Peradaban Awal Masyarakat Indonesia

9 yang disebut mikroorganisme. Selain itu, telah terdapat pula beberapa ikan, amfbi, dan binatang melata reptil. Ada juga sedikit binatang bertulang belakang. Mesozoikum berlangsung kurang lebih 150 juta tahun yang lalu. Zaman Mesozoikum dibagi lagi atas beberapa zaman yaitu Trias, Jura dan Kapur. Ikan, amfbi, dan reptil sudah semakin banyak jenisnya. Sudah muncul berbagai bentuk kehidupan lainnya terutama binatang bertubuh besar seperti: dinosaurus, tyranosaurus, dan stegosaurus, terdapat juga beberapa jenis burung. Neozoikum atau Kanozoikum diperkirakan kurang lebih 60 juta tahun yang lalu. Kehidupan pada zaman ini sudah sangat berkembang dan beranekaragam. Zaman Neozoikum terbagi menjadi dua zaman yaitu Tersier dan Kuarter. Zaman Tersier dibagi atas lima kala yaitu Paleosen, Eosen, Oligosen, Miosen dan Pilosen. Pada zaman Tersier binatang menyusui seperti berbagai jenis monyet dan kera telah berkembang pesat. Sedangkan zaman Kuarter dibedakan atas kala Plestosen dan Holosen. Kala Plestosen terdiri atas Plestosen Awal, Plestosen Tengah dan Plestosen Akhir. Pada kala Plestosen terjadi empat kali glasial yaitu glasial Gunz, Mindel, Riss dan Wurm. Zaman glasial merupakan zaman es yang dingin untuk bagian bumi utara dan selatan, sedangkan di sekitar khatulistiwa terjadi banyak hujan dengan iklim yang lembab. Apa yang terjadi dibelahan bumi utara dan selatan dinamakan juga dengan Diluvium dan yang berlangsung di daerah khatulistiwa disebut juga dengan Pluvium. Zaman Kuarter berumur kurang lebih 600.000 tahun yang lalu. Kala Holosen atau zaman Aluvium berlangsung sejak 20.000 tahun yang lalu. Pada zaman ini mulai muncul spesies Homo Sapiens, di antaranya adalah Homo Wajakensis.

2. Peradaban Awal Masyarakat Indonesia

Peradaban awal manusia purba di Indonesia dibagi ke dalam dua zaman, yaitu zaman Batu dan Zaman Logam. Zaman Batu terbagi atas zaman Batu Tua palaeolithikum, zaman Batu Tengah mesolithikum, zaman Batu Muda neolithikum. 1 Zaman Batu Tua Ciri dari zaman ini adalah peralatan terbuat dari batu kasar dan belum diasah. Alat dari batu ini dibuat dengan cara membenturkan batu yang satu dengan yang lainnya, pecahan batu yang menyerupai kapak kemudian mereka gunakan sebagai alat. Cara hidup manusia pada zaman batu tua adalah nomaden dalam kelompok kecil, tinggal dalam gua atau ceruk karang, dan berburu. Menurut Teuku Jacob, bahasa sebagai alat komunikasi telah ada dalam tingkat sederhana. Berdasarkan tempat penemuannya, zaman batu tua di Indonesia terbagi atas kebudayaan Pacitan dan Ngandong. 10 Kebudayaan Pacitan. Alat-alat yang dihasilkan adalah kapak genggam, alat penetak chopper yang ditemukan oleh von Koenigswald 1935. Selain di Pacitan, alat-alat tersebut ditemukan pula di daerah lain seperti: Sukabumi Jawa Barat, Parigi, Gombong Jawa Tengah, Lahat Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Sumbawa, Flores, Sulawesi Selatan, dan Timor. Peralatan tersebut ditemukan pada lapisan yang sama dengan ditemukannya fosil Pithecanthropus Erectus . Kebudayaan Ngandong, peralatan yang ditemukan adalah alat serpih feks berupa pisau atau alat penusuk. Di samping itu ditemukan pula alat dari tulang dan tanduk. berupa belati, mata tombak yang bergerigi, alat pengorek ubi, tanduk menjangan yang diruncingkan dan duri ikan pari yang diruncingkan. Alat-alat tersebut ditemukan pula di daerah lain seperti Sangiran dan Sragen Jawa Tengah. Manusia pendukung kebudayaan Ngandong adalah Homo Soloensis dan Homo Wajakensis, ditemukan pada lapisan tanah yang sama dengan peralatan kebudayaan Ngandong. 