Konferensi Meja Bundar KMB

153 3. Menyetujui RI sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat. 4. Berupaya untuk menyelenggarakan KMB. Sebagai tindak lanjut dari perundingan Roem-Royen, maka pada tanggal 6 Juli 1949 Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta beserta pimpinan nasional lainnya dikembalikan ke Yogyakarta. Kedatangan mereka ke Yogyakarta berada di bawah jaminan Sultan Hamengkubuwono IX.

i. Konferensi Meja Bundar KMB

KMB merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam usahanya mempertahankan kedaulatan yang diusik Belanda sejak proklamsi kemerdekaan 17 Agustus 1945. KMB diselenggarakan di Ridderzal, Den Haag, Belanda. Delegasi yang mewakili masing-masing pihak yang terlibat dalam penyelesaian konfik Indonesia-Belanda di KMB adalah : 1 Republik Indonesia diketuai Muhammad Hatta. 2 BFO diketuai Sultan Hamid II. 3 Kerajaan Belanda diketuai J.H. Van Maarseveen. 4 UNCI diketuai Merle Cochran sebagai mediator dalam perundingan. Hasil keputusan KMB adalah : 1 Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 2 Kostitusi RIS dipermaklumkan kepada Kerajaan Belanda. 3 Masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun sesudah pengakuan kedaulatan. 4 Akan didirikan Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerja sama. 5 Pengembalian hak milik Belanda oleh RIS dan pemberian hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan. 6 RIS harus membayar segala utang Belanda akibat perang sejak tahun 1942. Berdasarkan keputusan dalam KMB, maka pada tanggal 27 Desember 1949, Ratu Yuliana menandatangani piagam pengakuan kedaulatan RIS di Amsterdam. Pada saat yang bersamaan, di Jakarta yakni di Istana Merdeka berlangsung penandatanganan pengakuan kedaulatan dari Wali Tinggi Mahkota Belanda Lovink kepada wakil pemerintah RIS Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan adanya pengakuan kedaulatan dari Belanda yang dilaksanakan di dua tempat berbeda, maka kedaulatan Indonesia telah diakui secara sah sejak saat itu. 2. Kondisi Pendidikan dan Usaha-usaha Mempersiapkan Lahirnya Undang- undang Sistem Pendidikan Pertama Tahun 1950 Sesudah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, semua urusan pendidikan ditangani oleh Kementrian Pendidikan dan Pengajaran. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan PP dan K yang pertama ialah Ki Hajar Dewantara, yang bertugas hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan. Selain situasi pemerintahan dan keamanan negara yang belum stabil pada masa itu, pergantian menteri yang terlalu cepat telah menyebabkan tidak banyak perbaikan bidang pendidikan yang dilakukan oleh para menteri yang ditunjuk. Bahkan Mohamad Syafe’i sama sekali tidak dapat membuat kebijakan apa-apa, 154 karena tidak dapat meninggalkan tugasnya memimpin rakyat di daerah Sumatera Barat dalam perjuangan mempertahankan Republik Indonesia. Menteri PP dan K yang keempat, Mr. Suwandi, berhasil melahirkan sepuluh pasal pedoman untuk mendidik anak-anak dan pemuda agar hormat kepada Tuhan, tanah air, orang tua dan bangsanya. Kesepuluh pedoman itu adalah : 1 perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2 cinta kepada alam, 3 cinta kepada Negara, 4 cinta dan hormat kepada ibu dan bapak, 5 cinta kepada bangsa dan kebudayaan, 6 berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya, 7 keyakinan bahwa orang menjadi sebagian yang tak terpisah dari keluarga dan masyarakat, 8 keyakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib, 9 keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama harganya, sebab itu berhubungan dengan sesame anggota masyarakat harus bersifat hormat menghormati, berdasarkan atas rasa keadilan, dengan berpegang teguh atas harga diri sendiri dan 10keyakinan bahwa Negara memerlukan warga Negara yang rajin dan bekerja, tahu pada kewajibanya, jujur dalam pikiran dan tindakannya. Pada tanggal 12 Mei 1947 Mr. Suwandi membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Pembentukan panitia itu didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk pembinaan dan masyarakat baru, perlu diciptakan dasar-dasar dan susunan pengajaran baru. Dengan demikian hasil kerja panitia itu adalah memberi masukan untuk mengubah sistem pendidikan lama warisan kolonial. Anggota Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia terdiri dari lima puluh orang yang mewakili semua lapisan dan unsur masyarakat. Panitia bertugas meninjau masalah pendidikan dan pengajaran pada semua tingkat. Panitia dibagi menjadi dua kelompok yaitu Panitia Pekerja dan Panitia Penyelidik. Selanjutnya Panitia Penyelidik dibagi dalam delapan sub komisi, yang bertugas membahas masalah : 1 Kewajiban belajar dan pemberantasan buta huruf 2 Sekolah kerja, pekerjaan tangan, gerak badan dan sekolah partikelir 3 Pengajaran agama meliputi budi pekerti, civics dan kebudayaan 4 Balai bahasa dan himpunan pendidikan 5 Konsentrasi rencana pelajaran, desentralisasi, biaya pendidikan dan pengajaran Susunan pengajaran dan persekolahan 6 Perguruan tinggi dan 7 Pendidikan umum masyarakat. Hasil kerja panitia berupa pokok-pokok saran yang telah disampaikan kepada pemerintah seperti; 155 • Pedoman pendidikan dan pengajaran harus diubah secara mendasar • Khusus mengenai pengajaran diharapkan agar bisa mendapat tempat yang teratur dan seksama • Mengenai pengajaran tinggi disarankan supaya diadakan seluas-luasnya. Tenaga pengajarnya bila perlu menggunakan tenaga bangsa asing sebagai guru besar • Disarankan agar diusahakan berlakunya pengiriman pelajar-pelajar ke luar negeri • Paham perseorangan yang masih dianut harus diganti dengan paham susila dan rasa peri kemanusiaan yang tinggi. Sebab tujuan pendidikan dan pengajaran diarahkan kepada usaha membimbing murid-murid, agar menjadi warga negara yang mempunyai rasa tanggung jawab • Tentang kewajiban bersekolah. Wajib sekolah wajib belajar harus dilaksanakan secara bertahap, sesingkat-singkatnya 10 tahun • Bidang-bidang pengajaran kejuruan, seperti pertanian, industri, pelayaran dan perikanan diharapkan mendapat perhatian istimewa. Sedang pengajaran kesehatan dan olah raga hendaknya teratur dengan baik, sehingga akan dapat dihasilkan kecerdasan rakyat yang harmonis. • Tentang masalah pembiayaan. Panitia menyarankan agar untuk sekolah dasar tidak dipungut uang sekolah, sedang untuk sekolah menengah dan perguruan tinggi agar diadakan aturan pembayaran dan tunjangan yang luas, sehingga soal keuangan tidak menjadi halangan bagi masyarakat yang kurang mampu. Pada awal tahun 1948, Menteri PP dan K, Ali Sastroamidjojo yang menggantikan Suwandi membentuk Panitia Perancang yang bertugas menyusun Rencana Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran yang menjadi pedoman bagi pemerintah dalam menyelenggarakan sekolah-sekolah. Ketika rancangan undang-undang masih dalam tahap penyelesaian, Belanda melancarkan Aksi Militer II dengan menyerbu ibu kota Yogyakarta. Naskah rancangan undang-undang dijarah oleh pasukan Belanda, sehingga rencana untuk membahas rancangan undang-undang dalam BP-KNIP mengalami kegagalan. Setelah pemerintah kembali ke Yogyakarta, rancangan tersebut diajukan ke KNIP oleh Menteri Mangunsarkoro untuk disahkan menjadi undang-undang. Pembicaraan mengenai rancangan undang-undang RUU tersebut diawali pada tanggal 29 Oktober 1949. Setelah mengalami tujuh kali rapat dengan pembicara sebanyak 69 orang, pada tanggal 5 April 1950 RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 tahun 1950. Tentu saja Undang- undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran ini hanya berlaku untuk wilayah Republik Indonesia berdasarkan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar KMB yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura. Ketika ada gerakan rakyat dan pemerintah dari wilayah-wilayah RIS untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, proses dialog untuk menggunakan undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran untuk negara kesatuan sudah dimulai sejak 15 Mei 