Masa Kerajaan Islam dan Kedatangan VOC 1.

38 Penduduk yang hidup dari perdagangan umumnya kaya. Kekayaan mereka itu dapat dilihat dari kebiasaan mereka yang suka membeli perhiasan bermutu seperti porselin Cina dengan gambar bunga-bungaan, minyak wangi, kain sutra dan katun yang berkualitas baik yang bermotif hiasan maupun yang polos. Ketika Rajasanagara wafat pada tahun 1389, tidak ada raja pengganti yang mempunyai kemampuan memimpin dengan baik. Dalam tubuh kerajaan yang terjadi justru silih bergantinya perebutan kekuasaan. Awal perpecahan terjadi antara keluarga Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi pada tahun 1400. Perselisihan di dalam lingkungan kerajaan itu menyebabkan kerajaan menjadi lemah. Pada akhirnya Majapahit dikuasai oleh Demak ketika Demak yang dipimpin Pati Unus 1518-1521 melakukan penaklukkan terhadap Majapahit. Ia anak Raden Patah yang melakukan balas dendam atas kekalahan neneknya Bhre Kertabhumi yang dilakukan oleh Garindrawarddhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1478.

e. Masa Kerajaan Islam dan Kedatangan VOC 1.

Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara a Proses masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara Membicarakan proses masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara tidak didapatkan kata sepakat di antara para ahli. Para ahli berbeda pendapat misalnya dalam hal menentukan kapan waktunya Islam masuk dan berasal dari mana Islam tersebut masuk. Mengenai kapan waktunya Islam masuk, sebagian ahli berpendapat bahwa Islam pertama-tama ke Nusantara sudah sejak abad pertama hijriah atau abad ke-7 Masehi dan sebagian lagi berpendapat bahwa Islam baru datang pada abad ke-13 Masehi. Ahli-ahli yang berpendapat abad ke-7 Masehi, mendasarkan diri kepada berita Cina dari zaman Dinasti Tang yang menceritakan adanya orang-orang Ta-shih yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Kerajaan Holing di bawah pimpinan Ratu Sima 674 M, karena ternyata pemerintahan di Holing itu sangat kerasnya. Sebutan Ta-shih dalam berita itu ditafsirkan sebagai orang-orang Arab. Pendapat lainnya didasarkan atas pernyataan pengelana Cina I-tsing yang berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671. Dia menyatakan bahwa pada waktu itu lalu-lintas laut antara Arab, Persia, India, dan Sriwijaya sangat ramai. Lalu lintas laut yang ramai itu memperlihatkan peranan bangsa Arab dalam perdagangan. Peran bangsa Arab dalam perdagangan itu menurut Arnold sudah ada sejak abad ke-2 sebelum Masehi. Bangsa Arab menurutnya telah menguasai perdagangan di Ceylon. Pendapat Arnold itu sejalan dengan pendapat Cooke yang menyatakan bahwa sejak abad ke-2 sebelum Masehi pengaruh Arab sangat luas sekali dalam perdagangan hingga 39 ke Ceylon. Bila dikaitkan dengan konsep Arab yang menyebutkan Al Hindi berarti India dan pulau-pulau sebelah timurnya sampai ke Cina, maka besar kemungkinan pedagang Arab telah sampai ke Nusantara. Dengan demikian berita Cina yang menyebutkan bahwa sudah ada perkampungan Arab di pantai Barat Sumatra dan di Kanton dapat diterima kebenarannya. Demikian juga bila kita lihat dari surat menyurat yang terjadi antara raja Sriwijaya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz 717-720 dimana isi suratnya meminta agar mengirimkan mubaligh untuk mengajarkan Islam ke Śrīwijaya, maka adanya orang-orang Arab di Sumatra bukanlah hal yang mengherankan. Pada masa kemudian sebutan Ta-shih itu juga kita dapatkan dari berita Jepang yang ditulis tidak lebih dari tahun 748 M yang menceritakan perjalanan pendeta Kanshin. Diceritakan pula pada masa itu bahwa di Kanton terdapat kapal-kapal Po-sse dan Ta-shih Ku-o. Menurut Rita-Rose di Meglio istilah Po-sse dapat pula menunjukkan jenis bangsa Melayu, tetapi Ta-shih hanya untuk menunjukkan orang-orang Arab dan Persia, bukan untuk orang-orang Muslim India. Chau Ju-Kau yang mengutip berita Chou ku-fei tahun 1178 mengatakan bahwa tempat orang-orang Tas-Shih itu ada dua. Sebuah nama yang dinamakan Fo-loan termasuk Sriwijaya. Menurut P. Wheatley, letak tempat tersebut adalah Kota Kuala Brang, kurang lebih 25 mil dari Sungai Trengganu. Tempat yang kedua terletak di Sumatera Selatan, karena dalam berita Chau Ju-Kua itu disebutkan bahwa koloni Ta-shih itu dapat dicapai lima hari pelayaran dari Cho-Po. Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara, terutama Sumatera dan Jawa— dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M, hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab, di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Buddha Sriwijaya. Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah 40 beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah masjid. Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh. Sangat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai Barus yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamper dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi. Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah Kerajaan Buddha Sriwijaya. Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” 1968 juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal Jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali Abu Ali diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan 41 kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun berangka tahun 1082 M telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M. Sebagian ahli lain yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke Nusantara abad ke-13 itu berdasarkan atas keruntuhan Dinasti Abbasiyah oleh Hulagu tahun 1258. Kemudian diperkuat pula oleh bukti berita Marcopolo tahun 1292 M, berita Ibnu Batuta abad ke-14 serta nisan-nisan kubur Sutan Malik as-Saleh tahun 1297 M. Ibnu Batuta ketika mengunjungi Samudra Pasai pada tahun 1345 mengatakan bahwa raja yang memerintah negara itu memakai gelar Islam, yakni Malikut Thahir bin Malik Al Saleh. Laporan lainnya berasal dari seorang pengelana Portugis bernama Tome Pires, yang mengunjungi Nusantara pada awal abad ke-16. Dalam karyanya yang berjudul Summa Oriental, ia menjelaskan bahwa menjelang abad ke-13 sudah ada masyarakat muslim di Samudra Pasai, Perlak, dan Palembang. Dukungan terhadap masuknya Islam pada abad ke-13 dikemukakan pula oleh A. H. John. Menurut John para sufilah yang melakukan pengislaman sejumlah besar penduduk Nusantara, bukan para pedagang. Hal itu karena kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan yang menarik terutama kemampuan mereka menggunakan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam. Dalam memahami perbedaan pendapat tersebut, nampaknya kita perlu memperhatikan pendapat Noorduyn tentang Islamisasi di Nusantara. Menurutnya Islamisasi dapat dibedakan atas tahap kedatangan, tahap penerimaan dan tahap penyebaran. Tahap kedatangan berarti ketika datangnya orang-orang Islam pertama kalinya pada suatu daerah. Pada tahap itu penduduk setempat belum memeluk agama Islam. Tahap penerimaan yaitu ketika penduduk pada suatu daerah telah memeluk agama Islam. Pada tahap penerimaan itu ada dua pola yang terjadi. Pertama, top down yaitu ketika dalam penerimaan itu yang berperan aktif adalah penguasa setempat atau elite penguasa. Dari elite penguasa kemuadian baru berkembang dalam kehidupan masyarakat. Kedua, bottom up yaitu ketika Islam diterima oleh masyarakat lapisan bawah dan kemudian berkembang di kalangan elite penguasa. Sedangkan tahap penyebaran adalah suatu tahap dimana Islam disebarkan keluar dari daerah pertama kali Islam diterima. Pada tahap penyebaran itu umumnya dilakukan dengan cara mengirim utusan ke daerah-daerah yang belum Islam. Abad ke-7 Masehi boleh jadi dapat dipandang sebagai abad permulaan kedatangan pedagang-pedagang muslim dengan sebagian kecil daerah dan bangsa Nusantara. Hal itu sesuai pula dengan hubungan pelayaran dan perdagangan dengan negeri-negeri di Benua Asia bagian Timur dan Tenggara melalui beberapa tempat pelabuhan yang terletak di pesisir Selatan Malaka yang justru pada abad ke-7 dan 8 ada di bawah pengawasan Sriwijaya. Kedatangan orang-orang muslim itu belum dapat dipastikan apakah mereka disamping berhubungan dagang dengan bangsa Nusantara, juga telah melakukan Islamisasi melalui dakwah 42 atau tidak. Apabila sejak abad tersebut proses Islamisasi telah meluas maka anehnya baru 5 atau 6 abad kemudian kita ketahui munculnya bentuk kerajaan yang bercorak Islam yakni Samudera Pasai. Sehubungan dengan dari mana asal datangnya Islam ke Nusantara juga terdapat perdebatan di antara para ahli. Paling tidak ada tiga pandangan yaitu berasal dari India, Arab dan Persia. Ahli yang berpendapat Islam berasal dari India antara lain Pijnappel, Snouck Hurgronye, Moquette, Fatimi, Wintedt . Pendapat bahwa Islam berasal dari India berawal dari pandangan Pijnappel yang menyatakan orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi ke wilayah India kemudian membawa Islam ke Nusantara. Pendapat itu didukung oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa pemeluk Islam Deccan merupakan pedagang perantara dari Timur Tengah ke Nusantara yang menyebarkan Islam pertama kalinya. Setelah itu baru disusul oleh orang-orang Arab. Pendapat Islam berasal dari India itu secara lebih spesifk dikemukakan oleh Moquette. Ia menjelaskan bahwa Islam berasal dari Gujarat berdasarkan pada bentuk batu nisan yang terdapat di Pasai dan batu nisan di Gresik ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Apa yang dikemukakan Moquette itu didukung oleh Wintedt. Wintedt menyatakan bahwa batu nisan di Barus, Pasai