2 Zaman Batu Tengah Ciri dari zaman batu tengah ini adalah peralatan dari batu yang telah diasah bagian yang tajamnya. Zaman ini merupakan peralihan dari paleolithikum ke neolithikum. Hal yang menarik dari zaman mesolithikum adalah ditemukannya tumpukan sampah dapur yang kemudian diberi istilah kjokken-moddinger dan abris sous roche oleh penelitinya Callenfels dijuluki bapak prasejarah. Kjokkenmoddinger adalah tumpukan kulit kerang dan siput yang telah membatu, banyak dijumpai di pinggir pantai. Sedangkan abris sousroche adalah tumpukan dari sisa makanan yang telah membatu di dalam gua. Cara hidup mesolithikum adalah sebagian masih food gathering dan berburu tetapi sebagian telah menetap dalam gua dan bercocok tanam sederhana berladang menanam umbi-umbian, telah pula menjinakan hewan dan menyimpan hewan buruan sebagai langkah awal untuk berternak. Mereka telah membuat gerabah, mengenal kesenian dalam bentuk lukisan di dinding gua lukisan gua ketika mereka telah menetap. Lukisan tersebut berupa gambar telapak tangan berlatar belakang warna merah, gambar babi rusa yang tertancap panah gua Leang-leang, Sulawesi Selatan, penelitinya Heekeren-Palm 1950 di gua Pulau Muna, ditemukan berbagai lukisan manusia, kuda, rusa, buaya, anjing. Di Maluku dan Papua, lukisan gua dalam bentuk gambar cap tangan, kadal, manusia, burung, perahu, mata, dan matahari. Zaman mesolithikum terbagi atas 3 kelompok budaya: kebudayaan feks, feks culture, kebudayaan pebble pebble culture, kebudayaan tulang bone culture. Kebudayaan ini didukung oleh manusia dari jenis Papua Melanesoid yang berasal dari Indo Cina. Feks culture, yaitu peralatan berupa alat serpih yang telah ada dari zaman paleolithikum, menjadi sangat penting pada zaman mesolithikum, 11 sehingga memunculkan corak tersendiri. Dua orang peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin berkebangsaan Swiss antara 1893-1896, melakukan penelitian di Sulawesi Selatan dan berhasil menemukan feks. Peralatan sejenis juga ditemukan di daerah lain yaitu Bandung feks dari obsidian yaitu batu hitam yang indah, Flores, NTT dan Timor. Flakes culture merupakan pengaruh dari Asia daratan yang masuk ke Indonesia melalui jalur timur yaitu Jepang, Taiwan, Filipina, Sulawesi. Pebble culture, peralatan berupa kapak genggam Sumatera pebble, kapak pendek hacte curte, batu penggiling, dan pisau. Callenfels 1925 melakukan penelitian di pesisir Sumatera dan menemukan peralatan di atas bersama kjokkenmoddinger, pebble culture merupakan pengaruh dari kebudayaan bacson hoabinh Indo China yang masuk ke Indonesia melalui jalur barat yaitu Malaka dan Sumatera. Bone culture, penelitian yang dilakukan oleh Callenfels 1928-1931 di Sampung Ponorogo. Peralatan tersebut ditemukan bersama dengan abris sous roche dalam gua. Di gua-gua ditemukan pula fosil dari jenis manusia Papua melanesoide, yang merupakan nenek moyang orang Papua Irian, peralatan dan fosil sejenis ditemukan pula di Besuki dan Bojonegoro. 