Perkembangan Politik Mas a Orde Baru

182 menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.

b. Perkembangan Politik Mas a Orde Baru

Selama pemerintahan Orde Baru, istilah pembangunan, stabilitas dan pertumbuhan menjadi jargon politik pemerintah. Untuk mencapai stabilisasi dan pertumbuhan tersebut, negara mengambil peran yang amat dominan dan menentukan dengan menempatkan kekuasaan terpusat di tangan presiden. Dalam UUD 45 terdapat mekanisme politik bahwa setiap lima tahun akan diadakan pemilihan umum yang memilih wakil rakyat dan kemudian mengangkat presiden. Namun, kepentingan politik yang kental menyebabkan mekanisme ini ditafsirkan sesuai selera kekuasaan untuk menguatkan sistem negara Orde Baru Dalam rangka melakukan stabilisasi politik dan legalisasi pemerintahan, pada tahun 1971 Orde Baru menyelenggarakan Pemilihan Umum kedua sepanjang Indonesia merdeka. Dalam rangka menghadapi pemilihan umum pada tanggal 23 Mei 1970, presiden dengan surat keputusannya Nomor 34 telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat tampil sebagai peserta pemilu dan anggota DPRDPRD yang diangkat. Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa organisasi politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah ada dan diakui mempunyai wakil di DPRDPRD. Pemilu 1971 diikuti oleh 9 partai politik dan Golongan Karya, yang melahirkan dua besar pemenang Pemilu, yaitu Golongan Karya dan Partai Nahdlatul Ulama. Dengan hasil pemilu ini, maka kekuasaan Orde Baru mendapatkan mandat secara konstitusional atas pemerintahannya. Gambar 36. Lambang Partai Peserta Pemilu 1971 Namun demikian, bagi Orde Baru keberadaan 9 partai politik pada 1971 dianggap sebagai suatu hal yang tidak efisien dalam alam pembangunan. Bahkan salah satu kendala stabilitas nasional pada masa Orde Lama adalah begitu banyaknya partai dengan friksi ideologi yang sangat kental, yang 183 berakibat saling menjatuhkan, sehingga kelanggengan suatu pemerintahan tidak berjalan lama. Kenyataan ini disadari benar oleh pemerintah Orde Baru. Untuk itu, pemerintah Orde Baru mengambil kebijakan melakukan penyederhanaan guna mengurangi jumlah partai di Indonesia dengan cara menggabungkan fusi partai-partai yang memiliki persamaan program dalam satu partai. Jadi penggabungan ini tidak didasarkan atas persamaan ideologi. Dari proses ini akhirnya terbentuk dua partai politik dan satu golongan karya. Dua partai politik tersebut adalah : 1 Partai Demokrasi Indonesia PDI yang merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan, Parkindo. Fusi ini dilakukan pada tanggal 11 Januari 1973. 2 Partai Persatuan Pembangunan PPP yang merupakan penggabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah Perti. Fusi ini dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973. Sementara Golongan Karya Golkar bukan merupakan hasil fusi partai politik. Golkar berdiri sendiri sebagai sebuah organisasi massa. Organisasi ini juga diberi hak untuk ikut dalam pemilu. Dari kenyataan ini, timbul kesan bahwa kebijakan penyederhanaan partai dimaksudkan untuk memberi jalan bagi dominasi Golkar dalam setiap pemilu. Dengan cara ini, kelanggengan pemerintah Orde Baru dapat terus dijaga. Hal ini paling tidak dapat terlihat dari dominasi Golkar dalam Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Dalam pemilu-pemilu tersebut, Golkar selalu tampil sebagai pemenang dan menjamin keberlangsungan pemerintahan Soeharto. Walaupun dalam setiap periode ada pergantian pejabat wakil presiden. Pejabat presiden masa Orde Baru meliputi: Sri Sultan HB IX 1971-1977, Adam Malik 1977-1982, Umar Wirahadikusumah 1982-1987, Sudharmono 1987-1992, Tri Sutrisno 1992-1997 dan BJ. Habibie 1997-1998. Fusi partai bukanlah satu-satunya praktek rekayasa politik Orde Baru. Keberhasilan fusi partai kemudian diikuti usaha “pemurnian pancasila” lewat politik asas tunggal dan penataran P-4 dengan dalih untuk membersihkan Indonesia dari bahaya laten komunis atau PKI. Dua praktek ”pemurnian pancasila” ini, secara konstitusional ditetapkan sejak ketetapan MPR 1978. Pemerintah Orde Baru menegaskan bahwa Pancasila adalah satu-satunya asas partai azas tunggal, konsekuensinya semua partai atau organisasi harus berideologi Pancasila. Dengan demikian, friksi ideologi seperti yang terjadi pada masa