168 Indonesia” PRRI dengan Syafrudin Prawiranegara sebagai perdana
menterinya. Tindakan tersebut oleh pemerintah dianggap sebagai perbuatan yang
melanggar konstitusi. Oleh karena itu pemerintah pusat mengambil tindakan tegas dengan melakukan operasi militer yang dibantu rakyat
setempat. Operasi militer yang dilakukan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara ini dilakukan secara bertahap antara lain.
a Operasi 17 Agustus dipimpin oleh Kolonel Ahamd Yani dengan tugas menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra
Barat, b Operasi Sapta Marga dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo
dengan tugas menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra Utara,
c Operasi Sadar dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo dengan tugas menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra Selatan, dan
d Operasi Tegas yang dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution dengan tugas menumpas pemberontakan PRRI di Riau.
Pada tanggal 17 April 1958, kota Padang dapat dikuasai, menyusul Bukit Tinggi sebulan kemudian. Selanjutnya pada tanggal 29 Mei 1958,
Achmad Husein secara resmi melaporkan diri beserta pasukannya, menyusul kemudian tokoh PRRI lainnya baik sipil maupun militer.
Pembangkangan yang dilakukan oleh sejumlah anggota militer juga terjadi di Sulawesi Utara. Pada tanggal 17 Februari 1958 Letnan Kolonel D.
J. Somba, Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan diri putus hubungan dengan pemerintah pusat dan
mendukung sepenuhnya PRRI. Mereka membentuk gerakan yang disebut Piagam Perjuangan Semesta Permesta.
Untuk menumpas pemberontak Permesta di Indonesia bagian Timur dilancarkan sebuah operasi gabungan dengan nama Operasi Merdeka di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Operasi penumpasan Permesta lebih berat bila dibandingkan dengan PRRI, karena
mereka memiliki senjata modern bantuan Amerika Serikat dan lebih menguasai medan pertempuran. Meskipun demikian berkat perjuangan
yang gigih, Angkatan Perang Republik Indonesia APRI dapat merebut kembali daerah-daerah yang diduduki kaum pemberontak. Pada
pertengahan tahun 1961, sisa-sisa pendukung Permesta memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke tengah masyarakat.
G. Indonsia pada Masa Demokrasi Terpimpin Hingga Demokrasi Pancasila 1. Demokrasi Terpimpin 1957 - 1965
a. Konsepsi Demokrasi Terpimpin
169 Pemilihan Umum tahun 1955 telah berhasil dengan membentuk Dewan
Perwakilan Rakyat DPR dan Dewan Konstituante badan pembentuk UUD. Akan tetapi baik DPR maupun Dewan Konstituante yang
harusnya menjalankan fungsinya masing-masing untuk memperjuangkan kepentingan umum, dalam kenyataannya tidak memberikan hasil yang
nyata. Kemacetan sidang Konstituante ini dianggap sebagai kegagalan nasional.
Ricklefs menuturkan bahwa pada bulan September dan Oktober 1957, Kolonel Simbolon dan para pembangkang militer lainnya di Sumatera
mengadakan beberapa kali pertemuan. Mereka meringkas tujuan-tujuannya dalam tiga sasaran:
• Diselenggarakannya pemilihan umum untuk memilih seorang presiden baru guna mengakhiri kegiatan-kegiatan pro-PKI Sukarno
• Digantikannya Nasution dan stafnya di pusat • Melarang PKI
Sementara itu Masyumi yang tidak suka dengan Demokrasi Terpimpin mengadakan muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang dan
memfatwakan bahwa komunisme haram di Indonesia dan PKI harus dilarang. NU tidak hadir dalam muktamar tersebut. Dewan konstituante
yang memulai rapat di Jakarta juga mengalami kemacetan akibat adanya perdebatan antara yang pro Islam di satu pihak dan pihak yang
mendukung Pancasila sebagai dasar falsafah bagi undang-undang dasar yang baru.
Di pihak lain pada akhir bulan Nopember 1957 ada dua kejadian penting yang meningkatkan ketegangan politik. Pertama, PBB tidak berhasil
mengeluarkan resolusi yang menghimbau agar Belanda merundingkan penyelesaian mengenai masalah Papua. Soekarno telah memperingatkan
bahwa Indonesia akan mengambil langka-langkah yang mengejutkan dunia jika resolusi itu tidak terwujud. Kedua, adanya usaha pembunuhan
terhadap Soekarno ketika sedang berkunjung ke sekolah puteranya di daerah Cikini Jakarta. Meskipun Presiden Soekarno luput dari lemparan
granat yang diduga dilakukan oleh anak buah Lubis dari daerah Sumatera, tetapi peristiwa itu telah mencederai beberapa orang korban.
Atas kejadian tersebut Nasution berkesimpulan bahwa kompromi dengan pihak pembangkang tidak dapat lagi dilakukan.
