 125 kepemimpinan H.O.S. Cokroaminoto, jumlah anggota SI jauh melebihi anggota Budi Utomo. Pada tahun 1921, SI mengalami perpecahan akibat masuknya unsur komunis yang disebarkan oleh Semaun dan Darsono. Akibatnya muncul dua kelompok SI, yaitu SI Putih yang tetap berpegang pada azas Islam di bawah Abdul Muis dan SI Merah yang berhaluan komunis di bawah Semaun. Pada kongres SI tahun 1927, Sarekat Islam kembali mengalami perubahan nama, yaitu menjadi Partai Sarekat Islam PSI. Partai tersebut menegaskan bahwa tujuannya adalah mencapai kemerdekaan nasional atas dasar agama Islam. Dengan masuknya Dr. Sukiman ke dalam kepengurusan, pada tahun 1929 nama PSI berubah kembali menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia PSII yang lebih memperhatikan politik kebangsaan. Akan tetapi hal tersebut menimbulkan perpecahan dalam organisasi ini, yaitu antara kelompok Agus Salim-Cokroaminoto yang tetap menekankan azas agama Islam dalam perjuangannya dan kelompok Sukiman- Suryopranoto yang mengutamakan azas kebangsaan sebagai landasan pergerakan. Akibatnya, baik pengaruh maupun peranan SI sebagai organisasi massa yang besar menjadi mundur. 3 Indische Partij Indische Partij atau Partai Hindia diresmikan pada 25 Desember 1912 oleh E.F.E. Douwes Dekker Danudirdja Setia Budi dibantu oleh Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo. Pendirian partai itu sendiri sudah dirintis sejak akhir tahun 1911. Persiapan-persiapan dilakukan bergabung dengan rapat-rapat yang diadakan oleh Perhimpunan Hindia. Dalam rapat Perhimpunan Hindia tanggal 25 Agustus 1912 diputuskan membentuk satu komisi peneliti yang terdiri dari tujuah orang, yaitu J.R.Agebeek, J.D. Brunseld van Hulten, G.P. Charli, E.C.L. Couvreur, E.F.E Douwes Dekker, J. Van der Poel, dan R.H. Teusher . Adapun pendiriannya didasarkan pada pengamatan Dekker mengenai diskriminasi rasial yang dilakukan orang Belanda asli terhadap orang Indo-Belanda dan masyarakat pribumi. Di bawah pimpinan Douwes Dekker panitia tujuh mengadakan rapat persiapan pada 6 September 1912 di Bandung. Dalam rapat yang mendapat kunjungan luar biasa itu, Van der Poel membahas keanggotaan perhimpunan baru yang sedang disiapkan itu, Teusher mengupas tentang hak Hindia Putera atas tanah Hindia, Brunseld van Hulten mengupas hari depan Hindia Putera dan Douwes Dekker mencurahkan perhatiannnya pada kewajiban bersaudara antar semua Hindia Putera. Yang dimaksud dengan Hindia Putera adalah orang yang dilahirkan, bertempat tinggal, dan akhirnya dikebumikan di tanah air Hindia. Pada saat itulah didirikan perhimpunan baru yang diberi nama Indische Partij. 126 Sesudah itu tepatnya tanggal 15 September 1912 para pendiri mulai bergerak mencari pendukung. Douwes Dekker, Van der Poel dan Brunseld van Hulten pergi ke Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Semarang, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Di kota-kota yang telah dikunjungi mereka kemudian membentuk cabang Partai Hindia dan mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Atas dasar hasil pengamatan berkeliling itulah, para pendiri kemudian mengirimkan kawat ke Kerajaan Belanda, yang intinya agar pemerintah Belanda memperhatikan nasib orang-orang Belanda kelahiran Hindia dan orang-orang pribumi, karena masa depan mereka umumnya suram. Oleh karena itu pemerintah Belanda agar memperhatikan lebih serius pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Dalam waktu empat bulan telah dibentuk 25 cabang, dua di antaranya di Padang dan Belitung dengan jumlah anggota 5.775 orang. Cabang terbanyak anggotanya adalah Semarang yakni 1.375 orang, kemudian Surabaya 827 orang, Jakarta 809 orang, dan Bandung 740 orang. Sebagai partai politik pertama