1950. Selanjutnya pada tanggal 30 Mei 1950 dikeluarkan “Pengumuman Bersama” mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Isinya agar penyelenggaraan pendidikan dan 156 pengajaran di seluruh Indonesia untuk tahun ajaran 19501951 sementara mengikuti sistem pengajaran yang berlaku di Republik Indonesia. Dengan adanya pengumuman bersama itu, sejak bulan Agustus 1950 penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950 Republik Indonesia. Sebelum undang-undang itu diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, oleh Menteri pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Prof. Bahder Djohan dari Kabinet Wilopo, undang-undang itu diajukan ke parlemen pada awal tahun 1953. Pada tanggal 23 Desember 1953 oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo undang-undang diajukan kembali. Undang-undang itu akhirnya disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 12 Maret 1954 sebagai Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI sejak tanggal 18 Maret 1954. Dengan pemberlakuan undang- undang tersebut, segala peraturan daerah di luar wilayah Republik Indonesia yang berbeda dengan Undang-undang Pokok Pendidikan dikesampingkan. Undang-undang No. 4 tahun 1950 jo 12 tahun 1954 menetapkan sebagai berikut : 1 Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air pasal 3 2 Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia pasal 4 Sebagai persiapan untuk merealisasikan pelaksanaan undang-undang tersebut, pemerintah menyusun rencana 10 tahun yang memprioritaskan pada wajib belajar dan pemberantasan buta huruf. Untuk mempersiapkan pelaksanaan wajib belajar tersebut, pemerintah lebih memfokuskan pada pengadaan guru khususnya guru sekolah dasar. Undang-undang Pokok Pendidikan nomor 4 tahun 1950 ini memang lahir dalam suasana liberal, sehingga nampak dalam kebijakan pendidikan dan pengajaran pun mencerminkan sifat liberal. Akan tetapi suasana politik yang tidak kondusif di mana stabilitas pemerintahan sulit dicapai, sehingga tidak memungkinkan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran seperti yang diharapkan. Sejak tahun 1950 hingga 1958 tercatat ada delapan kabinet silih berganti dalam waktu yang sangat pendek, sehingga program-programnya masih ada yang belum terlaksana, misalnya soal Irian Barat. Perhatian pemerintah dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berhasil diwujudkan, yaitu usaha mempercepat perbaikan untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran pada masa Kabinet Wilopo. Selain itu pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo Juli 1953 – Juli 1955, pemerintah berhasil mengundangkan berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekwensi lahirnya 157 undang-undang tersebut, pemerintah melalui Menteri Pendidikan, Pengajaran Kebudayaan PPK, Mr. Muhammad Yamin, antara lain berusaha meningkatkan mutu guru ditandai dengan pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru PTPG. Sementara itu konfik antar partai selama masa Demokrasi Liberal antara Masyumi, PNI, PKI, PSI dan NU makin terbuka. Demikian pula dalam kehidupan tentara antara kelompok Nasution dengan Simbolon – Zulkifi Lubis, Jawa dan luar Jawa makin nyata. Krisis yang berlarut-larut dalam tubuh militer menyebabkan runtuhnya kabinet Ali yang telah berhasil melaksanakan pemilihan umum baik untuk memilih anggota parlemen DPR maupun Dewan Konstituante. Dewan Konstituante hasil pemilihan umum tahun 1955 pun yang diberi tugas untuk menyusun undang-undang dasar baru sampai awal tahun 1959 belum dapat menyelesaikan tugasnya. Bahkan juga tidak dapat memberi keputusan atas saran Presiden dengan konsep ”demokrasi terpimpinnya”. Konfik internal dan sikap saling curiga antara Presiden Soekarno, tentara dan partai-partai politik pun terus berlanjut. Untuk mengatasi keadaan itu, Presiden atas dukungan Nasution dan Tentara Nasional Indonesia TNI mendekritkan berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945.

3. Perkembangan Ekonomi Pasca Kemerdekaan