52 Menurut tradisi seperti tertera dalam historiografi tradisional
pendiri Kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati. Dalam sumber sejarah Banten namanya ialah Faletehan atau Tagaril. Menurut Pires, ayah
dari Pate Rodin Sr.-lah yang mendirikan pemukiman di Cirebon itu. Seperti telah disebut di atas, Pires mengetahui bahwa di daerah Pesisir
Jawa Tengah antara Cirebon dan Demak ada pelabuhan Losari, Tegal, dan Semarang, ketiganya mengekspor beras. Adalah wajar apabila
pada awal abad XVI ada hubungan ramai antara Demak dengan kota-kota itu dan seterusnya pelabuhan-pelabuhan di Jawa Barat.
Sebelum ada komunikasi ini, Jawa Barat sudah mempunyai hubungan dengan Jawa Timur. Waktu itu di Priangan ada Kerajaan Pajajaran
dengan pelabuhannya Sunda Kelapa di sebelah barat dan Kerajaan Galuh di sebelah timur.
Bahwasanya Cirebon pada awal abad XVI sudah mempunyai perdagangan ramai dan hubungan erat dengan Malaka terbukti dari
keterangan Pires yang menyebutkan nama syahbandar koloni Cirebon di Upih Malaka, ialah Pate Kadir. Dia sangat terkemuka dan
mempunyai hubungan baik dengan raja.
Sumber-sumber tradisional, setengahnya menunjukkan hubungan pendiri Cirebon dengan tokoh-tokoh agama di Jawa Timur seperti
Raden Rahmat, setengahnya hubungan dengan dinasti di Pasundan, antara lain disebutkan bahwa raja legendaris dari Pajajaran dan Galuh,
Aria Bangah, adalah saudaranya.
Dalam mengikuti tradisi Jawa Barat, Nurullah melakukan ibadah haji dan sekembalinya dari Mekah pada tahun 1524 tinggal di Demak. Di
sana ia menikah dengan seorang saudara perempuan Sultan Trenggana. Tidak lama kemudian Nurullah bertolak ke Banten di mana
didirikan pemukiman bagi pengikutnya Kaum Muslim. Sepeninggal putranya, Pangeran Pasarean, Nurullah yang kemudian terkenal
dengan nama Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon, sedang pemerintahan di Banten diserahkan kepada seorang putra lain yaitu Hasanudin.
Sunan Gunung Jati diganti oleh Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu pada tahun 1570. Selama pemerintahannya dipeliharanya hubungan
damai dengan Mataram dan para penguasa lokal di sebelah barat Mataram. Mereka adalah elite yang berkuasa dan lazimnya
mempunyai daerah pengaruh yang melampaui desanya. Dalam jaman Mataram kuno mereka bergelar Rakai atau Rakyan, dan pada jaman
Mataram baru memakai gelar Kyai Ageng atau Panembahan; contohnya Kyai Ageng Sela, Kyai Ageng Mangir, Kyai Ageng
Pamanahan. Rupanya para penguasa itu kemudian mengakui suzereinitas baik Cirebon maupun Mataram, tanpa mengadakan
banyak perlawanan; kekecualian dalam hal ini ialah perlawanan Kyai Bocor dan Kyai Ageng Mangir terhadap hegemoni Mataram.
c. Perebutan Hegemoni Antara Kesultan Islam dan Kolonial Barat
53 Bangsa Barat sebagaimana diketahui membutuhkan rempah-rempah yang
dihasilkan dari Maluku. Mereka mencari langsung rempah-rempah tersebut setelah terjadinya perkembangan harga yang sangat mahal dan
menjadi barang luks di Eropa. Itulah salah satu yang menyebabkan mereka datang ke Nusantara.
Masuknya bangsa Barat ke Nusantara khususnya VOC ternyata menimbulkan ketidaknyamanan bagi kerajaan-kerajaan Islam yang
waktu itu sedang meluaskan pengaruhnya dan menunjukkan eksistensi dirinya sebagai sebuah kerajaan yang tumbuh besar. Kerajaan-kerajaan
Islam yang ada pada waktu itu diharuskan menghadapi kenyataan untuk berkompetisi dan konfik dengan bangsa Barat terutama sekali
VOC sebagai kongsi dagang di wilayah Nusantara. Berikut kita akan lihat berbagai pergulatan yang terjadi di berbagai wilayah di Nusantara
dalam menghadapi masuknya bangsa Barat.
1 Maluku
Fernao Magelhaens oleh raja Spanyol diberi satu armada untuk
pergi ke Maluku. Magelhaens dan rombongan berangkat dan meninggalkan Seirle pada tanggal 10 Agustus 1519. Rombongan
perjalanan yang sampai di Maluku adalah Carvalhinho dan Goncalo Gomes
pada tangga 8 Nopember 1521. Mereka memasuki pelabuhan Tidore dan diterima dengan sangat ramah. Mulai saat ini hubungan
Portugis di Maluku berkembang. Antonio de Brito mendirikan benteng di Ternate yang disebut Saint John pada tahun 1522. Yang
memerintah Ternate adalah Kaitjil Darus yang mewakili raja yang masih di bawah umur yang bernama Boleife.
Permusuhan antara Portugis dan Tidore dimulai ketika Antonio de Brito mendengar tentang kedatangan jung-jung dari Banda yang
hendak membeli cengkeh. Ia mengirim sebuah galai untuk melawan jung ini. Galai ini tenggelam dekat Tidore. Orang Tidore kemudian
memenggal kepala 16-17 orang Portugis. Inilah yang menyebabkan dimulainya perang melawan Tidore. Perang antara orang Portugis
dan Tidore berlangsung untuk beberapa waktu, dimana Tidore mendapat bantuan dari orang-orang Spanyol yang datang lewat
Amerika Selatan. Permusuhan antara Portugis dengan Tidore ternyata juga melibatkan Ternate. Ternate yang menjadi saingan
utama Tidore di Maluku melakukan kerja sama dengan Portugis. Dengan demikian dalam perang itu terdapat di satu pihak ialah
Tidore yang dibantu orang-orang Spanyol dan di lain pihak Portugis dan Ternate. Pada tahun 1529 Portugis dengan sekutunya Ternate
menyerbu Tidore dan mengalahkan Tidore dan Spanyol.
Tristoa de Altaida pada tahun 1533 karena tindakannya yang kasar
menimbulkan pemberontakan, sehingga raja Ternate yang menjadi sekutunya sekarang memusuhinya. Penduduk dari Irian sampai
54 Jawa telah dimobilisasi atau diminta bantuannya untuk mengusir
Tristoa Altaida
dan orang-orang Portugis lainnya. Orang-orang Ternate kemudian membakar benteng Portugis dan sebagian kota
Ternate. Mereka menempatkan Dajalo kembali ke tahta dan membuat pertahanan yang kuat untuk melawan Portugis. Tidore
dan Bacan-pun dipertahankan dan pertempuran melawan Portugis dimulai secara sengit. Seluruh Maluku boleh dikatakan bangun
melawan Portugis. Sebuah brigantine sejenis kapal dirampas, Balthasar Vogado
dan anak-buahnya dibunuh dan merekapun merebut beberapa kalulues semacam sampan, 70 membunuh,
melukai orang Portugis dan budak-budaknya. Mereka-pun berhasil merampas senjata api dan senjata-senjata lainnya dari Portugis.
Mereka berjanji bahwa bilamana mereka tidak berhasil mengusir Portugis, mereka akan menebang pohon cengkeh dan merusak
negerinya. Perang ini sangat sengit, sehingga penderitaan sangat besar. Tristoa de Altaida kemudian mendapat bantuan, dengan
bantuan ini Altaida hendak menyerang Tidore. Akan tetapi ia terpaksa menyembunyikan armadanya karena orang-orang Maluku ke
luar untuk mengadakan pertempuran di laut. Ketika ia rnerubah arah ke Jailolo nasib yang tidak menguntungkan juga menyambutnya
disitu. Kekalahan-kekalahan yang dialami oleh Altaida menyebabkan harus meminta minta bantuan kembali ke Malaka dimana Antonio
Galvao menderita sakit.
Ketika Antonio Galvao mendengar tentang keadaan di Maluku yang sangat gawat bagi kepentingan Portugis ia menyiapkan dua buah kapal
yang kuat, senjata yang banyak dan bahan peledak. Di samping itu atas biaya sendiri ia memperlengkapi suatu kapal untuk memuat banyak
orang dan perlengkapannya. Ia pun berangkat tanpa persetujuan kapitan Malaka.
Galvao tiba di Maluku pada tanggal 27 Oktober 1556 tetapi mendapatkan benteng dalam keadaan sangat menyedihkan. Orang Ternate telah
meninggalkan pulaunya. Keadaan pertahanannya sangat menderita. Meskipun Galvao menderita sakit ia mempersiapkah kembali
pertahanan benteng. Musuhnya di Tidore tidak tinggal diam merekapun mempersiapkan diri untuk berperang kembali. Orang
Portugis yang berada di Ternate khawatir akan keamanan mereka, karena merasa Tidore dengan sekutunya sangat kuat. Oleh sebab itu
mereka menghendaki bantuan dari India atau tidak melakukan perang terbuka melainkan gerilya. Pihak Maluku mempersiapkan diri dengan
sejumlah besar pasukan, senjata api, meriam yang berjumlah antara 500-600. Untuk melindungi badannya mereka memakai lapisan kulit,
baju zirah, barut dan gesper, jas-jas dari lempeng tembaga, topi baja, pedang, tombak, bucklers 71 dan perisai. Senjata tersebut adalah hasil
rampasan senjata dari orang Portugis atau yang diberi orang Spanyol. Di samping senjata Eropa mereka juga mempunyai senjata pribumi.
55 Kemudian Antonio Galvao membawa armadanya ke depan kota Tidore,
dan di sana mengatakan bahwa ia tidak datang untuk berperang. Orang Tidore yang sudah siap-siap tidak begitu saja mau mempercayainya,
karena pengalaman yang pahit. Sahut-menyahut diadakan antara kedua- belah pihak. Ini mungkin, karena armada Galvao merapat sekali ke kota
Tidore. Maksud Galvao untuk mencapai perdamaian gagal. Orang- orang Tidore mulai menembak ke armadanya, sehingga oleh Galvao
diperintahkan pada malam hari, semua lampu harus dimatikan dan tidak boleh ada tembakan balasan. Hari kedua setelah malam tersebut di atas
Galvao memberanikan diri untuk mendarat di Tidore. Pada suatu ketika ia berhadapan dengan Dajalo, raja Ternate yang memusuhi
Portugis. Dajalo bersenjata lengkap dan memakai baju zirah. Sial bagi Dajalo ia dapat dikalahkan dalam suatu duel pedang, sehingga Galvao
berhasil memasuki benteng Tidore. Dan dari sini ia berhasil merebut kota.
Meskipun telah mengalami kekalahan, Tidore masih mencoba untuk mengadakan perlawanan dengan penyerbuan di laut dengan kora-
kora. Ketika ternyata kora-kora bukan tandingan bagi perlengkapan dan perkapalan Portugis, suatu taktik yang lain direncanakan lagi,
yaitu penyerangan dari darat yang dibantu dari laut. Akan tetapi sebelum niat ini dapat dilaksanakan, mereka telah dikejutkan oleh
tembakan orang Portugis. Perlawanan dilancarkan terhadap penyerbu mereka, tetapi salah seorang pemimpin yang berpengaruh gugur,
sehingga semangat perlawanan mereka menjadi kendur. Tidak lama kemudian raja-raja Maluku menginsaf bahwa Galvao benar-benar
tidak mampu mereka melawannya.
Setelah Galvao berkuasa di Maluku 1536-40 daerah itu kembali menjadi korban pegawai-pegawai Portugis yang membuat rakyat setempat
tertindas dan terhisap. Akibatnya rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khairun berontak terhadap kesewenang-wenangan orang-
orang Portugis. Serangan-serangan terhadap kedudukan benteng- benteng Portugis terus dilancarkan terutama pada tahun 1565. Rakyat
Ternate makin marah setelah sultannya yaitu Khairun ditipu dan dengan diam-diam dibunuh dengan dalih untuk berunding yaitu pada tahun
1570. Pimpinan perlawanan diambil oleh Babullah sehingga benteng- benteng Portugis direbut rakyat Ternate. Pada tanggal 28 Desember
1577, rakyat Temate berhasil mengusir mereka dari negerinya. Orang- orang Portugis pindah ke pulau lain dekat Tahula, tidak berapa jauh dari
Tidore. Di sinipun mereka terus-menerus diganggu oleh orang Jawa dan Melayu yang biasanya mengangkut cengkeh, maupun oleh orang-
orang Ternate sendiri.
Pada tanggal 15 November 1582 Portugis dan Spanyol disatukan di bawah Raja Philip II, dan raja ini menyuruh Gubernur Jenderal Spanyol
yang berkedudukan di Filipina untuk memberi bantuan kepada orang-
56 orang Portugis di Maluku. Orang-orang Spanyol mencoba merebut
Ternate kembali, akan tetapi tidak berhasil, karena tidak lama orang- orang VOC mulai muncul di perairan Maluku dimana Steven van der
Haghen
merebut benteng Portugis di Amboina pada tanggal 23 Februari 1605. Cornelis Bastians merebut benteng Tidore. Benteng Tidore
karena dijaga hanya oleh sekelompok kecil tentara VOC, dengan mudah diserbu oleh armada Spanyol pada tahun 1606 di bawah
pimpinan Acuna. Benteng Gamu-lamu di Ternate direbut, Sahid Barkat, raja Ternate, dipaksa menyerahkan semua benteng dari sekutu-
sekutunya dan melepaskan semua tawanan Kristen dan orang-orang yang menjadi jajahan Spanyol. Kecuali itu juga mengenai larangan
sultan beralih ke agama Kristen dan bahwa orang Kristen yang hendak beralih agama harus dilaporkan kepada Spanyol. Jelaslah sultan
Ternate sangat dirugikan, kareha tidak hanya benteng saja tetapi juga daerah pengaruhnya jatuh ketangan Spanyol. Sultan dan beberapa
putranya serta beberapa Kaicil diangkut ke Manila sebagai sandera.
