44 Nusantara seperti Samudera Pasai, Malaka, Aceh, Demak, Pajang, Mataram,
Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, dan Tidore.
b. Kerajaan-kerajaan Bercorak Islam
Menjelang kedatangan bangsa Barat ke Nusantara sedikitnya terdapat tiga pusat kekuatan Islam yang berbeda-beda kondisi politik, ekonomi,
sosial dan budayanya. Ketiga pusat kekuatan Islam itu adalah Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Jawa. Pada ketiga pusat kekuasaan Islam
tersebut terdapat kerajaan-kerajaan Islam yang proses Islamisasinya berbeda-beda. Untuk wilayah Sumatera terdapat kerajaan Samudera
Pasai dan Aceh, di Semenanjung Melayu ada kerajaan Malaka dan di Jawa bermunculan kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten.
1 Samudera Pasai
Bagaimana berdirinya Samudera Pasai tidak didapatkan fakta sejarah yang cukup kuat. Di sana ada batu nisan sultan yang bergelar Malik al
Shaleh yang berangka tahun 1297 M. Malik al Shaleh adalah gelar yang diberikan kepada Merah Silu setelah yang bersangkutan memeluk
Islam. Dalam Sejarah Melayu seperti dikutip Hamka dikatakan Merah Silu di Islamkan oleh Syeikh Ismail utusan dari Syarif Mekah. Sehari
setelah memeluk Islam ia sudah mampu membaca Al Qur’an, sehingga ia diberi gelar oleh utusan dari Mekah tersebut. Sementara dalam Hikayat
Raja-Raja Pasai sebagaimana dikutip Ricklefs diungkapkan bahwa khalifah Mekah mendengar tentang eksistensi Samudera dan
memutuskan untuk mengirim utusan kesana. Utusan yang bernama Syeikh Ismail itu diutus untuk menjemput penguasa Samudera yang
telah mengundurkan diri dari tahta karena ingin menjadi orang suci. Penguasa Samudera tersebut bermimpi bahwa nabi Muhammad
menampakkan diri kepadanya dan mengalihkan secara gaib pengetahuan tentang Islam dengan cara meludah ke dalam mulutnya dan
memberinya gelar sultan Malik al Saleh. Ketika Syeikh Ismail bertemu dengan penguasa Samudera dan mendengar kemampuannya
membaca dua kalimat syahadat, maka ia melantik dengan tanda-tanda kerajaan dan jubah-jubah kenegaraan dari Mekah.
Selain versi di atas, ada versi lain mengenai berdirinya kerajaan Islam Samudera Pasai. Menurut Slamet Muljana Samudera Pasai didirikan oleh
dinasti Fathimiah dari Mesir pada tahun 1128 di bawah pimpinan laksamana laut Nazimuddin al Kamil. Alasan pendirian yang dilakukan
dinasti Fathimiah adalah ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di pantai timur Sumatera. Agar mampu menguasai perdagangan
rempah-rempah tersebut maka dinasti Fathimiah harus menguasai kota pelabuhan Kambayat di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai
dan merebut daerah penghasil lada yaitu daerah Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Kota pelabuhan Pasai oleh dinasti Fathimiah dijadikan
pelabuhan utama untuk ekspor lada.
45 Malik al Shaleh yang meninggal tahun 1297 M itu, menurut Zuhri
berkuasa selama 26 tahun mulai dari tahun 1027-1053 M. Kalau apa yang dikemukakan Zuhri itu benar dan dengan memperhatikan angka
tahun wafatnya yang terdapat pada nisan maka sejak tahun 1271 M Malik al Shaleh telah berkuasa di Samudera Pasai. Zuhri juga
mengungkapkan bahwa sebelum Malik al Shaleh berkuasa, di Samudera telah ada lebih dahulu penguasa yang pertama yang bernama Malik
Ibrahim Ibnu Mahdum
. Malik Ibrahim berkuasa selama 14 tahun mulai dari tahun 1009-1023 M.