Orde Lama tidak terjadi lagi. Stabilitas nasional pun bisa dijamin. Sementara itu di dalam masyarakat digalakkan Program P4 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Kepada kalangan pelajar dari Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi juga diperkenalkan P4. Penataran P4 diberikan kepada siswa baru SMP, SMA dan mahasiswa baru. Secara konseptual, program ini bertujuan untuk mencapai kesamaan cara pandang kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga akan tercapai 184 persatuan dan kesatuan bangsa. Akan tetapi dalam praktiknya program ini ternyata dijalankan sebagai usaha untuk membentuk opini rakyat dan indoktrinasi secara sistematis yang diarahkan untuk memiliki pemahaman bahwa pemerintah Orde Baru adalah pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang murni dan konsekuen. Dengan demikian dukungan terhadap pemerintah Orde Baru akan semakin bertambah. Namun demikian, stabilitas politik yang terjadi pada masa Orde Baru tetap saja melahirkan berbagai kritik dan bahkan menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa penting yang berujung kepada kerusuhan maupun aksi kekerasan. Adapun peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa orde baru adalah sebagai berikut: 1 Peristiwa Malapetaka 15 Januari Malari 1974. Peristiwa ini boleh dikatakan merupakan kerusuhan pertama dalam pemerintahan Orde Baru. Latar belakang Malari adalah aksi demonstrasi mahasiswa yang mengkritik kebijakan ekonomi Orde Baru yang dianggap pro-asing. Aksi demonstrasi ini berlangsung disaat Presiden Soeharto kedatangan tamu negara asing, yaitu Perdana Menteri Jepang Tanaka. Dalam peristiwa ini pemerintah Orde Baru menangkap Hariman Siregar yang dianggap bertanggung-jawab terhadap demonstrasi dan kerusuhan yang melanda Jakarta. 2 Penembakan Misterius 1983-1985. Secara resmi, pemerintah Orde Baru menyebutnya sebagai operasi clurit yang bertujuan untuk menghabisi para pelaku kriminal tanpa melalui prosedur hukum dan peradilan. Adapun yang menjadi sasaran pembunuhan dalam penembakan ini adalah kaum kriminal, seperti perampok, gali atau bromocorah yang diidentifikasi lewat identitas tato. Dalam penembakan misterius ini, 10.000 orang dikabarkan hilang dan diduga menjadi korban. 3 Peristiwa Tanjung Priok 1984. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh konfik antara seorang tentara dengan jamaah masjid As-sa’adah. Aparat keamanan diduga mengotori masjid dan kemudian menangkap anggota jamaah, sebaliknya aparat menganggap jamaah melakukan aksi separatisme dan kritik terhadap pemerintah. Saat jamaah mendatangi markas kodim dan koramil mereka ditembak, diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Di antara korban pada peristiwa tersebut adalah Amir Biki. 4 Peristiwa Talangsari 1989. Peritiwa ini dilatarbelakangi kecurigaan aparat terhadap perilaku kelompok Warsidi di Talangsari yang ditengarai melakukan aksi makar dengan mendirikan komunitas Negara Islam Indonesia NII. Saat dilakukan pengecekan fakta ke lapangan, Kapten Soetiman dibunuh jamaah Warsidi. Aparat kemudian mengirimkan pasukan ke Talangsari yang disambut dengan perlawanan. Dalam peristiwa ini, 27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Setidaknya 246 warga sipil tewas. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai diadili hanya 23 orang. 185 5 Peristiwa Santa Cruz 1994. Peristiwa ini diawali oleh terbunuhnya aktivis mahasiswa Sebastiano Gomez. Saat berlangsung upacara pemakaman, terjadi aksi provokasi ke aparat keamanan dengan spanduk dan teriakan bernada separatisme. Akibatnya aparat yang lepas kontrol melakukan penembakan ke arah kerumunan massa yang mengakibatkan 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. 6 Peristiwa 27 Juli 1996. Peristiwa ini dilatarbelakangi konfik antara elit politik Partai Demokrasi Indonesia PDI, yaitu antara kubu Megawati dan Soerjadi. Kubu Soerjadi yang didukung pemerintah melakukan aksi penyerbuan dan pendudukan terhadap kantor PDI di Jalan Diponegoro yang dikuasai kelompok Megawati. Akibat aksi penyerbuan tersebut, kantor PDI hancur dan memicu terjadinya kerusuhan di daerah Jakarta. Pemerintah Orde Baru menyebut peristiwa 27 Juli ini adalah aksi yang dilakukan Partai Rakyat Demokratik PRD.

c. Perkembangan Ekonomi Masa Orde Baru