31
2. Struktur Sosial Masyarakat
a. Budaya Lokal Nilai-Nilai Lokal: Meskipun Yogyakarta, baik sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta
maupun sebagai kota, dikenal sebagai pusat perkembangan budaya Jawa, namun secara umum masyarakatnya menggunakan bahasa ngoko, dan krama. Bahasa Jawa-ngoko
digunakan dengan orang yang saling mengenal akrab, juga terhadap orang yang lebih muda usia dan lebih rendah status sosialnya. Bahasa Jawa-krama digunakan untuk
bicara dengan orang yang belum akrab dan tidak sebaya usianya, juga terhadap orang yang lebih tua usia dan lebih tinggi status sosialnya. Untuk itu sebelum menggunakan
bahasa dengan orang yang diajak bicara, seseorang harus memperhatikan dengan seksama bahkan dengan bertanya orang yang diajak bicara.
Masyarakat Yogyakarta sudah dikenal sebagai masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan tenggang rasa dalam hubungan antar individu dan kelompok.
Sebagai bagian terpenting dan menjadi pusat dalam perkembangan budaya Jawa, masyarakat Yogyakarta masih memiliki dan mempraktikkan nilai-nilai lokal dalam
kehidupannya. Nilai-nilai lokal tersebut antara lain: tepo seliro tenggang rasa, guyub rukun-kekeluargaan, alon-alon waton klakon sikap berhati-hati, sambatan saling
membantu dan bekerja sama Ismail, 2011: 37-38. Nilai-nilai lokal tersebut terkait dengan nilai-nilai pemeliharaan harmoni di kalangan masyarakat.
Guyub mengedepankan suasana keluargaan di antara masyarakat. Sebagai sebuah
ugeran, guyub telah dijadikan sebagai pedoman bersama dalam kehidupan masyarakat agar kehidupan masyarakat menjadi rukun-damai. Ugeran ini tidak sebatas hubungan
keluarga berdasarkan pada hubungan darah, tetapi kekeluargaan yang berarti semua manusia dan makhluk lain dianggap sebagai keluarga. Baik itu alam sekitar, tetangga
jauh apalagi tetangga dekat. Dalam hal ini tanpa membeda-bedakan status sosial, agama, dan sebagainya.
Selain itu ada ucapan yang selalu dipegang oleh masyarakat guna menjaga suasana tetap sejuk dan kondusif. Jika ada permasalahan mereka akan ngugemi berpegang
ugeran ‘leliru saka liyan’. Leliru dapat diartikan dengan ’mendapatkan ganti’ dan kata
saka liyan berarti dari yang lain. Jika digabung maka akan didapatkan kalimat ’mendapatkan ganti dari dan dalam bentuk lain’. Secara filosofis ugeran ini memiliki
makna rasa berserah diri bahwa pada saatnya apa yang dimiliki akan kembali pada yang
32
punya yaitu sing nduwe kersa Yang Maha Berkehendak atau akan kembali pada Tuhan. Di lain itu, leliru saka liyan juga dapat diartikan bahwa memaafkan itu lebih baik,
bersaudara dalam biduk kerukunan lebih baik daripada apa yang telah hilang. Nilai-nilai tepo seliro tenggang rasa, alon-alon asal klakon sikap berhati-hati,
dan sambatan saling membantu dan bekerja sama. Nilai-nilai ini pada umumnya memberikan rambu-rambu bagi anggota masyarakat, agar memiliki rasa saling
menghargai dan memahami perasaan orang lain, juga memberikan bantuan dalam hal apapun sesuai kemampuan yang dimilikinya. Tujuan akhirnya adalah supaya dalam
kehidupan masyarakat berkembang kerukunan tanpa membeda-bedakan latar belakang orangnya.
Harus diakui bahwa saat ini budaya Jawa di Yogyakarta sangat akomodatif terhadap budaya baru. Dalam banyak aspek keduanya budaya Jawa dan budaya baru
bersimbiosis dan berakulturasi sehingga sering sulit untuk membedakan mana budaya Jawa dan budaya baru tersebut. Sebagai bahan perbandingan, Islam yang telah
melakukan perkawinan budaya akulturasi dengan Jawa maka hasilnya adalah Islam Jawa. Sebagai contoh adalah upacara safaran atau nyadran, di dalamnya terjadi
akulturasi antara budaya Jawa dengan ajaran Islam. Demikian juga dengan Kristen yang melakukan akulturasi dengan Jawa maka yang ada adalah Kristen Jawa. Jika budaya
Jawa sangat dipengaruhi oleh datangnya HinduBudha maka sebenarnya secara tidak langsung juga terjadi akulturasi antara Islam-HinduBudha, atau Kristen-HinduBudha.
Serta tidak menutup kemungkinan pada agama lain.
b. Sejarah Relasi Sosial Masyarakat: Harmoni dan Ketegangan