Raja Malikush Shaleh mempunyai dua orang putra yaitu Malikush Zhahir dan Malikul Mansur. Setelah Malikush Shaleh wafat tahun
1297 ia digantikan oleh anaknya yang bernama Malikush Zhahir. Zhahir memerintah tahun 1297 s.d 1326 M. Setelah Zhahir wafat ia
digantikan oleh anaknya dengan gelar Malikush Zhahir II yang memerintah tahun 1326 s.d 1348. Pada masa Malikush Zhahir II itulah
Ibnu Bathuthah
pernah mampir dua kali dalam perjalanannya ke Cina yaitu tahun 1345 dan 1346. Menurut Hamka seperti dikutip oleh Zuhri,
Ibnu Bathuthah kagum kepada Malikush Zhahir II karena ia adalah sultan yang sangat alim dan ilmunya yang sangat banyak serta
bermazhab Syafi’i. Selain itu ia juga mampu mempertahankan kerajaannya dari serangan kerajaan Majapahit yang sedang meluaskan
kekuasaannya ke wilayah Sumatera pada tahun 1339 dibawah pimpinan patih Gajah Mada. Sultan Al-Malikush Zhahir II yang terkenal karena
bijaksana, ketika meninggal digantikan oleh puteranya Zainal Abidin. Ia naik tahta kerajaan pada usia yang masih muda.
Dalam catatan Cina, ketika utusan mereka datang di bawah pimpinan Cheng Ho, admiral Islam yang terkenal itu pada tahun 1405 M, maka Raja
Pasai yang mereka dapati ialah Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki. Menurut Hamka nama tersebut sama dengan Zainul Abidin.
Laksamana Cheng Ho melakukan ekspedisi ke Samudera Pasai menurut Hamka sebanyak tiga kali. Pertama pada tahun 1405-1407, kedua pada tahun
1409-1411 dan terakhir pada tahun 1412. Sementara Manzies mengungkapkan bahwa Cheng Ho mulai bertualang pertama kali tahun
1405. Perjalanan berikutnya dilakukan tahun 1407. Ekspedisinya yang ketiga terjadi tahun 1409-1411. Pelayaran lainnya terjadi pada tahun 1413
dan 1417-1419. Ekspedisi terbesar keenam yang dilakukan Cheng Ho terjadi tahun 1421-1423. Jika memperhatikan pendapat Menzies
mengenai ekspedisi yang dilakukan Cheng Ho, paling tidak ia memang pernah mampir ke Sumatera ketika ia mengatur perjalanan
armadanya yang besar menjadi empat armada, sebelum menuju Samudera Hindia. Selain ia yang memimpin armada, tiga armada
lainnya dipimpin oleh kasim agung Hong Bao, kasim Zhou Man dan laksamana Zhou Wen. Lain halnya pendapat Groeneveldt. Ia
mengungkapkan bahwa ada enam kali ekspedisi yang dilakukan oleh Cheng Ho keluar negeri yaitu tahun 1405-1407, 1408-1411, 1412-1415, 1416-1419,
1421-1424 dan 1426-1230. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada tahun 1412 ketika
46 Cheng Ho sampai di Samudera Pasai ia menemukan seseorang yang
mengaku putra raja telah membunuh raja Samudera dan setelah itu ia mengangkat dirinya sebagai raja Malaka.
Pendiri kerajaan Malaka adalah Parameswara. Menurut Hamka dan Muljana, ia adalah seorang raja pelarian dari kerajaan Hindu di
Tumasik Singapura. Yang berbeda dari kedua orang ini adalah dalam hal penyebab ia melarikan diri. Hamka mengungkapkan
bahwa ia lari menghindari diri dari serangan Majapahit. Sementara Muljana berpendapat bahwa ia melarikan diri karena menghindari dari
serangan balasan kerajaan Pahang yang saudaranya dibunuh oleh Parameswara. Parmeswara itu menurut Ricklefs adalah seorang
pangeran Palembang yang berhasil meloloskan diri dari serangan Majapahit pada tahun 1377 dan sampai di Malaka sekitar tahun 1400.
Ia awalnya melarikan diri ke Seletar sebuah kampung di sebelah utara Singapura. Kemudian ia menyeberang dan menuju kampung Muar.
