177
3. Tindakan Agensi
Tindakan agensi yang dimaksud di sini adalah tindakan yang dilakukan pihak yang terlibat dalam relasi sosial, khususnya pihak yang dianggap minoritas.
Tindakan agensi atau keagenan pelaku berkaitan dengan struktur. Struktur berupa semua hal yang cenderung memiliki daya paksa untuk mempengaruhi tindakan
pelaku, baik berupa kebijakan, aturan, fatwa, steraotif, sikap dan perbuatan pihak lain. Dalam melakukan tindakan agensi, pelaku berusaha bebas dari kungkungan struktur
dengan cara berstrategi, berimprovisasi, dan melakukan tafsir ketika berhadapan dengan struktur tersebut, semuanya disesuaikan dengan perkembangan situasi yang
ada dan kepentingan para pelaku. Tindakan-tindakan agensi berkaitan dengan penjalanan kekuasaan oleh semua
pihak terutama oleh minoritas, baik dalam upaya mempertahankan diri dari pelaksanaan kuasa pihak lain yang cenderung memarginalisasi maupun upaya
memenangkan persaingan dalam satu atau banyak aspek. Termasuk juga tindakan- tindakan yang dapat menyebabkan pengurangan tensi konflik, perdamaian, dan
bahkan yang justru tindakan pihak minoritas yang disengaja untuk menyebabkan konflik. Tindakan-tindakan agensi, sebagai bagian dari penjalanan kuasa, tersebut
dilakukan dalam banyak bentuk, misalnya melalui wacana stereotip atau prasangka, regulasi, bernegosiasi, resistensi dan akomodasi, termasuk melakukan aliansi dengan
pihak lain.
Tabel 10: Perbandingan Bentuk Tindakan Agensi Antar KISK
Bentuk Agensi KISK Ahmadiyah
Yogya Ahmadiyah
Kuningan Syiah
Sampang An Nadzir
Gowa Permainan-pembalikan wacana
+ +
+ Membangun aliansi
+ JAI +
+ Resistensi diam aktimenunggu
+ +
+ +
Resistensi aktif +
+ Negosiasi
+ +
+ Berperan dalam kegiatan sosial
dan ekonomi masyarakat +
Akomodasi + GAI
+
Keterangan: + = terjadi
Sebagaimana terlihat dalam tabel bahwa cukup banyak tindakan agensi dari KISK dalam menghadapi KIM-KISU dan negara, baik pada saat tidak terjadi konflik
dan terutama ketika dan setelah terjadinya konflik dengan. Bentuk agensi tersebut meliputi: permainan wacana bentuk, mengapa, siapa, ditujukan kepada siapa, modal
178
yang dimiliki, dampaknya, membangun aliansi, resistensi diam atau mengalah atau menunggu, resistensi aktif, negosiasi, dakwah bil hal, dan akomodasi.
Secara umum menunjukkan, dalam menghadapi kelompok di luar dirinya, setiap KISK biasanya melakukan berbagai tindakan agensi sekaligus. Hal ini
nampaknya disesuaikan dengan isu, situasi dan kondisi yang dihadapinya. Mereka dituntut memiliki kepekaaan terhadap setiap perkembangan dari tindakan yang akan
dilakukan oleh kelompok di luar dirinya, dan permainan itu akan terus dilakukan seiring dengan perjalanan waktu.
Bermain dengan Wacana-stereotif dan Pembalikan wacana: mereka lebih
banyak mereaksi terhadap wacana yang bersifat stereotif wacana-stereotif yang dilakukan muslim lain. Bentuk wacana dari kalangan KISK ini dapat disebut juga
dengan pembalikan wacana, sebuah wacana yang berusaha merespon terhadap wacana yang dilontarkan oleh muslim lain atau pihak lain dengan tujuan meluruskan
dan mempertahankan diri. Sebuah wacana sangat terkait dengan persepsi antarpihak. Jika persepsi sosial
antarkelompok positif maka relasi sosial yang terbangun juga akan positif, dan sebaliknya. Hal ini nampaknya juga terjadi dalam relasi antara KISK dengan
kelompok di luar dirinya negara dan atau KIM dan KISU. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, pihak muslim lain dan pemerintah mempersepsi Ahmadiyah, baik JAI
maupun GAI sebagai sesat, eksklusif sedangkan pihak Ahmadiyah Lahore menganggap pemerintah dan masyarakat Islam cenderung menggeneralisasi dan
Memang persepsi dan stereotif sosial antara kedua kelompok di Yogyakarta tidak sampai mengakibatkan konflik kekerasan sebagaimana Kuningan, Sampang, dan di
daerah lain, namun lebih melahirkan perang wacana. Wacana sebagai bagian dari alat tawar dari setiap pelaku dalam penelitian ini
ditemukan dalam bentuk wacana stereotipikal. Ketika satu pihak melontarkan stereotip, maka pihak lain menanggapinya dengan melakukan pembalikan stereotip.
