Tindakan Masyarakat Sipil Tindakan Negara dan Masyarakat Sipil

174 namun keharmonisan yang ada tidak terlepas dari keputusan yang diambil oleh pemerintah setempat bersama MUI mengenai KISK yang ada. 2 Tidak memasukkan sebagai wakil di lembaga konsul Negara juga memperlakukan KISK berbeda dengan KIM bahkan dengan KISU, yaitu tidak memasukkannya sebagai wakil di forum konsul yang dibentuk pemerintah seperti Forum Komunikasi Lembaga Dakwah FKLD, Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB, juga termasuk dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia MUI. 3 Menafikan hak-hak sipil Penafian atau setidak-tidaknya ada upaya penafian sebagian hak-hak sipil warga KISK oleh pemerintah, seperti yang dilakukan pemerintah Kuningan. Misalnya dalam bidang administrasi kependudukan KTP dan Kartu Keluarga, dan melarang KUA memproses pernikahan yang dilakukan warga Ahmadiyah. Pemerintah berupaya menghilangkan hak-hak sipil sebagai bagian pemberian sanksi dan munculnya stereotif terhadap KISK. Hal ini nampaknya juga terjadi di Sampang. Tabel 9: Perbandingan Bentuk Tindakan Negara dan Kekuatan Sipil Terhadap KISK Bentuk Tindakan Ahmadiyah Yogya Ahmadiyah Kuningan Syiah Sampang An Nadzir Gowa Negara: -Stereotif sesat + + + -Regulasi tingkat nasional +JAI GAI +JAI -Regulasi tingkat lokal - +JAI -Penafian hak-hak sipil + -Tidak memasukkan sebagai anggota forum keagamaan atau lembaga konsul yang diadakan pemerintah FKUB, FKLD + + + + Kekuatan Sipil: -Fatwa tingkat nasional + JAIGAI +JAI -Fatwa tingkat lokal +MUIBASSRA -Tidak memasukan sebagai wakil di lembaga konsul mandiri MUI + + + + -Tindakan konflik masif + + + -Tindakankonflik kekerasan + + Keterangan: + = terjadi

b. Tindakan Masyarakat Sipil

Varshney 2009 mencirikan masyarakat sipil dengan kelompok yang ada di antara keluarga dan negara, ada interkoneksi antarindividukeluarga, dan bebas dari 175 campur tangan atau kooptasi negara. Bentuk peran masyarakat sipil dilihat pada jaringan atau ikatan yang ada dalam masyarakat. Ketika bentuk relasi sosial tertentu terjadi di masyarakat, khususnya ketika terjadi konflik dan ketegangan, maka setiap pihak di luar kelompok yang terlibat konflik menunjukkan tindakan yang beragam. Pada intinya mereka terbelah menjadi pihak yang mendukung dan menolak atau beresistensi, tentu di luar kedua sikap tersebut ada yang netral. Pada semua kasus yang diteliti menunjukan bahwa masyarakat sipil pada level nasional, regional, dan lokal umumnya terbelah menjadi dua kelompok. Pengelompokan ini sekaligus menunjukkan perbedaan tindakan atau peran yang dimainkannya dalam proses relasi sosial KISK dan KIM. Perbedaan peran di antara kelompok masyarakat sipil tersebut bukan hanya terjadi antara Ormas Islam dengan kelompok pegiat dedeskriminasi PPD , namun juga terjadi di kalangan Ormas Islam. Ormas dan Lembaga Konsul Islam: Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa di kalangan Ormas Islam terpecah menjadi dua kelompok dalam menghadapi isu dan relasi dengan KISK, yaitu pihak yang beresistensi dan pihak yang mendukung. Pihak yang beresistensi meliputi KIM, dan KISU, termasuk lembaga konsul Islam mandiri MUI. Mereka melakukan berbagai tindakan dalam menghadapi isu KSIK, yaitu: regulasi fatwa dan edaran, berkaloborasi dengan negara, mengembangkan stereotif, pengaktualan konflik. Kelompok penolak KISK ini berada pada level nasional sampai lokal. Kelompok pada level nasional biasanya menggunakan media massa untuk menyampaikan sikapnya, selain melalui surat resmi dan negosiasi dengan pemerintah pusat. Pada tingkat nasional: SKB, Fatwa MUI, Keputusan sesat NU dan Muhammadiyah, FPI, dan Ormas Islam lokal. Pertama, regulasi dan pengembangan wacana stereotif. Sebagaimana dalam kasus relasi negara dengan KSIK, antara stereotif dengan regulasi tidak dapat dipisahkan dalam melahirkan bentuk relasi yang melibatkan KISK. Dalam konteks relasi KIM dengan KSIK, regulasi dalam arti sebagai fatwa atau edaran yang dikeluarkan Ormas Islam, baik di tingkat pusat maupun daerah, sebagai bagian dari aktualisasi formal dari stereotif yang muncul dalam masyarakat. Sebaliknya regulasi 176 yang ada dapat berfungsi sebagai pemicu, penguat, dan pelanggeng stereotif terhadap KISK. Fatwa MUI mengenai KSIK umumnya dikeluarkan oleh pusat misalnya dalam kasus Ahmadyah, Al Qiyadah Al Islamiyah, dan lainnya, kemudian di daerah mengimplementasikannya. Sebaliknya dalam kasus Sampang, MUI di daerah ini paling aktif merumuskan dan menyusun fatwa kesesatan paham Tajul Muluk Syiah, kemudian dijadikan acuan oleh MUI Jawa Timur dan pusat serta pemerintah lokal. Dalam proses tersebut peran BASSRA tidak dapat diabaikan. Dalam kasus Syiah Sampang, MUI pusat seolah gamang dan justru terjadi konflik internal yang terberitakan di media massa. Meskipun setiap MUI atau Ormas Islam daerah setuju dengan isi fatwa MUI pusat atau Ormas Islam, namun mereka berbeda dalam cara mengimplementasikannya di lapangan. Ada yang lebih mengedepankan resistensi dalam bentuk konflik kepada KSIK seperti di Kuningan, namun ada juga yang mengedepankan sikap toleransinya seperti yang dilakukan di Yogyakarta. Kedua, berkaloborasi dengan negara. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya Ormas Islam dalam menghadapi KSIK selalu berkalobarasi dengan negara, khususnya pemerintah, baik pada level pusat maupun lokal. Ketiga, dalam makna umum sebenarnya hampir semua tindakan yang dilakukan oleh Ormas Islam dalam menghadapi KSIK sebagai bagian dari negosiasi, sebab tujuannya adalah untuk merubah paham agama KSIK. Hanya dalam kasus Sampang ada proses negosiasi unik pascakonflik kekerasan yaitu relokasi pengungsi Syiah ke tempat asal diperblehkan dengan syarat harus masuk Sunni. Keempat, pengaktualan konflik, baik melalui gerakan masif maupun dukuungan dan atau pembiaran terjadinya kekerasan terhadap warga KSIK. Sementara kelompok Islam yang mendukung lebih sedikit. Perannya berbeda-beda pada setiap daerah. Kelompok sipil yang ikut terlibat dalam isu dan relasi KISK dengan nonKSIK adalah mereka yang tergabung dalam pegiat dediskriminasi. Cakupannya cukup luas, mulai pegiat hukum, penegak hak-hak azasi manusia, dan pembela hak-hak minoritas. Misalnya LBH, Setara, ANBTI, Kontras, Gus Durian, FPUB dalam kasus Yogyakarta. Selain itu, ada Banser seperti dalam kasus di Kuningan, IJABI dan IAB dalam kasus Sampang. 177

3. Tindakan Agensi