Pada tahun 1607 orang VOC kembali dan mereka mendapat bantuan Ternate yang membenci Spanyol yang telah membawa sultan dan putra-
putranya sebagai sandera. Dengan bantuan Ternate orang VOC menduduki kembali Ternate, dan kemudian mendirikan benteng-
benteng. Mereka menyerang orang-orang Spanyol di Tidore. VOC kemudian berhasil merebut Makian dan Motir, sehingga di tempat-
tempat ini-pun mereka mendirikan benteng.
Di antara orang-orang Spanyol dan VOC di daerah Maluku sering terjadi pertempuran sekitar 1624-1639 di mana pihak Spanyol mengalami
kekalahan. Pada akhirnya pada tahun 1639 antara Ternate dan Tidore terjadi suatu persetujuan persahabatan. Dalam perebutan monopoli
rempah-rempah, VOC menghadapi tantangan-tantangan bukan hanya dari pedagang-pedagang Barat saja, tetapi juga dari kerajaan-kerajaan
di daerah Maluku bahkan dari pedagang-pedagang Jawa dan Melayu. Pedagang-pedagang yang oleh orang-orang VOC dianggap sebagai
penyelundupan itu, oleh Sultan Ternate dibantu dengan tujuan meluaskan pengaruhnya dalam menghadapi VOC.
Pada tahun 1635 timbullah perlawanan dimana-mana di bawah pimpinan Kakiali, kapten Hitu. Gubernur Jenderal van Diemen dua kali
menuju Maluku yaitu tahun 1637 dan 1638 untuk menegakkan kekuasaan VOC agar Sultan Ternate mengakui Kompeni. Dalam pada
itu VOC menjanjikan akan memberikan hadiah kepada siapa yang dapat membunuh Kakiali. Pembunuhan terhadap Kakiali ini terjadi pada
tahun 1643 dengan cara ditusuk golok pada malam hari di tempat tidurnya. Dengan meninggalnya Kakiali maka orang-orang VOC dapat
menumpas perlawanan orang-orang Maluku itu, tetapi kemudian harus menghadapi perlawanan dari orang-orang Hitu yang dipimpin
Telukabesi. Perlawanan ini baru berhasil ditumpas oleh VOC pada
57 tahun 1646. Akibat selanjutnya pemimpin-pemimpin Hitu banyak yang
diasingkan ke Batavia untuk lebih mudah diawasi oleh pemerintah tinggi VOC.
Sejak beberapa tahun perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC boleh dikatakan reda, tetapi sejak tahun 1650 timbullah lagi perlawanan yang
meluas dari daerah Amboina sampai Ternate. Sultan Mandarsyah yang oleh rakyatnya dianggap dekat kepada VOC, diusir dan diganti oleh
saudaranya yang juga tidak bijaksana. Pemimpin perlawanan ialah Saidi. Sultan yang diturunkan dari takhtanya melarikan diri ke Batavia dan
menyerah kepada VOC. Perlawanan yang dipimpin Saidi sangat mencemaskan VOC. Waktu itu seluruh daerah rempah-rempah dibakar,
dimana-mana timbul perlawanan terhadap VOC.
Ketika perang sedang berlangsung datanglah de Vlamingh van Oosthoorn
membawa balabantuan. Dengan adanya bantuan itu
terjadilah pertempuan yang hebat di Huwamohel. Sembilan benteng yang terletak di sana diserang oleh VOC di bawah de Vlamingh yang
datang ke sana sejak tanggal 22 Juli 1655. Tidak lama kemudian Saidi tertangkap dan ditusuk belati oleh de Vlamingh, sehingga gugur.
Dengan demikian perlawanan rakyat di daerah Maluku itu dapat ditumpas. Selanjutnya sultan Ternate yang syah harus membuat suatu
perjanjian baru dimana sultan Ternate tidak perlu lagi menempatkan walikotanya di kepulauan Ambon karena akan diurus oleh VOC sendiri.
VOC mengajukan permintaan agar di daerah kerajaan tidak menanam pohon rempah-rempah. Untuk itu sultan-sultan Ternate dan Tidore
mendapat kompensasi dengan diberi uang setiap tahun. Dengan demikian maka VOC tidak perlu khawatir akan adanya perdagangan
gelap rempah-rempah di bagian utara kepulauan Maluku, karena di daerah itu tidak lagi ditanami pohon-pohon rempah-rempah. Namun
semasa pemerintahan sultan yang diberi gelaran “Sultan Amsterdam” tahun 1675, timbul lagi perlawanan terhadap VOC yang ada di bawah
gubemurnya yang bernama Padbrugge. Perlawanan rakyat dilakukan dengan cara gerilya dari daerah Jailolo. Perlawanan itu tidak berhasil dan
sultan Amsterdam terpaksa menyerahkan diri dan kemudian dibuang ke Batavia. Dengan demikian maka usaha VOC menegakkan monopoli
perdagangan rempah-rempah di daerah Maluku berhasil. Hal itu berarti pula VOC berhasil menanamkan penguasaan politik kolonialnya di
daerah Maluku, meskipun demikian pada abad berikutnya politik kolonial VOC selalu mendapat perlawanan dari sultan dan rakyat
Maluku.
2 Jawa
Banten merupakan kerajaan Islam yang mulai berkembang pada abad-16, setelah pedagang-pedagang dari India, Arab, Persia mulai menghindari
Malaka yang pada tahun 1511 telah diduduki oleh Portugis. Orang-orang VOC dicurigai ketika datang untuk pertama kali tahun 1596. Akan tetapi
kemudian mereka diterima dengan baik, ketika mereka menerangkan maksud kedatangannya. Mangkubumi Banten yang juga memangku
58 wali raja datang ke kapal dimana antara Mangkubumi dan Cornelis de
Houtman dibuat suatu perjanjian persahabatan yang mengatakan bahwa VOC boleh berdagang dengan bebas di Banten.
VOC kemudian diberi tempat untuk menyimpan barang dagangan mereka dan tempat untuk berdagang. Suasana perdamaian ini tidak
berlangsung lama, karena diantara orang-orang Eropa yang datang ke Banen timbul persaingan, dan sikap orang VOC yang kasar
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sikap yang kasar ini menyebabkan beberapa orang antara lain de Houtman sendiri. Barang
dagangan mereka disita. Orang-orang VOC yang berada di kapal-kapal mulai menembak ke arah kota. Situasi tidak menjadi baik. Orang-orang
VOC mengerti bahwa setelah mengambil sikap permusuhan itu mereka tidak dapat meminta perbekalan dari Banten dan oleh sebab itu
mereka berlayar ke Sumatera Selatan.
Mereka kemudian kembali lagi ke Banten pada tanggal 2 Oktober tahun itu juga dan mengadakan suaru perjanjian kembali. Untuk melepaskan
orang-orang VOC yang ditangkap itu mereka harus membayar sejumlah uang. Setelah perjanjian itu disetujui, mereka diberi hak yang
sama lagi seperti pedagang-pedagang asing lainnya. Perjanjian inipun berlangsung tidak lama, karena pada tanggal 28 Oktober sudah timbul
ketegangan lain. Antara VOC dan Portugis timbul persaingan terus sebagai mana dapat kita lihat di beberapa daerah di Nusantara. Sebagai
akibat dari persaingan ini kedua belah pihak saling mencoba merusak hubungan antara pihak musuh dan raja Banten. Orang-orang Portugis
berhasil merusakkan hubungan antara VOC dan Banten. Sebagai balas dendam orang-orang VOC menembaki kapal-kapal Portugis dan juga
merusak perahu-perahu Banten. Tindakan ini tidak menguntungkan hubungan VOC dengan Banten, karenanya di seluruh pantai utara Jawa
nama mereka menjadi rusak.
Suatu rombongan baru dari negeri VOC pada tanggal 28 November 1598 di bawah pimpinan Van Neck dan Van Waerwyck dengan kapalnya
berjumlah 8 buah tiba di Banten. Kunjungan kapal-kapal VOC kedua kali ini beruntung, karena hubungan Banten dengan orang-orang Portugis
sedang berubah menjadi permusuhan, sehingga mereka diterima dengan baik. Sikap Van Neck yang sangat hati-hati dan dapat mengam
bil hati pembesar-pembesar Banten, juga sangat menguntungkan VOC. Tiga buah kapal dikirim kembali ke negeri VOC penuh dengan
muatan, sedangkan kelima kapal lainnya melanjutkan perjalannya ke Maluku.
Van Waerwyck tiba kembali di Banten pada tahun 1602 dimana ia mencoba mendapat izin berdagang, akan tetapi sia-sia. Ia hanya diberi izin
mendirikan suaru kantor dan untuk menempatkan seorang pegawai. Pegawai ini diberi wewenarig di bidang perdagangan, hukum warisan
dan untuk memperoleh monopoli perdagangan.
59 Persaingan antara Portugis dan VOC dalam bidang perdagangan
pada abad-17 membawa ke suatu arena perang kerajaan-kerajaan yang semuanya hendak mengambil keuntungan dari perdagangan rempah-
rempah. Sebelum kedatangan Van Waerwyck ke Banten pada tahun 1602, Eropa mengalami suatu perubahan politik. Portugis dan Spanyol
bersatu di bawah makhota Spanyol. Dengan perubahan ini maka Spanyol merasa berkewajiban melindungi kepentingan Portugis dimana-mana,
juga yang ada di Nusantara.
Untuk tugas ini Raja Philip III dari Spanyol menugaskan Andrea Furtado de Mendoa
dengan suatu armada berangkat ke pantai utara Jawa untuk melaksanakan kepentingan-kepentingannya. Pada tahun 1601
Furtado de Mendoza memblokade Banten untuk menghalang-halangi kapal-kapal VOC menghubungi kantor dagang mereka. Armada VOC
yang tiba di bawah pimpinan Walpert Harmensz menyerang armada Spanyol yang mengalami kerusakan kecil dan meninggalkan Banten.
Pertunjukkan kekuatan VOC terhadap armada Spanyol ini menguntungkan VOC yang akhirnya dapat memuat rempah-rempah
dan lada dari pelabuhan ini.
Tahun 1603 Wybrand van Waerwyck dengan armadanya mengunjungi Banten untuk berdagang. Keadaan tidak begitu baik lagi, syahbandar
menuntut bea yang tinggi untuk perdagangan dan untuk berlabuh. Harapan untuk mendapat keuntungan besar dan perdagangan ini gagal,
meskipun beberapa kapal pulang ke negeri VOC dengan rempah- rempah.
Pada tahun ini pula orang-orang VOC berhasil mendirikan kantor dagang VOC di Banten yang pertama di seluruh kepulauan Nusantara.
Yang menjadi kepalanya adalah Francois Wittert. Hubungan baik berlangsung untuk beberapa waktu, karena terjalinnya hubungan
dagang yang sehat antara Banten, EIC dan VOC. Namun tidak lama kemudian persaingan antara EIC dan VOC menjadi-jadi, kedua-
keduanya hendak mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga Banten sering menjadi arena permusuhan antara kedua
bangsa itu.
Situasi ini semakin lama semakin buruk karena tiap pihak mencoba- coba mempengaruhi pemerintah Banten dan pembesar-pembesarnya.
sehingga kantor dagang VOC mengalami kemunduran. Keadaan dalam negeri pada tahun 1608 juga tidak menguntungkan. karena terdapat
pertikaian-pertikaian antara keluarga raja yang mencari-cari sekutu untuk mempertahankan kepentingan masing-masing.
VOC melihat keadaan ini mencari hubungan lain sambil membuat kontrak dengan wali raja Banten. Mereka mengadakan perundingan-
perundingan dengan Pangeran Jayakarta yang berdiri di pihak lawan raja Banten. Di Banten orang EIC dan VOC merasa terkatung-katung, karena
raja tidak begitu berperhatian untuk membuat kontrak baru. Karena keadaan ini maka Hermite berusaha terus mendekati Pangeran Jayakarta
60 untuk mendirikan sebuah kantor dagang. Hasilnya baru dicapai pada
bulan November 1610. Sedangkan keadaan kantor VOC di Banten makin mundur, karena hubungan antara VOC dan raja tidak baik.
Pada tahun 1603 VOC memutuskan untuk mengangkat Jan Pieterszoon Coen
sebagai kepala tata buku yang mempunyai wewenang atas kantor dagang di Banten dan Jayakarta. Orang inilah
yang berhasil memajukan kepentingan VOC. Ialah yang menaruh perhatian yang utama terhadap Jayakarta. Pada tempatnyalah bilamana
Pangeran Jayakarta tidak memberi izin kepada VOC untuk membuat suatu benteng. Banten juga tidak memberi izin untuk pendirian suatu
benteng oleh VOC, karena menurut mereka akan mengancam kepentingan perdagangan. Peranan yang dimainkan Jan Pieterszoon
Coen ialah membuat Banten dan Jayakarta saling curiga-mencurigai. Oleh sebab itu Mangkubumi Banten bemiat untuk memecat Pangeran
Jayakarta dan menempatkan kedudukan Jayakarta di bawah Banten. Mangkubumi menganggap bahwa Pangeran Jayakarta terlalu mem
beri hati kepada orang Eropa. Karena di samping VOC, EICpun mendapat izin untuk mendirikan suatu kantor dagang di Jayakarta. Di
samping kecurigaan antara Jayakarta dan Banten, antara VOC dan EICpun timbul persaingan yang sering meletus dalam perang kecil-
kecil di perairan Banten. Permusuhan antara EIC dengan VOC dan Banten dengan VOC membuat Coen mengambil kesimpulan bahwa jalan
perundingan untuk mendapat izin perdagangan tidak ada manfaatnya. Ia lebih suka tindakan kekerasan.
Peristiwa kapal Perancis St. Michel yang berlabuh di Banten pada tahun 1619 memberi alasan kepada VOC untuk samasekali meninggalkan
Banten. VOC hendak memusatkan kepentingan-kepentingannya di Jayakarta yang telah mempunyai benteng-benteng yang kuat.
