180 kekuasan negara dari tangan presiden.
4 Gerakan 30 September telah mengadakan penculikan terhadap beberapa perwira tinggi ABRI.
5 Masyarakat diharapkan tenang dan tetap waspada. Pidato yang disampaikan Mayjen Soeharto pada 1 Oktober 1965 itu besar
artinya bagi rakyat. Rakyat Indonesia sejak itu dapat memastikan bahwa sebelumnya telah terjadi suatu perebutan kekuasaan oleh Letkol Untung
dengan pasukannya. Lebih lanjut Mayjen Soeharto menyampaikan bahwa Presiden Soekarno dan Jenderal A. H. Nasution dalam keadaan sehat dan
situasi Jakarta telah dikendalikan.
Langkah selanjutnya Mayjen Soeharto memerintahkan satuan RPKAD dan Batalyon 328Kujang Siliwangi merebut Pangkalan Udara Halim yang
diduga sebagai pusat G 30 SPKI. Pasukan TNI AD dengan cepat menguasai keadaan. Seluruh pangkalan udara Halim Perdana Kusumah dapat
diduduki pasukan pemerintah pada 2 Oktober jam 12.00 siang.
Pada tanggal 3 Oktober 1965, jenazah para korban G 30 SPKI ditemukan dalam sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta Timur. Penemuan
ini didasarkan pada laporan seorang anggota polisi lalu lintas yang juga ditangkap kaum pemberontak ketika sedang berpatroli. Nama polisi tersebut
ialah Sukitman. Jenazah-jenazah korban baru dapat diangkat pada tanggal 4 Oktober 1965. Jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Berdasarkan informasi dan bukti-bukti yang dikumpulkan, ABRI dan masyarakat menyimpulkan bahwa dibalik Gerakan 30 September ini terdapat
keterlibatan PKI. Maka dimulailah operasi pengejaran terhadap anggota- anggota PKI. Dalam suatu operasi pengejaran di Tegal, Kolonel Untung
Sutopo berhasil ditangkap. Sementara, D.N. Aidit ditembak mati di daerah Boyolali. Para tokoh PKI yang tertangkap kemudian diadili. Di antaranya
ada yang dihukum mati. Lainnya ada yang dipenjarakan di Jakarta dan di Pulau Buru, Maluku. Berita tentang keterlibatan PKI menimbulkan
kemarahan rakyat. Berbagai aksi dan forum digelar untuk menuntut pembubaran partai ini. Di antaranya yang terkenal adalah Forum Pancasila
dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia.
c. Soekarno Pasca Gerakan 30 September
Pasca Peristiwa Gerakan 30 September 1965 G30S, Indonesia mengalami ketidakstabilan dalam berbagai bidang. Akibatnya lahir aksi demonstrasi
mahasiswa yang tergabung dalam aksi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KAMI yang menuntut pembubaran PKI, retool kabinet dan
penurunan harga tri tuntutan rakyattritura.
Pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Sukarno mengundang pihak-pihak yang dianggap kritis atau berseberangan dengan pemerintah. Pada pertemuan
tersebut, presiden meminta partai politik dan organisasi masyarakat untuk mengutuk aksi demonstrasi tritura. Pertemuan tersebut akhirnya buntu.
181 Selanjutnya pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno mengadakan sidang
paripurna. Sidang dilaksanakan dengan tujuan mengatasi krisis yang semakin memuncak. Ketika sidang berlangsung, situasi Jakarta semakin
tidak aman bahkan ajudan presiden melaporkan adanya tentara yang mengepung istana. Presiden kemudian keluar dari Istana Negara menuju
Istana Bogor.
Kondisi ibukota dan negara yang tidak kondusif, membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi perintah
kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Berbekal
Supersemar, Soeharto yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Letnan Jenderal kemudian mengambil tindakan membubarkan PKI dan
membersihkan kabinet dari unsur PKI. Kabinet Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera. Dalam kabinet ini, Presiden Soekarno tetap sebagai
pimpinan dan dibantu oleh lima orang Waperdam, yaitu Leimena, Idham Chalid, Ruslan Abdulgani, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Letjen
Soeharto. Kabinet ini diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966 dengan masa kerja dua tahun.
Lembaga legislatif MPRS dan DPR-GR juga berbenah diri dengan mengganti anggota-anggotanya yang diduga pro PKI dengan tokoh-tokoh
yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Sejumlah 62 orang anggota DPR- GR yang mewakili PKI diberhentikan dari tugasnya. Kedudukan presiden
dikembalikan sebagai madataris majelis artinya di bawah MPRS. Hal ini sesuai dengan keputusan-keputusan dalam sidang umum yang
diselenggarakan pada tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966. Di antaranya mempertegas kedudukan semua lembaga negara termasuk presiden baik
di pusat maupun di daerah pada posisi yang diatur sesuai UUD 1945. Selain itu, memutuskan untuk mencabut Tap MPRS yang mengangkat Ir. Soekarno
sebagai Presiden Seumur Hidup. Dengan demikian, MPRS telah mengambil langkah-langkah strategis dalam usaha melakukan koreksi total terhadap
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pada masa sebelumnya.
Setelah muncul desakan dan tekanan dari berbagai pihak, Presiden Soekarno akhirnya menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto.
Ia kemudian menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Pada sidang istimewa bulan Maret 1967, MPRS mengukuhkan pengunduran diri Soekarno
dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI.
2. Pemerintahan Orde Baru a. Lahirnya Pemerintahan Orde Baru