Paham Agama Struktur Sosial

166 era reformasi, kyai banyak berperan sebagai pelaku dalam kegiatan politik praktis. Dalam kasus Sampang kecenderungan ini telah berdampak juga terhadap proses konflik dan pascakonflik Syiah-Sunni. Sebab ada kecenderungan isu Syiah telah dijadikan sebagai alat untuk merebut opini dan simpati masyarakat untuk kepentingan politik praktisnya, khususnya menjelang tahun 2014. Tentu tidak semua mereka punya kepentingan praktis seperti itu. Sementara di Yogyakarta ketokohan pemimpin masyarakat masih berbasis kepada elite budaya, khususnya karaton. Sri Sultan dan Pakualam merupakan sosok panutan yang ucapan dan sikapnya terhadap suatu hal menjadi acuan bagi masyarakat. Di Kuningan, meskipun kyai memiliki cukup peran, namun sebenarnya tidak sepenting posisi dan peran kyai di Sampang. Adapun di Gowa, ketokohan pemimpin masyarakat sebagian masih dipegang oleh kepemimpinan tradisional seperti daeng dan kyai. Kedua tokoh ini memiliki posisi sama dalam struktur masyarakat Makassar-Bugis di Gowa.

b. Paham Agama

Paham agama yang berkembang di suatu tempat nampaknya menjadi pengarah dan pengendali bagi tindakan masyarakat, khususnya bagi penganut agama dari kalangan santri. Kian taat beragama suatu masyarakat kian kuat untuk menjadikan paham agamanya sebagai acuan dalam bersikap dan bertindak. Artinya, dalam banyak hal paham agama mayoritas menjadi standar penilaian bagi paham agama kelompok lain. Hal ini nampaknya terdapat di semua lokasi penelitian. Di Kuningan misalnya, paham Islam tradisionalis yang menjadi anutan mayoritas masyarakat telah dijadikan sebagai standar penilaian bagi paham Ahmadiyah, sehingga melahirkan stereotif sesat. Hal yang sama terdapat juga di Sampang dengan atas nama Sunni atau ahlus sunnah wal jamaah terhadap paham Syiah. Sebaliknya di Yogyakarta, walaupun paham agama mayoritas sama-sama besar, antara NU dan Muhammadiyah termasuk MUI, paham agama yang berbeda dengan Ahmadiyah tidak melahirkan konflik kekerasan karena ajaran toleransi, yang juga diajarkan Islam, lebih dikedepankan. MUI misalnya menyadari adanya perbedaan dari ajaran Ahmadiyah dengan paham Islam yang lain, dan memahami isi fatwa MUI pusat dan SKB 3 Menteri, namun hal itu tidak dijadikan sebagai acuan 167 untuk melakukan konflik kekerasan terhadap Ahmadiyah. Sementara dalam kasus An Nadzir, meskipun paham Islam mayoritas tidak memasalahkan keberadaannya, namun mereka tetap menjadikan pahamnya sebagai standar dalam menilai paham agama An Nadzir. Dengan demikian, walaupun ada nuansa perbedaan di setiap daerah, namun paham agama mayoritas cenderung menjadi struktur yang memberikan daya paksa bagi penganutnya untuk bersikap, bertindak, dan menilai paham agama lain, khususnya minoritas. Akibatnya tidak jarang penganut paham mayoritas memiliki stereotif dan jika tidak terkendali dan ada nilai toleransi membawanya bertindak di luar kewajaran. Paham agama yang dianut pihak minoritas pun dapat menjadi sruktur yang memiliki daya paksa bagi penganutnya untuk bersikap, bertindak, dan menilai paham agama lain. Stereotif ‘kafir’ bagi pihak lain seperti yang dilakukan Ahmadiyah JAI dan Syiah menjadi pemicu bagi pihak mayoritas untuk bereaksi.

c. Sejarah Relasi Sosial