Selanjutnya perjalanannya dilanjutkan ke Malaka. Malaka pada waktu itu merupakan kampung kecil tempat bersarangnya para perompak,
bajak laut dan nelayan. Dengan jalan bekerja sama dengan para perompak, bajak laut dan nelayan yang ada disitu akhirnya ia berhasil
membangun kerajaan. Keberhasilannya itu juga disebabkan kemampuan ia memanfaatkan kesempatan yang ia peroleh ketika datang utusan
dari Cina yang mampir ke Malaka. Utusan tersebut berangkat dari Cina tahun 1403. Utusan dari Cina, Ying Ching, waktu itu sedang
melakukan perjalanan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Barat. Kepada utusan dari
Cina itu, Parameswara meminta supaya diakui sebagai penguasa di Malaka. Pengakuan itu ia peroleh dari kaisar Yung Lo pada tahun
1405. Dengan adanya pengakuan tersebut berarti Malaka mendapat perlindungan dari Cina.
Satu hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana Parameswara memeluk agama Islam? Dalam sejarah Melayu yang dikutip Ricklefs
diceritakan bahwa Parameswara memeluk Islam setelah ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan mengajarkan
mengucapkan dua kalimat syahadat serta memberi nama Muhammad. Di dalam mimpi itu juga tergambarkan bahwa akan datang esok hari
seorang ulama yang harus dipatuhinya. Keesokkan harinya datang kapal yang membawa ulama Sayid Abdul Aziz dan bersembahyang
di pantai. Raja memberitahu kepada para pejabat istana bahwa semuanya itu sama dengan mimpi yang ia alami. Raja Paremeswara
setelah memeluk Islam bergelar Sultan Muhammad Syah. Menurut Barros yang dikutip Hamka Parameswara memeluk Islam pada
tahun 1384.
47
3 Aceh
Bagaimana riwayat berdirinya kerajaan Aceh, tidaklah jelas. Tetapi munculnya Aceh sebagai sebuah kerajaan besar adalah setelah jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Pendudukan Malaka oleh Portugis menyebabkan jalur perdagangan pedagang Islam yang semula
melalui selat Malaka pindah ke pesisir barat Sumatera. Para pedagang Islam banyak yang lari dari Malaka dan bertempat tinggal di Aceh. Dari
Aceh pedagang Islam itu menyusur pantai barat Sumatera dan setelah melalui selat Sunda terus ke Laut Jawa dan Maluku. Situasi itulah yang
menyebabkan Aceh berkembang sebagai sebuah kerajaan yang memegang posisi penting di wilayah Sumatera. Aceh tumbuh menjadi
bandar perdagangan yang ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang. Menurut Hamka kerajaan Aceh didirikan oleh raja Pidie yang
bernama Ibrahim dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan yang ada seperti Samudera Pasai, Perlak dan Lamuri. Setelah penaklukkan
tersebut ia memaklumkan berdirinya kerajaan Aceh dan sebagai sultan dengan gelar Ali Mughayat Syah pada tahun 1507. Sampai
tampilnya sultan Iskandar Muda sebagai raja terbesar kerajaan Aceh, raja-raja yang memerintah silih berganti dari keturunan yang
berbeda-beda. Mereka adalah Sultan Salahuddin, anak dari Ali Mughayat Syah yang naik tahta tahun 1530. Sultan Salahuddin turun
tahta sekitar tahun 1539 dan kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama Alauddin Ri’ayat Syah al Kahhar. Pemerintahannya
berlangsung sampai tahun 1571. Sebagai penggantinya naik tahta anaknya yang bernama Ali Ria’ayat Syah. Dua kali ia berusaha
menaklukkan Malaka yaitu tahun 1573 dan 1575, tetapi keduanya mengalami kegagalan. Setelah ia wafat tahun 1579 terjadi kemelut
didalam tubuh kerajaan memperebutkan tahta kekuasaan. Anaknya yang masih muda belia Sultan Muda memerintah hanya sebentar.
