Tindakan Negara, Kelompok Sipil, dan Agensi KISK

186 menangani program-program penanganan masalah sosial dan sebagai media penyalur ide dan kepentingan. Sementara dalam relasi dalam bentuk pertama, sebagaimana diadaptasi dari Vershney, juga tidak berkembang dengan baik. Hal ini terlihat dalam kasus Ahmadiyah JAI di Kuningan dan Yogyakarta, Syiah di Sampang, dan An Nadzir di Gowa. Kasus GAI Yogyakarta agak berbeda. Sebab lembaga pendidikan SD-PT PIRI yang ‘dimiliki’ GAI menjadi tempat bertemunya orang-orag yang berbeda paham agama. Sumber daya manusia yang ada guru-dosen, karyawan, siswa- mahasiswa di lembaga pendidikan PIRI kebanyakan berasal dari warga nonPIRI. Sebagai tambahan, yang tidak menjadi perhatian Varshney, penelitian ini juga melihat relasi asosiasional KISK dengan pihak di luar dirinya yaitu dalam bentuk hubungan kerja sama antarorgansiasi. Dalam penelitian tidak ditemukan bentuk relasi asosiasional seperti ini antara KISK dengan KIM dan yang lain. Religiosentrisme antarpihak dan aspek yang lain telah menyebabkan mereka tidak saling berkomunikasi dan apalagi melakukan kerja sama. Hal ini juga terjadi dalam hubungan KISK dengan lembaga konsul atau organisasi lintas paham agama yang berada di bawah koordinasi pemerintah FKUB dan FKLD dan yang otonom MUI. Semua KISK yang diteliti tidak masuk dimasukkan sebagai anggota oleh pemerintah dan Ormas Islam yang lain. Tidak berkembangnya relasi asosiasional ini nampaknya patut dijadikan faktor penyebab terjadinya bentuk relasi antara KISK dan KIM. Sebab setiap kelompok terutama KISK lebih banyak melakukan pengentalan ingroup, baik yang ada dalam satu daerah maupun lintas daerah. Media penyalur antar kelompok tidak terbangun, sehingga ide dan kepentingan maisng-masing tidak terkomunikasikan dengan baik. Mereka berkomunikasi justru ketika kondisi hubungan tidak berjalan baik.

