45
Keputusan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X untuk melindungi aktivitas jemaah Ahmadiyah mendapat tantangan dari FPI. Berikut berita mengenai hal tersebut
dimuat dalam Overvoice.or.id.:
Lebih dari 300 orang anggota Front Pembela Islam FPI Rabu siang menggelar arak- arakan dan demonstrasi. Mereka berkonvoi menggunakan puluhan sepeda motor dan
sejumlah mobil bak terbuka, dari markasnya menuju ke kantor Gubernur DIY sambil meneriakkan tuntutan, agar Ahmadiyah dilarang di Yogyakarta. Padahal, Gubernur
DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X beberapa hari yang lalu, dengan tegas telah menjamin kebebasan beribadah bagi warga Ahmadiyah.
Tapi bagi FPI, pernyataan Sultan selaku gubernur itu tidak dapat diterima. Dalam orasinya di depan kantor gubernur, Ketua FPI DIY-Jawa Tengah, Bambang Teddy,
bahkan mengatakan Sultan tidak layak menjadi gubernur jika tetap melindungi Ahmadiyah. “Sultan selaku Gubernur Yogyakarta, wajib melarang Ahmadiyah di
Yogyakarta. Jika Sultan tidak melarang Ahmadiyah, berarti Sultan melindungi aliran sesat. Dan maka itu, Sultan tidak berhak menjadi pemimpin di Yogyakarta.”
b. Tindakan Masyarakat Sipil Kelompok Islam: Ormas Islam dan konsil
council mengeluarkan keputusan dan fatwa. Pertama, MUI pusat mengeluarkan fatwa
‘sesat dan menyesatkan’ bagi Ahmdiyah Qadian 1980, dan Ahmadiyah pada umumnya, baik Qadian maupun Lahore 2005. Fatwa yang sama juga dikeluarkan oleh beberapa
MUI di daerah. Misalnya MUI Aceh, Sumatera Utara, Riau,
Kedua, ormas Islam seperti PP Muhammadiyah dan PBNU juga mengeluarkan
keputusan tentang ketersesatan Ahmadiyah. Organisasi hirarkhi ke bawah dari PP Muhammadiyah dan PB NU juga mengikuti fatwa dan keputusan kepengurusan di
tingkat pusatnya. Walaupun begitu memang ada perbedaan persepsi dan penerapannya, di tingkat bawah. Secara umum mengenai tindakan PB NU dan PP Muhammadiyah
memang sebatas wacana seperti diberitakan oleh
Berita Satu.com.- Selasa 23 April 2013:
Muhammadiyah dan NU menegaskan, Ahmadiyah adalah pihak yang memulai mendzalimi orang-orang non-Ahmadiyah, dan menyebut sebagai orang-orang kafir.
Tolong lihat dulu, bagaimana Ahmadiyah melihat kami ini, Islam mainstream. Saya ingatkan bahwa dalam kitab-kitab mereka, mereka yang mengkafirkan umat Islam
non-Ahmadiyah, kata Khatib Aam PBNU, Malik Madany usai bertemu dengan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, di Kantor Kementerian Dalam Negeri,
Jakarta, hari ini. Malik mengatakan, sayangnya hal itu tak pernah diungkap ke publik, dan karena itu dia meminta publik adil dalam menilai dan melihat masalah
Ahmadiyah.
.... Menurut Din Syamsudin, Ahmadiyah adalah organisasi eksklusif. Hanya kawin di antara mereka sendiri. Masjid mereka tidak boleh dimasuki oleh Islam lain.
Ahmadiyah juga menganggap orang Islam lain seperti kami-kami ini kafir. Jadi yang mulai mengkafirkan itu Ahmadiyah, katanya. Muhammadiyah, berpendapat, barang
46
siapa yang meyakini ada nabi baru selain Nabi Muhammad SAW, maka Muhammadiyah menilai itu berada di luar akidah Islam. Muhammadiyah karena itu,
tidak akan berkompromi untuk masalah yang menyangkut akidah tersebut.
Lalu kata Malik, Masalah Nabi Muhammad merupakan keyakinan yang sangat inspire dalam Islam, terutama dalam paham Islam yang dikembangkan oleh NU,
ujarnya. NU dan Muhammadiyah adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Gamawan, hari ini mengundang pengurus NU dan Muhammadiyah untuk
memberikan masukan seputar persoalan Ahmadiyah yang beberapa tahun terakhir menjadi isu keagamaan serius.