Pada tahun 1579 itu juga Sultan Muda digantikan oleh Sultan Sri Alam anak dari Alauddin Ri’ayat Syah al Kahhar. Sri Alam sebelumnya
berkedudukan di Pariaman sebagai wakil kerajaan Aceh di sana. Ia tidak disukai oleh sebahagian besar pembesar-pembesar Aceh. Ia mati
dibunuh oleh lawan-lawan politiknya. Ia kemudian digantikan oleh Sultan Zainal Abidin. Zainal Abidin berusaha menyingkirkan lawan-
lawan politiknya dan memerintah dengan tangan besi. Akibatnya timbul perlawanan sehingga ia mati terbunuh. Zainal Abidin digantikan
oleh Alauddin Mansyur Syah 1579. Ia anak dari sultan Ahmad dari Perlak. Ia memerintah dengan bijaksana. Meskipun ia memerintah
dengan bijaksana tetap saja ada dari kalangan pembesar Aceh yang tidak suka ia menjadi raja. Ketika Alauddin Mansyur Syah bermaksud
mau menyerang Johor, menurut Hamka ia mati dibunuh di daerah Aru oleh seorang suruhan Megat Merah.
Menurut Danvers yang dikutip oleh Lombard, Alauddin Mansyur Syah mati dibunuh oleh seorang jenderalnya yang bernama Mora Ratisa
48 sekitar tahun 1586. Tetapi jika dilihat dari batu nisannya maka ia
meninggal pada tahun 1589. Dalam Hikayat Aceh seperti dikutip Lombard disebutkan bahwa pengganti dari Alauddin Mansyur Syah
adalah Ali Ri’ayat Syah atau Raja Buyung anak dari Munawwar Syah raja Indrapura. Sementara Lombard sendiri menyatakan bahwa tahta
kerajaan Aceh ditawarkan kepada seorang nelayan kaya yang kemudian memakai gelar Alauddin Ri’ayat Syah Sayyid al
Mukammil. Pemerintahannya berlangsung selama 15 tahun. Pada tahun 1604 ia mengundurkan diri dari kekuasannya dan menyerahkan
ke anaknya Ali Ri’ayat Syah yang memerintah sampai tahun 1607.
4 Demak
Sekitar tahun 1500 seorang Bupati Majapahit bernama Raden Patah yang berkedudukan di Demak dan memeluk agama Islam, terang-
terangan memutuskan segala ikatannya dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi itu. Dengan bantuan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur
yang sudah Islam pula, seperti Jepara, Tuban dan Gresik, ia mendirikan kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya.
Menurut cerita Raden Patah itu bahkan sampai berhasil merobohkan Majapahit dan kemudian memindahkan semua alat upacara kerajaan
dan pusaka-pusaka Majapahit ke Demak, sebagai lambang dari tetap berlangsungnya kerajaan kesatuan Majapahit itu tetapi dalam bentuk
baru di Demak.
Dalam waktu singkat, lebih-lebih oleh karena jatuhnya Malaka te tangan orang Portugis dalam tahun 1511, Demak mencapai kejayaannya.
Daerah-daerah pesisir di Jawa Tengah dan Timur mengakui kedaulatannya dan mengibarkan panji-panjinya. Terutama puteranya,
Pati Unus, yang menjabat adipati di Japara, sangat giat membantu usaha ayahnya, yaitu memperluas dan memperkuat kedudukan Kerajaan
Demak sebagai kerajaan Islam. Dalam tahun 1513 ia bahkan memberanikan diri untuk memimpin suatu armada menggempur Malaka untuk
mengusir orang Portugis. Sayang bahwa usaha ini gagal; armada Portugis ternyata lebih unggul.
Ketika Raden Patah wafat tahun 1518, Pati Unus menggantikannya menjadi Sultan, tetapi 3 tahun kemudian iapun meninggal. Ia terkenal
juga dengan nama Pangeran Sabrang Lor. Penggantinya adalah saudara Pati Unus, bernama Pangeran Trenggono, yang memerintah sampai tahun
1546. Ia tidak kalah giatnya dari Pati Unus dan ayahnya, untuk memperkokoh singgasana Demak dan menegakkan tiang-tiang agama
Islam. Adanya orang-orang Portugis di Malaka dirasanya sebagai ancaman dan bahaya. Oleh karena ia belum sanggup langsung menggempur
mereka, maka ia mengambil siasat lain. Ia berusaha membendung perluasan daerah oleh bangsa Portugis, yang sementara itu telah berhasil
menguasai pula daerah Pase di Sumatra Utara.