wajar jika Partai Hindia mendapat respok positif dari masyarakat. Indische Partij adalah pergerakan politik murni pertama ada di Indonesia dengan program- program revolusioner yang bersifat nasional. Hal tersebut ditegaskan dalam tujuan organisasi tersebut yang hendak membangunkan patriotisme semua ‘indiers’ terhadap tanah air, yang telah memberikan lapangan hidup, bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan, memajukan tanah air, dan mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Anggaran dasar Indische Partij disusun dalam permusyawaratan wakil-wakil cabang partai di Bandung tanggap 25 Desember 1912. Tujuan Indische Partij seperti tercantum dalam pasal-pasal anggaran dasarnya adalah untuk membangunkan patriotisme semua “indiers” terhadap tanah air yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerka sama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air “Hindia”. Cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut : • Memelihara nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua “indiers”, meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah budaya “Hindia’, mengasosiasikan intelek secara bertingkat ke dalam suku dan inter suku yang masih hidup berdampingan pada masa ini, menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan diri sendiri. • Memberantas rasa kesombongan rasial dan keistimewaan ras baik dalam ketatanegaraan maupun dalam bidang kemasyarakatan. • Memberantas usaha-usaha untuk membangkitkan kebencian agama dan sektarisme yang dapat mengakibatkan “indier’ asing satu sama lain, sehingga dapat memupuk rasa kerja sama atas dasar nasional. • Berusaha untuk memperoleh persamaan hak bagi semua orang Hindia 127 • Memperkuat daya rakyat Hindia untuk dapat mempertahankan Tanah Air dari serangan musuh • Memperbesar pengaruh pro Hindia di dalam pemerintahan • Memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia terutama dengan memperkuat mereka yang ekonominya lemah. Dengan demikian secara tegas dinyatakan bahwa Indische Partij berdiri di atas landasan Indische Nationalisme Nasionalisme Indonesia dengan semboyan Indonesia untuk bangsa Indonesia, pergerakan ini berusaha membangunkan rasa cinta tanah air dan mempersiapkan kemerdekaan. Apa yang dijalankan Indische Partij adalah politik tegas, seperti yang tercantum dalam anggaran dasarnya. Ketegasan ini menggambarkan dari ketegasan yang mendirikannya, E.F.E Douwes Dekker. Ia sebagai peranakan Hindia yang akan terus menetap di Hindia merasa wajib menetapkan nasib tanah airnya bersama dengan kaum terpelajar bumiputera. Jelas tindakan ini meminta syarat yaitu kebulatan tekad. Ia bersedia mengikuti tindakan Douwes Dekker alias Multatuli dalam membela nasib rakyat Indonesia terhadap politik penghisapan pemerintah Belanda di Indonesia. Dan ia percaya bahwa nasibnya juga tidak akan jauh berbeda dengan nasib Multatuli kalau ia tetap melanjutkan cita-citanya. Akan tetapi ingatan itu tidak mengurungkan niatnya tidak mengendorkan kemauannya karena keyakinannya membela kebenaran, ia bersedia memberikan pengorbanan yang diminta oleh cita-cita. Sikap pemerintah Belanda terhadap partai ini berbeda, jika dengan Budi Utomo dan Sarekat Islam hati-hati, pemerintah Hindia Belanda bersikap tegas terhadap Indische Partij. Permohonan yang diajukan kepada Gubernur JEnderal untuk memperoleh pengakuan hukun ditolak pada tanggak 4 Maret 1913. Artinya keberadaan Partai Hindia di larang karena dinilai membayakan pemerintah HIndia Belanda. Kejadian ini menjadi peringatan baik bagi Indische Partij maupun partai-partai lainnya bahwa kemerdekaan itu harus diperjuangkan sendiri bukan mengharap hadiah dari Belanda.

d. Organisasi Pergerakan Kedaerahan 1