Sesungguhnya keadaan bagi VOC tidak menguntungkan, sikap permusuhan dinyatakan oleh Mataram dan Banten. Di samping musuh
kerajaan-kerajaan di Jawa VOCpun harus menghadapi EIC yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan dagang yang sama dengan VOC
yaitu
mencari kemungkinan-kemungkinan
dan kesempatan-
kesempatan untuk mencapai keuntungan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa suatu pertempuran akan terjadi
antara kedua belah pihak. Pada tahun 1618 VOC terpaksa harus mengambil bantuan dari Maluku. Pangeran Jayakarta yang melihat
keadaan VOC memburuk, tidak tinggal diam. Ia mendekati EIC yang telah mendirikan benteng untuk melakukan penyerangan terhadap
benteng VOC. Antara VOC dengan EIC timbul pertempuran laut yang dahsyat; kemenangan ada dipihak EIC. Coen dan armadanya
melarikan diri ke Maluku untuk mengambil bantuan. Sementara itu benteng VOC di Jayakarta dalam keadaan bertahan. Dengan suatu siasat
Pangeran Jayakarta dapat menangkap komandan benteng VOC van den Broeck. Melihat keadaan di Jayakarta yang sangat tidak
61 menguntungkan Banten, maka Banten merasa perlu untuk
mencampuri keadaan ini. Tumenggung Banten tidak suka Jayakarta memberi tempat kepada EIC maupun VOC.
Seorang Tumenggung dikirim ke Jayakarta dengan kurang-lebih 4.000 prajurit. 76 tahanan VOC diambil alih oleh Banten. Kekuasaan Pangeran
Jayakarta yang memberi izin kepada EIC dan VOC diambil alih dan daerah Jayakarta secara langsung diperintah dari Banten. Sementara itu keadaan
benteng VOC di Jayakarta tetap dalam keadaan lemah dan mereka terpaksa mengibarkan bendera perdamaian sampai kedatangan Coen
dari Maluku. Ini terjadi pada tanggal 28 Mei 1619. Sejak itu ia memutuskan bahwa benteng VOC di daerah Jayakarta akan menjadi
tempat pertemuan kapal-kapal VOC yang berlayar di kepulauan Nusantara.
Kedatangan Coen dari Maluku merupakan mala petaka bagi penduduk Jayakarta, karena kota mereka dimusnahkan sama sekali. Berita
mengenai pemusnahan kota Jayakarta menjadi ancaman bagi benteng VOC di Banten. Setelah VOC mengadakan pameran kekuatan terhadap
Jayakarta ini tuntutan dikirim ke Banten untuk melepaskan semua tawanan VOC. Sambil mengajukan tuntutan ini Coen mengancam akan
menyerang Banten bilamana dalam waktu 24 jam tuntutannya tidak dipenuhi. Tawanan VOC dilepaskan akan tetapi bagi Banten ini bukan
berarti persahabatan. Usaha-usaha untuk merongrong perdagangan VOC tetap dilakukan sehingga VOC menjadi kewalahan. Mereka mengirim Van
dan Broeck yang pernah menjadi tawanan Banten untuk menanyakan apakah yang diinginkan Banten. Jawaban raja Banten adalah terserah
yang mana tidak menjadi soal. Karena jawaban yang acuh tak acuh ini, VOC merasa perlu untuk meninggalkan kantor dagangnya dari Banten
dan mengambil segala harta bendanya untuk diangkut ke Batavia. Suasana permusuhan dimulai kembali. Setelah mengangkut semuanya,
VOC mengadakan blokade terhadap Banten. Banyak perahu dirampas dan orang-orang Cina yang ada di perahu tersebut di bawa ke
Batavia.
Keadaan antara VOC dan Banten menjadi agak tenang untuk kurang lebih 30 tahun. Namun keadaan ini berubah setelah sultan Banten
yang tua meninggal pada tahun 1651. Penggantinya ialah cucunya yang bemama Abul Fath Abdul-fattah yang terkenal sekali dengan
nama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa ini mempunyai pandangan lain terhadap VOC, tidak seperti neneknya. Ia sangat
memusuhi VOC, yang menghalang-halangi perkembangan perdagangan Banten. Di samping itu ia adalah seorang yang taat sekali terhadap
agama Islam. Pada tahun-tahun pertama dari pemerintahannya ia berhasil mengembangkan kembali perdagangan Banten yang sangat
merugikan perdagangan VOC di Batavia. Di samping itu ia mulai mengadakan penyerangan-penyerangan de ngan gerilya terhadap
62 Batavia lewat darat sedangkan serangan-serangan kecil diadakan pula
melalui laut. Pada tahun 1656 dua kali kapal VOC berhasil diram pas oleh orang-orang
Banten, dan dilakukan pula perusakan-perusakan terhadap perkebunan tebu VOC. Bahkan raja menolak utusan VOC. Ini menyebabkan orang-
orang VOC merasa tidak aman di Banten sehingga mereka meninggalkan Banten dengan diam-diam. Ketika tak ada lagi orang-
orang VOC di Banten, maka VOC memblokade pelabuhan Banten, sehingga merugikan perdagangan Banten. Sultan terpaksa mendekati
VOC untuk mengadakan perundingan yang sangat sulit, karena VOC tetap mempertahankan keinginan perdagangan monopoli di Maluku
dan Malaka yang sangat sukar disetujui oleh Banten. Karena tidak dapat menerima tuntutan VOC ini maka VOC mengadakan blokade
kembali ter hadap pelabuhan Banten. Pada tahun 1659 tercapai suatu persetujuan antara Banten dan VOC. Keinginan Banten untuk tetap
mengadakan perdagangan dengan Maluku tidak dapat ia pertahankan, akan tetapi VOC akan membayar kerugian-kerugian karenanya.
Perdagangan Banten mulai berkembang pesat lagi dengan Persia, Surat, Mekah, Koromandel, Benggala dan Siam, serta Tonkin dan Cina.
Bantuan diberi oleh orang Denmark dan EIC dalam perdagangan Banten. Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa Banten berkembang dengan
lebih baik sehingga menjadi ancaman bagi Batavia. Orang-orang Eropa banvak yang mempunyai kantor dagang di Banten. Suasana yang aman
ini berlangsung hingga tahun 1676 ketika putra sulungnya kembali dari Mekah dan mendapat gelar Sultan Haji. Sultan Haji ini tidak begitu senang
terhadap orang-orang yang dekat pada ayahnya, ia lebih berpihak kepada VOC. Antara Sultan Ageng dan VOC tenggang-menenggang tetap ada.
Orang-orang Banten tanpa menyatakan perang secara terbuka meneruskan mengganggu daerah antara Cirebon dan Citarum. VOC tidak
sanggup mengatasi serbuan-serbuan Banten yang sampai pada dinding kota Batavia. Oleh sebab itu kota Batavia diperkuat. Perdagangan VOC
sangat menderita karena keadaan yang tidak aman bagi mereka hingga pada tahun 1680 Sejak tahun 1680, keadaan berubah bagi Banten.
Kesibukan VOC yang dialihkan ke arah Timur dalam menyerbu Trunujoyo berakhir, sehingga VOC dapat mengalihkan perhatiannya
secara penuh ke Jawa Barat antara lain ke Banten, yang bagi VOC adalah musuh yang sangat berbahaya. Keadaan itu bagi Sultan Haji yang
menaruh simpati terhadap VOC merupakan kesempatan yang sangat baik. Memang sejak tahun 1680, keadaan Sultan Ageng menjadi sulit,
terutama karena putranya, Sultan Haji, memotong politiknya.
Politik Sultan Ageng berkecenderungan anti-VOC dan lebih pro-EIC. Salah satu tuntutan lama ialah bahwa Cirebon adalah vasal dari
Banten dan bukan dari Mataram. Hal ini secara unilateral diproklamasikan di hadapan wakil VOC, W. Caef, dan wakil-wakil dari
EIC, Perancis, dan Denmark. Hal di atas dilakukan dalam rangka lebih
63 luas, ialah cita-citanya menjadi raja di Jawa. Didukungnya P. Puger
sebagai caloh raja Mataram dengan harapan memperoleh konsesi- konsesi. Partai Sultan Ageng didukung oleh P. Purbaya, P. Suriadi Wangsa,
dan Syeh Yusuf beserta ribuan bangsa Makassar.
Sultan Haji disebut demikian setelah pulang dari naik haji 1674-76, kecenderungan politiknya lebih pro-VOC, meskipun dalam banyak hal
tetap bertentangan dengan VOC. Dalam perundingan dengan VOC tidak dapat dicapai persetujuan. Sultan Haji menolak tuntutan VOC untuk
menyerahkan kembali unsur-unsur yang mencari pengungsian di Banten dan pembayaran sebagai ganti rugi kepada VOC atas
kerusakan yang diderita.
Sejak 1680 kekuasaan sepenuhnya diserahkan kepada Sultan Haji. Meskipun demikian, dari Tirtayasa Sultan Ageng masih menjalankan
politiknya, khususnya melancarkan perlawanan terhadap VOC. Mengenai Cirebon, di depan utusan EIC, Perancis, dan Denmark,
dinyatakan bahwa setiap tindakan permusuhan terhadap Cirebon berarti permakluman perang terhadap Banten. Oleh karena masih
sibuk menghadapi penumpasan pemberontakan Trunojoyo, lagi pula adanya perang melawan EIC di Eropa, maka VOC tidak dapat berbuat
apa-apa.
Dengan penyerahan K. Galesong dan kemudian Trunojoyo sendiri, berubahlah arena percaturan politik. Dapat diduga bahwa VOC dapat
mencurahkan perhatian kepada front Barat untuk menghadapi Banten. Kelompok di bawah Sultan Ageng mulai cemas, sedang yang di bawah
Sultan Haji mulai memegang kekuasaan. Dilancarkan provokasi bahwa Sultan Ageng telah turun tahta. Sebagai bukti bahwa perhubungannya
baik dengan VOC, ialah perutusan-perutusan yang dikirim secara timbal- balik.
Ketegangan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji menjadi-jadi, antara lain disebabkan oleh insiden pembunuhan Kyai Aria Monjaya dan Pangeran Lor
oleh Sultan Haji, dan perompakan di daerah sekitar Batavia oleh pengikut Sultan Ageng, meskipun telah dilarang oleh Sultan Haji. Pengaruh Sultan
Ageng semakin luas, di daerah Lampung, Pontang, Tanara, Ciringin, Carita sampai batas Sungai Tangerang. Tempat-tempat itu diduduki oleh
pasukan Sultan Ageng dan kekuasaan Sultan Haji tidak diakui lagi. Di ibu kota pun rakyat mulai memihak Sultan Ageng. Pada 27 Februari 1682
pecahlah perang saudara, pasukan Sultan Ageng menyerbu Surosowan, di mana Sultan Haji bersemayam. Loji dipertahankan bersama dengan
pasukan VOC di bawah Caef sambil menunggu bantuan dari Batavia. Bantuan itu dijanjikan dengan kondisi bahwa Sultan Haji akan memberi
hak monopoli kepada VOC di Banten. Pada 7 April 1682 bala bantuan itu datang dan berhasil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan
Ageng. Sebagai tindakan balasan semua pedagang asing Eropa diusir dari
64 Banten dan VOC menggunakan kesempatan untuk memindahkan
pedagang Cina yang kaya ke Batavia. Sementara itu Sultan Ageng secara gigih meneruskan perjuangannya,
dibantu oleh kontingen Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar barisannya ada di Margasama, di mana P. Suriadiwangsa bersama 6
sampai 800 orang prajurit; Pangeran Yogya bersarna pasukan kurang lebih 400 orang ada di Kanari; Kyai Arya Jungpati dengan 120 orang di
Kartasana; di Serang ada pasukan sejumlah 400 orang; di Jambangan ada pasukan dari 4 sampai 500 orang; di Tirtakaya 500 orang; di
Bojonglopang seratus orang. Serangan pasukan VOC di bawah Jonker, St. Martin, dan Tack berhasil mendesak barisan Banten dan Margasana dapat
diduduki. Kacarabunan, Tangerang dikuasai juga oleh VOC. Sultan Ageng mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya.
Tanara dan Pontang juga diperkuat pertahanannya.
Di Kademangan ada barisan sebesar 1200 orang di bawah Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dapat bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember
1682 Kademangan akhirnya jatuh setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Pada kedua pihak banyak yang gugur 233
orang. Banyak dari pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, dan Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan tinggal Tirtayasa
yang menjadi bulan-bulanan VOC. Serbuan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember pasukan
Jonker, Tack, dan Michiels menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa, dan dibakarnya. Ledakan-ledakan mesin menghancurkan Tirtayasa.
Sultan Ageng berhasil menyelarnatkan diri ke pedalaman.
Pihak VOC berusaha berapa kali untuk mencari Sultan Ageng dan membujuknya untuk menghentikan perlawanannya dan turun ke
Banten. Sultan Haji mengutus 52 orang keluarganya menjemput ayahnya di Ketos dan pada malam menjelang 15 Maret iring-iringan Sultan
Ageng masuk Surosowan.
Penyerahan Sultan Ageng memantapkan kedudukan Sultan Haji, namun berdasarkan perjanjian dengan VOC, kerajaan Banten, seperti
halnya dengan Mataram, ada dalam hubungan ketergantungan pada VOC, keduanya tidak hanya kehilangan kebebasan perdagangan tetapi
juga ada di bawah pengawasan politik dari VOC. Sejak itu kemerosotan Banten berjalan terus.
Apabila tindakan-tindakan VOC dalam menjalankan penetrasi politik monopoli perdagangannya mendapat reaksi bahkan menimbulkan
perang dengan Banten, maka demikian pula halnya mereka menghadapi reaksi-reaksi serta perang dari Mataram ketika VOC
harus berhadapan dengan Sultan Agung yang tengah meluaskan pengaruhnya.