49 Seorang ulama terkemuka dari Pase bernama Fatahillah, yang sempat
melarikan diri dari kepungan orang-orang Portugis diterima oleh Trenggono dengan senang hati. Demikian terbuka dan gembiranya
Trenggono menerima Fatahillah sehingga ia kawinkan dengan adiknya, dan ternyata Fatahillah adalah orang yang dapat melaksanakan
maksud-maksud Trenggono. Ia berhasil menghalangi kemajuan orang Portugis dengan merebut kunci-kunci perdagangan kerajaan Pajajaran
di Jawa Barat yang belum masuk Islam, yaitu Banten dan Cirebon.
Dalam tahun 1522 orang-orang Portugis datang di Sunda Kalapa, pelabuhan utama Pajajaran. Dengan raja Pajajaran mereka bersepakat
untuk kerjasama menghadapi Islam, dan orang Portugis diizinkan untuk mendirikan sebuah benteng di Sunda Kalapa itu. Ketika orang Portugis
datang kembali untuk melaksanakan rencana mereka dalam tahun 1527 ternyata Sunda Kalapa sudah menjadi Jayakarta, yang mengakui
kedaulatan Fatahillah di Banten. Dengan gempuran-gempuran yang seru mereka terpaksa meninggalkan pantai Jawa Barat.
Sementara itu Trenggono sendiri berhasil menaklukkan Mataram di pedalaman Jawa Tengah, dan juga Singhasari di Jawa Timur bagian
Selatan. Pasuruan dan Panarukan dapat bertahan, sedangkan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan Bali yang tetap Hindu.
Dalam usahanya menaklukkan Pasuruan Pangeran Trenggono itu gugur 1546. Dengan wafatnya Pangeran Trenggono, timbullah
perebutan kekuasaan antara adik Trenggono dan anak Trenggono. Adik Trenggono segera terbunuh di tepi sungai maka itu terkenal dengan
nama Pangeran Sekar Seda ing Lepen, tetapi anak Trenggono, Pangeran Prawoto, beserta keluarganya kemudian dibinasakan oleh anak Sekar
Seda ing Lepen yang bernama Arya Panangsang.
Arya Panangsang ini sangat kejam, sehingga tidak ada orang yang suka melihat ia di atas takhta kerajaan Demak. Maka kekacauan belumlah reda,
bahkan segera memuncak lagi ketika adipati Jepara yang sangat besar pengaruhnya dibunuh pula oleh Arya Panangsang. Isteri adipati
tersebut, yang terkenal sebagai Ratu Kalinyamat, segera mengangkat senjata untuk mempertahankan hak-haknya. Ia berhasil juga untuk
menggerakkan adipati-adipati lainnya menentang Arya Panangsang itu.
Seorang di antara adipati-adipati ini adalah Adiwijoyo, yang lebih terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Ia adalah seorang menantu Sultan
Trenggono, dan berkuasa di Pajang daerah Boyolali. Di dalam pertempuran-pertempuran yang timbul itu, Joko Tingkir berhasil
membinasakan Arya Panangsang, dan Keraton Demak dipindahkan olehnya ke Pajang 1568. Dengan tindakan ini maka habislah riwayat
kerajaan Demak.
50
5 Pajang
Joko Tingkir menjadi raja pertama dari kerajaan Pajang ini. Kedudukannya yang disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat
pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demak sendiri kini hanya menjadi daerah seorang adipati, dan
adipatinya adalah Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto, yang diangkat oleh Sultan Pajang.
Di antara para pengikut Joko Tingkir yang besar sekali jasanya dalam membinasakan Arya Panangsang, adalah Kyai Ageng Pamanahan.
Sebagai imbalan Kyai Ageng ini dihadiahi daerah Mataram sekitar Kota Gede, dekat Yogyakarta sekarang untuk pemukimannya. Karena ini
maka ia lebih terkenal sebagai Kyai Gede Mataram. Orang inilah yang menjadi perintis dari apa yang nantinya menjadi Kerajaan Mataram.
Kyai Gede Mataram dalam waktu singkat dapat menjadikan daerahnya yang sangat maju. Ia sendiri tidak mengecap hasil usahanya,
ia meninggal dalam tahun 1575; tetapi anaknya yang bernama Sutowijoyo, melanjutkan usaha itu dengan sangat giat. Sutowijoyo ini
adalah orang yang gagah berani, mahir benar dalam hal peperangan, dan karena itu nantinya lebih terkenal sebagai Senapati ing Alaga
panglima perang.
