Sentralisasi Kekuasaan Percobaan Demokrasi 1950 -1957

171 pimpinan militer AD telah memutuskan langkah-langkah yang patut diambil seandainya konstituante tidak menyetujui pemberlakuan kembali ke UUD 1945. Hal ini membuktikan bahwa AD telah memiliki alternatif tersendiri sebelum jalan konstitusional sebagaimana ditempuh Kabinet Djuanda terbukti mengalami kegagalan. Pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 dalam upacara resmi di Istana Negara, Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit. Adapun isi pokok Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut sebagai berikut : a. Pembubaran Konstituante b. Berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 UUD 1945 c. Tidak berlakunya Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 UUDS 1950 Dekrit itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan disambut baik oleh masyarakat yang hampir 10 tahun mengalami ketidakpastian politik demokrasi liberal. Kepala Staf AD dalam perintah hariannya menginstruksikan kepada seluruh jajaran TNI AD untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Sementara itu, DPR hasil Pemilu dalam sidangnya pada tanggal 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaannya bekerja berdasar UUD 1945. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai peralihan dari masa Demokrasi Liberal ke masa Demokrasi Terpimpin yang berlangsung hingga tahun 1965. Menurut Presiden Soekarno Demokrasi Terpimpin merupakan “demokrasi gotong royong” yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan. Dengan demikian maka pelaksanaan demokrasi terpimpin ini harus diikuti dengan kembali pada UUD 1945. Dalam suasana kembali ke UUD 1945, Presiden Soekarno mempertegas lagi konsepsinya ketika menyampaikan pidato 17 Agustus 1959 yang diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato itu kemudian oleh Presiden diserahkan kepada Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung di bawah pimpinan Aidit untuk dirumuskan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN yang kemudian diberi judul “Manifesto Politik Republik Indonesia” atau Manipol.

b. Sentralisasi Kekuasaan

Setelah Dekrit Presiden disampaikan pada 5 Juli 1959, Kabinet Djuanda dinyatakan demisioner diganti dengan Kabinet Kerja dengan Soekarno sebagai perdana menteri dan Djuanda sebagai menteri utama. Sistem pemerintahan dari kabinet parlementer menjadi kabinet presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden sebagai kepala negara sekaligus juga sebagai kepala pemerintahan. Leimena, Chaerul Saleh dan Soebadrio tetap berada di dalam inti kabinet; Idham Chalid tidak masuk tetapi tokoh NU lainnya menjadi menteri agama. Selanjutnya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MPRS dibentuk berdasarkan Ketetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Setelah 172 MPRS terbentuk, segera terjadi sejumlah penyimpangan dari UUD 1945, antara lain : 1 Presiden mengangkat Ketua MPRS, A.H. Nasution sebagai menteri. Menurut UUD 1945, seorang menteri adalah pembantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan, artinya kedudukannya berada di bawah lembaga kepresidenan. Sementara di pihak lain, MPRS adalah lembaga tertinggi negara. 2 DPR hasil pemilu dibubarkan berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960. DPR Gotong Royong GR dibentuk pada 24 Juni 1960. Keanggotaanya terdiri atas 283 orang, PSI dan Masumi tidak memeroleh satu kursipun. Anggora DPR-GR diangkat oleh Presiden. Dengan demikian, ketua, wakil, anggota DPR-GR dipilih, diangkat, dan diberhentikan presiden. Ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam upaya kembali ke UUD 1945. DPR adalah lembaga negara yang kedudukannnya sama dengan presiden bukan di bawah presiden. Dengan demikian dalam sistem Demokrasi Terpimpin berarti pemusatan kekuasaan di tangan Presiden Soekarno. Selain itu Presiden membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara DPAS berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, yang diketuai oleh Presiden Soekarno. Tugas DPAS, antara lain memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah. Setelah DPAS terbentuk, dewan ini kemudian melaksanakan sidang pada tanggal 23 - 25 September 1959. Dalam sidang tersebut dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar Pidato Presiden Soekarno 17Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita, yang kemudian disebut manifesto politik Republik Indonesia manipol dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara. Usul tersebut diwujudkan dengan Penpres no 1 Tahun 1960, dikukuhkan oleh MPRS dengan ketetapan nomor 1 Tahun 1960. Sementara itu dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Februari 1960, presiden menyatakan bahwa intisari Manipol adalah Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia USDEK. Kebijakan politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Akan tetapi sejak masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia menempuh politik luar negeri sejajar dengan politik luar negeri negara-negara komunis, khususnya RRC. Landasan politik luar negeri ini adalah pembagian kekuatan politik dunia oleh negara-negara Barat yang dikenal dengan Old Established Forces Oldefo dengan New Emerging Forces Nefo yang merupakan kekuatan baru yang sedang muncul, yakni Indonesia dan negara-negara komunis lainnya yang anti imperialisme dan anti kolonialis. Sebagai poros anti imperialisme dan anti kolonialisme dibentuklah poros Jakarta - Pnompenh - Hanoi – Pyongyang. Soekarno berpandangan bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Bermilyar rupiah dikeluarkan untuk berbagai proyek mercusuar, seperti 173 pembangunan Tugu Monumen Nasional Monas Jakarta, Jembatan Ampera Palembang, dan penyelenggaraan Games Of The New Emerging Forces Ganefo dengan terlebih dahulu membangun Stadion Gelora Senayan, Jakarta. Dalam kaitannya dengan pelaksaaan politik luar negeri yang anti imperialisme, rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia oleh Inggris pada 1961 ditentang Presiden Soekarno. Negara Federasi Malaysia, meliputi Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Indonesia menentang, karena rencana tersebut dianggap sebagai “Proyek Neokolonialisme Inggris” yang membahayakan “Revolusi Indonesia yang belum selesai”. Indonesia dan Filipina menuntut agar PBB melakukan penelitian ulang tentang kehendak rakyat di wilayah bersangkutan terhadap rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia. Negara Federasi Malaysia terbentuk pada 16 September 1963, sebelum hasil penelitian PBB diumumkan. Pembentukan ini ditentang Indonesia dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur pada 17 September 1963. Presiden Soekarno menyampaikan pidato Komando Ganyang Malaysia dengan nama “Dwi Komando Rakyat” pada 3 Mei 1964. Isi Dwikora: a. Perhebat ketahanan revolusi b. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaysia, Singapura, Sabah, Serawak, Brunei untuk menggagalkan negara boneka Malaysia. Untuk pelaksanaan Dwikora dibentuklah: 1. Komando Siaga 16 Mei 1964 yang diperluas menjadi Komando Mandala Siaga 2. Pasukan sukarelawan Dwikora Selajutnya dalam rapat umum anti pangkalan militer asing yang diadakan di Jakarta pada 7 Januari 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan komando agar Indonesia keluar dari PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB disebabkan persengketaannya dengan Malaysia. Indonesia menolak masuknya Malaysia ke dalam PBB. Pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap dari Dewan Keamanan PBB. Politik konfrontasi terhadap Malaysia dan keluarnya Indonesia dari PBB telah mengisolasi Indonesia dari masyarakat internasional.

b. Masalah Irian Barat