181
lain secara negatif karena berdasarkan standar dan klaim kebenaran dari paham agamanya sendiri, sehingga melahirkan stereotif negatif seperti sesat dan
menyesatkan serta pengkafiran. 2 adanya tindakan-tindakan yang dilakukan setiap kelompok dalam berelasi dengan kelompok lain, baik oleh negara, kelompok
masyarakat sipil, dan tindakan agensi dari KISK sendiri. 3 situasi dan kondisi, nilai, sejarah relasi masa lalu yang menjadi struktur sosial bagi tiap kelompok.
Secara lebih terinci faktor-faktor penyebab berkembangnya bentuk relasi antara KSIK dengan kelompok di luar dirinya bersifat multifaktor. Di setiap daerah
ada kesamaan-kesamaan sekaligus ada perbedaan yang perlu ditelisik secara cermat. Aspek struktur mencakup posisi tokoh lokal, religiosentrisme, sejarah relasi, kantong
komunitas, sejarah relasi, dan jaringan relasi. Selain itu aspek tindakan-tindakan yang dilakukan berbagai pihak, baik negara, kelompok sipil maupun tindakan agensi
KISK sendiri.
a. Posisi Tokoh Lokal
Faktor penyebab harmoni dan konflik ditentukan oleh posisi dan peran elite tertentu dalam struktur sosial masyarakat. Di Yogyakarta misalnya, sultan sebagai
elite budaya, sekaligus elite politik, memiliki status penting dalam kehidupan masyarakat dan sangat menentukan. Sikap dan kebijakan yang diambilnya dalam
persoalan KISK telah mampu meredam konflik. Lembaga pemerintah dan setiap elemen kekuatan sipil termasuk lembaga konsul seperti MUI harus lebih
mengedepankan toleransi daripada fatwa dan regulasi pemerintah pusat yang cenderung memberikan peluang bagi terciptanya konflik.
Sebaliknya di Sampang dan dalam batas tertentu di Kuningan, elite yaitu kyai yang memiliki status penting dalam struktur sosial masyarakat memiliki sikap yang
anti terhadap KISK, sehingga konflik menjadi tak terhindarkan. Sementara di Gowa tidak terlalu jelas peran yang dimainkan oleh pemimpin tradisional seperti Daeng dan
lainnya dalam hubungannya dengan keberadaan KISK. Terjadinya harmoni di daerah ini lebih banyak berasal dari kalangan elite politik di pemerintahan dan lembaga
konsul.
182
b. Religisentrisme
Sebagaimana djelaskan sebelumnya bahwa dalam banyak hal paham agama Islam telah menjadi standar penilaian bagi paham agama kelompok lain.
Kecenderungan ini bukan hanya terdapat di kalangan mayoritas, namun juga minoritas. Keadaan ini nampaknya terdapat di semua lokasi penelitian. Di Kuningan
misalnya, paham Islam tradisionalis yang menjadi anutan mayoritas masyarakat telah dijadikan sebagai standar penilaian bagi paham Ahmadiyah, sehingga melahirkan
stereotif sesat. Hal yang sama terdapat juga di Sampang dengan atas nama Sunni atau ahlus sunnah wal jamaah terhadap paham Syiah.
Adanya klaim kebenaran menurut standar nilai agama yang dipahaminya dapat dimaknai juga sebagai adanya religiosentrisme antar pihak. Sebuah pandangan
yang melihat paham kelompok Islam lain secara negatif karena berdasarkan standar dan klaim kebenaran dari paham agamanya sendiri, sehingga melahirkan stereotif
negatif. Pihak mayoritas menganggap paham minoritas sebagai sesat, sedangkan pihak minoritas menganggap mayoritas kafir.
Ada kecenderungan bahwa religiosentrisme antarpihak atau oleh satu pihak potensial atau mungkin terjadi konflik masif ataupun kekerasan, jika ada faktor
pemicunya atau didukung oleh fator -faktor lain. Potensialitas itu sangat dimungkinkan karena paham agama merupakan nilai yang memberikan dorongan
besar bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Walaupun begitu, jika ada faktor lain yang juga mengimbangi terhadap nilai dorongan dari paham agama, maka
dimungkinkan juga religiosentrisme yang ada tidak sampai menyebabkan tindakan konflik masif atau kekerasan. Religosentrisme hanya berada di level ide setiap
kelompok. Hal ini sangat nampak dalam kasus Yogyakarta. Di daerah ini walaupun paham agama mayoritas sama-sama besar, antara NU dan Muhammadiyah termasuk
MUI, paham agama yang berbeda dengan Ahmadiyah tidak melahirkan konflik kekerasan karena ajaran toleransi lebih dikedepankan, dan hal ini tidak terlepas dari
faktor lain yang cukup kuat yaitu posisi dan peran elite budaya dan politik sekaligus Sri Sultan Gamengku Buwono X yang sekaligus sebagai gubernur. Sementara
untuk kasus An Nadzir di Gowa, religiosentrisme juga tidak menyebabkan konflik masif dan kekerasan, karena meskipun sudah ada stereotif negatif dari pihak
183
mayoritas, namun belum sampai dianggap sesat, sementara dari pihak An Nadzir belum menganggap kelompok lain sebagai kafir atau sesat.
c. Sejarah Relasi