dan Gresik didatangkan dari Gujarat dan karena itu Islam berasal dari Gujarat. Schrieke juga mendukung pendapat tersebut dengan menyatakan pentingnya peranan pedagang Muslim Gujarat dalam perdagangan di Nusantara dan karena itu mereka punya andil menyebarkan Islam di Nusantara. Pendapat bahwa Islam berasal dari Gujarat mendapat tantangan dari Fatimi. Menurut Fatimi Islam masuk ke Nusantara berasal dari Bengal. Pendapatnya itu didasarkan kepada bentuk dan gaya batu nisan Malik Al Shaleh yang berbeda dengan yang terdapat di Gujarat. Bentuk dan gaya batu nisan malik Al Shaleh lebih mirip dengan bentuk batu nisan yang terdapat di Bengal. Tetapi pendapat Fatimi itu tidak begitu tepat kalau melihat bahwa mazhab Islam yang berkembang di Bengal adalah mazhab Hanafi. Sementara di Nusantara mazhab yang berkembang adalah mazhab Syafi’i. Pendapat yang mengatakan bahwa Islam berasal dari India tersebut mendapat tantangan dari Marrison. Menurutnya Islam di Nusantara berasal dari pantai Coromandel sebab pada tahun 1297 Gujarat masih kerajaan Hindu. Gujarat ditaklukkan kekuasaan Islam baru terjadi pada tahun 1298. Padahal makam Malik Al Shaleh, raja pertama Samudera Pasai berangka tahun 1297. Tidak mungkin Islam berasal dari Gujarat. Pendapat Marrison itu mendapat dukungan dari Arnold yang menyatakan adanya persamaan mazhab yang terdapat di Coromandel dan Malabar dengan mazhab yang terdapat di Nusantara yaitu mazhab Syafi’i. Arnold juga punya pandangan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab. Sebab pedagang-pedagang Arab mempunyai peran penting dalam perdagangan antara Barat dan Timur pada abad`ke-7 dan ke-8. Apa yang dikemukakan Arnold itu sejalan dengan pandangan Keijzer yang 43 menyatakan Islam di Nusantara berasal dari Mesir karena adanya persamaan Mazhab yaitu Mazhab Syafi’i. Begitu juga pendapat dari Niemann dan de Hollander yang berpendapat bahwa Islam Nusantara berasal dari Hadhramawt. Pendapat bahwa Islam berasal dari Arab juga mendapat dukungan dari Naquib Al-Attas. Ia berpendapat demikian karena literatur Islam sebelum abad ke-17 tidak menunjukkan adanya karya pengarang Muslim India. Pandangan lain mengenai asal Islam masuk ke Nusantara dikemukakan oleh Hoesein Djajadiningrat. Ia mendasarkan pendapatnya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat. Menurut Hoesein ada persamaan kebudayaan antara Islam di Nusantara dengan Islam di Persia. Alasan yang disampaikannya adalah pertama, adanya acara peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan atas kematian Husain. Sebagaimana kita ketahui kematian Husain bagi umat Islam Persia selalu diperingati sebagai hari yang penting bagi pengikut Syi’ah. Kedua, adanya kesamaan antara ajaran Syeikh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia Al- Hallaj. Ketiga, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem pengejaan huruf Arab seperti istilah jabar, jer, p’es. Terakhir, nama kampung Leren di Giri Gresik merupakan nama salah satu suku yang tedapat di Persia. Berkaitan dengan proses Islamisasi tersebut peran para wali terutama untuk pulau Jawa sangat penting sekali.Para wali yang terkenal di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Para wali tersebut sebahagian besarnya menurut Slamet Mulyana merupakan keturunan Cina. Adapun nama-nama Wali Songo tersebut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati . Para wali tersebut mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Maulana Malik Ibrahim merupakan yang tertua di antara mereka. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri merupakan keponakan Maulana Malik Ibrahim. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sementara Sunan Kalijaga merupakan murid Sunan Bonang dan menantu Sunan Ampel. Sunan Muria merupakan anak Sunan Kalijaga, Sunan Kudus merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Hanya Sunan Gunung Jati yang statusnya sebagai sahabat para wali tersebut. Selain tokoh Wali Songo ada wali-wali lainnya. Salah satunya yang akhirnya dihukum mati adalah Syeik Siti Jenar. Ada beberapa peran para wali. Selain sebagai pendakwah yang menyebarkan ajaran Islam dengan karakteristik dan cirri-ciri mereka masing-masing, wali juga berperan sebagai penasehat raja dan sebagai alat tempat legitimasi kekuasaan. Terlepas dari berbagai teori yang berkembang mengenai Islamisasi di Nusantara dalam kenyataan menunjukkan bahwa di Nusantara pada abad ke-13 Islam sudah berkembang pesat dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan pesat agama Islam ini ditandai dengan berdirinya kesultanankerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh di 44 Nusantara seperti Samudera Pasai, Malaka, Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, dan Tidore.

b. Kerajaan-kerajaan Bercorak Islam