Krisis, Keruntuhan Orde Baru dan Gerakan Reformasi

190 beras nol persen. Namun, revolusi hijau juga membawa dampak negatif seperti ketergantungan terhadap bibit buatan, pupuk dan zat kimia yang digunakan untuk membasmi hama. Selain itu juga terjadi pergeseran orientasi pertanian, penggunaan alat modern hanya digunakan petani kaya serta sistem panen yang biasanya dilakukan gotong-royong berubah menjadi sistem upahan.

e. Krisis, Keruntuhan Orde Baru dan Gerakan Reformasi

Pada masa pemerintahan Orde Baru hasil-hasil pembangunan selalu diberitakan tentang keberhasilan-keberhasilannya. Sesungguhnya hasil-hasil pembangunan itu sendiri memunculkan kelompok masyarakat yang terpinggirkan marginal yang tidak ikut atau tidak dapat menikmati hasil pembangunan. Pada sisi lain ironisnya para penyelenggara negara yang birokratis dan cenderung tidak jujur telah menciptakan bahkan mengakar isu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN. Sistem kekuasaan yang cenderung absolut, karena wewenang dan kekuasaan presiden berlebihan, sehingga menciptakan dan terakumulasi menjadi krisis multi-dimensional di hampir seluruh aspek kehidupan. Kondisi ini diperparah ketika pada pertengahan tahun 1997 krisis moneter melanda bangsa Indonesia. Krisis ini dipicu oleh kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya dolar Amerika Serikat yang berakibat lesunya perekonomian. Di samping itu, jatuh tempo pembayaran utang para pengusaha dan pemerintah pada tahun 1998 dan laju inflasi hingga mencapai dua digit. Selain itu ada perubahan dari swasembada beras ke pengimpor beras bahkan langkanya 9 bahan pokok makanan akibat mahalnya harga. Beberapa investor asing juga mencabut modalnya dari beberapa perusahaan, sehingga mengakibatkan pemutusan hubungan kerja PHK, beberapa perusahaan swasta dan nasional bangkrut menyebabkan banyak pengangguran. Kondisi-kondisi demikian tidak mampu diatasi oleh pemerintahan Orde Baru sehingga krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan tak terelakan lagi. Kondisi tersebut di atas membuat para akademisi mulai berani membicarakan tentang krisis yang terjadi melalui forum diskusi, seminar di kampus-kampus. Namun, kuatnya pemerintah rezim sehingga suara vokal tersebut direspon dengan upaya penangkapan atau bahkan pemenjaraan, sehingga menimbulkan rasa tidak senang dan antipati terhadap tindakan pemerintah saat itu. Tindakan represif ini tidak membuat surut para aktivis yang menginginkan perubahan ke arah perbaikan yang diinginkan. Bahkan mereka menolak pencalonan kembali Presiden Soeharto untuk periode 1998-2003. Terpilihnya kembali Presiden Soeharto melalui Sidang Umum MPR 1 – 11 Maret 1998 ternyata tidak menimbulkan dampak positif yang berarti bagi upaya pemulihan ekonomi Indonesia, bahkan memperparah gejala krisis. Gelombang aksi mahasiswa terjadi bukan hanya di ibu kota negara, Jakarta, tetapi terjadi di mana-mana menuntut gerakan reformasi. Tuntutan reformasi itu sebagai berikut : 1 Bubarkan Orde Baru dan Golkar 2 Hapuskan Dwifungsi ABRI 191 3 Hapuskan KKN 4 Tegakkan supremasi hukum, hak asasi manusia HAM dan demokrasi. Gambar 37 : Aksi demontrasi mahasiswa menduduki gedung MPRDPR RI Aksi demonstrasi dan tuntutatn gerakan reformasi oleh mahasiswa mencapai puncaknya pada tanggal 12 Maret 1998 yang berjalan sangat ramai dan bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan tidak terhindarkan. Kerusuhan demi kerusuhan terjadi saling menyusul di beberapa daerah. Di Jakarta, peristiwa bentrokan mahasiswa dengan aparat keamanan terjadi hingga menewaskan 4 mahasiswa Universitas Trisakti Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan. Peristiwa itu menambah suram kondisi di Indonesia, bahkan berakibat pada kasus penjarahan massal, pembakaran, hingga aksi pelecehan sexual teruama terhadap wanita keturunan Tionghoa. Tanggal 18 Mei 1998 aksi demonstrasi mahasiswa yang datang dari berbagai daerah kembali terjadi dengan sasaran menuju gedung DPRMPR. Presiden Suharto ketika itu menanggapi kekurangpuasan mahasiswa dengan mengambil tindakan membentuk komite reformasi dan membentuk kabinet reformasi. Namun, kebijakan ini tidak didukung dengan baik di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Demonstrasi kembali terjadi karena rasa ketidakpuasan atas kebijakan yang ditetapkan. Bahkan beberapa pembantu presiden menteri pada waktu itu mengundurkan diri. Dengan semakin kuatnya tuntutan mahasiswa tersebut, maka pada tanggal 20 Mei pimpinan DPR memutuskan akan menggelar Sidang Istimewa SI MPR jika Presiden Soeharto tidak mengundurkan diri. Dalam kondisi seperti itu membuat Presiden Suharto harus menentukan pilihannya. Pada tanggal 21 Mei 1998 pk 09.05 Presiden Suharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI yang telah dijabatnya selama 32 tahun 7 bulan dan 3 minggu. Keputusan itu selanjutnya diikuti dengan pengangkatan dan pengambilan sumpah jabatan BJ. Habibie yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil presiden menjadi Presiden RI di Istana Negara. Pengalihan kekuasaan itu dilakukan sesuai dengan pasal 8 192 UUD 1945: “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis wakunya.”

f. Perkembangan Pemerintah Indonesia Pasca Runtuhnya Orde Baru