65 Penyerbuan tentara Mataram ke kantor dagang VOC terjadi pada
tanggal 18 Agustus 1618. Sebelum penyerbuan ini pimpinan dari kantor dagang yaitu Balthasar van Eynthoven dan Cornelis Maseuck dipanggil
oleh raja Hulubalang dan kemudian ditahan. Seperti telah disebut di atas alasannya adalah perampokan-perampokan yang dilakukan kapal-kapal
VOC terhadap jung-jung Japara. Di samping ini juga karena kelakuan dan tindakan Balthasar van Eynhoven yang tidak senonoh. Kedua
alasan yang baru disebut merupakan suatu alasan yang jelas, akan tetapi alasan yang sebenamya adalah janji-janji yang tidak ditepati
terhadap Mataram yang sudah berlangsung empat tahun. Di pihak lain VOC yang telah disampaikan oleh utusan VOC pertama van Surck. VOC
juga mencoba-coba membatalkan janji-janji yang telah diberikan van Surck kepada Mataram.
Dalam penyerbuan ini jatuh beberapa korban, tiga orang terbunuh, beberapa luka-luka dan sisanya dijadikan tawanan. Sultan Agung
mensinyalir bahaya dari kantor dagang di Japara setelah mendengar bahwa kantor dagang di Batavia diperkuat. Kemungkinan kantor
dagang di Jepara juga dapat membahayakan kerajaannya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya Mataram mau berdagang dengan orang asing asal
saja orang asing tidak mencoba merebut daerah kekuasaannya.
Dari pihak VOC Coen merasa bahwa VOC memerlukan beras akan tetapi kejadian di Japara sangat mengganggu pikirannya. Oleh sebab itu ia
mengirim utusan Jacob van der Maret ke Japara untuk menemui raja Hulubalang. Kepala Jacob van der Marct diperintahkan untuk
bertindak sebaik mungkin dalam usaha pembelian beras. Usaha pembelian beras ini berhasil. Tetapi setelah beras ini diterima ia
mengadakan suatu balasan terhadap penyerbuan ke kantor dagang VOC di Japara. Kantor dagang ini diserang oleh 160 orang VOC, rumah-rumah
di sekitar kantor dagang ini dibakar, kira-kira tiga puluh orang Jawa terbunuh dalam serangan ini; jung-jung yang berada di sekitar Japara
dan Demak dibakar. Dalam penyerbuan ini mereka berhasil merebut beras yang terdapat di atas jung-jung.
Pada tahun 1619 Coen yang belum puas dengan penyerangan ke Japara telah mengerahkan 400 orang-orang VOC. Keadaan pertahanan Japara
temyata lebih baik, sehingga tidak mudah bagi VOC untuk menyerbu kota itu. Motif dari penyerangan ini di samping untuk membalas
penyerangan orang-orang Mataram pada tahun 1618 terhadap kantor dagang VOC juga untuk merusakkan kantor dagang EIC dan untuk
membuat orang-orang Cina pindah ke Batavia. Dalam penyerbuan. ini, kantor dagang EIC di bakar dan beberapa puluh orang Jawa terbunuh.
Situasi antara VOC dan Mataram antara 1620 sampai 1628 dalam keadaan bermusuh-musuhan. Bagi raja-raja, Batavia merupakan suatu kota yang
merugikan kerajaannya. Hubungan antara Mataram dan Malaka dipersukar oleh Batavia. Bagi raja, hanya ada satu cara untuk melepaskan
diri dari Batavia yaitu dengan menghancurkan kota tersebut. Sudah
66 berkali-kali ia mengirim utusan kepada VOC untuk mengirim wakil
kepadanya tetapi hal ini tidak dilakukan VOC.
Atas dasar ini raja Mataram mengadakan persiapan untuk menyerbu Batavia. Pantai utara mulai tertutup bagi pedagang orang-orang asing.
Mereka yang datang ke Mataram ditahan bahkan kantor dagang EIC ditutup. Pada bulan April 1628 Kyai Rangga dikirim ke Batavia dengan
14 perahu yang memuat beras. Rangga ini datang untuk meminta kepada VOC untuk membantu Mataram menyerbu Banten. Akan tetapi VOC
menolak memberi bantuan atas dasar ditutupnya pelabuhan- pelabuhan di pantai utara.
Gambar 32 : Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara Abad ke-17
Pada tanggal 22 Agustus 1628, 50 kapal muncul di depan Batavia dengan perbekalan yang sangat banyak. Hal ini membuat VOC menjadi sangat
prihatin. Setelah 2 hari muncul lagi 7 buah perahu yang singgah untuk meminta izin perjalanan ke Malaka. VOC mencoba untuk tidak
mempertemukan kapal-kapal yang tiba dahulu dan yang belakangan karena khawatir kapal-kapal yang baru datang akan memberi senjata-
senjata pada perahu lainnya. Usaha ini gagal. Pada pagi hari 20 buah perahu menyerang pasar dan benteng yang belum siap. Orang-orang
Mataram yang datang dengan perahu-perahu itu naik ke darat. Mereka berhasil mencapai benteng. Penyerbuan ini berlangsung sampai pagi.
Banyak korban jatuh. 83 Tujuh perahu yang datang pada tanggal 24 Agustus, ketika melihat hasil penyerbuan ke benteng yang
mengakibatkan banyak korban, tidak mau mendekati Batavia tetapi mendekati Marunda dimana pada keesokan harinya suatu pasukan di
bawar pimpinan tumenggung Baureksa-mendarat. Dalam menghadapi kekuatan Mataram, VOC mengorbankan daerah sekitar
benteng. Kampung di sekitamya dibakar dan diratakan dengai tanah. Pada waktu tentara Mataram hendak mendekati benteng bagi VOC
67 tidak sulit untuk mengusir mereka karena tidak ada tempat
persembunyian. Terpaksa pasukan Matram menarik diri ke daerah yang agak jauh yang berpohon membuat benteng-benteng mereka dari bambu
anyaman. Meskipun demkian mereka berhasil maju juga karena mereka menggali parit-parit dan membuat benteng seperti yang
tersebut di atas. Taktik VOC untuk menghadapi pasukan yang telah maju sekali adalah dengan mengirim sejumlah tentara VOC ke parit-parit
ini yang dilindungi oleh 150 penembak sehingga orang-orang ini berhasil mengusir tentara Mataram dari parit-parit ini. Dan korban yang tercatat
pada peristiwa ini diperkirakan antara tiga puluh sampai em pat puluh orang.
Pada tanggal 21 September 1628 tentara Mataram menyerang benteng Hollandia
. Mereka mencoba menaiki benteng tersebut dengan tangga. Sambil menjalankan penyerangan ini, di bagian lain mereka
membunyikan alarm untuk mengurangi perhatian pada penyerbuan atas benteng Hollandia. Akan tetapi orang VOC dapat mencium bahwa
tujuan tentara Mataram hanya benteng Hollandia. Oleh sebab itu mereka merubah perhatian menjadi penyerangan. Dengan segala
kekuatan mereka menyerang parit-parit dan pusat kanan tentara Mataram, sehingga banyak menimbulkan korban. Karenanya kerugian
manusia terlalu banyak di pihak Mataram. Dari tawanan-tawanan yang ditahan VOC mereka dapat keterangan bahwa masih terdapat kira-kira
4.000 anggota tentara Mataram yang berkeliaran di hutan mencari makanan, terhadap mereka VOC mengutus Jacques Lefebres untuk
menyerang sisa-sisa laskar ini. Dengan jumlah yang tidak kecil yaitu 2.866 orang, Jacques Lefebres mengadakan penyerbuan. Ia memulai
dengan menyusuri sungai di tepi mana terdapat perkampungan tentara Mataram. Pada perkampungan kedua terdapat tumenggung Baureksa.
Penyerbuan terhadap perkampungan laskar Mataram dimana Baureksa berada menemui perlawanan yang hebat dan pertempuran
berlangsung satu lawan satu. VOC pada akhirnya berhasil memusnahkan isi perkampungan tersebut, tetapi mereka lupa merusak
benteng. Tumenggung Baureksa dan puteranya gugur dalam pertempuran itu dan banyak perahu Mataram yang berlabuh di sungai
Marunda dimusnahkan. Setelah penyerbuan ke perkampungan pasukan Mataram sepanjang sungai Marunda selesai, tentara VOC pulang. Api
mesiu belum habis terbakar, ketika bantuan baru datang. Dengan segera pasukan Mataram mempersiapkan diri lagi. Bilamana tak ada tembakan
yang berasal dari dua perahu VOC dan kota Batavia tidak mempunyai tembok yang tinggi, maka pastilah seluruh kota Batavia sudah jatuh ke
tangan laskar Mataram. Pimpinan dari bantuan yang baru adalah Tumenggung Sura Agul-Agul
dan bersaudara Kyai Dipati Mandurareja
dan Upasanta. Mereka menyangka bahwa pasukan yang
pertama datang telah berhasil menguasai kota Batavia. Ketika ia melihat bahwa kota masih dalam tangan VOC maka timbul suatu akal yaitu
seperti telah pemah dilakukan terhadap Surabaya, yaitu dengan membendung sungai. Akan tetapi perbuatan ini hanya cocok untuk
Surabaya, tapi tidak untuk Batavia.
68 Suatu usaha untuk menyerbu benteng Hollandia gagal dan oleh sebab itu
sebagai hukuman terhadap gagalnya usaha menundukkan musuh, Mandureja dan Upasanta, bersama-sama dengan anak buahnya
dibunuh ditusuk dengan keris atau tombak. Dengan kegagalan Mataram menduduki Batavia pada akhir tahun 1628, maka penyerbuan
Mataram yang pertama berakhir pula. Meskipun Mataram tidak berhasil merebut benteng Batavia dan menundukkan VOC, mereka tidak
begitu saja menyerah. Tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1629 tentara Mataram berangkat lagi menuju Batavia dengan perlengkapan senjata-
api. Keberangkatan mereka dari ibukota Mataram adalah pada bulan Juni. Pada akhir bulan Agustus penjaga-penjaga VOC yang
ditempatkan beberapa kilometer di sungai Ciliwung telah melihat barisan depan. Sebagian pasukan Mataram mencoba mengusir temak
VOC akan tetapi hal itu dapat dicegah oleh VOC.
Pada tanggal 31 Agustus hampir keseluruhan pasukan tiba di daerah sekitar Batavia. Mereka datang berkuda membawa bendera, panji-panji dan
mereka juga membawa gajah. Cara yang dipakai Mataram untuk membawa beras ke sekitar Batavia sebagai bekal bagi prajurit-prajurit adalah
pengiriman seorang utusan yang bernama Warga, untuk minta maaf kepada VOC mengenai hal yang telah terjadi. VOC menerima Warga
dengan baik. Sementara itu orang-orang Mataram mengumpulkan padi di Tegal. Padi itu akan ditumbuk di Tegal untuk diperdagangkan ke
Batavia. Siasat ini kemudian dibocorkan oleh seorang anak buah dari salah satu perahu Warga, sehingga ketika Warga tiba di Batavia untuk
kedua kalinya ia ditangkap dan ditanyai tentang kebenaran berita, bahwa Mataram hendak menyerang Batavia lagi. Hal ini dibenarkan oleh
Warga dan rahasia bahwa Tegal menjadi gudang persediaan beras bagi tentara Matarampun terbuka. Setelah mendapat keterangan ini VOC
mengirimkan armadanya ke Tegal, dimana perahu-perahu Mataram, rumah-rumah dan gudang-gudang beras bagi tentara Mataram
dibakar habis, setelah Tegal mendapat perusakan, VOC mengarahkan perhatiannya terhadap Cirebon. Kota ini juga mendapat gilirannya.
Persedia an padi padi sinipun habis dibakar oleh VOC. Akibat dari dimusnahkan gudang beras Mataram, usaha pengepungan Batavia
tidak berlangsung lama. Meskipun demikian mereka toh mendekati benteng Hollandia dengan mengadakan pendekatan melalui parit-parit.
Benteng Hollandia dapat mereka rusakkan. Setelah berhasil. mereka menuju benteng Bommel, akan tetapi di sini mereka gagal.
Pada hari-hari berikutnya Mataram maju ke benteng dan pada tanggal 21 September 1629 tembakan mulai terhadap benteng VOC. Mereka
membiarkan menembak benteng hingga persediaan mesiu habis. Sementara tembakan-tembakan dilancarkan terhadap benteng VOC, Jan
Peiter Coen mendadak meninggal diserang suatu penyakit.
Dari beberapa tawanan diketahui bahwa pasukan Mataram menderita kelaparan, dan hal ini memang menyebabkan kelemahan mereka.
69 Setelah berusaha untuk menyerang selama kuranglebih 10 hari pada
akhir bulan September mereka mulai menarik diri sambil banyak meninggalkan korban. Setelah gagal menduduki Batavia, perundingan
antara Mataram dan VOC dibuka kembali pada tahun 1630, akan tetapi utusan-utusan yang dikirim VOC tidak memenuhi syarat Mataram.
Desas-desus bahwa Mataram akan melancarkan suatu serangan lagi terhadap Batavia terdengar oleh VOC. Dengan cepat mereka mengirim
armada terdiri dari 8 buah kapal, awaknya berjumlah 693 orang. Mereka mendapat perintah untuk memusnahkan semua perahu-perahu
Mataram dan memusnahkan gudang-gudang perbekalan sepanjang pantai utara Jawa.
Pelayaran ke timur tidak begitu berhasil. Tetapi sementara itu hubungan dengan Mataram diusahakan. Mataram antara tahun 1630-
1634 sering mengadakan penyerbuan terhadap kapal-kapal VOC. Armada diperkuat dengan pembuatan perahu baru di Japara. Dengan
perahu-perahu ini mereka membuat perairan antara Banten dan Batavia tidak aman. Mereka sangat berhasil membuat VOC pusing
dengan serangan-serangan mereka di utara Batavia. Seperti telah disebut di atas perairan antara Batavia dan Banten menjadi tidak aman, hal ini
menganggu perdagangan orang-orang asing. Di samping serangan- serangan kecil-kecilan yang dilancarkan Mataram ter hadap kapal-kapal
VOC setelah perang 1629. Mataram terus-menerus mencari bantuan dari Malaka yang ada di bawah kekuasaan Portugis. Harapan akan
bantuann ini kemudian hilang, karena pada tahun 1641 VOC menguasai Malaka dan orang-orang Portugis kehilangan tempat
berpijak di kepulauan Nusantara.
