58
Babakanmulya dan Sidamulya, serta pabrik saos dan kecap di Babakanmulya. Di bidang seni-budaya seperti rudat, gembyung, dan pencak silat ada di Desa Sukamukti,
dan calung di Peusing. Sementara untuk tempat wisata andalan seperti Sidomba ada di Peusing, Cibulan di Maniskidul, dan Balong Dalem di Babakanmulya.
Walaupun begitu, desa ini cukup strategis secara ekonomis. Sebab ia terletak di pinggiran beberapa obyek wisata seperti Curug Sidomba, Cibulan, bahkan
Linggarjati dan Sangkanhurip. Hal ini menjadikan desa ini cukup potensial dalam pengembangan industri rumah tangga untuk daerah objek wisata tersebut
.
c. Bahasa dan Kesenian: Masyarakat Manisrenggo sebagai bagian dari
masyarakat Kabupaten Kuningan umumnya menggunakan bahasa Sunda dialek Kuningan. Sebagai wilayah yang berada di daerah Priangan timur, kabupaten ini
memiliki seni budaya Sunda yang khas yang berbeda dengan wilayah Sunda bagian barat. Seni budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat antara lain
cingcowong upacara minta hujan di Kecamatan Luragung, seni sintren di Kecamatan Cibingbin, goong Renteng di Kecamatan Sukamulya, tayuban di Ciniru,
pesta dadung di Subang, gembyung terbangan, sandiwara rakyat. Sementara wayang golek, dan kuda lumping terdapat di hampir semua kecamatan, reog di Desa Cengal,
calung di hampir semua kecamatan, tari buyung di Cugugur, dan balap kuda saptonan di Kecamatan Kuningan. Selain itu Jalaksana termasuk kategori kecmatan dengan
angka kawin cerai yang tinggi.
d. Nilai-nilai Toleransi dan Kerukunan: Dalam setiap etnis nilai-nilai
kerukunan dan tolerenasi sebenarnya menjadi bagian integral kehidupan mereka sehari-hari, tidak terkecuali di Kuningan dan khususnya di Manislor. Gejala relasi
sosial positif integrasi atau rukun ini didasari oleh sikap inklusif dari setiap kelompok masyarakat. Keterbukaan ini tergambar dalam hubungan sosial antar umat
beragama, baik antara umat Islam dengan Katolik, Protestasn, Hindu dan Budha. Bahkan antara penganut kepercayaan lokal seperti Madraisme di Cigugur.
Hasil penelitian Ripai 2010 menunjukkan bahwa pola interaksi sosial masyarakat Islam, Katolik dan Madraisme berjalan harmonis tanpa perantara
organisasi formal. Kedekatan hubungan ini dapat melalui kebersamaan dalam
59
menjalankan tugas keseharian semisal sama-sama mengerjakan sawah ladang, pergi ke pasar dan berniaga, perkumpulan antar warga, dan pertemanan.
Dalam masyarakat Sunda Kuningan, termasuk di Manislor, nilai-nilai rukun dan toleransi ini nampak juga dari filosofi atau ugeran yang berkembang di
masyarakat seperti ugeran, ‘batur sakasur, batur sasumur, batur salembur’. Substansi
ugeran ini adalah agar setiap orang menumbuhkembangkan kerukunan, dimulai dari kehidupan keluarga, kerabat, dan masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai toleransi dan
rukun tersebut harus dilakukan tanpa melihat kepada latar belakang pelaku, baik dari segi agama, suku maupun status sosial-ekonomi dalam masyarakat.
e. Harmoni dan Ketegangan