f. Tindakan Negara, Kelompok Sipil, dan Agensi KISK

Tindakan-tindakan berbagai pihak dalam proses relasi sosial yang melibatkan KISK saling berhubungan dan bahkan saling bergantung interdependensi. Tindakan yang diambil oleh aparat negara dan kelompok sipil khususnya Ormas Islam sangat menentukan bentuk relasi yang berkembang, begitu juga tindakan agensi yang dilakukan KISK dalam menghadapi kelompok di luar dirinya. 187 Meskipun ada beberapa kesamaan tindakan agensi KISK di setiap daerah, namun tetap menghasilkan bentuk relasi yang berbeda. Hal ini mengandaikan adanya faktor khusus atau unik yang ada pada setiap daerah. Dalam kasus Ahmadiyah Yogyakarta misalnya, faktor-faktor pengintegrasi yang berasal dari tindakan Ahmadiyah Lahore GAI dengan kelompok lain terletak pada kemampuannya untuk mengakomodasi keberatan atau kepentingan pihak mayoritas dalam bidang keagamaan dan pendidikan serta tindakan inklusivitas dalam bidang bidang keagamaan. Selain itu, faktor paling penting dalam kasus Yogyakarta adalah peran elite budaya-politik Sultan-Gubernur yang secara eksplisit menampilkan diri sebagai sosok multkulturalisme. Religiosentrisme dari kalangan Ormas Islam termasuk MUI terhadap KISK JAI maupun GAI telah tersubordinasi oleh sikap dan kebijakan Sultan, sehingga mereka harus bertoleransi dengan KISK. Di sisi lain, Yogyakarta juga tetap punyai potensi konflik yang berasal dari tindakan Ormas Islam dan kebijakan negara Kementerian Agama dalam menghadapi KISK. Hal ini terutama karena tidak dimasukkanya JAI maupun GAI dalam berbagai forumkonsul Islam. Selain itu, masih terjaidnya kesalahpahaman mengenai dan generalisasi terhadap kelompok Ahmadiyah GAI dan JAI, sehingga tidak ada pemilahan antara kedua kelompok Ahmadiyah tersebut. Hal ini akibat dari belum adanya kesatuan persepsi di lingkungan pejabat internal pemerintah, juga belum adanya kesatuan pandang dalam penentuan keriteria kesesatan suatu kelompok antara negara dan lembaga konsul Islam MUI. Di pihak lain eksklusivitas KISK JAI dalam relasim kesaharian dapat menjadi salah satu faktor yang lain. Kasus An Nadzir di Gowa terjadinya kerukunan karena tindakan-tindakan agensi yang dilakukannya seperti pemahaman agamanya yang tidak mengkafirkan Islam mapan. karakter misiologi dan kemampuan bersosialisasi melalui dakwah bil hal dengan masyarakat, kemampuan beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Di pihak lain negara dan Ormas Islam belum memberikan stereoritf sesat serta adanya dukungan simbolik dari negara. Dalam kasus Sampang, konflik terjadi karena paduan antara beberapa faktor yaitu: persoalan keluarga, kegagalan negosiasi, dan perebutan basis otoritas- legitimasi. Jika dicermati, konflik di daerah tersebut mengalami 3 tahapan yaitu: 1 188 Tahapan terjadinya perbedaan dan ketegangan awal antara elite Islam mapan dengan keluarga Kyai Makmun-Tajul Muluk. Pada tahapan ini lebih bersifat perbedaan personal-kekerabatan yang kemudian bergeser menjadi perebutan basis otoritas kedua kelompok. Gagalnya negosiasi seiring dengan semakin terjadinya penguatan identitas KISK di satu pihak, direspon dengan penguatan identitas KIM yang berposisi sebagai mayoritas. Elite KIM merasakan legitimasinya mulai dilecehkan oleh KISK. Kehadiran KISK dianggap telah mendelegitimasi basis otoritasnya. Pada tahapan ini juga sudah berkembang religiosentrisme di antara kedua belah pihak. 2 Tahapan ketegangan internal keluarga putera Kyai Makmun. Pada tahapan ini diwarnai konflik internal keluarga yang bermuara pada persoalan perempuan. Tahapan ini menjadi semacam pengakselarasi dan penguat munculnya konflik kekerasan terhadap kelompok sempalan setelah keluarnya salah satu pimpinan kelompok sempalan ke Sunni. 3 Tahapan politis berupa terjadinya gerakan resistensi antarelite Islam mapan, kolaborasi antara negara dengan elite Islam mapan, juga diwarnai dengan gerakan massif dan kekerasan terhadap Islam sempalan. Bahkan ada proses negosiasi yang seringkali tidak seimbang antara kelompok Islam sempalan dengan Islam mapan yang berkolaborasi dengan negara. 4 Proses negosiasi lanjutan pascapengungsian warga Syiah yang sedang berlangsung. Tabel 11: Faktor Penyebab Terjadinya Bentuk Relasi dalam Isu KISK PerDaerah Penyebab Ahmadiyah Yogyakarta Damai Ahmadiyah Kuningan Konflik Syiah Sampang Konflik An Nadzir Gowa Damai Internal –Eksternal 1. Struktur sosial: a. Budaya lokal nilai kerukunan dan posisi tokoh tradisional + + b. Paham agama + + + + c. Sejarah relasi + + + d. Kantong Komunitas + + e. Jaringan relasi +GAI + + + 2. Tindakan-tindakan Negara dan Ormas Islam + + + + 3. Tindakan kelompok sipil + + 4. Tindakan agensi + + + + 163 E. STRUKTUR SOSIAL, MASYARAKAT SIPIL, DAN AGENSI DALAM RELASI INTRAKOMUNAL ISLAM

1. Struktur Sosial