Pemerintahan Mataram tahun 1641 mengadakan perpindahan penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Barat di daerah Sumedang yang ternyata sangat
mengkhawatirkan VOC. Sebenarnya perpindahan ini adalah sebagai persiapan terhadap penyerangan terhadap Banten yang tidak mau
tunduk kepada Mataram.
Hubungan antara VOC dan Mataram setelah tahun 1642, tidak begitu baik, karena tawanan-tawanan VOC tidak dilepaskan oleh Mataram.
Oleh sebab itu VOC selalu mencari jalan untuk mencoba memaksa Mataram untuk mengembalikan orang-orang VOC itu. Keadaan menjadi
tegang ketika EIC menawarkan membawa seorang utusan Mataram ke Mekah, yang sebenarnya suatu kemungkinan bagi VOC, untuk
melepaskan tawanannya bilamana sultan meminta kapal VOC untuk membawa utusan ini. Oleh sebab itu kapal EIC yang membawa
utusan ini dicegat, utusan Mataram dan hadiah untuk ke Mekah ditahan oleh VOC dan dibawa ke Batavia. Peristiwa lain adalah ketika
VOC merasa bahwa Jambi dan Palembang mengancam keamanan VOC, maka VOC mencegat suatu aramda Mataram yang terjadi dari 80 perahu
yang sedang menghantar kembali raja Palembang. Hubungan antara VOC
70 dan Mataram hingga meninggalnya Sultan Agung pada tahun 1645 tidak
mengalami perubahan. Setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645, Pangeran Adipati
Anom naik tahta pada tahun berikutnya dengan gelar Amangkurat. Kekhawatiran yang pertama bahwa sepeninggalnya akan timbul
keributan sekitar pergantian tahta, tidak terwujud, namun sejak awal pemerintahan yang kedua di Mataram penuh pertentangan yang
disebabkan oleh intrik keraton, faksionalisme dan provokasi-provokasi oleh penyimpangan mental raja sendiri.
Semasa masih berkedudukan sebagai putra mahkota terjadi permusuhan dengan Tumenggung Wiraguna karena persoalan wanita. Pada akhir
pemerintahan Sultan Agung, dia sebagai Tumenggung Mataram paling terkemuka di antara pejabat tinggi di kerajaan.
Sangat berpengaruh di kalangan kerabat keraton ialah seorang saudara Sultan Agung, Kyai Dipati Purbaya, yang turut memimpin serangan
terhadap Batavia 1629. Loyalitas kepada raja Mataram tidak dapat diragukan akan tetapi akhirnya terpaksa beroperasi karena tidak dapat
menyetujui kebijaksanaan raja. Pangeran Alit, saudara muda Amangkurat I, mempunyai kelompok yang memiliki penganut
banyak. Atas bujukan Tumenggung Pasisingan dan putranya, Tumenggung Anggayuda, Pangeran Alit melakukan pemberontakan,
tetapi revolusi istana itu dengan mudah dapat ditumpas 1647. Dalam hal itu loyalitas Pangeran Purbaya menonjol sekali. Ada petunjuk-
petunjuk bahwa kelompok itu dalam melakukan coup d’etat berusaha memperoleh dukungan para ulama atau elite religius. Gerakan kontra
dilakukan untuk menindasnya, akhirnya lima sampai enam ratus orang dari golongan itu terbunuh. Pangeran Surabaya alias Pangeran Pekik
tinggal di lingkungan keraton sebagai suatu realisasi politik domestikasi penjinakan. Di samping itu untuk mempererat
hubungan maka Amangkurat I dikawinkan dengan seorang putrinya. Maka dari itu putra mahkota dapat dianggap sebagai warga Wangsa
Surabaya, jika dirunut genealoginya dari pihak ibu. Loyalitas Pangeran Pekik terhadap Mataram tampak jelas dalam penyerangan Gresik. Atas
provokasi P. Giri, P. Pekik dituduh oleh Sunan akan melancarkan pemberontakan dan dijatuhi hukuman mati bersama keluarganya.
Dengan demikian Wangsa Surabaya dipunahkan kecuali putra mahkota sendiri. Tidak mengherankan bila kemudian karena merasa
dendam atas pembunuhan kerabatnya, putra mahkota menentang ayahnya sendiri.
Dalam pemerintahan Amangkurat I hubungan dengan daerah pesisir lebih lancar karena beberapa hal, ialah:
1 Mereka tidak hanya diberi otonomi lebih besar, tetapi juga mendapat wewenang lebih luas, yaitu mengurus hubung an
perdagangan dengan luar Jawa dan kekuasaan mengurus daerah pesisir di Jawa Timur, Sedayu, Surabaya, Panarukan, dan di Jawa
71 Barat, seperti Indramayu.
2 Ada persaingan ataupun rivalitas yang kuat antara Pangeran Pati dan Tumenggung Jepara, suatu kondisi yang menghalang-halangi
pembentukan blok menentang Mataram.
3 Peristiwa Wangsaraja 1659 yang terakhir dengan dijatuhkannya hukuman mati kepada penguasa Semarang disebabkan oleh
penyalahgunaan dana-dana yang wajib disetor kepada raja. Peristiwa itu menunjukkan bahwa para penguasa pesisir ada potensi
mengabaikan atau menentang perintah raja. Di kalangan wangsa Mataram ada kecenderungan kelompok keluarga tertentu untuk
mengadakan oposisi atau pemberontakan, antara lain P. Tepasana, seorang dari P. Pringgalaya dan cucu Panembahan Seda Krapyak.
Putranya, Anggayuda, kemudian juga akan menggabungkan diri pada pasukan Trunojoyo.
4 Meskipun beberapa kali terjadi hubungan perkawinan dengan Wangsa Mataram, akan tetapi Wangsa Kajoran bertindak sebagai
elite-kontra dari Mataram dan mengada kan oposisi. Seorang putri K.A. Kajoran, seorang menantu dari K.A. Pandanarang, kawin
dengan Senopati, sedang saudara laki-lakinya kawin dengan putri dari Kiai Ageng Pamanahan. Kemudian seorang putri Senopati R.A.
Wangsacipta kawin dengan R. Kajoran. Seorang cucu P. Rama Kajoran, Ratu Kilen, dari perkawinannya dengan Amangkurat 1
mempunyai seorang putra, P. Puger, yang kemudian bertahta sebagai Pakubuwana I.
5 Peristiwa Ratu Malang atau Ratu Wetan, putri seorang dalang, Ki Wayah, mengungkapkan penyimpangan mental Amangkurat I.
Setelah memperistri Ratu Wetan itu, semua istrinya disisihkan. Meninggalnya Ratu Wetan secara mendadak, menimbulkan
kecurigaan pada raja sehingga puluhan wanita dari keraton ditawan dan dibiarkan mati kelaparan. Tindakan ini dan lain-lain yang
menunjukkan sikap tidak mengenal perikemanusiaan dapat ditafsirkan sebagai akibat suatu phobia, kekhawatiran yang
menghantuinya bahwa dia diancam oleh musuh terus-menerus. Kepribadian yang tidak kuat seperti Sultan Agung tidak mampu
mempertahankan kewibawaan terhadap pelbagai klik dan partai, sehingga menimbulkan peluang untuk pelbagai tindakan pe-
nyimpangan. Hal itu mengakibatkan reaksi yang berlebih-lebihan sehingga tindakannya semakin keras dan opensif. Kekuasaan mutlak
padanya menimbulkan ekses, sebaliknya lingkungannya yang dekat, tidak dapat lagi menyetujui ataupun membenarkan tindakan
tersebut. Bagi lingkungan itu permasalahannya tidak lagi berkisar sekitar sifat religio-magis atau sakti dari raja, tetapi semata-mata
masalah perjuangan kekuasaan di antara pihak-pihak yang berdasarkan keturunan berhak memegang kekuasaan pemerintahan.
72 Kelemahan struktural dalam sistem politik kerajaan Mataram seperti
ini lama-kelamaan akan mengakibatkan krisis politik terus-menerus dan struktur kekuasaan masih tetap patrimonialistis yang akhirnya
berkembang ke arah otokrasi, despotisme, atau sultanisme.
6 Sulit untuk mengetahui berapa kuat perlawanan terhadap Amangkurat I sebelum akhir tahun 1660-an. Pada tahun 1660-an
muncul seorang yang posisi maupun kekuatannya atas pasukan cukup memadai untuk menjamin dirinya mempunyai harapan
untuk selamat dan berhasil. Orang itu adalah putra raja sendiri yang nantinya dikenal dengan nama Amangkurat II.
Putra mahkota adalah putra Amangkurat I dengan seorang putri Surabaya, putri Pangeran Pekik. Putra mahkota tersebut pernah
diberitakan mengalami percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh ayahnya. Begitu juga ia dikabarkan gagal melakukan usaha kudeta
terhadap ayahnya. Yang jelas itu memperlihatkan antara ayah dan anak tidak sejalan. Peristiwa itu terjadi tahun 1661 dan 1663. Pada tahun 1668-
1670 terjadi konfik antara putra mahkota dengan ayahnya mengenai seorang wanita. Perpecahan antara ayah dan anak menjadi semakin
memuncak.
Putra mahkota mempunyai hubungan dengan Raden Kajoran, seorang suci yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Raden Kajoran adalah
keturunan keluarga Sunan Bayat dan mempunyai ikatan perkawinan dengan keturunan raja Mataram. Yang lebih penting lagi adalah putrinya
menikah dengan seorang pangeran dari Madura yang bernama Trunojoyo yang tidak senang dengan Amangkurat I.
Raden Kajoran memperkenalkan Trunojoyo kepada putra mahkota sekitar tahun 1670. Perkenalan itu menghasilkan suatu persekongkolan
untuk menentang Amangkurat I. Trunojoyo akan melakukan pemberontakan. Bila Amangkurat I dapat dikalahkan maka putra
mahkota menjadi raja baru. Trunojoyo sendiri akan mendapatkan kekuasaan di Madura dan sebahagian Jawa Timur.
Pemberontakan dilakukan dengan dukungan dari orang-orang Makassar yang melarikan diri dari kampung halamannya setelah
Arung Palakka berhasil mengalahkan Gowa tahun 1669. Pada tahun 1675 terjadi pemberontakan. Orang-orang Makassar membakar dan menyerang
pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur. Trunojoyo bersama pasukannya dari Madura menyerang memasuki Jawa dan menguasai Surabaya.
Pasukan Trunojoyo dan orang-orang Makassar meperoleh kemenangan di daerah pesisir. Bahkan pada tahun 1677 Cirebon jatuh ke tangan
Trunojoyo, tetapi kapal perang dari Banten segera muncul disana untuk memaksakan berada dibawah pengaruh Banten.
Trunojoyo akhirnya berambisi untuk menjadi raja dan menyatakan dirinya sebagai keturunan Majapahit dan barhak atas tahta kerajaan
73 Mataram. Putra mahkota tidak dapat mengendalikan pemberontakan
yang dirancangnya bersama dengan Trunojoyo. Pada sisi yang lain Trunojoyopun tidak dapat mengendalikan pasukannya yang berasal dari
Makassar.
Pada akhirnya Amangkurat I tidak kuasa menghadapi pemberontakan. Ia meninggalkan istana. Ia meninggal dalam pelariannya dan
dimakamkan pada tanggal 13 Juli 1677. Putra mahkota mewarisi kerajaan. Ia dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa ia harus menghubungi VOC
supaya mau bertempur di pihaknya.
Amangkurat II melakukan perjanjian-perjanjian baru dengan VOC pada bulan Oktober 1677 dan Januari 1678. Pada bulan September 1678
VOC dan Amangkurat II.masuk ke pedalaman Jawa dan menghancurkan kubu pertahanan Trunojoyo di Kediri. Pada tahun 1679 Trunojoyo
tertangkap dan dihadapkan kepada raja. Pada bulan Januari 1680 Amangkurat II menikamnya sampai mati. Pada sisi yang lain pasukan
VOC berhasil pula mengalahkan orang-orang Makassar dengan bantuan Arung Palakka dengan prajurit-prajurit Bugisnya.Karena Amangkurat II
dan VOC semakin memperoleh banyak kemenangan, maka makin lama semakin banyak orang Jawa yang menyatakan kesetiaan mereka kepada
raja tersebut.
Meskipun kekuasaannya semakin diakui tetapi tetap saja dikalangan keturunan Mataram ada yang tidak mengakuinya. Salah seorang yang
punya pengaruh cukup besar dan menentang kekuasaan Amangkurat II adalah Pangeran Puger. Pada bulan Agustus 1681 Pangeran Puger berhasil
menduduki bekas istana di Plered dan menuju ke istana Kartasura tempat kedudukan Amangkurat II. Pasukan VOC dari Wates dapat menahannya
dan bahkan berhasil memukul mundur dan menaklukkan Pangeran Puger. Ia menyerah pada tanggal 28 Nopember 1681.
Keraton baru yang berkedudukan di Kartasura ditempati oleh lima raja selama periode enam puluh tahun, yang selama itu pula Mataram
mengalami berbagai kerusuhan yang nyaris tanpa henti. Tahun-tahun pemerintahan di Kartasura tersebut dapat dipilah atas beberapa periode
yaitu pemberontakan Surapati 1686-1703, perang perebutan tahta pertama 1703-1708, perang perebutan tahta kedua 1718-1723, pemberontakan Cina
1740-1745 dan perang perebutan tahta ketiga 1746-1757.
Semua perang dan pemberontakan selama periode Kartasura muncul dari keadaan yang sama. Pertama, intrik di dalam istana di antara keluarga
raja. Kedua, pemberontakan bersenjata yang timbul dari oposisi orang pesisir dan Jawa Timur terhadap otoritas Jawa Tengah. Ketegangan antara
unsur-unsur yang lebih dengan kurang sadar Islam dalam masyarakat Jawa. Terakhir, keterlibatan VOC.