Sementara itu di Pajang terjadi perubahan yang besar. Joko Tingkir meninggal dalam tahun 1582. Anaknya, Pangeran Benowo,
disingkirkan oleh Arya Pangiri dari Demak dan dijadikan adipati di Jipang. Maka sebagai Sultan Pajang kini bertakhtalah Arya Pangiri
yang melanjutkan darah Demak.
Sultan baru ini dengan tindakan-tindakannya yang merugikan rakyat segera menimbulkan rasa tidak senang di mana-mana. Kenyataan ini
merupakan kesempatan yang baik bagi Pangeran Benowo untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia minta bantuan kepada Senapati dari
Mataram, yang juga memang menginginkan robohnya kerajaan Pajang dan sudah lebih dahulu mengambil langkah-langkah untuk
melepaskan daerahnya dari Pajang itu. Segera kedudukan Banten diperkuat dan untuk kepentingan perdagangan maka seluruh pantai
Utara diislamkan pula sampai di Cirebon. Sunda Kalapa, kota pelabuhan Pajajaran yang dapat menjadi saingan direbut dalam tahun 1527, dan
sebagai bagian Banten diberi nama Jayakarta.
Pemerintahan daerah Banten dipegang sendiri oleh Fatahillah, sedangkan daerah Cirebon ia serahkan kepada anaknya, Pangeran
Pasarean. Ketika dalam tahun 1552 Pangeran Pasarean ini wafat Fatahillah
sendiri pergi
ke Cirebon
untuk mengendalikan
pemerintahan, setelah Banten ia serahkan kepada seorang anaknya lagi yang bernama Hasanuddin.
51 Di Cirebon Fatahillah lebih bertekun dalam hal keagamaan, dan
setelah pemerintahan dapat ia serahkan kepada seorang cucunya ia mengundurkan diri di Gunung Jati. Sebagai penyiar agama Islam ia
dianggap sebagai salah seorang dari wali 9, dan bergelar Sunan. Dalam tahun 1570 ia wafat, dan dimakamkan di tempat
pemukimannya di atas bukit Jati itu; maka ia kemudian lebih terkenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Sementara itu Hasanuddin di Banten semakin berkuasa, dan tidak lagi menghiraukan Demak yang sejak sekitar tahun 1550 kacau saja
keadaannya. Dalam tahun 1568 ia bahkan memutuskan sama sekali hubungannya dengan Demak, dan menjadi raja pertama di Banten.
Segera ia perkokoh kedudukannya dan ia perluas daerahnya sampai di Lampung. Dengan demikian ia menguasai daerah-daerah lada dan
perdagangannya sekali. Hasanuddin wafat dalam tahun 1570, dan digantikan oleh anaknya yang terkenal sebagai Panembahan Yusuf.
Panembahan Yusuf ini giat pula memperluas daerahnya dengan melenyapkan kerajaan yang masih saja belum Islam, yaitu Pajajaran
1579. Dalam tahun 1580 ia wafat, meninggalkan kerajaan yang sudah kuat dan luas. Penggantinya Maulana Mohammad, baru berumur 9
tahun. Maka pemerintahan dipegang oleh seorang mangkubumi sampai raja dewasa. Dalam tahun 1595 Maulana Mohammad yang
masih muda itu melancarkan serangan terhadap Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki Gede Ing Suro, seorang penyiar
Islam keturunan Surabaya yang meletakkan dasar-dasar untuk kesultanan Palembang, dan sangat setia kepada Mataram. Dalam
masa pemerintahannya 1572-1627 Palembang sangat maju, sehingga menjadi saingan Banten. Hampir saja Palembang jatuh, ketika tiba-tiba
Sultan Banten terkena peluru dan gugur saat itu juga. Terpaksa serangan dihentikan, dan tentara Banten kembali pulang.