Sementara yang berkaitan dengan pembubaran Ahmadiyah, antara NU dan Muhammadiyah berbeda pandangan. NU belum memutuskan untuk pembubaran
Ahmadiyah, namun menawarkan dialog supaya terjadi persepsi dan tindakan yang adil dalam melihat relasi antara Ahmadiyah dan Islam mapan. Artinya masyarakat supaya
jangan hanya melihat bagaimana persepsi Islam mapan terhadap Ahmadiyah yang dianggap bersifat negatif, namun juga haus melihat bagaimana Ahmadiyah
mempersepsikan Islam mapan secara negatif. Dalam hal ini Malik Madani menyatakan:
NU belum memutuskan untuk pembubaran organisasi tersebut. Tapi yang jelas bagi NU, ajaran Ahmadiyah tak sesuai dengan ajaran Islam, katanya. ‘NU menyambut
baik dan mengapresiasi dialog yang difasilitasi mendagri, tapi hendaknya baik yang anti
dan mendukung
Ahmadiyah juga
diajak berdialog.
Yang paling kami inginkan itu marilah kita melihat Ahmadiyah itu secara adil, secara berimbang, jangan melihat Ahmadiyah dari satu sisi. Selama ini kan dari sisi
sikap Islam mainstream terhadap Ahmadiyah, sikap sebaliknya harus dilihat juga bagaimana Islam yang mainstream ini, Berita Satu.com.- Selasa 23 April 2013
Hal ini ditegaskan juga oleh Ketua Umum PB NU sebagaimana dikutip dalam artikel Alamsyah M. Djafar di www.gusdur.net, Senin, 25 Juli 2011:
Sebelumnya, sempat muncul berita pernyataan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj yang mendukung pembubaran Ahmadiyah pada sebuah pengajian di Sampang,
Madura, Jawa Timur, akhir Februari silam. Berita itu sendiri akhirnya dibantah KH. Said. Kepada media ia mengatakan, meski Ahmadiyah tak sejalan dengan akidah NU,
namun pembubaran Ahmadiyah adalah domain pemerintah. Allah dan Rasulnya menghendaki bagi kelompok mayoritas tetap rendah hati, sehingga bisa menjadi
pelindung bagi kelompok minoritas yang lain, tambahnya seperti dikutip sejumlah media.
Di pihak lain, Muhammadiyah justru menghendaki pembubaran Ahmadiyah. Hal ini dinyatakan Din Syamsudin Keua Umum PP Muhammadiyah sebagaimana dikutip oleh
Berita Satu.com.- Selasa 23 April 2013:
Adapun menurut Din, jika kelak solusinya adalah pembubaran Ahmadiyah dan itu merupakan
jalan terbaik, maka pemerintah
harus berani memutuskan.
47
Umat Islam punya hak berkeyakinan sesuai dengan Islam, tahu-tahu datang kelompok, ‘wah ini ada nabi baru selain Muhammad’ itu masuk penistaan agama,
katanya.
Fatwa ulama yang dikeluarkan MUI, NU atau Muhammadiyah menurut Din adalah respons balik terhadap pandangan Ahmadiyah yang juga lebih dulu mengkafirkan.
Ini tak bisa dibiarkan, negara punya wewenang untuk menegakkan social order, ketertiban sosial, ujar Din.
Sementara Front Pembela Islam FPI DIY menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan. Bahkan ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak mau membubarkan Ahmadiyah,
FPI secara keras menuntut agar Sri Sultan mau membubarkannya dengan berbagai alasan dan ancaman:
VIVAnews - Front Pembela Islam FPI mengancam akan menarik dukungan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X bila tidak mengeluarkan larangan kegiatan
Ahmadiyah Yogyakarta. FPI mengancam tak mendukung lagi penetapan Sultan sebagai Gubernur Yogya.Sultan tidak berhak menjadi pimpinan Yogyakarta karena
mayoritas masyarakatnya Islam, kata Ketua Tanfidz FPI Yogya-Jawa Tengah, Muhammad Bambang Tedi, di Markas FPI Yogyakarta-Jawa Tengah, Jalan Wates
Km8, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta, Minggu 6 Maret 2011. FPI Yogya-Jawa Tengah mengeluarkan lima sikap pernyataan resmi atas sikap Sultan
yang tidak akan mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur tentang Pelarangan Ahmadiyah. Pertama, Yogya adalah kesultanan Islam yang menjunjung tinggi nilai-
nilai Islam. Kedua, Bagi FPI, Yogya menghormati perbedaan Agama, tapi menolak penodaan Agama. Ketiga, semua agama boleh hidup berdampingan secara damai di
Yogya, tapi penodaan agama seperti Ahmadiyah dan garis liberal tidak ada tempat di Yogyakarta. Keempat, Sri Sultan HBX selaku Gubernur Yogya wajib melarang
Ahmadiyah di Yogya untuk melindungi HAM umat Islam. Terakhir, jika Sultan tidak melarang Ahmadiyah, maka Sultan tidak berhak menjadi pemimpin Yogya yang
mayoritas rakyatnya adalah Islam. Kalau Sultan tidak mau dukung FPI tuk melarang Ahmadiyah, maka kami akan dukung SBY dan menarik dukungan kita atas
Keistimewaan Yogyakarta, ancamnya.VIVAnews, Minggu, 6 Maret 2011.