3 Zaman Batu Muda Ciri zaman batu muda adalah pemakaian peralatan dari batu yang telah diasah halus karena telah mengenal teknik mengasah. Pada zaman ini terjadi revolusi kehidupan perubahan dari kehidupan nomaden dengan food gathering menjadi menetap dengan food producing. Cara hidup pada zaman batu muda adalah hidup menetap. Mereka bertempat tinggal dekat sumber air, food producing menghasilkan makanan dari bercocok tanam dan berternak walaupun berburu masih dilakukan terutama pada waktu senggang, membuat rumah bertonggak dengan atap dari daun-daunan, membuat kain dari kulit kayu ditemukan pemukul kulit kayu, membuat perahu atau rakit, membuat perhiasan dari batu-batu kecil indah. Menurut penelitian mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu Polinesia. Pada akhir zaman ini telah dikenal kepercayaan dalam bentuk animisme kepercayaan tentang adanya arwah nenek moyang yang memiliki kekuatan gaib dan dinamisme kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa setelah mati ada kehidupan lain sehingga diadakanlah berbagai upacara terutama bagi kepala sukunya. Mayat yang dikubur disertai dengan berbagai macam benda sebagai bekal di alam lain, dan sebagai peringatan maka dibangunlah berbagai monumen bangunan yang rutin diberi sajian agar arwah yang meninggal leluhur melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi sukunya. Pada zaman ini pembuatan gerabah memegang peranan penting sebagai wadah atau tempat dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula gerabah yang 12 digunakan untuk keperluan upacara dan gerabah yang dibuat dengan indah baik bentuk maupun hiasannya. Berdasarkan peralatannya kebudayaan neolitihkum dibedakan menjadi kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong berasal dari Heine Geldern berdasarkan kepada penampang yang berbentuk persegi panjang dan lonjong. Kebudayaan kapak persegi, kebudayaan yang berasal dari Asia daratan yang menyebar ke Indonesia melalui jalur barat melalui Malaka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Terdapat kapak persegi ukuran kecil digunakan sebagai fungsi kapak dan yang ukuran besar digunakan sebagai fungsi beliung atau cangkul. Di beberapa daerah ditemukan bekas-bekas pusat kerajinan kapak persegi, seperti di Lahat Palembang, Bogor, Sukabumi, Purwakarta, Tasik Jawa Barat, Pacitan Jawa Timur. Kebudayaan kapak persegi didukung oleh manusia proto melayu melayu tua yang migrasi ke Indonesia menggunakan perahu bercadik sekitar 2000 SM, yang merupakan keturunan ras melayu tua adalah suku Sasak, Toraja, Batak dan Dayak. Di Minahasa Sulawesi Utara ditemukan kapak bahu, sejenis kapak persegi diberi leher untuk pegangannya. Kebudayaan kapak lonjong, ukuran kapak lonjong ada yang besar walzenbeli dan kecil kinbeli, sering disebut dengan istilah neolith papua karena penyebarannya terbatas di Irian saja oleh bangsa Papua melanesiode. Dari peralatan yang ditemukan, baik kapak persegi maupun kapak lonjong dibuat dari batu api chalcedon, terdapat pula kapak yang tidak terdapat tanda-tanda bekas dipakai dalam bentuk yang indah sebagai alat berharga, lambang kebesaran atau jimat. 4 Zaman Logam Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara merupakan pengaruh dari kebudayaan Dongson, yang berkembang di Vietnam, Geldern berpendapat bahwa kebudayaan Dongson berkembang paling muda sekitar 300 SM pendukung kebudayaan perunggu adalah bangsa deutro melayu melayu muda yang migrasi ke Indonesia sambil membawa kebudayaan Dongson. Keturunannya adalah Jawa, Bali, Bugis, Madura, dll. Bahkan ditemukan beberapa bukti bahwa telah terjadi pembauran antara Melayu Monggoloide proto melayu dengan deutro melayu dan Papua Melanesoide. Ciri zaman perunggu adalah pemakian peralatan dari logam yang dikembangkan melalui teknik bivalve tangkuprangkap dan a cire perdue cetak lilin. Namun bukan-lah berarti setelah itu peralatan dari batu dan gerabah ditinggalkan karena masih terus dipergunakan bahkan sampai sekarang. 