Agresi Militer Belanda I Perundingan Renville

148 Gambar 34. Peta wilayah Indonesia berdasarkan Perjanjian Linggarjati

c. Agresi Militer Belanda I

Ternyata Perundingan Linggarjati bukan penyelesaian akhir atas konfik yang terjadi antara Indonesia-Belanda. Kedua belah pihak mempunyai penafsiran masing-masing atas keputusan hasil perundingan. Berdasarkan penafsiran pihak Belanda, mereka menganggap Indonesia sebagai negara persemakmuran dengan Belanda sebagai negara induknya. Sebaliknya Indonesia tetap berusaha mempertahankan kedaulatannya sebagai bangsa merdeka yang terlepas dari kekuasaan Belanda. Akibat perbedaan penafsiran tersebut, Belanda mengambil langkah dengan melakukan agresi militernya yang pertama. Tujuan agresi I yakni menaklukan daerah Jawa, Sumatra dan Madura. Bentuk perjuangan yang dilakukan dalam menghadapi Belanda yakni menerapkan taktik perang gerilya dalam sistem wehrkreise. Keuntungan dari penggunaan taktik secara gerilya antara lain : • Pasukan Belanda hanya mampu menguasai wilayah perkotaan, sedangkan daerah di luar kota masih dapat dikuasai pejuang Indonesia. • Pejuang Indonesia dapat melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Belanda. • Sistem gerilya bersifat dinamis sehingga konsolidasi pasukan dapat dilakukan dengan cepat dan kapan saja saat dibutuhkan. • Gerak pasukan Belanda dapat diketahui dengan cepat oleh pejuang Indonesia.

d. Perundingan Renville

Perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara Indonesia dengan Belanda setelah terjadi aksi militer Belanda I. Perundingan berlangsung sejak tanggal 8 Desember 1947, dilaksanakan sesuai dengan seruan PBB dengan Komisi Tiga Negara KTN yang bertindak sebagai penengahnya. 149 Anggota KTN yang hadir dalam perundingan Renville yakni : 1 Australia diwakili oleh Richard Kirby. 2 Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland. 3 Amerika Serikat sebagai mediator diwakili Frank Graham. Tugas KTN dalam perundingan Renville yakni mencari penyelesaian damai terhadap permasalahan yang terjadi antara Indonesia-Belanda. Amerika Serikat bersedia menjadi mediator dalam perselisihan Indonesia-Belanda tersebut. Perundingan Renville dilaksanakan di atas kapal pengangkut pasukan milik Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Pihak Indonesia dan Belanda yang hadir dalam perundingan Renville yakni : 1 Delegasi Indonesia diketuai Amir Syarifudin dengan susunan anggota antara lain; Ali Satroamidjoyo, H. Agus Salim, J. Leimena, Coa Tik Ien dan Nasrun, SH. 2 Delegasi Belanda diketuai R. Abdulkadir Wijoyoatmojo dengan anggota antara lain Van Vredenburgh, P.J. Koets dan Dr. Soumokil. Dampak dari perundingan Renville yakni tidak diakuinya kembali secara de facto atas wilayah Sumatra, Jawa dan Madura oleh Belanda. Wilayah Indonesia setelah perundingan Renville hanya menyisakan daerah Yogyakarta. Daerah lain sudah masuk ke dalam bentuk negara boneka atau federal buatan Belanda maupun daerah otonom yang berada di bawah pengaruh Belanda. Penghinaan Belanda melalui agresi militer pertamanya dan hasil dari perundingan Renville menyebabkan jatuhnya kabinet yang dipimpin Amir Syarifudin. Anggota PNI dan Masyumi dalam kabinet Amir Syarifuddin mengundurkan diri ketika persetujuan Renville ditanda tangani. Amir pun kemudian meletakkan jabatan sebagai perdana menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Hasil perundingan Renville selengkapnya adalah sebagai berikut : 1 Penghentian tembak menembak antara pihak Indonesia dan Belanda. 2 Daerah-daerah yang terletak di belakang garis Van Mook harus dikosongkan dari pasukan tentara RI. 3 Belanda memiliki kebebasan membentuk negara-negara federal di daerah yang didudukinya melalui plebisit jajak pendapat terlebih dahulu. 4 Dalam ikatan Uni Indonesia-Belanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan Kerajaan Belanda 150 Gambar 35. Peta wilayah Indonesia berdasarkan Perjanjian Renville

e. Agresi Militer Belanda II