Setelah terjadinya berbagai peristiwa selama periode Kartasura tersebut, Mataram pada akhirnya mengalami kemunduran. Bahkan lebih
74 dari itu mengalami perpecahan menjadi beberapa kerajaan lewat
perjanjian Gianti pada tanggal 12 Februari 1755 dan perjanjian Salatiga pada
tanggal 17
Maret 1757.
Mangkubumi yang
bergelar Hamengkubuwono mendapatkan daerah Yogyakarta, Mas Said yang
bergelar Mangkunegara menguasai sebahagian wilayah Surakarta yang dimiliki oleh Paku Buwono III. Dengan demikian wilayah Surakarta
dikuasai oleh dua orang sultan yaitu Mangkunegara dan Paku Buwono.
Secara permanen pembahagian wilayah Mataram atas tiga wilayah tersebut berlangsung setelah terjadinya sebuah krisis pada tahun 1790
dimana dicapai kesepakatan pada bulan Nopember 1790 antara Pakubuwono IV, Hamengkubuwono I, Mangkunegara I dan Gubernur
VOC Jan Greeve.
3 Sulawesi
Kalau pada satu pihak lokasi Makassar dengan pelabuhannya yang baik sangat menarik sebagai stasiun dalam pelayaran antara Maluku dan
Malaka, maka pada pihak lain kemunduran pelabuhan-pelabuhan Jawa mendorong perkembangannya yang pesat pada bagian kedua abad XVII.
Pendudukan Malaka oleh Portugis 1511 mengakibatkan pula suatu eksodus pedagang Melayu ke pelabuhan lain, antara lain ke Makassar.
Makassar juga menjadi pusat pemasaran hasil dari wilayah Indonesia Timur serta tempat mengambil bahan makanan.
Pada pertengahan abad XVII ekspor ke Malaka berupa rempah-rempah, bahan makanan, bahan wangi-wangian, penyu, dan sebagainya. Beras
menjadi bahan ekspor yang penting. Pala dan cengkeh didatangkan dari Banda oleh pedagang Jawa, Melayu, dan kemudian orang Banda sendiri,
akhirnya pedagang Makassar juga aktif dalam perdagangan rempah- rempah itu. Setelah VOC mulai menduduki pulau di daerah rempah-
rempah itu, perdagangan yang menurut VOC disebut “selundupan” itu sangat ramai di Makassar.
Dengan perkembangan pelabuhan itu datanglah mengalir barang- barang ke Makassar, seperti sutera dan pecah-belah Cina dengan kapal
Siam dan bahan pakaian dengan kapal Portugis. Diberitakan pula bahwa di Makassar ada perdagangan budak belian. Meskipun barang
dagangan dikenakan bea cukai 10 sehingga harga menjadi lebih mahal lagi di pasaran Malaka. Namun Portugis secara teratur mengirim kapalnya
ke Makassar, lebih-lebih setelah VOC mulai merajalela di Maluku. Pada dasawarsa kedua abad XVII pedagang Francis dan Denmark juga muncul
di Makassar.
Antara kedudukan kerajaan Kembar Goa dan Tallo selaku pusat kekuasaan politik dan peranan Makassar sebagai pusat perdagangan ada
saling ketergantungan; perdamaian dan keamanan yang ada di Sulawesi Selatan di bawah hegemoni Goa dan Tallo memungkinkan perkembangan
75 perdagangan di Makassar, dan sebaliknya perdagangan internasional yang
tertarik ke sana membawa banyak kekayaan. Kedudukannya sebagai pelabuhan transito atau entrepot sangat tergantung pada aliran rempah-
rempah dari Maluku, Seram, dan Ambon dan pada produksi beras serta bahan makanan lain yang dibutuhkan untuk bekal pelayaran, maka dari
itu politik ekspansi Goa-Tallo dan perkembangan sejarah kawasan Indonesia Timur sangat ditentukan oleh kedua faktor tersebut.
Perdagangan rempah-rempah sangat vital bagi Makassar, sehingga setiap usaha menguasai daerah penghasil bahan-bahan itu mengancam
kepentingannya. Demikian pula tidak dapat dielakkan adanya konfik dengan Ternate pada satu pihak dan VOC pada pihak lain. Pihak VOC
memandang bahwa kekuasaan Goa-Tallo mengancam kepentingannya yang sedang berusaha keras memonopoli perdagangan rempah-
rempah, maka suatu konfrontasi tidak dapat dielakkan. Oleh karena hubungan Malaka dan Makassar merupakan garis hidup perdagangan
Makassar, suatu pukulan terhadap Malaka akan sangat melemahkan kedudukan pelabuhan itu.
Faktor intern Sulawesi yang telah terintegrasikan di bawah hegemoni Goa-Tallo ternyata turut menentukan kesudahan konfrontasi Makassar
dengan VOC, tidak lain karena di kerajaan Bone ada unsur-unsur yang tak kunjung padam melakukan oposisi terhadap dominasi Goa-Tallo itu.
Rivalitas kuno antara Goa dan Bone akhirnya mengakibatkan kemerosotan Makassar dan dengan demikian jatuhnya kerajaan Goa-
Tallo.
Sejak ± 1600 perkembangan politik di Sulawesi Selatan dengan per’ang antar-kerajaan memperoleh dimensi berkonfrontasi yaitu ditambah
dengan faktor agama Islam maka konfik meningkat. Setelah Karaeng Matoaya mengikuti jejak Sultan Alaudin memeluk agama Islam, maka
Goa selaku perintis berusaha mengintroduksi agama Islam di kerajaan- kerajaan lain, kecuali Luwu yang telah masuk Islam terlebih dulu, bila perlu
dengan memeranginya. Perlawanan dari pihak Tellumpoco -Bone, Wajo dan Soppeng
- membangkitkan perang yang dalam bahasa Bugis disebut musu asellennge dan di Makassar bundu kasallannga, dalam
mana Goa dapat dikalahkan. Akan tetapi Goa pantang mundur dan menyerang terus, akhirnya Sidenreng takluk pada tahun 1609, Soppeng
menyusul pada tahun itu juga, Wajo tahun 1610 dan akhirnya Bone tahun 1611. Dalam hal itu ada petunjuk bahwa proses Islamisasi meningkat
disebabkan oleh semangat sufsme yang berpengaruh di Goa.
Dalam posisi kuat Goa berusaha memperlemah aliansi tiga kerajaan Tellumpoco - serta mengusahakan konsesi agar Goa diberi wewenang
menangani semua permasalahan Sulawesi Selatan dengan pihak luar. Dengan diplomasinya yang cakap Goa berhasil mendapat pengakuan
suzereinitasnya di Sulawesi Selatan tanpa membangkitkan banyak perlawanan dari Tellumpoco.
76 Situasi intern Sulawesi Selatan kemudian memberi kebebasan kepada Goa
untuk melakukan ekspedisi ke beberapa arah. Meskipun kebanyakan daerah di kepulauan Nusa Tenggara telah masuk suasana pengaruh Makassar,
namun Sultan Alaudin dalam menghadapi ekspansi VOC mengirim ekspedisi ke Buton, Solor, Sumbawa, Ende, Bima pada tahun 1626. Pada
tahun berikutnya 1627 Limboto yang dianggap sebagai daerah Ternate, ditaklukkan oleh ekspedisi dari Goa. Pada tahun 1628 diseranglah Sula
dan Kepulauan Banggai. Yang selalu menjadi perebutan antara Makassar dan Ternate ialah kerajaan Buton, maka sesudah ekspedisi ke tempat itu
pada tahun 1626, masih dikirim ekspedisi lagi pada tahun 1632 dan 1634. Ternate berusaha mencari bantuan VOC untuk menahan serangan
Makassar itu. Armada Makassar yang terdiri atas 400 perahu menjelajahi lautan wilayah Indonesia Timur, kecuali menjalankan
ekspedisi-ekspedisi
tersebut di
atas juga
melindungi para
“penyelundup” rempah-rempah dari Maluku, Seram, dan Ambon. Lagi pula mendukung perlawanan penduduk di daerah itu dalam
menghadapi gerak hongi VOC.
Kekuatan armadanya memungkinkan Makassar untuk kemudian memberi bantuan kepada Sultan Mindanao dan Sulu dalam perlawanan mereka
terhadap penetrasi
Spanyol. Sebagai
pembawaan hubungan
perdagangannya Goa memiliki hubungan diplomasi dengan Banjarmasin, Banten, Aceh, dan Mataram. Hubungan dengan kerajaan terakhir
diperkuat dengan adanya perkawinari raja Goa dengan seorang putri Sunan Mataram. Untuk menambah kewibawaannya diadakan
hubungan diplomasi pula dengan raja Rum Turki dan raja Mogul di India. Selanjutnya sistem perdagangan yang terbuka memberi kesempatan
kehadiran pedagang-pedagang Portugis, Francis, Denmark, dan VOC.
Prinsip sistem terbuka yang dianut Makassar dalam menjalankan politik perdagangannya pada umumnya dan diplomasinya terhadap
VOC khususnya tampak jelas dalam pokok-pokok persyaratan yang diajukannya kepada VOC untuk mengadakan perjanjian dengan VOC
pada tahun 1659. Ditegaskan, antara lain bahwa “Tuhan menciptakan bumi agar seluruh umat manusia dapat menikmatinya”, dan
ditambahkan pertanyaan “apakah Tuan berpendapat bahwa Tuhan telah menyediakannya khusus bagi bangsa Tuan yang tinggal sangat jauh dari
pulau-pulau itu?”
Itulah jawaban tegas terhadap usaha VOC melakukan monopoli perdagangan di kepulauan rempah-rempah. Politik dengan prinsip
sistem terbuka itu berdasarkan teori “laut bebas” mare liberum. Teori ini dianut raja-raja Goa dan sesuai benar dengan status politik Goa-Tallo
serta pelabuhan Makassar pada masa itu. Dengan kekuasaan politik yang ada
pada Goa
kebebasan berdagang
di wilayahnya
lebih menguntungkan daripada merugikan. Lagi pula pedagang-pedagang
asing mendapat jaminan bagi usaha mereka sehingga perdagangan internasional dapat menghidupi Makassar dengan segala keuntungan
77 daripadanya. Rupanya perkembangan perdagangan Indonesia sebelum
kedatangan bangsa Barat mempunyai pola berdasarkan sistem terbuka itu. Kalau semula hendak menguasai perdagangan itu, kemudian bangsa
Portugis melepaskan maksud itu dan mengikuti sistem yang berlaku. Politik VOC ternyata bersikeras untuk menjalankan politik monopoli,
sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang telah dikonsepsikan oleh Christiaan Huygens mengenai hukum internasional
dengan prinsip mare liberum-nya. Konfrontasi antara VOC dan Makassar berlangsung lama dan baru diselesaikan dengan Perjanjian Bonggaya tahun
1667.
Proses integrasi dengan hegemoni Goa di Sulawesi Selatan tidak mengurangi otonomi kerajaan masing-masing, jangankan menghapus
eksistensinya. Hal itu dimungkinkan oleh adat yang dijunjung tinggi oleh semua pihak serta membentuk konsensus di antara kerajaan-kerajaan
tersebut. Satu sumber konflik yang ada tidak lain ialah ambisi Goa memegang hegemoni di wilayah tersebut. Terutama Bone-lah yang
melakukan perlawanan terus-menerus. Serangan Goa terhadap Bone dengan bantuan Wajo dan Soppeng tahun 1643 adalah ledakan konfik
yang latent yang berasal dari rivalitas yang melernbaga itu. Pada akhir pertikaian itu Tobala Arung Tanete Riawang diangkat sebagai pemimpin
Bone Jennang, sedang Karaeng Sumanna dari Goa menjadi Raja Muda.
Pada tahun 1644 timbullah perlawanan lagi di Bone terhadap pengaruh Goa, yang dipimpin oleh Lamadaremneng. Segera Bone mengerahkan
bala tentaranya dan minta bantuan Datu Soppeng, Arung Matoa Wajo, dan Datu Luwu. Ekspedisi dipimpin oleh Genrana. Pemimpin-
pemimpin utama Bone dapat ditangkap dan dibawa ke Goa, antara lain La Tenriaji Toesenrina, Arung Kung, dan Daeng Pabila. Tobala bersikap
tak memihak sehingga tetap menduduki jabatannya. Bone diberi status “budak” dari Goa. Oleh Goa, Luwu, dan Wajo diadakan Perjanjian
Topaceddo, dalam bahasa Bugis disebut Singkeru Patole. Para tawanan perang kemudian dibagi antara ketiga kerajaan itu. Selanjutnya selama kira-
kira dua puluh tahun penguasa di Bone ditunjuk oleh Karaeng Goa, bukannya seorang warga wangsa Bone, tetapi seorang Kali. Banyak pula
rakyat Bone dikerahkan untuk kerja bakti di Wajo tanpa mendapat imbalan
Ekspansi Goa-Tallo berhasil meletakkan hegemoni di Sulawesi Selatan dan dengan demikian mengintegrasikan wilayah itu menjadi kesatuan politik,
namun hubungan konfik antara Goa dan Bone membawa ketegangan politik terus-menerus sehingga Pax Sulawesiana di bawah pemerintahan
Karaeng Matoaya dan Sultan Alaudin tidak dapat direalisasikan secara penuh. Di samping perkembangan ekonomi yang pesat, pemberontakan-
pemberontakan sebagai ledakan semangat menentang yang latent mengganggu kestabilan kerajaan Goa-Tallo.
78 Perdagangan internasional yang pesat perkembangannya dalam bagian
pertama abad XVII disertai oleh pembangunan secara besar-besaran. Angkatan kapal dagang dan kapal perang diperkuat. Dari angka-angka
jumlah kapal yang dikirim dengan ekspedisi dapat digambarkan kekuatannya itu. Pada tahun 1641 ada 36 kapal yang beroperasi di
Maluku, Seram, dan Ambon. Pada-akhir 1653 angkatan laut VOC menghadapi 19 jung Makassar. Angkatan laut Makassar tahun 1666 di
Butung ada 600 kapal, kemudian dikerahkan ± 450 kapal ke pulau itu dan disita oleh VOC ± 200 kapal. Di daratan digali banyak saluran-saluran
air besar, benteng-benteng dibangun dengan memakai batu merah, membentang sepanjang pantai, antara lain benteng Tallo, Ujung Tana,
Baro’-baso, Mariso, Sombaopu, Garasi, Pa Nakkukang, Barombong. Industri senjata api, seperti senapan dan meriam dikembangkan pula.