13 Ciri kehidupan pada zaman perunggu adalah telah terbentuk perkampungan yang teratur dipimpin oleh kepala suku atau ketua adat, tinggal dalam rumah bertiang besar yang bagian bawahnya dijadikan tempat ternak, bertani berladang dan bersawah dengan sistem irigasi sehingga pengairan tidak selalu bergantung kepada hujan. Telah terdapat pembagian kerja berdasarkan keahlian sehingga muncullah kelompok undagi tukang yang ahli membuat peralatan logam. Mereka telah menguasai ilmu astronomi untuk kepentingan pelayaran dan pertanian dan membuat perahu bercadik. Beberapa hasil kebudayaan pada zaman perunggu adalah kapak corong kapak sepatu, candrasa kapak corong yang salah satu sisinya memanjang, terdapat candrasa dan kapak corong yang indah dan tidak ada tanda-tanda bekas digunakan. nekara seperti dandang tertelungkup, moko nekara yang lebih kecil, terdapat berbagai perhiasan seperti garis lurus, pilin-pilin, binatang, rumah, perahu, lukisan orang berburu, tari dan lukisan orang Cina Monggol. Selain itu mereka membuat bejana perunggu berbentuk seperti periuk yang gepeng dengan hiasan indah dalam bentuk garis dan burung merak. Arca perunggu berupa arca ditemukan di Bangkinang-Sulawesi Selatan, Bogor-Jawa Barat, dan Riau perhiasan perunggu seperti gelang, kalung, anting, dan cincin. 5 Kebudayaan Megalithikum Disebut kebudayaan megalithikum karena pada umumnya menghasilkan kebudayaan dalam bentuk monumen yang terbuat dari batu berukuran besar. Kebudayaan ini muncul pada akhir neolhitikum, tetapi perkembangannya justru terjadi pada zaman perunggu kebudayaan Dongson. Kebudayaan megalithikum ini bahkan terus berlangsung hingga saat ini dengan hasil-hasilnya seperti arca, candi dan sebagainya. Hasil-hasil dari kebudayaan megalithikum memberikan petunjuk kepada kita mengenal perkembangan kepercayaan, terutama pemujaan terhadap arwah nenek moyang, yang memang telah mulai nampak pada akhir neolithikum. Berikut ini adalah hasil-hasil budaya megalithikum: Menhir, tugu dari batu tunggal atau batu tegak, yang berfungsi sebagai tanda peringatan upacara dan melambangkan arwah nenek moyang, yang didirikan sehingga menjadi benda pemujaan, menhir banyak ditemukan di Pasemah, Lahat, sungai Talang Koto Sumatera, Ngada Flores. Menhir ada yang berdiri dalam satu kelompok. Di Pasemah Sumatera Selatan ditemukan menhir berdiri tunggal atau berkelompok membentuk formasi temu gelang, segi empat atau bujur sangkar. Sering ditemukan pula bersama-sama dengan bangunan lainnya seperti dolmen, peti kubur batu atau lainnya. 14 Dolmen, terutama ditemukan di Bondowoso Jawa Timur. Dolmen dipergunakan sebagai peti mayat. Selain sebagai peti mayat dolmen juga dipergunakan semacam meja batu, tempat untuk meletakkan sesaji, ada dolmen yang disangga oleh menhir dan ada pula yang digunakan sebagai penutup keranda atau sarchopagus sarkofagus, yang demikian dinamakan dengan pandhusa. Peti mati tempat penyimpanan mayat yang berbentuk lesung terbuat dari batu utuh yang diberi tutup, di Bali ditemukannya keranda yang berisi tulang belulang manusia, barang perunggu serta manik-manik. Kubur batu, yang berupa peti mayat yang dipendam di dalam tanah berbentuk persegi panjang dengan ke empat sisinya dibuat dari lempengan- lempengan batu. Peti batu yang terdiri dari papan-papan batu yang lepas, yaitu dua sisi panjang, dua sisi lebar, lantai batu dan diberi penutup dari batu