Tindakan Negara Tindakan Negara dan Masyarakat Sipil

171 terjadinya perkawinan dengan umat Islam yang lain, namun dengan syarat pihak yang dinikahi harus masuk sebagai jamaah KISK tersebut. Sementara dalam jaringan asosiasi relatif ada kesamaan di keempat daerah penelitian ini. Hubungan antar kelompok dan lembaga yang ada di daerah dengan berbagai fokus terjalin dengan baik. Hubungan sesama kelompok sipil dengan berlatar belakang keagamaan, suku, daerah, dan fokus hukum, pemberdayaan masyarakat, dan lain dalam banyak hal berlangsung dalam berbagai media. Misalnya melalui relasi bersama dalam partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan ekonomi, dan bahkan di dunia pendidikan sebagai guru atau dosen dan karyawan. Bahkan dalam kasus internal KISK, relasi asosiasional ini ditunjukan oleh GAI Yogyakarta. Lembaga pendidikan SD-PT PIRI yang ‘dimiliki’ GAI menjadi tempat bertemunya orang-orag yang berbeda paham agama. Sebab guru-dosen, karyawan, murid dan mahasiswa di lembaga pendidikan PIRI kebanyakan berasal dari warga nonPIRI. Hubungan dalam organisasi lintas paham agama seperti MUI, FGUB, dan FKLD menunjukkan semua KISK yang diteliti tidak masuk dimasukkan sebagai anggota. Keputusan untuk memasukkan atau tidak memasukkan wakil KISK ke dalam organsiasi lintas paham agama tersebut ditentukan oleh KIM. Dasar pertimbangannya biasanya berkenaan dengan dua hal yaitu stereotif kepada KISK sesat atau tidak sesat, dan jumlah, baik secara parsial sendiri-sendiri maupun secara bersama. Dalam kasus An Nadzir meskipun tidak digolongkan sesat namun tetap tidak dimasukkan sebagai anggota dalam organsiasi lintas agama tersebut karena faktor jumlah anggotanya. Sementara untuk kasus Syiah dan Ahmadiyah karena faktor stereotif sesat, dan dalam batas-batas terentu juga karena jumlahnya yang dianggap sedikit di daerah yang bersangkutan.

