Mengenai kejahatan anak, memandang dari niatnya atau maksudnya bukan akibatnya. Misalnya bila seorang dokter membuat sakit pasiennya dengan
menyuntik, karena niatnya baik maka tidak dianggap melanggar moral, dan tidak mendapat hukuman. Hal ini berbeda dengan pandangan anak yang masih dalam
pemahaman moral heteronom. Mereka menganggap dokter jahat karena menyakiti pasien, maka anak anak memusuhi dokter yang telah mengobatinya.
c. Periode Transisi 7 tahun – 10 tahun
Periode transisi merupakan peralihan dari pemahaman moral heteronom dengan pemahaman moral otonom. Dalam periode ini pandangan
moral anak masih berubah-ubah. Mereka kadang-kadang masih seperti anak pada periode pemahaman moral heteronom, kadang-kadang sudah seperti anak
pada periode pemahaman moral otonom.
3. Teori Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg.
Teori perkembangan moral ini merupakan pengembangan dari teori Piaget, yang membagi tahapan perkembangan moral menjadi enam stadium.
Perkembangan setiap stadium tidak pada urutan yang sama, tetapi perkembangan stadiumnya selalun melalui urutan stadium tersebut. Keenam
stadium dikelompokkan menjadi tiga leveltingkatan sebagai berikut: a. Tingkat pra-konvensional
Tingkat ini disebut pula tingkat pramoral, karena anak belum mengenal moral, pada tingkat ini ada dua stadium, yaitu stadium 1
dan stadium 2. 1 Stadium 1, orientasi kepatuhan dan hukuman
Pada stadium ini anak menurut perintah, patuh untuk menghindari
diri dari
hukuman dan
mendapat
penghargaan. Pada saat itu anak mengira bahwa aturan- aturan ditentukan oleh penguasa dan tidak dapat
diganggu gugat, sehingga kalau orangtua atau penguasa yang lain mengatakan baik suatu perbuatan, anak juga
akan menganggap baik perbuatan tersebut. Kalau pengusaha mengatakan suatu perbuatan itu jelek, maka
anak juga akan menganggap perbuatan itu jelek dan tidak berani melakukannya karena takut akibatnya akan
dihukum. 2 Stadium 2, orientasi individualisme dan instrumental
Pada stadium ini berlaku prinsip relativistik hedonisme. Anak melakukan sesuatu tergantung kepada kebutuhan
relativisme, dan kesanggupan seseorang hedonistik. Misalnya seseorang mencuri ayam karena sangat lapar
sangat membutuhkan maka dia tidak melanggar moral. b. Tingkat Konvensional
Pada umumnya perkembangan moral siswa sekolah dasar ada pada tingkat konvensional. Dimana tingkat ini terdiri dari stadium 3
dan stadium 4. 1 Stadium 3, orientasi konformitas interpersonal
Stadium ini dikenal pula dengan sebutan orientasi konformitas interpersonal, karena yang menjadi fokus
pada stadium ini adalah anak menyesuaikan diri terhadap apa yang diyakini masyarakat. Maka anak
mematuhi standar moral supaya memperoleh nilai baik dari masyarakat.
2 Stadium 4, orientasi hukum dan aturan Pada stadium ini, individu berpendapat bahwa kegiatan-
kegiatan yang bermoral adalah yang sesuai dengan aturan-aturan dalam masyarakat, selain supaya diterima
masyarakat juga karena mereka merasa melakukan tugas dan kewajiban ikut mempertahankan aturan-aturan
atau norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. c. Tingkat Pasca konvensional
Pada tingkat ini ada dua stadium yaitu stadium 5 dan stadium 6. 1 Stadium 5, orientasi kontrak sosial
Pada stadium ini individu menyadari adanya hubungan timbal balik dan berdasarkan kontrak antara individu
dengan masyarakat. Maka pada saat itu individu masih mau diatur oleh hukum-hukum yang berlaku di
masyarakat, walaupun mereka yakin bahwa harus ada kelenturan
dalam keyakinan
moral, sehingga
dimungkinkan adanya perubahan dan perbaikan standar moral apabila dipandang perlu. Pada stadium ini pula
kata hati anak sudah mulai bicara tetapi penilaiannya belum timbul. Dengan ini anak nampak mempuyai sikap
yang radikal kaku. Anak juga mengadakan penyesuaian diri karena menginginkan kehidupan bersama yang
diatur. Para remaja seharusnya sudah sampai stadium 5 ini.
2 Stadium 6, orientasi etis universal Pada stadium ini sudah terdapat pemahaman yang lebih
tajam tentang subjektivitas aturan-aturan sosial. Individu
tidak hanya melihat bahwa suatu kontrak atau kesepakatan aturan tertentu secara implisit mengandung
unsur subjektivitas dan dapat diubah, melainkan bahwa interpretasi tentang makna dan batasan-batasan dari
kontrak dan aturan itu juga bersifat subjektif juga. Setiap orang dimungkinkan untuk memiliki interpretasi yang
berbeda terhadap suatu aturan tertentu. Dari penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa individu dalam
membuat pertimbangan moral bersumber dari kata hati. Hal ini diperkuat dari pendapat Monks dkk 1982: 171, yang mengatakan bahwa individu melakukan
konformitas tidak karena perintah atau norma dari luar, melainkan karena keyakinan sendiri, ingin melakukannya. Senada dengan pendapat ini Sunarto
dan Agung Hartono 1994: 145 menyatakan bahwa remaja mengadakan penginternalisasi moral yaitu mereka melakukan tingkah laku moral yang
dikemudikan oleh tanggung jawab sendiri. Dasarnya moral universal. Selain itu Kohberg juga berpendapat bahwa proses perkembangan moral
pada setiap stadium tidak terjadi secara mendadak dan dapat dijumpai adanya campuran beberapa stadium pada waktu tertentu. Selanjutnya dalam
penelitiannya menemukan bahwa mahasiswa yang sebelum masuk perguruan tinggi sudah mencapai stadium ke 4 atau ke 5, turun pada stadium ke 2 waktu
menjadi mahasiswa baru. Meskipun secara struktural, tingkat yang lebih tinggi tetap ada. Hal ini karena mahasiswa baru belum dapat menyesuaikan diri.
Ditemukan pula individu yang tidak banyak dituntut mengambil keputusan yang berhubungan
4. Teori Perkembangan Moral menurut Further