pula. Ada pula yang di sebut waruga, yaitu kubur batu yang berbentuk bulat. Kubur batu banyak ditemukan di Kuningan Jawa Barat, Pasemah Sumatera, Wonosari Yogya dan Cepu Jawa Tengah. Waruga juga banyak ditemukan di daerah Sulawesi Tengah dan Utara. Punden berundak, bangunan pemujaan terhadap roh nenek moyang yang berupa susunan batu bertingkat, banyak ditemukan di Lebak Sibeduk Banten Selatan, Garut, Kuningan, Sukabumi Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, punden berundak merupakan dasar dalam pembuatan candi, bangunan keagamaan maupun istana. Biasanya pada punden berundak ini juga didirikan menhir. Selain itu ditemukan pula hasil budaya megalithikum dalam bentuk patung atau arca manusia yang menggambarkan wujud nenek moyang atau arca binatang, yang banyak ditemukan di daerah Pasemah Sumatera. Sementara di lembah Bada Sulawesi Tengah ditemukan patung manusia laki-laki dan perempuan. Sarkofagus paling banyak ditemukan di Bali. Sarkofagus seperti juga dolmen adalah sebagai peti mayat dari batu. Di dalamnya ditemukan tulang-tulang manusia bersama dengan bekal kuburnya berupa periuk- periuk, beliung persegi, perhiasan dari perunggu dan besi. Di Bali, sarchofagus dianggap sebagai benda keramat. Sarkofagus adalah peti mayat dari batu batu padas berbentuk seperti lesung yang tertutup. Sarkofagus di Bali pada umumya berukuran kecil antara 80-140 cm dan ada pula baberapa yang berukuran besar yaitu lebih dari 2 meter. Para peneliti sarkofagus adalah antara lain Callenfels, Heekeren dan R.P. Suyono. Akan tetapi di antara para peneliti tersebut baru R.P. Suyono yang berhasil membuat klasifkasi dan tipologi Sarkofagus-sarkofagus yang ditemukan di seluruh Bali. Berdasarkan penelitiannya yang dilakukan sejak 1960, dapat dipastikan bahwa sarkofagus di Bali berkembang pada masa orang sudah mengenal bahan logam, mengingat benda-benda bekal kuburnya yang terdapat di dalamnya kebanyakan dibuat dari perunggu. 15 Letak sarkofagus selalu mengarah ke hadapan sebuah gunung. Terutama di Bali arah gunung atau yang disebut “kaja” merupakan arah yang memberikan berkah dan di sanalah dianggap tempat bersemayam nenek moyang dalam kepercayaan Bali asli. Desa-desa yang masih kuat pada kepercayaan Bali aslinya atau sering disebut sebagai “Bali Aga” adalah Trunyan, Setulung, Sembiran, dan Tenganan. Di Bali Aga tersebut masih banyak ditemukan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir, pelinggih batu, batu berundak. Arca megalitik menggambarkan manusia dan binatang. Binatang- binatang yang digambarkan dapat berupa gajah, kerbau, harimau, dan monyet. Arca-arca di daerah Sumatera Selatan menurut anggapan Geldern bersifat “dinamik” dan “statik”. Bahan batu untuk membuat arca dipilih menurut bentuk-bentuk patung yang akan dipahat, kemudian bentuk patung yang akan dipahat disesuaikan dengan bentuk asli batunya. Sebagian besar patung yang menggambarkan manusia berbentuk orang laki-laki dan kepalanya memakai tutup kepala yang menyerupai topi baja, matanya bulat menonjol dengan dahi yang menjorok, seperti tampang orang Negroid, memakai hiasan gelang pada tangan dan kalung, serta membawa pedang pendek yang tampak menyerupai golok lurus atau belati yang runcing dan tergantung pada pinggangnya. Bagian kaki tertutup oleh pembalut kaki. Arca megalitik banyak ditemukan antara lain di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

3. Perkembangan Negara-negara Masa Klasik a. Nusantara dalam Jalur Perdagangan Internasional