Sejarah Relasi Sosial Struktur Sosial

167 untuk melakukan konflik kekerasan terhadap Ahmadiyah. Sementara dalam kasus An Nadzir, meskipun paham Islam mayoritas tidak memasalahkan keberadaannya, namun mereka tetap menjadikan pahamnya sebagai standar dalam menilai paham agama An Nadzir. Dengan demikian, walaupun ada nuansa perbedaan di setiap daerah, namun paham agama mayoritas cenderung menjadi struktur yang memberikan daya paksa bagi penganutnya untuk bersikap, bertindak, dan menilai paham agama lain, khususnya minoritas. Akibatnya tidak jarang penganut paham mayoritas memiliki stereotif dan jika tidak terkendali dan ada nilai toleransi membawanya bertindak di luar kewajaran. Paham agama yang dianut pihak minoritas pun dapat menjadi sruktur yang memiliki daya paksa bagi penganutnya untuk bersikap, bertindak, dan menilai paham agama lain. Stereotif ‘kafir’ bagi pihak lain seperti yang dilakukan Ahmadiyah JAI dan Syiah menjadi pemicu bagi pihak mayoritas untuk bereaksi.

c. Sejarah Relasi Sosial

Dari keempat kasus yang diteliti menunjukkan bahwa sebenarnya sudah sama-sama pernah mengalami konflik-integrasi. Perbedaannya terletak pada interval waktu terjadinya konflik awal dengan konflik susulannya, bentuk konflik yang ada, 1 dan perubahan bentuk relasi sosial awal dari konflik atau integrasi ke relasi sosial susulannya konflik atau integrasi. Secara umum di Yogyakarta belum pernah ada konflik kekerasan yang melibatkan antarkomunitas Islam, kalau konflik budaya dalam bentuk wacana- ideologis tentu sudah ada. Khusus konflik yang melibatkan Ahmadiyah telah 1 Berdasarkan percermatan terhadap berbagai konflik antarkomunitas Islam di Indonesia saya membagi konflik sosial ke dalam tiga 3 bentuk yaitu konflik budaya, konflik gerakan masif, dan konflik kekerasan. Pertama, konflik budaya adalah konflik pada dataran ideologis dan nilai yang ada pada level wacana-stereotif, baik melalui pembentukan opini melalalui media massa maupun opini, isu dan rumor yang dikembangkan dalam masyarakat, juga berupa fatwa dan keputusan KIM, dan regulasi berupa kebijakan atau aturan yang dilakukan negara. Kedua, konflik gerakan massif adalah konflik berupa pengerahan massa seperti dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa yang ditujukan kepada pihak yang menjadi kelompok sasaran konflik, atau tuntutan kepada pihak ketiga misalnya negara agar melakukan tindakan terhadap lawan berkonfliknya. Misalnya menuntut agar pemerintah membubarkan Syiah atau Ahmadiyah, atau meminta MUI memberikan fatwa sesat kepada kedua KISK tersebut atau lainnya. Ketiga, konflik kekerasan adalah konflik yang disertai dengan kekerasan fisik dan atau jiwa, atau perusakan bangunan yang menimbulkan korban, baik secara jiwa, tempat ibadah, dan perumahan, dan lainnya . 168 berlangsung sejak kelahirannya. Dalam kasus GAI misalnya, Muhammadiyah sejak GAI mau berdiri telah melakukan penolakan dengan menegaskan bahwa kelompok Islam yang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad, datangnya al-masih dan al-mahdi adalah kafir Juli 1928. 2 Bentuk konflik awal antarkomunitas Islam di Yogyakarta berupa konflik budaya, dan pada masa berikutnya berkembang harmoni. Memang ada beberapa peristiwa konflik umat beragama tahun 2000-2001-an yang berkaitan dengan penerapan aturan tentang, ‘kewajiban pemberian mata pelajaran agama sesuai dengan agama siswa di sekolah.’ Peristiwa itu tidak membawa korban fisik maupun nyawa. Konflik akhirnya dapat diatasi oleh masing-masing pihak dan aparat pemerintah Ismail, 2011. Setelah periode yang panjang dalam keadaan harmoni masa berikutnya beralih ke konflik gerakan masif, namun bersifat insidental dan kecil. Karena itu untuk kasus Yogyakarta lebih bersifat harmoni sampai saat ini. Suatu hal yang menarik adalah antara Yogyakarta dan Kuningan meskipun masyarakatnya sama-sama menghadapi isu KISK yang sama Ahmadiyah, namun bentuk relasinya cukup berbeda. Di Kuningan setelah dalam waktu yang lama pernah ada konflik budaya di kalangan masyarakat, kemudian harmoni atau dalam status quo dengan perbedaan masing-masing, namun kemudian bertransformasi menjadi konflik budaya-gerakan masif-kekerasan. Sementara di Sampang, hampir tidak ditemukan peristiwa konflik antarkomunitas Islam, kecuali yang melibatkan Syiah. Dalam kasus Syiah ini, sejak awal adanya benih pemikirannya telah terjadi reaksi dari elite KIM setempat. