Kerajaan-kerajaan Bercorak Hindu-Buddha 1 Kutai

18 pada kehidupan politik, sosial, dan budaya. Pengaruh Hindu-Buddha yang paling nyata di bidang politik di Nusantara ialah diperkenalkannya sistem kerajaan. Sebelumnya, kedudukan pemimpin dalam masyarakat Nusantara ialah orang yang dituakan oleh sesamanya. Sesuai dengan sistem kerajaan yang berlaku di India, kedudukan pemimpin dalam masyarakat berubah menjadi mutlak dan turun-temurun berdasarkan hak waris atau dinasti yang sesuai dengan peraturan hukum kasta Pengaruh dalam kehidupan sosial, masyarakat Nusantara terbagi menjadi beberapa golongan sesuai dengan aturan kasta. Akan tetapi, Sistem kasta yang berlaku di Nusantara tidaklah seketat di negara asalnya. Sementara pengaruh Hindu-Buddha di bidang kebudayaan terutama berkaitan dengan penyelenggaraan upacara keagamaan, seperti upacara sesajen, pembuatan relief, dan candi serta penggunaan bahasa sanskerta. Gambar 29 . Peta jalur perdagangan Nusantara awal abad masehi

d. Kerajaan-kerajaan Bercorak Hindu-Buddha 1 Kutai

Bukti pertama adanya pengaruh Hindu di Nusantara diperoleh di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh. Akan tetapi bukti yang menunjukkan keberadaan kerajaan itu berupa tujuh buah prasasti berbentuk yupa, yang digunakan sebagai tiang tempat menambatkan hewan korban. Yupa ditulis dalam huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Dari bentuk huruf yang dipakai, para ahli memperkirakan bahwa prasasti [Type a quote from the document or the summary of an 19 itu dibuat kira-kira pada abad ke-5 Masehi. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa Kamboja yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha. Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman. Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya. Gambar 30. Prasasti Kerjaan Kutai Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini Kutai Martadipura berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama Tanjung Kute. Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam 20 yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara. Nama-Nama Raja Kutai Kartanegara • Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman • Maharaja Asmawarman anak Kundungga • Maharaja Mulawarman • Maharaja Marawijaya Warman • Maharaja Gajayana Warman • Maharaja Tungga Warman • Maharaja Jayanaga Warman • Maharaja Nalasinga Warman • Maharaja Nala Parana Tungga • Maharaja Gadingga Warman Dewa • Maharaja Indra Warman Dewa • Maharaja Sangga Warman Dewa • Maharaja Candrawarman • Maharaja Sri Langka Dewa • Maharaja Guna Parana Dewa • Maharaja Wijaya Warman • Maharaja Sri Aji Dewa • Maharaja Mulia Putera • Maharaja Nala Pandita • Maharaja Indra Paruta Dewa • Maharaja Dharma Setia 2 Tarumanegara Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga Kali Bekasi sepanjang 6112 tombak sekitar 11 km. Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati wilayah Bekasi. Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara. 21 Prasasti yang ditemukan : • Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M H Kern 1917, ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor • Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadiraja guru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. • Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman. • Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor • Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor • Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor • Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang. Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah “kota pelabuhan sungai” yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir. Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifkasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah lontar abad ke-16 Prasasti Pasir Muara Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan : ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda 22 Terjemahannya menurut Bosch: Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun Saka kawihaji 8 panca 5 pasagi 4, pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda. Karena angka tahunnya bercorak “sangkala” yang mengikuti ketentuan “angkanam vamato gatih” angka dibaca dari kanan, maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi. Prasasti Ciaruteun Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara pallawa, berbahasa sanskerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi: vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam Terjemahannya menurut Vogel: Kedua jejak telapak kaki yang seperti telapak kaki Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara. Selain itu, ada pula gambar sepasang “pandatala” jejak kaki, yang menunjukkan tanda kekuasaan mdash fungsinya seperti “tanda tangan” pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama “Rajamandala” raja daerah Pasir Muhara. Prasasti Telapak Gajah Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam Terjemahannya: Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa. Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguasa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah. 23 Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai “huruf ikal” yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra matahari dan bulan. Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang “bhramara” lebah sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala “kemudaan” nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun. Prasasti Jambu Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir sungai Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris: shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam. Terjemahannya menurut Vogel: Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan kepada mereka yang setia kepadanya, tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya. Sumber berita dari luar negeri : Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok. a Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti “Jawadwipa” hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan “beragama kotor” maksudnya animisme. Ye-Po-Ti sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi kemungkinan yang lebih tepat Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih sungai seputih ini ditemukan bukti2 peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dll yang sekarang terletak di taman purbakala pugung raharjo, meskipun saat ini pugung raharjo terletak puluhan kilo meter dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan 24 batu2 karang yg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa hien. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo “Taruma” yang terletak di sebelah selatan. b Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo. Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo- mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara. Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400- 600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon. Dalam Naskah Wangsakerta penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas. Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah. Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman 382-395. Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga 395- 434 M. Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura-- pertama kalinya nama “Sunda” digunakan. Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman 535 - 561 M Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 halaman 80 dan 81 memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman 515- 535 M, ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya. Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang 25 sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda? Sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh- musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 halaman 159 - 162 menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura di daerah Teluk Lada Pandeglang sampai ke Purwalingga sekarang Purbolinggo di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali Kali Brebes memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam. Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara kota Perak, yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman dari Dewawarman I - VIII. Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada. Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M. Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. 26 Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa. Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara. 3 Sriwijaya Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari yang sebahagian besar masyarakatnya hidup dari pelayaran dan perdagangan. Keberadaan Sriwijaya dibuktikan dengan adanya prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 682. Prasasti yang menunjukkan mengenai keberadaan Sriwijaya antara lain Prasasti Talang Tuo yang berangka tahun 684, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur angka tahun 686 M, Prasasti Karang Brahi, Prasasti Palas Pasemah. Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang berangka tahun yang ditemukan di Indonesia. Berikut ini adalah terjemahan Prasasti Kedukan Bukit setelah diinterpreta sikan kembali —terutama pada unsur pertanggalan baris ke-8— oleh de Casparis dan Boechari sebagaimana dikutip Utomo. 1 Selamat Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari kesebelas 2 Paro-terang bulan Waiśākha Dapunta Hiyaŋ naik di 3 Perahu “mengambil siddhayātra”. Pada hari ketujuh paro-terang 4 Bulan Jyestha Dapunta Hiyaŋ bertolak dari Mināńa 5 Sambil membawa dua laksa tentara dengan perbekalan 6 Sebanyak dua ratus peti berjalan dengan perahu dan yang berjalan kaki sebanyak seribu 7 Tiga ratus dua belas datang di Mukha --p- 8 Dengan sukacita. Pada hari ke lima paro-terang bulan Āsādha 9 Dengan cepat dan penuh kegembiraan datang membuat wanua 10 Śrīwijaya menang, perjalanan berhasil dan menjadi makmur senantiasa Boechari dalam penjelasan seperti dikemukakan Utomo, menyatakan bahwa wanua Śrīwijaya yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit berlokasi di daerah Palembang sekarang. Secara garis besar Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis pada tanggal 16 Juni 682 Masehi berisi tentang keberhasilan perjalanan Dapunta Hiyaŋ. Ceritera tentang perjalanan ini kemudian diabadikan di dalam prasasti tersebut. Ini berarti bahwa prasasti ini dikeluarkan setelah perjalanan itu selesai dilakukan, dan diperkirakan setelah Dapunta Hiyaŋ tiba 27 kembali di pusat kadātuan-nya. Jika demikian, besar kemungkinan prasasti itu dibuat di ibukota kadātuan-nya. Selain itu Boechari mengajukan suatu interpretasi sehubungan dengan isi Prasasti Kedukan Bukit dan fragmen prasasti. Kedua prasasti ini saling melengkapi. Menurut Boechari sebagaimana disampaikan Utomo, fragmen prasasti merupakan fragmen dari sebuah prasasti yang memuat naskah yang sama dengan Prasasti Kedukan Bukit, ditambah dengan keterangan tentang sebuah wihara. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam memperingati perjalanan Dapunta Hiyaŋ dan pembangunan wanua itu, orang mula-mula menulis pada sebuah batu kali yang diratakan sedikit, yaitu pada Prasasti Kedukan Bukit dan setelah pembangunan wanua selesai dan ditambah wihara untuk para bhiksu, orang kemudian menuliskan kembali apa yang telah ditulis pada Prasasti Kedukan Bukit dengan tambahan tentang wihara itu pada batu yang dipahat dan diratakan dengan baik. Prasasti lain yang menguatkan dugaan bahwa Palembang merupakan pusat Kadātuan Śrīwijaya adalah Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Talang Tuo berisi tentang pembangunan Taman Ś rīksetra atas perintah Dapunta Hiyaŋ Śrī Jaya-nāśa pada tanggal 23 Maret 684 Masehi. Logikanya, ta man yang dibangun oleh Dapunta Hiyaŋ itu adalah taman kerajaan dan seharusnya ditempatkan dekat pusat kadātuan-nya. Prasasti Telaga Batu, seperti halnya prasasti-prasasti lain yang ditemukan di luar Palembang Prasasti Karangberahi dari Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Pulau Bangka, serta Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk dari Lampung adalah prasasti persumpahan. Kalau di dalam prasasti lain dari luar Palembang isinya hanya persumpahan, tanpa menyebutkan pejabat-pejabat dan pegawai kadātuan, maka di dalam Prasasti Telaga Batu disebutkan nama-nama jabatan dan pegawai pemerintah dalam struktur birokrasi Kadātuan Ś rīwijaya. Pejabat-pejabat dan pegawai pemerintah inilah yang disumpah oleh Dātu Śrīwijaya dengan tujuan agar tidak melakukan pemberontakan. Sudah sepantasnya prasasti ini ditempatkan di pusat pemerintahan, karena di pusat itulah tinggal para pejabat dan pegawai kadātuan. Tindakan ini dimungkinkan agar mereka itu mudah dikontrol oleh penguasa kadātuan. Ś rīwijaya adalah suatu kerajaan yang berbentuk Kadātuan = kelompok dātu, dan di dalam kadātuan itu terdapat suatu sistem birokrasi. Dalam struktur birokrasi kadātuan ini telah tampak nafas kebaharian dari Śrīwijaya, misalnya jabatan kapten bahari pūhavam. Menurut Cœdès sebagaimana dikutip Utomo kata dātu itu diartikan sebagai “gubernur provinsi” dan kadātuan sebagai “kantor dari dātu”. 28 Selain itu di Sriwijaya tentunya ada kelas-kelas penguasa atau para birokrat kadātuan. Informasi mengenai adanya kelas-kelas ini dapat diperoleh dari Prasasti Telaga Batu. Menurut Utomo, prasasti itu menyebutkan para pejabat dan pegawai kadātuan yang disumpah oleh Dapunta Hiyaŋ dengan tujuan agar tidak mela kukan pemberontakan. Mereka yang disumpah antara lain, putra mahkota, putra-putra dātu, pemimpin, komandan tentara, nāyaka, pratiaya, hakim, para pemimpin, pengamat para buruh, para pengamat kasta-kasta yang rendah, pembuat pisau, kumārā mātya, cāŃabhaŃa, adhikarana, juru tulis, pemahat, kapten bahari, saudagar, tukang cuci, dan pelayan istana. Mereka tinggal di sekitar keraton tempat tinggal dātu. Berpatokan pada Prasasti Telaga Batu, Kadātuan Śrīwijaya dapat dibagi dalam beberapa mandala semacam provinsi dan setiap mandala dikuasai oleh seorang dātu. Seseorang yang menjadi dātu harus dari kalangan putra raja atau bangsawan. Di bawah dātu ada seorang pembesar yang bergelar parvvanda yang bertugas sebagai ketua hulubalang dan bertanggung jawab dalam hal ketentaraan. Dijelaskan lebih lanjut oleh Utomo bahwa dalam tingkatan sosial dan pemerintahan terdapat empat kelas putra-putra raja. Putra raja yang paling utama adalah yang dikenal sebagai yuvarāja yang berperan sebagai putra mahkota atau raja muda. Tingkatan di bawahnya ialah pratiyuvarāja yang dapat naik ke tingkat di atasnya sebagai yuvarāja apabila yuvarāja berhalangan atau mangkat. Tingkatan berikutnya adalah rājakumāra yang dapat menggantikan dua tingkat di atasnya. Namun pada tingkat yang ke-empat dengan gelar rājaputra, tidak berhak menuntut tahta mahkota karena mereka adalah anak raja dari istri kedua atau selir. Dalam organisasi sosial dan politik, Utomo menambahkan terdapat dua tingkatan yang utama. Tingkatan pertama adalah tingkat dātu yang di dalamnya terdapat kaum kerabat dātu, putra, dan putri dātu. Kedudukan status dalam tingkatan bergantung pada kedudukan seseorang dalam tingkatan itu. Tingkatan kedua terdiri dari berbagai golongan pejabat Kadātuan senāpati, nāyaka, pratyaya, hāji pratyaya dan danāyaka. Senāpati adalah kepala hulubalang dan mungkin memiliki fungsi serta kekuasaan seperti seorang panglima perang. Nāyaka adalah ketua bendahara yang bertugas mengurusi perbendaharaan kadātuan, hāji pratyaya adalah tumenggung kadātuan, dan dandanāyaka adalah hakim. Tumbuh dan berkembangnya Sriwijaya menjadi kerajaan besar berawal dari penaklukkan yang dilakukannya terhadap Melayu Jambi. Menurut Munoz penaklukkan itu terjadi pada tahun 682. Penaklukkan ke selatan itu dilakukan dalam rangka menghilangkan ancaman dan mengontrol perdagangan. Sungai Batang Hari yang membentang di Jambi merupakan daerah penghasil emas khususnya 29 pada hulu sungai. Dijelaskan lebih lanjut oleh Munoz bahwa dalam rangka menguasai jaringan perdagangan itu maka pada tahun 686 Sriwijaya meluaskan kekuasaannya ke Bangka, terus ke Lampung dan Tarumanegara akhir abad ke-7 dan Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-8. Perluasan kekuasaan tidak hanya ke arah selatan, tetapi juga ke arah utara. Menurut berita Cina Yi-Tsing, antara tahun 685 dan 689 Kedah sudah menjadi bagian dari Sriwijaya. Daerah terpenting di sebelah utara yang belum dikuasai oleh Sriwijaya adalah jalur darat di PanPan yang menguasai perdagangan India yang menuju Kamboja dan Lembah Menam. Oleh karena itulah Sriwijaya melakukan penaklukkan ke tanah genting Kra. Penaklukkan yang dilakukan itu tercatat dalam prasasti Nakhon Si Thammarat Ligor yang berangka tahun 775. Isi dari prasasti tersebut sebagaimana dikutip Munoz dari Coedes bunyinya sebagai berikut: Jayalah Raja Sriwijaya yang menjadi pemilik segala kekayaan, dihangatkan oleh aura sahabatnya dan yang telah diciptakan oleh Brahma … Raja agung Sriwijaya, hanya satu-satunya Raja segala raja Raja di bumi yang telah membangun tiga buah kuil indah batu bata bersemayam Kajkara padmapani, penghancur Mara Budha dan Vajrapani ini … Raja diraja agung ini, satu- satunya pribadi yang auranya bisa dibandingkan dengan sinar mentari yang menghalau kegelapan yang merupakan musuhnya … bagaikan seperti Wisnu … pimpinan keluarga Sailendra, berjuluk Sri Maharaja … PanPan yang sebelum dikuasai Sriwijaya merupakan wilayah merdeka, berdasarkan ungkapan hanya satu-satunya Raja segala Raja di bumi, oleh Munoz diduga PanPan telah tunduk dibawah kekuasaan Sriwijaya. Keberhasilan Sriwijaya menguasai wilayah tersebut, membuka jalan untuk melakukan perluasan ke arah Kamboja. Berdasarkan prasasti Ligor, kronik Khmer tentang Jayawarman II dan catatan Abu Zaid Hasan besar kemungkinan menurut Munoz antara 782 dan 802 Indrapura -berada di situs Bantey Prei Nokor di hilir sungai Mekong tempat ditemukannya monument pra-Angkor, sebuah pemerintahan kecil di Kamboja Selatan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. 30 Gambar 31. Kekuasaan Sriwijaya pada abad ke-8. Sumber: Cribb, Robert. Historical Atlas of Indonesia, Honolulu, University of Hawai’I Press, 2000. Kebesaran secara politik itu sekaligus juga menjadikan Sriwijaya sebagai kekuatan ekonomi di Asia Tenggara. Sriwijaya sebagai negara maritim berdasarkan berita-berita Cina merupakan salah satu pusat perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina. Sebagaimana diketahui perdagangan lewat laut sudah berlangsung antara Cina dengan India dan Arab. Oleh karena Cina merupakan salah satu kekuatan ekonomi pada waktu itu maka untuk kepentingan perdagangan Sriwijaya sering mengirimkan upeti kepada Cina. Upeti yang diberikan Sriwijaya itu merupakan upaya diplomatiknya agar Cina tidak melakukan hubungan dagang langsung dengan negara lain di Asia Tenggara. Hubungan dagang Sriwijaya tidak hanya berlangsung dengan Cina tetapi juga berlangsung dengan India, Arab dan Persia. Hubungan dagang berlangsung baik misalnya dengan kekhalifahan Islam di kawasan Timur Tengah. Demikian baiknya hubungan dagang itu sehingga ada surat dari raja Sriwijaya yang meminta kepada khalifah Umar bin Abd Al-Aziz 717-720 M agar mengirimkan mubaligh untuk mengajarkan Islam ke Śrīwijaya. Selain itu surat tersebut berisi tentang pemberian hadiah sebagai tanda persabatan. Hal itu didasarkan pada bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Palembang sebagaimana diungkapkan oleh Utomo. Dalam kehidupan ekonomi meskipun tidak didapatkan data-data statistik tentang perkembangan ekonomi masyarakat Sriwijaya, tetapi dari bukti-bukti arkelogis dapat digambarkan kondisinya. Artefak yang ditemukan di Sriwijaya menurut Utomo terbuat dari kaca dan keramik yang bentuknya vas, botol, jambangan. Barang-barang tersebut didatangkan dari kota pelabuhan Siraf, Musqat, Basra, Wasit, al- Ubulla, Kish, dan Oman. Artefak tersebut ditemukan di situs Barus di pantai barat Sumatera Utara dan situs Muara Jambi, Muara Sabak dan 31 Lambur di pantai timur Jambi. Pedagang asing yang datang berdagang membawa hasil bumi dan hutan dari Sriwijaya berupa kemenyan dan kapur barus. Hasil bumi lainnya yang didapatkan di Sriwijaya adalah cengkeh, kayu gaharu, cendana, pinang, pala, kapulaga, emas, dan timah. Kehidupan ekonomi masyarakat Sriwijaya dapat juga dilihat dari berbagai macam pekerjaan yang menunjukkan keahlian mereka. Berdasarkan prasasti Telaga Batu di Sriwijaya ada vasikarama pandai besi, kayastha juru tulis, pemahat, sthapaka arsitek, puhavam nahkoda kapal dan vaniyaga saudagar. Di situs Kembang Unglen dan Talang Kikim ditemukan jejak kegiatan industri manik-manik kaca dan manik-manik batu. Kapan runtuhnya Kadātuan Śrīwijaya tidak ada satu pun data yang menyebutkan secara jelas. Prasasti Rājarāja I dari Tañjore yang berangka tahun 103031 menyebutkan penaklukan Śrīwijaya dan kerajaan- kerajaan lain di sekitar Selat Melaka. Śrīwijaya ditaklukkan dan rajanya Śańgrāmawijayottuńgawarman berhasil dita wan oleh tentara Cōla. Dalam serangan itu Śrīwijaya ditaklukkan tetapi tidak diduduki. Berita Tiongkok mencatat masih adanya utusan dari Śrīwijaya yang datang ke Tiongkok, yaitu Se-li-tieh-hwa, pada tahun 1028. Dātu Ś rīwijaya ini diduga anak dari Śańgrāmawija yottuń gawarman yang berhasil ditawan pada penyerangan tahun 1025. Akan tetapi dalam berita Cina Chau Ju-kua pada awal abad ke-13 disebutkan San-fo-tsi Sriwjaya muncul lagi sebagai negara yang cukup kuat. Sriwijaya mempunyai daerah jajahan antara lain Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Kuala Berang, Sunda, dan Lamuri. d Mataram Sewaktu di Sumatera sedang tumbuh dan berkembangnya kekuasaan Sriwijaya bercorak Budha, di Jawa ternyata muncul kerajaan yang bercorak Hindu. Kerajaan tersebut yang di dalam sejarah kita dinamakan Mataram. Dilihat dari dinasti yang berkuasa, ternyata di Mataram terdapat dua wangsa yaitu wangsa Sailendra dan wangsa Isana. Sebagai kerajaan Hindu keberadaannya dapat diketahui dari prasasti Canggal yang berangka tahun 732. Isi dari prasasti tersebut mengungkapkan tentang perihal naik tahtanya Sanjaya setelah terjadinya perang perebutan kekuasaan. Sanjaya dalam prasasti Mantyasih disebutkan sebagai raja pertama yang tahtanya di Medang. Ia diduga merupakan salah satu keturunan dari Dapunta Selendra. Kedudukannya sebagai raja berlangsung sampai tahun 750. Menurut Poerbatjaraka seperti diungkapkan Notosusanto, Dapunta Selendra menjadi pendiri dari wangsa Sailendra. Pendapat Poerbatjaraka itu didasarkan kepada isi prasasti Sojomerto yang menyebut nama Dapunta Selendra. Apalagi bila dilihat dari isi prasasti Mantyasih yang menyatakan bahwa anak dari 32 Sanjaya namanya Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran menamakan dirinya permata wangsa Sailendra. Ketika Sanjaya membangun kembali kerajaan yang hancur akibat perang, ia membangun ibu kota yang letaknya di Poh Pitu. Dimana letak Poh Pitu sampai sekarang belum dapat dipastikan. Yang menarik dari Rakai Panangkaran adalah ia ternyata penganut agama Budha, tidak seperti ayahnya yang menganut agama Siwa. Ia pindah agama setelah melihat kenyataan ketika ayahnya jatuh sakit dan meninggal karena mematuhi apa yang diinginkan gurunya. Rakai Panangkaran menjadi takut kalau sang guru tidak benar, demikian dikemukakan oleh Notosusanto. Rakai Panangkaran itu memerintah sekitar tahun 750 sampai tahun 792. Ia yang bernama lengkap Rakai Panangkaran Dyah Sangkhara Sri Sanggramadhananjaya yang menurut Munoz dikenal dengan nama Wisnu adalah seorang raja yang mempunyai program ambisius. Program ambisiusnya itu adalah membangun pusat keagamaan. Tidak heran kalau pada masanya banyak dibangun candi, kapel dan biara. Salah satu warisannya yang terhebat di dunia sampai sekarang adalah candi Borobudur. Wangsa Isana dimulai dari masa Pu Sindok. Hal itu merujuk pada gelar yang digunakannya yaitu Sri Isana Vikrama Dahrmotungadeva. Ia merupakan kesinambungan dari Sailendra. Menurut Munoz, Pu Sindok keturunan langsung dari Daksa, sementara Daksa sendiri merupakan keturunan jauh dari Sanjaya. Munoz berpendapat bahwa nama Isana hanya sekedar untuk memberikan sebuah penanda bagi periode empat masa kekuasaan Pu Sindok. Berbeda dengan Munoz, Notosusanto mengaitkan wangsa Isana itu dengan terjadinya gempa dahsyat dari gunung Merapi yang menyebabkan hancurnya Mataram Sailendra. Peristiwa yang dianggap sebagai pralaya itu mengharuskan dibangunnya kerajaan baru dengan wangsa baru, sesuai dengan dasar kosmogonis kerajaan-kerajaan kuno. Kerajaan baru yang dibangun Pu Sindok ternyata namanya sama dengan nama kerajaan yang dibangun Sanjaya yaitu Mataram. Ia membangun ibukota di Tamwlang yang diduga terletak dekat Jombang. Pu Sindok memerintah tahun 929-948. Keturunan Pu Sindok itu yang terkenal adalah Airlangga yang nama lengkapnya adalah Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmwangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa . Ia memerintah tahun 1019-1042. Jasa terbesar yang dilakukan Airlangga adalah membangun bendungan sungai Brantas. Sungai itu setiap tahun banjir yang menyebabkan sawah-sawah rakyat banyak yang hancur. Di samping itu desa-desa pada bahagian hilir tergenang oleh banjir seperti desa Lasun, Panjuwan, Sijanatyesan, Panjiganting, Talan, Dasapangkah. Akhir dari kekuasaan Airlangga bermula dari kematian istrinya Dharmaprasadottungadevi pada tahun 1041. Sejak kematian istrinya menurut Nagarakertagama yang dikutip Munoz, ia hidup merana dan memutuskan mengundurkan diri dari tahta untuk kemudian menjadi 33 biarawan. Kerajaan yang dibangunnya, ia bagi menjadi dua karena anak perempuannya dari permaisuri tidak bersedia menjadi raja. Pembahagian menjadi dua kerajaan itu diberikan kepada anak laki-lakinya dari dua selir yang berbeda. Bagian timur menjadi kerajaan Janggala dengan ibukotanya Kahuripan, bahagian barat kerajaan Panjalu Kediri dengan ibukotanya Daha. Kembali ke prasasti Canggal. Ada hal yang menarik diungkapkan Munoz tentang isi prasasti Canggal. Menurut Munoz, Sanjaya menjadi peletak dasar dari prinsip-prinsip awal ritual kebijakan pemerintahan yang dianut oleh semua raja Jawa. Hal itu dikarenakan Sanjaya memuji pamannya Sanna yang memerintah rakyatnya dengan baik melalui musyawarah dan amal. Prinsip itu yang oleh Munoz disebut sebagai ciri utama administrasi klasik Jawa di masa selanjutnya. Dijelaskan lebih lanjut oleh Munoz, penerapannya mulai dari penarikan pajak sampai pembagian kekayaan telah memberi dasar bagi sistem ekonomi politik dari pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa kuno. Berdasarkan prinsip tersebut nampaknya struktur pemerintahan kerajaan Mataram dikembangkan. Struktur pemerintahan kerajaan Mataram menempatkan raja sebagai penguasa tertinggi. Gelar yang digunakan untuk itu adalah abhiseka. Raja kedudukannya merupakan penjelmaan dewa di dunia. Kewajiban seorang raja rajadharma ditunjukkan dari perilakunya yang seperti dewa. Dewa yang dimaksud adalah Indra hujan, Yama Maut, Suryya Matahari, Soma Bulan, Wayu Angin, Kuwera Kekayaan, Waruna Laut dan Agni Api. Kemudian dalam struktur pemerintahan pusat itu raja dibantu oleh 18 orang pejabat. Delapan belas orang pejabat itu dikelompok ke dalam dua kelompok yaitu kelompok 5 dan kelompok 12. Kelompok 5 terdiri dari putra raja atau orang dekat kerajaan. Mereka memakai gelar Hino, Halu, Sirikan, Wka dan Pamgat. Empat pejabat Hino, Halu, Sirikan dan Wka adalah orang-orang yang satu keturunan langsung dengan raja. Misalnya putra, adik, kemenakan, paman atau kerabat dekat lain dari raja. Sementara Pamgat adalah pejabat yang kedudukannya setingkat dengan putra raja atau kerabat raja. Kelompok 12 merupakan pejabat yang posisinya berada di bawah kelompok 5. Mereka adalah rake halaran, rake pangilhyang, rake wlahan, pamgat manghuri, rake langka, rake tanjung, pangkur, tawan atau hanangan, tirip, pamgat wadihati, pamgat makudur, rakryan kanuruhun. Ada satu pejabat yang posisinya kadangkala berada dikelompok 5 dan adakalanya berada dikelompok 13. Gelarnya disebut rake pagarwsi. Tidak diperoleh penjelasan apa tugas dari setiap pejabat tersebut. Hanya ada beberapa yang diketahui misalnya pangkur, tawan dan tirip bertugas untuk mengurus pajak yang masuk ke perbendahaan kerajaan. Selain pejabat tingkat pusat ada pula pejabat tingkat daerah watak yaitu daerah-daerah yang dikuasai para rakai dan pamgat dan daerah tingkat 34 wanua yaitu desa-desa yang diperintah oleh rama. Pejabat tingkat watak itu antara lain juru atau tuhan ning kanayakan, patih, wahuta, citralekha, parujar, dan mantanda. Tuhan ning kanayakan tugasnya mengkoordinir para pemungut pajak. Patih bertugas untuk mengelola penghasilan daerah watak. Wahuta mengoordinasikan berbagai macam urusan wahuta lampuran, wahuta winkas wkas, wahuta manguwu, wahuta libur putih, wahuta maweas dan wahuta kulumpang. Namun bagaimana tugas masing-masing mereka itu tidak diketahui dengan pasti. Dalam pada itu citralekha bertugas menjadi juru tulis, parujar sebagai juru bicara dan mantanda sebagai pembawa cap atau pataka. Selain itu ada pejabat yang langsung berada di bawah penguasa daerah hulu kuwu yaitu orang yang diberi kepercayaan menjadi kepala atau pemimpin para kuwu. Kehidupan ekonomi masyarakat Mataram dari temuan arkeologis dan berita Cina menunjukkan mereka sudah maju. Perdagangan telah berlangsung baik perdagangan antar desa, antar wilayah maupun dengan pedagang-pedagang asing seperti dari India dan Cina. Perdagangan antar desa dan antar wilayah berlangsung dengan menggunakan alat transportasi antara lain pedati dan perahu. Ada juga dengan mengandalkan tenaga manusia yaitu dengan cara dipikul. Untuk perdagangan internasional perdagangan dilakukan dengan menggunakan kapal layar besar bercadik. Barang dagangan yang dihasilkan di Mataram antara lain beras, buah- buahan, sirih pinang, mengkudu, alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian, payung, keranjang, kajang, kepis, gula, arang, kapur sirih, kerbau, sapi, kambing, itik, ayam dan telor. Barang-barang tersebut umumnya diperdagangkan antar desa atau antar wilayah. Sedangkan untuk perdagangan internasional