2. Tindakan Negara dan Masyarakat Sipil

a. Tindakan Negara

Negara sebuah institusi besar berperan dalam mencegah dan menanggulangi keamanan dan kenyamanan warganya tanpa harus melihat latar belakangnya, dan tanpa melihat sedikit-banyaknya warga dari latar latar belakang tertentu. Perlakuan tanpa diskriminasi adalah amanah konstitusi yang harus dihormati oleh negara. 172 Hanya, ketika terjadi ketegangan dan konflik antarkelompok warga, khususnya yang melibatkan KISK-KIM, negara yang diwakili eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif masih sering ditemukan bersikap diskriminatif, atau setidak- tidaknya dipersepsi demikian oleh kelompok warga dan masyarakat sipil. Negara bahkan menjadi bagian masalah dalam proses konflik kelompok warga melalui kolaborasinya dengan salah satu pihak yang terlibat konflik. Kolaborasi negara dengan kekuatan sipil tertentu, khususnya Ormas Islam, sangat terlihat dalam kasus konflik KISK-KIM di Kuningan dan Sampang. Terjadinya kolaborasi antara negara dengan kelompok tertentu dalam menghadapi kelompok minoritas sudah banyak ditemukan di berbagai kasus di Indonesia. Misalnya dalam kasus relasi antara komunitas ‘wetu telu’ dengan ‘wetu lima’ di lingkungan masyarakat Sasak dalam Budiwanti, 2000. Begitu juga dengan kasus relasi ‘Wong Sikep’ dengan pihak di luar dirinya Ismail, 2012. Bahkan jika kita telaah agak ke belakang, kecenderungan ini ditemukan juga oleh Hefner 1989 dalam relasi antara orang Tengger dengan muslim, juga dalam batas-batas tertentu temuan Tsing 1998 dalam usaha ‘pembudayaan’ masyarakat suku Dayak Meratus. Tindakan negara dalam menghadapi KISK di Indonesia melalui berbagai cara, baik pada level nasional maupun pada level lokal. Uraan singkatnya dapat dilihat dalam tabel. 1 Stereotif sesat dan regulasi nasional dan lokal Antara stereotif dengan regulasi tidak dapat dipisahkan dalam melahirkan bentuk relasi yang melibatkan KISK. Regulasi muncul sebagai bagian dari akomodasi negara terhadap berkembangnya stereotif dari masyarakat. Kasus Sampang dan Kuningan menunjukkan hal ini. Sebaliknya regulasi yang ada dapat berfungsi sebagai pemicu, penguat, dan pelanggeng stereotif terhadap KISK. Negara mengambil dua tindakan dalam mengahadapi KISK yaitu melakukan regulasi dalam bentuk aturan tertulis seperti dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah, dan kebijakan tidak tertulis seperti dalam kasus An Nadzir. Perbedaan tindakan ini disesuaikan dengan stereotif yang diberikan kepada KISK oleh masyarakat dan atau kekuatan sipil di lingkungan muslim. Memang ditemukan perbedaan stereotif sesat terhadap subyek sasaran antara regulasi yang diberikan negara dengan MUI. Misalnya dalam kasus Ahmadiyah, pemerintah melalui Kementerian Agama hanya 173 memberikan stereotif sesat dan mengatur Ahmadiyah Qadian JAI, sementara fatwa MUI ada kecenderungan mencakup Ahmadiyah Qadian JAI dan Lahore GAI. Meskipun kemudian beberapa pihak termasuk GAI menafsirkannya hanya berlaku untuk JAI. Selain itu, regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat belum tentu diterapkan oleh pemerintah daerah tertentu. Misalnya Di Yogyakarta, elite politik-budaya gubernur-Sultan setempat menegaskan bahwa Daerah Istmewa Yogyakarta tidak memberlakukan larangan kepada Ahmadiyah. Hal ini berbeda dengan langkah yang diambil oleh beberapa daerah seperti di Kuningan dan Sampang. Di kedua daerah ini regulasi mengenai KSIK justru berasal dari pemerintah setempat yang kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat atau propinsi. Gelombang regulasi pemerintah pusat dan lokal mengenai KSIK merupakan bagian dari uapaya pemerintay menjalankan kekuasaan untuk mendominasi. Strategi mempertahankan dominasi melalui aturan main dan kebijakan dalam kacamata Foucault 1977 disebut dengan teknonologi pengaturan technology of govermentality, strategi normalisasi dan regulasi. Normalisasi dalam arti menyesuaikan dengan norma-norma, sedangkan regulasi berarti menciptakan aturan main, kebijakan, wacana, mekanisme, prosedur, tata cara dan lainnya, bukan melalui pengontrolan secara langsung yang bersifat fisik. Kuasa bekerja melalui normalisasi dan regulasi, bukan melalui penindasan atau represi. Kuasa yang menormalisir tidak hanya dijalankan dalam penjara, namun juga berjalan melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dikonstruksi oleh para pelaku, dan semuanya pada intinya untuk mengendalikan dan mempertahankan posisi atau status quo. Dengan cara itu, kuasa disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi salah benar, normal-tidak normal, sesat-tidak sesat yang pada akhirnya adalah bertujuan mengendalikan perilaku pihak lain. Upaya dominasi kuasa melalui regulasi ini, dalam relasi negara, dan KISK terlihat dari kebijakan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah mengeluarkan SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang larangan dan pengawasan tergadap JAI. Sementara MUI mengeluarkan fatwa ‘sesat dan menyesatkan’ bagi Ahmdiyah Qadian 1980, dan Ahmadiyah pada umumnya 2005. Ormas Islam yang lain seperti Muhammadiyah dan NU juga mengeluarkan keputusan tentang ketersesatan Ahmadiyah. Begitu juga dengan Syiah di Sampang. Di Gowa meskipun tidak ada regulasi yang tertulis, 174 namun keharmonisan yang ada tidak terlepas dari keputusan yang diambil oleh pemerintah setempat bersama MUI mengenai KISK yang ada. 2 Tidak memasukkan sebagai wakil di lembaga konsul Negara juga memperlakukan KISK berbeda dengan KIM bahkan dengan KISU, yaitu tidak memasukkannya sebagai wakil di forum konsul yang dibentuk pemerintah seperti Forum Komunikasi Lembaga Dakwah FKLD, Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB, juga termasuk dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia MUI. 3 Menafikan hak-hak sipil Penafian atau setidak-tidaknya ada upaya penafian sebagian hak-hak sipil warga KISK oleh pemerintah, seperti yang dilakukan pemerintah Kuningan. Misalnya dalam bidang administrasi kependudukan KTP dan Kartu Keluarga, dan melarang KUA memproses pernikahan yang dilakukan warga Ahmadiyah. Pemerintah berupaya menghilangkan hak-hak sipil sebagai bagian pemberian sanksi dan munculnya stereotif terhadap KISK. Hal ini nampaknya juga terjadi di Sampang. Tabel 9: Perbandingan Bentuk Tindakan Negara dan Kekuatan Sipil Terhadap KISK Bentuk Tindakan Ahmadiyah Yogya Ahmadiyah Kuningan Syiah Sampang An Nadzir Gowa Negara: -Stereotif sesat + + + -Regulasi tingkat nasional +JAI GAI +JAI -Regulasi tingkat lokal - +JAI -Penafian hak-hak sipil + -Tidak memasukkan sebagai anggota forum keagamaan atau lembaga konsul yang diadakan pemerintah FKUB, FKLD + + + + Kekuatan Sipil: -Fatwa tingkat nasional + JAIGAI +JAI -Fatwa tingkat lokal +MUIBASSRA -Tidak memasukan sebagai wakil di lembaga konsul mandiri MUI + + + + -Tindakan konflik masif + + + -Tindakankonflik kekerasan + + Keterangan: + = terjadi

b. Tindakan Masyarakat Sipil