Untuk memenuhi kebutuhan mata uang dalam perdagangan dibuat mata uang logam. Sudah barang tentu di pelabuhan dibangun galangan
kapal untuk perbaikan. Kesibukan perdagangan entrepot itu juga merangsang pertumbuhan kerajinan barang-barang emas dan perak.
Pasaran bahan makanan untuk perbekalan kapal, seperti beras, daging, ikan, dengan sendirinya meningkat pula.
Pada masa kejayaan Makassar itu kehidupan utama dijalankan sesuai dengan ajaran agama, ada penghayatan kesenian dan kebudayaan dan latihan
dalam pelbagai kerajinan. Di samping itu ada pula latihan dalam keterampil-an menggunakan senjata dan berperang.
Para raja, yaitu Sultan Malikussaid dan Karaeng Pattingaloang memberi teladan dalam pelbagai bidang kehidupan. Karaeng
Pattingaloang sangat fasih berbicara dalam beberapa bahasa, antara lain Portugis, Spanyol, Latin, EIC, Perancis, dan Arab, sangat gemar membaca,
terutama buku-buku mengenai matematika. Karaeng Pattingaloang memiliki perpustakaan dengan koleksi peta-peta. Sangat besar
minatnya pada pengetahuan.
Waktu pertentangan mengenai monopoli perdagangan antara Goa dan VOC meruncing maka Sultan Hasanudin mengambil dua langkah: 1
membuat ketat pengawasan terhadap Bone dan 2 mengerahkan tenaga kerja untuk memperkuat pertahanan Makassar. Rupanya persiapan perang
dilakukan mengingat gelagatnya konfrontasi tidak akan dapat dihindari lagi. Sejak Bone untuk kesekian kalinya ditaklukkan oleh Goa pada
tahun 1644 Tobala diangkat sebagai kepala, sedang banyak bangsawan dipindahkan ke Goa, antara lain La Tenriaji, Tosenrima, Arung Kung,
Daeng Pabila,
dan seorang pemuda, Arung Palaka.
Mobilisasi tenaga dilakukan dengan mendeportasi orang Bugis: 3200 orang dari Turatea, 700 dari Bone, 150 orang dari Wajo, 200 dari Luwu.
Para pemuka Goa ditugaskan memimpin suatu kelompok yang terdiri atas beberapa ratus orang. Kemudian masih ada sepuluh ribu orang
Bugis yang dikerahkan oleh Karaeng Karunrung yang menggantikan
79 Karaeng Sumanna sebagai penguasa di Bone. Orang-orang Bugis itu
menolak untuk melakukan pekerjaan dan melarikan did ke Bone di bawah pimpinan pemuka-pemuka tersebut di atas. Di antara yang tinggal,
ada persekongkolan untuk memberontak di bawah pimpinan Arung Palaka dan Tobala. Kemudian Tobala mengundang Datu Soppeng
untuk merundingkan pembentukan aliansi antara Bone dan Soppeng. Untuk pembentukan ini masih ada ikatan dengan Goa yang memberatkan,
ialah Perjanjian Lamongo. Hanya karena dorongan kuat dari bangsawan terkemuka, Arung Bila dan Arung Palaka-lah serta ikatan menurut
Perjanjian Timurang tahun 1582 akhirnya aliansi antara Bone dan Soppeng terbentuk 1660. Di Soppeng masalah aliansi dengan Bone
menimbulkan dua kelompok yang berbeda sikap. Para pemimpin tersebut di atas bersikap pro berdasarkan ikatan lama yang terkenal
dengan Tellumpoco 1582, sedang banyak bangsawan Soppeng yang anti oleh karena ingin menghormati Perjanjian Lomongo dengan Goa. Oleh
karena letak Soppeng terapit oleh kedua kerajaan yang bertentangan terus-menerus, maka dicari jalan diplomasi-diplomasi, pertama ke
dalam untuk tidak menimbulkan perpecahan dan kedua membuat keseimbarigan dalam hubungannya dengan kedua kekuasaan itu.
Kompromi tercapai antara kedua kelompok dengan keputusan bahwa Soppeng mendukung baik Bone maupun Goa; suatu tindakan yang
didasarkan atas konsensus bahwa mereka hendak menghormati nenek moyang yang telah membuat perjanjian tersebut.
Waktu Wajo didekati oleh Datu Soppeng agar menggabungkan diri pada Bone, ternyata tidak ada minat menghidupkan kembali aliansi
Tellumpoco, antara lain karena hubungan dengan Goa terbukti lebih menguntungkan Wajo, lagi pula La Tenrilai kawin dengan putri Sultan
Hasanudin. Sementara itu Goa telah melakukan persiapan untuk menyerbu Bone. Di dalam dua pertempuran, yang pertama di dataran
Suling dan yang kedua di Matango, pasukan Bone mengalami kekalahan besar. Dalam pertempuran ketiga pasukan Bugis sementara dapat
menahan tentara Goa. Setelah.ada tambahan pasukan baru dari Wajo dan pasukan Melayu dari Makassar, pasukan Bone di bawah Datu Soppeng
mengundurkan diri untuk bertahan di kampung halamannya, sedang sebagian lain dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri; di
antaranya pasukan di bawah pimpinan Arung Palaka. Mereka mengundurkan diri ke Lisu dekat Tanete. Dengan kekuatan yang masih
ada Arung Palaka berusaha mengadakan perlawanan di beberapa front serta memimpin perlawanan di Lisu. Sementara itu di Bulu Cina
pasukan Goa dapat ditahan setelah teljadi pertempuran sengit selama tiga hari. Meskipun ada bala bantuan datang dari Lisu, pasukan Arung
Palaka mengalami kekalahan. Arung Palaka dengan pengikutnya melarikan diri dan berkat bantuan pamajinya, Babae, yang rela
mengorbankan jiwa-nya, dia dapat menyelamatkan diri.
Arung Palaka beserta pengikutnya, di antaranya Arung Appanang, Arung Bila, saudara sepupunya, Datu Citta, iparnya, bertekad untuk
meninggalkan Sulawesi dan mencari bantuan kepada pihak yang dapat
80 memperbaiki nasib Bone dan Tallo serta memerangi Karaeng Goa.
Sebelum berlayar, Arung Palaka mengadakan upacara dengan persembahan saji-sajian antara lain sokko, serta proklamasi liberasi Bone dan
Soppeng, ialah dia tidak akan kembali sebelum negerinya dibebaskan dari perbudakan. Hal ini terjadi pada akhir tahun 1660 atau awal tahun
1661.
Setelah Bone untuk kesekian kalinya dapat ditundukkan lagi dan Sulawesi Selatan di bawah hegemoni Goa dapat dipasifikasikan, perhatian Goa
diarahkan kepada lawan utamanya, ialah VOC. Ada beberapa faktor politik yang kurang menguntungkan Goa, yaitu: 1 faksionalisme di
kalangan bangsawan Goa-Tallo; 2 persaingan Ternate untuk menguasai Sulawesi Utara, Butung, dan beberapa kepulauan lain; 3 kontingen
pengungsi Bugis di Batavia. Dalam menghadapi tekanan-tekanan politik dari luar, di dalam kalangan para bangsawan sendiri timbul
kelompok-kelompok yang bertentangan. Karaeng Sumanna didukung oleh empat anggota dari Bate Salapang, ialah Galarang Mamangsa,
Tombong, Gontamannang, dan Sanmata, sangat berpengaruh di istana. Dalam pertentangan yang timbul antara Karaeng Tallo dan Karaeng
Karunrung, kelompok tersebut di atas mendukung Karaeng Tallo. Salah satu sebab ialah bahwa Karaeng Sumanna sangat membenci Karaeng
Karunrung. Meskipun Sultan Hasanudin lebih menyukai yang terakhir, tetapi
toh memutuskan
untuk membuangnya.
Sementara faksionalisme reda. Namun kemudian akan berkobar lagi waktu Karaeng
Karunrung kembali ke Goa. Oleh karena loyalitas kerajaan-kerajaan vasal pasang-surut sejajar
dengan meningkat dan merosotnya kekuasaan pusat sebagai pemegang suzereinitas, maka untuk memperkuat kedudukannya, Goa mengirim
ekspedisi secara besar-besaran guna memulihkan kewibawaannya di mata vasal-vasalnya. Ekspedisi itu juga akan memantapkan kekuasaan di
daerah-daerah yang menjadi sengketa dengan Ternate.
Pada bulan Oktober 1665 dikirim ekspedisi ke Butung yang telah memberi perlindungan sementara kepada Arung Palaka. Ekspedisi itu ada
dalam perjalanan ke kepulauan Sula, Banggai, dan Tambuku dengan tujuan memaksa para rajanya mengakui suzereinitas Goa, sekaligus
tuntutan Ternate dapat dielakkan. Benteng Ternate di Sula dihancurkan dan perkampungannya dirusak. Daerah-daerah lain yang dituntut oleh
Ternate ialah Muna, Banggai, Lampute, dan Gorontalo. Kecuali daerah- daerah tersebut Ambar dan Butung juga menjadi sasaran serangan ekspedisi
berikutnya. Pada tahun itu juga di bawah pimpinan Kashili Kalimata ekspedisi kedua yang terdiri atas 300 kapal menghancurkan Sula, Banggai,
dan Tambuku. Untuk menghadapi agresi Goa itu, Sultan Mandarshah dari Ternate
membentuk aliansi dengan Sultan Butung dan VOC yang bertujuan membantu perjuangan bangsa Bugis. Sebaliknya golongan dan sebagian
dari rakyat yang lebih memihak Goa, antara lain seorang saudara Sultan
81 Ternate, Kashili Kalimata yang dalam perebutan kekuasaan hendak
menggulingkan Sultan Mandarshah. Dari luar, Goa hanya memperoleh bantuan yang wajar dari Banten. Diberitakan bahwa seorang bangsawan,
Karaeng Konnon sic. menyelenggarakan hubungan dengan Banten dan kemudian dengan Pasir Kalimantan. Dapat diduga bahwa Tidore
memihak Makassar, karena senantiasa dalam keadaan bermusuhan dengan Ternate. Dari VOC dan Ternate diberitakan ada tuduhan-tuduhan bahwa
Tidore bersekongkol dengan Makassar. Sehubungan dengan ekspedisi ke Ambon dan Maluku Juli 1666 Sultan Syarifudin dari Tidore telah
dihubungi oleh Sultan Hasanudin. untuk bersekutu melawan Ternate dan VOC. Persengketaan antara Goa dan Ternate sebenarnya disebabkan
oleh pelanggaran perjanjian 19 Agustus 1660 yang menentukan bahwa Butung dan Menado termasuk daerah kekuasaan Ternate.
Faktor ketiga yang turut menentukan jalan serta kesudahan konfrontasi antara Makassar dan VOC ialah bangsa Bugis yang ada dalam
pengasingan, khususnya yang ada di Batavia. Kontingen Bugis di bawah pimpinan Arung Palaka diberi pemukiman tersendiri di dekat
Sungai Angke, maka mereka disebut Toangke. Mereka mendapat latihan dalam berbagai keterampilan berperang dengan disiplin keras agar
selaku pasukan siap tempur. Politik VOC tidak segan menggunakan pasukan Toangke itu untuk turut serta dalam ekspedisi ke Sumatra Barat
di mana ada perlawanan kuat terhadap VOC pada tahun 1666 itu. Arung Palaka memperoleh kemenangan di Ulakan sehingga mendapat julukan
“Raja Ulakan”, sedang Kapten Jonker, kepala pasukan prajurit Ambon dijadikan Kepala Pariaman. Pada akhir tahun itu juga mereka tergabung
dalam ekspedisi VOC di Makassar.
Seperti telah diutarakan di atas hubungan Makassar dengan VOC mau tak mau berkembang menjadi rivalitas, karena tujuan VOC untuk
memegang monopoli perdagangan langsung bertentangan dengan prinsip sistem terbuka, suatu hal yang menjadi kepentingan Makassar selama
berkedudukan sebagai pusat perdagangan dengan hegemoni politik sebagai dukungannya. Konflik semakin memuncak sejak tahun 1660
dengan adanya insiden-insiden dan faktor-faktor lain:
1 Pendudukan benteng Pa Nakkukang oleh VOC dirasakan sebagai ancaman terus-menerus terhadap Makassar.
2 Peristiwa De Walvis pada tahun 1662, waktu meriam-meriamnya dan barang-barang muatannya disita oleh pasukan Karaeng Tallo,
sedang tuntutan VOC untuk mengembalikannya ditolak. 3 Peristiwa kapal Leeuwin 1664 yang kandas di Pulau Don Duango di
mana anak kapal dibunuh dan sejumlah uang disita. Untuk menghadapi kemungkinan pecahnya perang dengan VOC, Sultan
Hasanudin pada akhir Oktober 1660 mengumpulkan semua bangsawan yang diminta bersumpah setia kepadanya. Di samping itu para
vasal, Bima, Sumbawa, dan Butung, diperintahkan mengirim tenaga
82 untuk pasukannya. Meskipun Sultan Hasanudin dan kelompok besar
bangsawan lebih suka berpolitik damai, ada kelompok yang cendrung untuk berperan, di bawah pimpinan Karaeng Popo. Pertahanan dibagi
atas-beberapa sektor:
1 Pasukan sebesar 3000 orang di bawah pimpinan Daeng Tololo, saudara laki-laki Sultan sendiri, mempertahankan benteng.
2 Sultan Hasanudin dan Karaeng Tallo menjaga istana Sombaopu. 3 Pertahanan daerah Portugis diserahkan kepada Karaeng Lengkese.
4 Karaeng Karunrung sebagai komandan benteng Ujung Pandang.
Wanita dan anak-anak diungsikan ke pedalaman sedang orang laki-laki dikerahkan untuk mengangkat senjata dan mempertahankan kerajaan.