komoditi ekspor dari Mataram antara lain garam, kain katun dan kapuk, sutra tipis dan sutra kuning, kain brokat, kulit penyu, pinang, pisang raja, gula tebu, kemukus, cula badak, mutiara, belerang, gaharu, kayu sepang, kayu cendana, cengkeh, pala, merica, dammar, kapur barus, dan tikar pandan. Di samping adanya ekspor komoditi, di Mataram juga terjadi impor komoditi. Impor barang-barang dilakukan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi ada juga barang impor itu yang kemudian di ekspor keluar. Barang dagangan yang di impor antara lain sutra, payung sutra dan keramik dari Cina, pedang dari India dan Timur Tengah, nila, lilin batik, belanga besi berkaki tiga, piring, mangkuk, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan tembaga. Pada saat melakukan transaksi menurut berita Cina dari masa dinasti Sung mereka telah menggunakan mata uang. Mata uang yang digunakan terbuat dari emas, perak, campuran perak dengan tembaga dan timah. Satuan mata uang emasnya adalah suwarna, masa dan kupang. Sedangkan yang 35 terbuat dari perak adalah dharana. Ada pula mata uang yang terbuat dari wsi besi dengan satuannya ikat. e Majapahit Kerajaan Majapahit dibangun oleh Raden Wijaya pada tahun 1293. Ia membangun ibukota di Trowulan. Pada masa pemerintahannya Raden Wijaya banyak menghadapi konfik yang datang dari kalangan dekat istana. Misalnya pemberontakan yang dilakukukan oleh Arya Wiraraja bersama Nambi. Pemberontakan lainnya dilakukan oleh Ranggalawe 1295 dan Lembu Sora 1298. Anaknya yang bernama Jayanagara menggantikan kedudukannya sebagai raja tahun 1309. Masa pemerintahan Jayanagara yang berlangsung sampai tahun 1328. Selama masa itu ia juga menghadapi rangkaian pemberontakan. Hal penting dalam masa pemerintahannya adalah pulihnya hubungan dengan Cina. Selama tahun 1325 sampai tahun 1328 setiap tahun utusan dari Jawa datang ke Cina. Utusan itu dipimpin oleh Seng-chia-liyeh. Ketika Jayanagara digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan dengan gelar Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddhani, Majapahit mulai memasuki masa kejayaannya. Majapahit mulai melebarkan kekuasaannya ke luar Jawa antara lain ke Bali tahun 1343 dan Jambi 1347. Berdasarkan catatan perjalanan seorang pedagang Cina Wang Ta-yuan dalam bukunya Tao-i chih-lueh yang ditulis sekitar tahun 1349 banyak daerah yang mengakui kedaulatan She-p’o Jawa antara lain beberapa daerah di Semenanjung Tanah Melayu, Sumatra, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan beberapa daerah di Indonesia bagian timur. Majapahit tumbuh menjadi kerajaan besar dan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan gelar Sri Rajasanagara tahun 1350-1389. Pada puncak kejayaannya itu wilayah kekuasaan Majapahit menurut kitab Nagarakratagama meliputi wilayah Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah pantai Papua Barat. Menurut Cribb wilayah Semenanjung Melayu yang dimaksud adalah daerah Langkasuka di sebelah utara Kedah. Selain wilayah yang cukup luas itu, Majapahit melalui diplomasi menurut Munadar mempunyai hubungan persahabatan dengan Syangka Siam, Ayodhyapura Ayuthia, pedalaman Thailand, Darmanagari Dharma- rajanagaraLigor, Marutma Martaban, selatan Thailand, Rajapura Rajjpuri, daerah selatan Thailand, Singhanagari daerah di tepi Sungai Menam, Campa, Kamboja dan Yawana Annam, Vietnam. Dalam pada itu Munoz menjelaskan bahwa hubungan persabatan itu terjadi dengan Ayuthaya Thai, Martaban Burma, Champa, Kamboja, Yavana Vietnam dan Cina. Wilayah yang demikian luasnya itu memerlukan penataan pemerintahan yang tertata apik. Dalam konteks itulah pemerintahan 36 Rajasanagara membentuk struktur pemerintahan dan birokrasi yang tertata dengan baik. Struktur pemerintahan yang dibangun Rajasanagara merupakan struktur pemerintahan yang cukup lengkap. Pada puncak kekuasaan, Raja, dijabat oleh Hayam Wuruk dengan gelar Sri Tiktawilwa Nagareswara Sri 12Rajasanagara Namarajabhiseka. Kemudian ada Pahom Narendra yang anggota-anggotanya terdiri dari ayahanda raja, ibunda raja, bibi raja, suami Rajadewi maharajasa, adik pertama raja, suami Rajasaduhiteswari, adik ke-2 raja dan suami Rajasaduhitendudewi. Orang-orang yang duduk di lembaga Pahom Narendra menurut Slamet Muljana fungsinya adalah sebagai Dewan Pertimbangan Agung. Di bawah raja terdapat sejumlah penguasa daerah paduka bhattara yang memerintah sebuah negara daerah. Mereka merupakan kerabat raja yang berkuasa di daerah untuk mengumpulkan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti kepada perbendaharaan kerajaan serta berfungsi mempertahankan wilayahnya. Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan raja dibantu oleh pejabat tinggi yaitu patih amangkubhumi. Pada saat itu adalah Gajah Mada atau Pu Mada. Disamping pejabat tinggi patih amangkubhumi ada pejabat tinggi kerajaan yang disebut rakryan mahamantri katrini yang terdiri dari mahamantri i hino, i halu dan i sirikan. Dibawah rakryan mahamantri katrini terdapat rakryan mantra ri pakira-kiran yang merupakan sekelompok pejabat Negara yang terdiri dari patih hamangkubhumi, rakryan tumenggung, rakryan demung, rakryan rangga, dan rakryan kanuruhun. Kelima pejabat tersebut disebut juga mantra amancanagara. Di bawah rakryan mantra ri pakira-kiran terdapat dharmmadhyaksa yaitu pejabat tinggi yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua dharmmadhyaksa yaitu dharmmadhyaksa ring kasaiwan yang mengurus urusan agama Siwa dan dharmmadhyaksa ring kasogatan yang mengurus urusan agama Budha. Pejabat bidang yurisdiksi keagamaan itu selanjutnya dibantu oleh pejabat keagamaan yang disebut dharmmaupapatti atau sang pamegat. Sang Pamegat itu jumlahnya cukup banyak, tetapi yang selalu disebut hanya tujuh. Mereka selain bertugas mengurus urusan agama Siwa dan Budha, juga mengatur urusan sekte-sekte agama tertentu seperti; bhairawapaksa, saurapaksa, siddhantapaksa, sakara dan wahyaka. Kelompok sang pamegat itu disamping sebagai pejabat keagamaan, mereka juga dikenal sebagai cendekiawan yang disebut bhujangga. Struktur pemerintahan Majapahit tersebut oleh Munoz dikelompokkan kedalam empat badan yaitu; raja dan kerabat raja, dewan penasehat raja, dewan menteri, dan para gubernur provinsi. Raja merupakan pemimpin masyarakat yang disucikan dalam upacara yang dinamakan Abhiseka. Sementara kerabat raja mendukung kedudukan raja dengan menduduki jabatan sebagai menteri atau menjabat di provinsi-provinsi utama seperti Tumapel atau Daha. Selanjutnya ada dewan penasehat yang dinamakan Bhattara Sapta Prabhu. Mereka merupakan orang-orang yang diberi kesempatan oleh raja untuk menyampaikan pendapat dan mempunyai hak memilih di dewan-dewan kerajaan. Setelah dewan penasehat ada 37 yang namanya dewan menteri yang dipimpin oleh perdana menteri yang bergelar Mahapatih atau Amanku-bhumi. Menteri yang lainnya bergelar Arya-adhikara, Nayapati, Vrddamantri, Yuvamantri, Ahhihara, Vagmimaya, Kesadari, dan Juru. Lembaga lainnya adalah Mahamantri- katrini, Mantra-ri-pakirankiran dan Dharmadhyaksa. Mahamantri-katrini merupakan menteri senior yang berlatar belakang bangsawan yang bertugas sebagai penghubung dalam menyampaikan keputusan pemerintah kepada birokrat yang levelnya lebih rendah. Mereka ada tiga orang. Lembaga Mantra-ri-pakiran-kiran terdiri dari enam menteri yang disebut Panchanagara. Mereka adalah Patih, Tumengun, Demung, Ranga, Rakai Kanuruhun dan Mandala Sarwajala. Terakhir Dharmadhyaksa yang bertanggungjawab dalam urusan keagamaan. Pada masa pemerintahan Rajasanagara ada usaha untuk memajukan kehidupan ekonomi masyarakat. Dalam bidang pertanian raja memerintahkan untuk membuat bendungan, saluran irigasi dan pembukaan tanah baru untuk perladangan. Berdasarkan catatan musafr Cina bernama Ma Huan dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Ia berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Rajasanagara. Catatan Ma Huan sebagaimana dikutip Munandar menguraikan antara lain sebagai berikut: “Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita Cina, panen padi 2 kali setahun, padinya kecil-kecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang kuning, tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak. Burungnya aneh-aneh, ada nuri sebesar ayam dengan aneka warna merah, hijau dan sebagainya. Beo yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang, kakatua, merak dan lainnya lagi. Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai”. Penduduk di pantai utara di kota-kota pelabuhan, seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara dan Cina. Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap dan berdagang. Selanjutnya, laporan Ma Huan menyatakan bahwa ibukota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Penduduk telah memakai kain dan baju. Kaum lelaki berambut panjang yang diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap laki-laki, mulai dari yang berumur tiga tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah dan terbuat dari emas, cula badak, atau gading. 38 Penduduk yang hidup dari perdagangan umumnya kaya. Kekayaan mereka itu dapat dilihat dari kebiasaan mereka yang suka membeli perhiasan bermutu seperti porselin Cina dengan gambar bunga-bungaan, minyak wangi, kain sutra dan katun yang berkualitas baik yang bermotif hiasan maupun yang polos. Ketika Rajasanagara wafat pada tahun 1389, tidak ada raja pengganti yang mempunyai kemampuan memimpin dengan baik. Dalam tubuh kerajaan yang terjadi justru silih bergantinya perebutan kekuasaan. Awal perpecahan terjadi antara keluarga Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi pada tahun 1400. Perselisihan di dalam lingkungan kerajaan itu menyebabkan kerajaan menjadi lemah. Pada akhirnya Majapahit dikuasai oleh Demak ketika Demak yang dipimpin Pati Unus 1518-1521 melakukan penaklukkan terhadap Majapahit. Ia anak Raden Patah yang melakukan balas dendam atas kekalahan neneknya Bhre Kertabhumi yang dilakukan oleh Garindrawarddhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1478.

e. Masa Kerajaan Islam dan Kedatangan VOC 1.