Front Pembela Islam FPI termasuk salah satu ormas yang sangat bersemangat untuk membubarkan Ahmadiyah, tanpa melihat kelompok Lahore GAI atau Qadian
JAI dalam skala nasional, termasuk di Yogyakarta. Ketika berdemonstrasi biasanya mereka membawa spanduk yang berisikan ajakan untuk membubarkan Ahmadiyah, dan
spanduk itu masih ada ditempel di kantor FPI di Jalan Wates. c.
Tindakan Dalam Menghadapi Isu Konflik di Daerah Lain: Bentuk tindakan
yang dilakukan masyarakat lokal ketika melihat-mendengar konflik di daerah lain dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kedayatahanan masyarakat dalam mengendalikan isu
dari luar. Indikator kedayatahanan masyarakat Yogyakarta terhadap kemungkinan efek peristiwa konflik di daerah lain dapat dilihat dari kasus teror di Poso. Ketika terjadi
peristiwa bom bunuh diri oleh teroris di Poso, Kepala Kepolisian daerah Polda DI
48
Yogyakarta menyatakan bahwa Yogyakarta aman dari teror dan tidak terpengaruh kasus bunuh diri Poso tersebut.
Pada saat sekarang masyarakat sangat mudah mengakses informasi nengenai perisiwa konflik, ataupun damai, di daerah dan bahkan di negara lain. Akses itu selain
diperoleh dari media massa dan media on-line, juga dari jaringan organisasi skala nasional yang memiliki hirakhi sampai tingkat lokal. Misalnya PP Muhammadiyah, PB
NU, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin, Majelis Ulama Indonesia, dan lainnya. Karena itu tindakan-tindakan, berupa kebijakan, keputusan dan pandangan, organisasi
pada tingkat pusatnasional akan diadopsi oleh organisasi yang bersangkutan pada tingkat daerah. Contohnya, kebijakan dan tindakan demonstrasi pembubaran Ahmadiyah
yang dilakukan FPI pada level nasional dan diberbagai daerah dilakukan juga di Yogyakarta Selanjutnya lihat dalamtabel sejarah konflik di Yogyakarta.
Walaupun begitu, masyarakat Yogyakarta nampaknya tidak terlalu terpancing dengan tindakan anarkis di daerah lain dalam menghadapi isu Ahmadiyah. Hal ini
menurut beberapa informan SA, AM, pegawai Kemenag DIY; M dari GAI disebabkan beberapa hal: Pertama, tokoh ormas-ormas Islam intensif melakukan komunikasi.
Kedua, aparat pemerintah intensif berkoordinasi, terutama dalam Bakor Pakem Kajati, Danrem, Polda, Kemenag, Kesbalinmas, Dinas Kebudayaan. Ketiga, peran pucuk
pimpinan yaitu Gubernur DIY yang memberikan penegasan pengakuan terhadap pluralisme dan toleransi, dan bahkan lebih tegas lagi melindungi semua kelompok
termasuk Ahmadiyah. Sikap Sri Sultan ini nampaknya menjadi faktor penting dari tingginya daya tahan masyarakat Yogyakarta untuk tidak melakukan kekerasan atau
terlibat konflik dengan Ahmadiyah. Hal ini nampaknya diakui juga oleh berbagai pihak seperti pimpinan MUI, termasuk dari kalangan tokoh JAI dan GAI sendiri.
5. Tindakan Agensi