Gagalnya resolusi PBB telah mengakibatkan terjadinya ledakan radikalisme anti Belanda yang dikobarkan oleh Presiden Soekarno. Bahkan
Presiden Soekarno sejak awal Desember menyetujui serikat buruh PKI dan PNI mengambil alih perusahaan-perusahana dan kantor dagang Belanda. Akan
tetapi dalam penilaian Hatta dan para pemimpin Masyumi tindakan pengambilalihan itu tidak direncanakan dengan baik, sehingga justru kita
menderita kerugian khususnya dari angkutan pelayaran KPM yang
170 umumnya sedang berada di laut. Memang kekuatan perekonomian
Inggris-Belanda, Royal Dutch Shell, tidak dinasionalisasikan, tetapi pada tanggal 5 Desember 1957, Kementrian Kehakiman telah memerintahkan
pengusiran terhadap sekitar 46.000 warga Belanda yang berada di Indonesia.
Nasution kemudian mengambilalih kendali dan memerintahkan agar tentara bersedia mengelola perusahaan-perusahaan yang telah disita itu.
PKI dan SOBSI mendukung keputusan Nasution dan berjanji akan tetap menjaga perusahaan-perusahaan itu. Sejak saat inilah tentara punya
peranan dalam mengurus perekonomian Indonesia. Tentara kini mempunyai sumber pendanaan sendiri yang dapat disalurkan kepada
anggota dan pendukungnya. Posisi Nasution juga makin kuat sebagai komando pusat terhadap panglima-panglima daerah dan angkatan darat
terhadap
angkatan-angkatan lainnya.
Sayangnya manfaat
pengambilalihan perusahaan tidak ada bahkan makin mempercepat korupsi di kalangan korp perwira, karena salah urus. Satu hal lagi yang
mengejutkan adalah pengangkatan Ibnu Sutowo untuk memimpin perusahaan minyak baru yang diberi nama Permina Perusahaan Minyak
Nasional yang kemudian menjadi Pertamina.
Gerakan radikalisme terus berlanjut, Natsir dan tokoh Masyumi lainnya keluar dari Jakarta karena adanya intimidasi yang dilakukan kelompok-
kelompok pemuda. Pada bulan Januari 1958, Nasution menempatkan radikalisme ini di bawah kendali pihak tentara dengan membentuk Front
Nasional dimana Soekarno punya pengaruh sangat kuat.
Dalam situasi krisis, pemerintah memandang perlu untuk menjamin kesatuan nasional, memulihkan ketertiban dalam urusan kenegaraan
dan memulai pembangunan ekonomi. Untuk mewujudkan itu semua Sukarno dan militer menghendaki sebuah format baru sistem
perundang-undangan yang mampu menegakkan kerangka hukum untuk kepentingan kesatuan nasional dan terwujudnya sebuah
pemerintahan yang kuat. Presiden Soekarno dan AD berusaha menggalang dukungan dari masyarakat luas yang kuat di luar konstituante sebagai
counter terhadap semua upaya penyelesaian undang-undang dasar yang berlangsung dalam konstituante.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Sukarno berpidato di muka sidang Konstituante. Atas nama pemerintah, ia menganjurkan agar
Konstituante menetapkan UUD 1945 sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Akan tetapi usul tersebut ditolak fraksi dalam
konstituante dengan hasil pemungutan suara untuk dukungan pemerintah tidak memenuhi dua pertiga dari jumlah suara yang masuk
diperoleh suara 269 menyetujui UUD 1945 dan 199 tidak menyetujui.
Tanggal 3 Juli 1959, Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer BKSPM menghasilkan resolusi yang menuntut supaya Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Di lain pihak,
171 pimpinan militer AD telah memutuskan langkah-langkah yang patut
diambil seandainya konstituante tidak menyetujui pemberlakuan kembali ke UUD 1945. Hal ini membuktikan bahwa AD telah memiliki
alternatif tersendiri sebelum jalan konstitusional sebagaimana ditempuh Kabinet Djuanda terbukti mengalami kegagalan.
Pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 dalam upacara resmi di Istana Negara, Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit. Adapun isi pokok Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 tersebut sebagai berikut : a. Pembubaran Konstituante
b. Berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 UUD 1945 c. Tidak berlakunya Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 UUDS
1950 Dekrit itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan disambut baik oleh
masyarakat yang hampir 10 tahun mengalami ketidakpastian politik demokrasi liberal. Kepala Staf AD dalam perintah hariannya
menginstruksikan kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Sementara itu, DPR hasil Pemilu
dalam sidangnya pada tanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaannya bekerja berdasar UUD 1945.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai peralihan dari masa Demokrasi Liberal ke masa Demokrasi Terpimpin yang berlangsung hingga tahun
1965. Menurut Presiden Soekarno Demokrasi Terpimpin merupakan “demokrasi gotong royong” yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan. Dengan demikian maka pelaksanaan demokrasi terpimpin ini harus diikuti dengan kembali pada UUD 1945.
Dalam suasana kembali ke UUD 1945, Presiden Soekarno mempertegas lagi konsepsinya ketika menyampaikan pidato 17 Agustus 1959 yang
diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato itu kemudian oleh Presiden diserahkan kepada Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung di
bawah pimpinan Aidit untuk dirumuskan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN yang kemudian diberi judul “Manifesto Politik
Republik Indonesia” atau Manipol.
b. Sentralisasi Kekuasaan