50
Seringkali diam itu dijadikan sebagai senjata dengan disandarkan kepada norma agama, sehingga dianggap mendapat pahala juga. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh
pegawai di sekolah PIRI Ibu Su dan Pak Mt. Bagi keduanya jika orang lain mendzaliminya, maka yang terbaik adalah harus diserahkan kepada Allah. Sebab Allah-
lah yang lebih mengetahui siapa yang benar dan salah.
b. Bermain dengan Wacana: Selain melakukan tindakan diam, Ahmadiyah di
Yogyakarta mengikuti tindakan-tindakan sebagaimana dilakukan Ahmadiyah pada tingkat nasional dan daerah lain yaitu berwacana. Hanya saja mereka lebih banyak
mereaksi terhadap wacana yang bersifat stereotif wacana-stereotif yang dilakukan muslim nonAhmadiyah. Bentuk wacana dari kalangan Ahmadiyah ini dapat disebut juga
dengan pembalikan wacana, sebuah wacana yang berusaha merespon terhadap wacana yang dilontarkan oleh muslim lain atau pihak lain dengan tujuan meluruskan dan
mempertahankan diri. Sebuah wacana sangat terkait dengan persepsi antarpihak.
c. Persepsi Antar Pihak: Pola relasi antarkelompok ataupun antar individu sangat
dipengaruhi oleh persepsi sosial antarkelompok. Jika persepsi sosial antarkelompok positif maka relasi sosial yang terbangun juga akan positif, dan sebaliknya. Hal ini
nampaknya juga terjadi dalam relasi antara Ahmadiyah non Ahmadiyah di Yogyakarta. Memang persepsi sosial antara kedua kelompok ini tidak sampai mengakibatkan konflik
kekerasan sebagaimana di daerah lain, namun lebih melahirkan perang wacana. Di kalangan pemerintah sendiri terjadi perbedaan persepsi terhadap Ahmadiyah,
khususnya dalam melihat GAI dan JAI. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan informan- informan saya LH, 45 tahun; JA, 35 tahun:
GAI di Yogyakarta sangat inklusif berbeda dengan JAI yang bersifat eksklusif. Inklusivitas dapat dilihat dari beberapa indiketor sbb: a Guru di sekolah PIRI 70
non Ahmadiyah. b Siswa sekolah PIRI bukan penyambung lidah kader Ahmadiyah sepeetri di Muhammadiyah atau NU. Kalau di NU siswa harus melaksanakan ibadah
dengan pakai qunut, dan di Muhamadiyah tidak pakai. c Masjid di kompleks sekolah PIRI untuk umum. .... Bagi LH, Depag DIY tidak memasalahkan dengan
GAI karena mereka berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai mujaddid.
Ahmadiyah baik GAI maupun JAI tidak masuk dalam keanggotaan FKLD karena Ahmadiyah tidak diakui oleh Kemenag DIY . Ahmadiyah bersifat eksklusif, mereka
melakukan kegiatan hanya khusus di kalangan mereka, bahkan seperti JAI mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad, itu tidak bisa Adapun GAI yang mengatakan
Mirza Gulam Ahmad sebagai mujadid, itu pengakuan lisan mereka saja, dalam
51
kenyataannya sama saja dengan JAI, sebab GAI juga berpedoman kepada’tadzkirah’ sepertihalnya JAI yaitu mengakui Ghulam sebagai nabi...’
... ’itulah masalahnya, kita pejabat pemerintah sendiri memang ada perbedaan persepsi tentang posisi Ahmadiyah Lahore...padahal dalam kenyataan Lahore itu
inklusif, SKB 3 Menteripun hanya mengatur tentang JAI bukan Lahore...’
Sementara dari informan lain dari pejabat Kemenag SA, 45 tahun dan AM 40 tahun menyatakan
Baik Lahore maupun Qadian itu sama-sama tertutup. Karena itu itu FUI pernah didemonstrasi. Kalau di Lahore ada mata pelajaran Keahmadiyahan
kepada siswa di sekolah-sekolah PIRI, bahkan ada baiat juga sebagai anggota di kalangan guru....Ketika shalat dan jumatan hanya mau bermakmum kepada
imam yang berasal dari kalangan Ahmadiyah, baik di Lahore maupun Qadian...... Lahore dan Qadian itu sama saja karena sama-sama melandaskan
paham agamanya kepada Tadzkirah.