Dikabarkan bahwa pasukan Makassar yang ditempatkan di tepi Sungai Kalak Ongkong ada sekitar 1500 orang, sedang di Bantaeng ada 5
sampai 6000 orang.
Kalau pada satu pihak kekuatan VOC sangat ditentukan oleh aliansinya dengan Toangke, pada pihak lain Goa-Tallo tergantung juga pada aliansi-
aliansinya dengan kerajaan-kerajaan tetangga di Sulawesi Selatan, ditambah vasal-vasalnya di seberang laut. Akhirnya bangsa Melayu
menjadi kekuatan yang dapat diandalkan oleh Makassar, antara lain karena jalannya peperangan akan menentukan mati-hidup mereka.
Pada pertengahan tahun 1667 ada usaha pendekatan antara Soppeng dan Bone. Dengan melupakan pelanggaran per-janjian pada tahun 1660 oleh
Bone, para bangsawan bersumpah akan menjunjung tinggi Perjanjian Attapang serta menerima pimpinan Arung Palaka. Aliansi baru ini akan
turut menentukan kesudahan perang. VOC mendapat banyak dukungan dari persekutuan Soppeng-Bone dan Toangke itu. Dengan demikian
kekuatan pasukan bisa mencapai jumlah 10-18.000 orang lebih.136 Pihak VOC mengirimkan 21 kapal termasuk kapal admiral “Tertholen” dan
pasukan berjumlah 1870 orang, terdiri antara lain atas 818 orang pelaut, 578 orang prajurit VOC, dan 395 orang prajurit pribumi.
Mengenai persenjataan apa yang ditemukan oleh pasukan Bugis dan VOC sewaktu menyerbu Sombaopu sekadar memberi petunjuk tentang hal itu:
33 pucuk meriam seberat 46 ribu libra, 11 pucuk seberat 24 ribu libra, 115 senapan, 83 senapan, 60 musket, 8483 peluru. Adapun soal bahan makanan,
persediaan beras rupanya tidak menjadi soal oleh karena ada adat yang kuat untuk menghormat tanaman padi sehingga tidak terjadi
pembinasaan tanaman itu. Suatu persediaan beras 6 ribu ton dapat dibakar VOC.
Moral di kalangan pasukan Makassar pada sebagian ternyata tidak tinggi, yaitu yang berasal dari daerah kerajaan vasal. Mobilisasi dengan
setengah paksaan menyebabkan moral rendah dan segera membalik setelah mengalami kekalahan. Tampilnya Arung Palaka di Butung
menyebab kan banyak orang Bugis yang “menyeberang”. Pada akhir
83 tahun 1667 waktu kekuatan aliansi VOC-Bugis menanjak sedang Goa
merosot banyak anggota pasukan dari wilayah sekitarnya mulai memihak yang pertama. Adapun moral di pihak pasukan Bugis pada
umumnya dan pasukan Toangke khususnya tampak sangat kuat, terutama karena kena pengaruh kharisma Arung Palaka yang menunjukkan
keberanian legendaris itu. Lagi pula seluruh perjuangannya dijiwai oleh semangat siri itu. Peranan Arung Palaka oleh VOC diakui sebagai faktor
yang menentukan kekuatan dan kemenangan akhir ekspedisi.
Sehubungan dengan moral tinggi dalam menjalankan siri itu maka rivalitas antara Bone dan Goa sangat menentukan loyalitas orang-orang
Bugis. Loyalitas pasukan dari unsur-unsur luar Goa-Tallo sangat dipengaruhi oleh aliansi berdasarkan perjanjian-perjanjian lama. Rupanya
dalam pelaksanaannya prinsip keseimbangan dan persaudaraan sangat dipentingkan sehingga timbul persekutuan-persekutuan yang cukup
menunjukkan feksibilitas. Hubungan antara tuan dan budak seperti yang didesakkan oleh Goa kepada Bone dirasakan sangat merendahkan
atau menghina sehingga mengundang terjadinya monsterverbond antara VOC dan Toangke, yaitu suatu persekutuan antara unsur-unsur
yang menakutkan dan mengandung ketidakserasian.
Jalannya perang dipengaruhi juga oleh faktor iklim, suatu faktor yang sejak awal diperhitungkan oleh pihak VOC. Sehubungan dengan itu
serangan terhadap Makassar ditunda menunggu sampai musim hujan reda. Dikuatirkan bahwa dalam musim itu pelabuhan Makassar kurang
aman bagi kapal-kapal. Antara tahun 1666-1669 selama tiga musim hujan, ternyata tidak banyak dilakukan operasi perang.
Di tengah-tengah masa perang, yaitu dari April sampai Juli 1668 berjangkitlah epidemi sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan
operasi. Tidak boleh dilupakan bahwa dari tahun 1665-1667 VOC menghadapi EIC dalam Perang EIC kedua, maka tidak banyak tersedia
kapal dan bahan perang dikirim ke Batavia.
Konfik bersenjata yang berkobar antara munculnya angkatan perang VOC di pelabuhan Makassar dan jatuhnya Somboapu di tangannya
merupakan konfik besar kedua yang dialami VOC dalam menjalankan penetrasi di Nusantara. Berbeda dengan konfrontasi dengan Mataram
1627-1629 kali ini peranannya lebih ofensif. Kalau netralitas Banten dapat turut menyelamatkan Batavia dari agresi Sultan Agung, dari
Perang Makassar ini diperoleh bantuan yang memungkinkan kemenangan aliansi dengan Arung Palaka beserta Toangkenya. Berkali-kali
VOC akan dapat memanfaatkan adanya faksionalisrne serta konfik atau perpecahan di antara unsur-unsur pribumi, yaitu dengan mernbentuk
aliansi dengan salah satu pihak. Konfik intern yang terdapat laten dalam masyarakat pribumi memberi keleluasaan bagi kekuasaan
kolonial menjalankan politik devide et impera. Dengan loyalitas terbatas dalam sistem politik tradisional, lagi pula batas-batas kultur dan sub-
84 kulturnya, komunikasi dan mobilisasi yang lambat dan terbatas,
kesemuanya merupakan faktor hambatan untuk pembentukan front bersama. Dalam konteks sosial, ekonomis, politik, dan kultural masa itu,
adalah anakronisme bila berbicara tentang dimensi nasional, dalam arti yang dipergunakan sejak abad XIX. Dalam sistem politik zaman tersebut
serta struktur kekuasaannya, VOC tidak hanya berhasil merebut monopoli perdagangan tetapi juga menempatkan kekuasaan politiknya sebagai
pemegang suzereinitas di kawasan Nusantara. Struktur kelembagaan politik dipertahankan tetapi pengawasan dan pembatasan hubungan ada di
tangan VOC. Tujuan pokok hegemoni tetap ekonomis, yaitu memegang monopoli perdagangan. Semua perjanjian yang dipaksakan kepada
kerajaan-kerajaan mencerminkan tujuan tersebut.
Peperangan yang terjadi antara VOC-Bugis dengan Makssar pada akhirnya menimbulkan kekalahan bagi Makassar setelah suatu
pertempuran besar terjadi pada tanggal 26 Oktober 1667. Akibat kekalahan itu Karaeng Lengkese dan Karaeng Bontosungu dengan
kekuasaan dari Sultan Hasanudin datang untuk berunding. Perundingan dimulai tanggal 13 November 1667 di desa Bongaya
dekat Basombong. Di dalam perundingan itu yang sangat menentukan ialah ide pemulihan siri yang menjiwai seluruh perjuangan lawan-lawan
dari Makassar. Di samping itu ikatan pesse yang perlu ditegakkan lagi di Sulawesi Selatan, sehingga timbul keseimbangan dan hidup
berdampingan secara serasi dalam suasana persaudaraan.
Adapun isi dari perjanjian Bongaya tersebut antara lain VOC menuntut agar perjanjian-perjanjian sebelumnya dihormati serta dilaksanakan,
semua kerusakan dan kerugian karena perang harus diganti, Makassar harus melepaskan suzereinitas atas kerajaan-kerajaan lain seperti Bone,
benteng-benteng pertahanan harus dikosongkan, daerah-daerah yang diduduki sejak perang harus ditinggalkan, penyerahan “pelaku perang”,
antara lain Sultan Bima, pengawasan Bima dialihkan kepada VOC, pembatasan kegiatan pelayaran orang Makassa, penutupan Makassar
bagi perdagangan bangsa Eropa, peredaran mata uang VOC di Makassar, pembebasan bea cukai bagi VOC. Butir-butir tersebut mencerminkan tujuan
utama VOC untuk memegang monopoli di Makassar serta memperkuat kedudukan politik dan militernya baik di Makassar maupun di Indonesia
Timur.
4 Sumatera
Aceh setelah pemerintahan sultan Ali Ri’ayat Syah, dipimpin oleh Iskandar Muda. Ia memerintah pada tahun 1607-1636. Ia melanjutkan politik
ekspansi yang dilakukan raja-raja sebelumnya. Ia berhasil meluaskan kekuasaannya ke daerah Deli 1612, Johor 1613, Bintan 1614, Pahang 1618,
Kedah 1619, Perak dan Nias 1625.
85 Salah satu daerah yang penting bagi perdagangan Aceh adalah wilayah
Sumatera Barat. Daerah itu menghasilkan lada dan emas yang dicari oleh pedagang-pedagang Gujarat, Cina, VOC dan EIC. Oleh karena itu Iskandar
Muda mengirim para panglima ke daerah tersebut. Pelabuhan-pelabuhan penting untuk ekspor; Tiku, Pariaman, Salido, Indrapura dijaga
keamanannya. Para panglima tersebut memperoleh upeti dari daerah setempat sehingga mereka sangat setia kepada sultan.
Dalam melakukan perdagangan dengan pihak asing Iskandar Muda hanya akan memberikan izin kepada salah satu pihak yaitu EIC atau
VOC yang didasarkan kepada siapa yang paling besar memberikan keuntungan bagi Aceh. Selama 20 tahun ia berhasil melakukan
perdagangan dengan orang-orang Eropa.
Di puncak kekuasaan Aceh, hegemoni politiknya mencakup wilayah Pedir, Pasai, Deli, Aru, Daya, labo, Singkel, Batak, Pasaman, Tiku,
Pariaman dan Padang. Sementara vasalnya di semenanjung Malaka adalah Johor, Kedah, Pahang dan Perlak. Dengan hegemoni politiknya
itu
Aceh melakukan
monopoli perdagangan
yang sangat
menguntungkan Aceh. Kemunduran dalam perdagangan terjadi ketika Aceh mengalami
kekalahan dalam perang melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629. Karena kekalahan tersebut ia mengadakan perjanjian dengan VOC.
Pedagang Belanda memperoleh izin berdagang di seluruh wilayah kekuasaan Aceh secara bebas tanpa dikenakan bea cukai. Apa yang
didapatkan oleh VOC itu dalam kenyataannya mengalami hambatan ketika mereka berdagang di Sumatera Barat. Sebab para panglima yang
ada di daerah itu mengadakan perdagangan dengan orang-orang asing selain VOC. Pedagang Belanda menuntut kepada sultan atas sikap
bawahan mereka di Sumatera Barat itu. Sultan Iskandar Muda tidak memberikan jawaban yang tegas. Ia malah mengadakan persahabatan
dengan Portugis. Sesungguhnya persahabatan yang dilakukan Aceh itu juga disebabkan sikap Belanda yang membantu Johor dalam
menentang Aceh.
Setelah Iskandar Muda wafat ia digantikan oleh menantunya Iskandar Thani. Aceh mulai memasuki masa kemunduran. Hal iti disebabkan
Iskandar Thani yang memerintah tahun 1636-1641 mempunyai sikap yang lunak terhadap bangsa Barat baik terhadap Portugis maupun
terhadap Inggris dan Belanda.
Ketika pedagang Inggris datang ke Aceh tahun 1636 mereka diterima Iskandar Muda dengan baik. Hubungan baik itu tidak berlangsung lama
pada masa Iskandar Thani karena Inggris berhubungan baik dengan Portugis yang merupakan musuh Aceh. Iskandar Thani lalu mengadakan
hubungan dengan Belanda untuk meminta bantuan VOC dalam memerangi Portugis. Sebagai imbalannya VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan lada di Sumatera Barat dan bebas dari bea cukai.
86 Meskipun Iskandar Thani telah memberikan cukup banyak keuntungan
bagi VOC, pedagang-pedagang Belanda itu masih tetap saja menyangsikan persahabatan yang telah terjalin. Kesangsian itu terbukti
ketika pada tahun 1640 Aceh menolak memerangi Portugis. Padahal Aceh tidak memberikan bantuan kepada VOC karena VOC tidak mau
menghentikan hubungannya dengan Johor. Atas dasar kondisi di atas VOC pada akhirnya menyerang Malaka dan menaklukkan Portugis
pada tanggal 14 Januari 1641. Dikuasainya Malaka oleh Belanda sangat merugikan bagi supremasi politik dan ekonomi yang dilakukan Aceh
selama ini.
Sultan Iskandar Thani yang sedang berkuasa meninggal pada tahun itu dan digantikan oleh istrinya Tajul Alam Safyyatuddin Syah. Selama
pemerintahan Tajul Alam Aceh makin memasuki masa-masa suram. Daerah-daerah pengaruh Aceh di luar Sumatera mulai melepaskan diri,
sementara yang di dalam negeri meningkatkan kekuasaan masing- masing.
Meredupnya kekuasaan Aceh itu berlangsung terus sampai Aceh dikuasai Belanda akhir abad ke-19. Raja-raja pengganti setelah berakhirnya
kekuasaan Tajul Alam tanggal 23 Oktober 1675 merupakan raja-raja yang lemah. Yang mengendalikan kekuasaan sesungguhnya menurut
Sartono adalah para orang kaya. Sesungguhnya problem kekuasaan di Aceh itu telah berlangsung sepeninggalnya Iskandar Thani karena tidak
adanya putra mahkota yang menggantikan kedudukan raja. Problem itu mencapai puncaknya pada tahun 1688 ketika terjadi pertentangan
antara kelompok yang pro raja putri dengan yang anti raja putri.
3. Kehidupan ekonomi dan politik masa kolonial