Pihak yang melontar stereotip biasanya berkaitan dengan tindakannya dalam mengubah tindakan pihak lain, sementara yang melontar pembalikan stereotip lebih
bertujuan untuk mempertahankan diri, sehingga pembalikan stereotip sebagai bagian dari pertahanan dirinya menjadi alat tawar dengan pihak lain. Hubungan lontaran
wacana dan pembalikan wacana ini berproses seperti ‘bandulan jam’, dan sama-sama dianggap penting oleh setiap pihak. Sebab dominasi wacana menentukan dalam
179
pendefinisian dan pengorganisasian kelompok termasuk pendefinisian dan penentuan budaya yang sah atau tidak sah.
Membangun Aliansi: Kalau pembalikan wacana banyak dilakukan GAI di
Yogyakarta, maka pembangunan aliansi justru banyak dilakukan oleh JAI di berbagai tempat dan Syiah di Sampang.
Pembangunan aliansi dilakukan oleh JAI dan Syiah di tingkat nasional, propinsi, maupun lokal. Kelompok aliansi akan melakukan advokasi atau sekedar
memberikan dukungan moril dan simpati ketika terjadi konflik yang melibatkan warga KISK. Di tingkat nasional mereka terus menggalang dan menjalin hubungan
dengan beberapa komunitas dan gerakan, terutama ketika terjadi perlakuan dan kekerasan yang merugikan kepentingan KISK. Umumnya komunitas dan gerakan
tersebut fokus kepada isu hak-hak azasi manusia, pluralisme, dan hukum yang memiliki keberpihakan kepada minoritas yang termarginalisasi dan ketidakadilan.
Resistensi Diam dan Aktif: Ketika terjadi tindakan konflik dalam berbagai
bentuknya yang dilakukan pihak luar, anggota KISK teurtama Ahmadiyah pada umumnya khususnya di Yogyakarta dan Syiah nampaknya lebih banyak melakukan
tindakan diam. Walaupun bukan berarti pasif sama sekali, justru dalam kediamannya tersebut mereka intensif melakukan konsolidasi ke dalam.
Ketika mereka mengambil perlawanan diam silent violence dan patuh-semu, mereka terus mengamalkan ajaran yang dianggap sesat dengan lebih mempertegas
identitas ke dalam lingkungan internalnya, namun keluar seolah mematuhi terhadap tuntutan, baik dari pemerintah Kementerian Agama maupun MUI dan KIM yang
lain.Tindakan diam dan patuh-semu tersebut mengisyaratkan bahwa meskipun mereka telah mengakomodasi kepentingan aparat pemerintah dan muslim, namun
mereka masih memainkan kuasa untuk melawan Sementara Ahmadiyah di Kuningan dalam banyak aspek juga menjalankan
resistensi aktif yng dilakukan melalui berbagai aspek melakukan perlawanan melalui upaya hukum, meminta perlindungan, mengirim surat ke pemerintah untuk
penggunaan kembali tempat ibadah, bahkan siap melakukan perlawanan secara fisik. Walaupun begitu semua bentuk perlawanan aktif tersebut bersifat reaktif.
Hal yang sama dilakukan oleh warga Syiah, selain bersifat diam mereka juga melakukan perlawanan aktif. Hal ini terlihat ketika mereka menghadapi gerakan
massif dan kekerasan yang dilakukan Islam lainnya. Begitu juga dalam proses
180
negosiasi untuk relokasi warga ke tempat asal. Ketika elite KIM dan pemerintah lokal melarang warga Syiah kembali ke tempat asal kecuali masuk Sunni,
pimpinannya menolak secara tegas.
Kegiatan sosial sebagai model dakwah: alternatif model dakwah atau
kegiatan sosial-ekonomi, pengamanan kepada masyarakat umum yang dilakukan An Nadzir merupakan bagian dari agensi. Sebab hal itu ditujukan untuk memberikan
citra positif bagi kelompoknya. An Nadzir tidak melakukan dakwah bi lisan kepada masyarakat Islam, namun sebaliknya lebih banyak melakukan dengan dakwah bil-hal.
Dakwah bi lisan lebih bayak banyak dilakukan di kalangan internal mereka.
Akomodasi: Akomodasi bukan sepenuhnya menunjukkan bahwa pelaku
menerima dan pasrah total dalam menghadapi permainan kuasa atau tindakan pelaku lain, namun ia lebih merupakan bagian dari strategi untuk bertahan sesuai
kepentingan KISK. GAI di Yogyakarta misalnya, menerima dan ‘menyesuaikan’ nama dan kurikulum pendidikan keagamaan di lembaga pendidikannya, bahkan
termasuk dalam beberapa konsepsi terkait dengan dasar dan azas organsiasi serta keagamaan. Bahkan dalam kasus Ahmadiyah di Kuningan dan Ahmadiyah JAI di
Indonesia pada umumnya, penerimaan secara terpaksa atau tidak melalui proes negosiasi yang panjang terhadap butir-butir yang menjadi acuan dalam SKB 3
Menteri merupakan bentuk akomodasi. Ketika warga Syiah menerima kebijakan pengungsian yang tidak jelas akhirnya juga merupakan bagian dari akomodasi.
4. Menelisik Penyebab Bentuk Relasi