Dari pernyataan tersebut menunjukkan beberapa hal: 1 Ada generalisasi posisi GAI dan JAI yaitu sama-sama tertutup. 2 Ketertutupan keduanya karena dianggap sama-
sama menjadikan Tadzkirah sebagai sumber paham agamanya dan tidak mau berimam shalat kepada orang nonAhmadiyah. 3 Selain itu ada sedikit perberadaan, di GAI ada
pemberian mata pelajaran Keahmadiyahan di sekolah PIRI, bahkan ada baiat sebagai anggota di kalangan guru. 4 Tidak adanya kesatuan persepsi di kalangan pejabat
pemerintah sendiri dalam menilai Ahmadiyah, khususnya antara GAI dan JAI. Hal ini akibat kurangnya pengetahuan terhadap Ahmadiyah itu sendiri. Misalnya ketika saya
nyatakan mengenai ADART GAI yang hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta hanya mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, justru mereka
menyatakan tidak mengetahui hal itu. Mengenai inklusivitas GAI ditegaskan oleh pimpinan GAI sendiri. Ini sekaligus
sebagai respon GAI terhadap persepsi kelompok Islam mapan dan sebagian kelompok Islam sempalan yang melihat GAI sama seperti halnya JAI. Informan saya, Pak M, dan
Pak S karyawan di sekolah PIRI mengemukakan banyak aspek yang terkait dengan inklusivitas dan tidak adanya pemaksaan dalam keanggotaan GAI ini:
Kegiatan keagamaan di masjid GAI berbaur dengan muslim lain yang ada di sekitar Baciro. Muslim non GAI banyak berjamaah di masjid GAI terutama ketika shalat
Jumat, kegiatan bulan Ramadhan i’tikaf, dan bahkan ketika shalat Id hujan, masjid GAI ditempati. Dulu sebelum ada masjid di sekitar Baciro, jamaah non GAI banyak
yang shalat lima waktu berjamaah.
52
Untuk jadi guru dan karyawandosen tidak ada syarat harus menjadi anggota atau punya kartu anggota GAI. Karena itu, dari 300-an orang gurukaryawan di
lingkungan lembaga pendidikan GAI PIRI, hanya ada 72 orang yang menjadi anggota GAI. Itupun sebagian besar guru pendidikan agama Islam. PAI. Bahkan
Kepsek di Piri Baciro adalah salah satu pengurus di Muhammadiyah. Dalam pelajaran PAI memang ada materi Tajdid Islam Kepirian, NIyang isinya
memperkenalkan perkembangan pembaharuan pemikiran Islam umumnya dan Mirza Ghulan Ahmad. Siswa tetap diberikan pelajaran Tajdid Islam, namun tidak ada
pemaksaan untuk masuk GAI. Sepenuhnya diserahkan kepada siswa dan alumni untuk masuk atau tidak masuk GAI. Dari kalangan alumni biasanya ada 1 atau 2
sedikit sekali yang menjadi kader dan masuk GAI, bahkan banyak alumni yang bergabung ke Muhammadiyah atau NU, dan lain-lain.
Anggota GAI yang menjadi guru dan karyawan di sekolah PIRI hanya satu orangan atau dapat dihitung jari..... Siswa dipulangkan sebelum pelaksanaan shalat Jumat,
karena itu sangat sedikit yang ikut shalat jumat.
Adapun persepsi ormas Islam terhadap Ahmadiyah dapat diwakili dari orang NU, Muhammadiyah dapat dilihat dalam pernyataan pimpinan pusat masing-masing
sebagaimana dikutip sebelumnya melalui ‘Berita Satu.com’.- Selasa 23 April 2013:
Muhammadiyah dan NU menegaskan, Ahmadiyah adalah pihak yang memulai mendzalimi orang-orang non-Ahmadiyah, dan menyebut sebagai orang-orang kafir.
Tolong lihat dulu, bagaimana Ahmadiyah melihat kami ini, Islam mainstream. Saya ingatkan bahwa dalam kitab-kitab mereka, mereka yang mengkafirkan umat Islam
non-Ahmadiyah, kata Khatib Aam PBNU, Malik Madany...’sayangnya hal itu tak pernah diungkap ke publik, dan karena itu dia meminta publik adil dalam menilai dan
melihat masalah Ahmadiyah.
.... Menurut Din Syamsudin, Ahmadiyah adalah organisasi eksklusif. Hanya kawin di antara mereka sendiri. Masjid mereka tidak boleh dimasuki oleh Islam lain.
Ahmadiyah juga menganggap orang Islam lain seperti kami-kami ini kafir. Jadi yang mulai mengkafirkan itu Ahmadiyah,
Dari kalangan FPI terlihat dalam isu dan spanduk ketika mereka melakukan tuntutan pembubaran Ahmadiyah dan protes terhadap pernyataan Gubernur DIY, Sri
Sultan Hamengku Buwono X yang tidak akan membubarkan Ahmadiyah.
d. Wacana-Stereotif dan Pembalikan Wacana: Dari persepsi yang berbau wacana-