Dalam tahun 1596 itu juga muncullah untuk pertama kalinya orang- orang Belanda di pelabuhan Banten. Perkenalan pertama sudah
menimbulkan kegaduhan di Banten, sehingga orang Belanda tidak berhasil berdagang dan segera pergi lagi. Gugurnya Maulana
Mohammad menimbulkan banyak perselisihan di Banten. Putera mahkota, Abdulmufakhir, baru berumur 5 bulan. Maka
pemerintahan harus dipegang oleh seorang mangkubumi. Ternyata soal peralihan ini menjadi rebutan dan banyak selisih. Keadaan baru
reda kembali, setelah tampil orang kuat, yaitu Pangeran Ranamenggala, yang dengan kekerasan dapat mengendalikan pemerintahan 1608.
Kekuasaan Rana menggala ini bahkan berlangsung terus, setelah sang raja sendiri dewasa ialah yang tetap menentukan langkah laku
pemerintah Banten, sampai ia meninggal dalam tahun 1624.
8 Cirebon
52 Menurut tradisi seperti tertera dalam historiografi tradisional
pendiri Kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati. Dalam sumber sejarah Banten namanya ialah Faletehan atau Tagaril. Menurut Pires, ayah
dari Pate Rodin Sr.-lah yang mendirikan pemukiman di Cirebon itu. Seperti telah disebut di atas, Pires mengetahui bahwa di daerah Pesisir
Jawa Tengah antara Cirebon dan Demak ada pelabuhan Losari, Tegal, dan Semarang, ketiganya mengekspor beras. Adalah wajar apabila
pada awal abad XVI ada hubungan ramai antara Demak dengan kota-kota itu dan seterusnya pelabuhan-pelabuhan di Jawa Barat.
Sebelum ada komunikasi ini, Jawa Barat sudah mempunyai hubungan dengan Jawa Timur. Waktu itu di Priangan ada Kerajaan Pajajaran
dengan pelabuhannya Sunda Kelapa di sebelah barat dan Kerajaan Galuh di sebelah timur.
Bahwasanya Cirebon pada awal abad XVI sudah mempunyai perdagangan ramai dan hubungan erat dengan Malaka terbukti dari
keterangan Pires yang menyebutkan nama syahbandar koloni Cirebon di Upih Malaka, ialah Pate Kadir. Dia sangat terkemuka dan
mempunyai hubungan baik dengan raja.
Sumber-sumber tradisional, setengahnya menunjukkan hubungan pendiri Cirebon dengan tokoh-tokoh agama di Jawa Timur seperti
Raden Rahmat, setengahnya hubungan dengan dinasti di Pasundan, antara lain disebutkan bahwa raja legendaris dari Pajajaran dan Galuh,
Aria Bangah, adalah saudaranya.
Dalam mengikuti tradisi Jawa Barat, Nurullah melakukan ibadah haji dan sekembalinya dari Mekah pada tahun 1524 tinggal di Demak. Di
sana ia menikah dengan seorang saudara perempuan Sultan Trenggana. Tidak lama kemudian Nurullah bertolak ke Banten di mana
didirikan pemukiman bagi pengikutnya Kaum Muslim. Sepeninggal putranya, Pangeran Pasarean, Nurullah yang kemudian terkenal
dengan nama Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon, sedang pemerintahan di Banten diserahkan kepada seorang putra lain yaitu Hasanudin.
Sunan Gunung Jati diganti oleh Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu pada tahun 1570. Selama pemerintahannya dipeliharanya hubungan
damai dengan Mataram dan para penguasa lokal di sebelah barat Mataram. Mereka adalah elite yang berkuasa dan lazimnya
mempunyai daerah pengaruh yang melampaui desanya. Dalam jaman Mataram kuno mereka bergelar Rakai atau Rakyan, dan pada jaman
Mataram baru memakai gelar Kyai Ageng atau Panembahan; contohnya Kyai Ageng Sela, Kyai Ageng Mangir, Kyai Ageng
Pamanahan. Rupanya para penguasa itu kemudian mengakui suzereinitas baik Cirebon maupun Mataram, tanpa mengadakan
banyak perlawanan; kekecualian dalam hal ini ialah perlawanan Kyai Bocor dan Kyai Ageng Mangir terhadap hegemoni Mataram.
c. Perebutan Hegemoni Antara Kesultan Islam dan Kolonial Barat