64
keagamaan seperti shalat ied dan pembagian daging qurban untuk anggota masyarakat di luar kelompok mereka.
4. Bangunan Relasi
a. Relasi Sosial Keseharian
1 Sebaran komunitas, ketetanggaan, pertemanan: Berbeda dengan di
Yogyakarta, warga Ahmadiyah di Manislor justru membentuk sebuah komunitas yang berpusat di lokasi tertentu, atau membentuk kantong-kantong komunitas. Mereka
terdapat di dusun-dusun yang ada di Manislor. Hal ini tentu akan berpengaruh kepada pola hubungan keseharian yang terbangun dengan kelompok Islam yang lain. Dalam
konteks Manislor memang warga Ahmadiyah menjadi mayoritas, sementara kelompok Islam yang lain minoritas.
Adanya kantong kanomunitas Ahmadiyah tersebut menjadikan pemukiman warga Ahmadiyah bersifat eksklusif. Mereka banyak bertetangga dengan sesama
warga Ahmadiyah. Memang banyak juga keluarga Ahmadiyah yang beretetangga dengan keluarga nonAhmadiyah.
Sebelum terjadinya serangkaian peristiwa penolakan yang bernuansa kekerasan, hubungan ketetanggaan dan pertemanan antara warga Ahmadiyah dan
nonAhmadiyah berjalan dalam keadaan status quo. Artinya, tidak ada konflik kekerasan dan masif, namun juga kurang intim, terutama jika dibandingkan dengan
intimitas di masing-masing internal kelompol Islam.
2 Perkawinan: Dalam hal perkawinan, memang sangat jarang bahkan
hampir tidak pernah terjadi antara warga Ahmadiyah dan nonAhmadiyah. Kalaupun ada karena salah satu pihak sudah menjadi anggota Ahmadiyah. Hal ini karena sesuai
dengan keyakinan Ahmadiyah Qadian JAI yang melarang perkawinan antara warga JAI dengan nonAhmadiyah. Dalam arti lain, JAI memang bersifat ekslusif dalam
persoalan perkawinan ini, sama halnya dengan soal bermakmum dalam shalat kepada orang di luar JAI.
3 Kegiatan Keagamaan: Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa
pada saat ini warga JAI di Manislor memiliki tempat ibadah sendiri, baik masjid maupun mushala, dan bahkan juga sekolah. Sesuai dengan keyakinan tentang
larangan bermakmum dalam shalat kepada imam nonAhmadiyah, maka warga JAI
65
juga bersifat ekslusif dalam shalat berjamaah. Hal ini kemudian menjadikan tempat ibadah warga JAI bersifat eksklusif pula. Artinya hanya diperuntukkan bagi warga
JAI, memang ada warga nonJAI yang ikut berjamaah di tempat ibadah mereka namun tidak banyak. Orang nonJAI lebih nyaman shalat berjamaah di tempat ibadah
yang dimiliki muslim nonJAI. Ketika shalat Ied Fitri dan Adha jamaah JAI melakukan shalat khusus di masjid dan di kalangan mereka sendiri.
Kegiatan sosial keagamaan seperti pengajian dan lainnya juga lebih banyak dilakukan dan diperuntukkan bagi jamaah JAI sendiri. Sementara warga nonJAI
mengadakan pengajiannya di tempat ibadah sendiri. Keadaan ini tentu berpengaruh juga kepada pola hubungan keseharian di antara warga JAI dan nonJAI.
Walaupun mereka memiliki banyak dan ragam kegiatan, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, namun kegiatan tersebut memng hampir semuanya
diperuntukkan bagi anggota JAI sendiri. Memang ada kegiatan sosial-keagamaan, seperti pembagian daging qurban ketika hari raya Iedul Adha yang diperuntukkan
juga bagi masyarakat luar, namun sebenarnya lebih banyak diperuntukkan bagi jamaah JAI sendiri, baik untuk lingkungan di Manirlor dan Kuningan maupun di
wilayah Cirebon.
b. Relasi Sosial Asosiasional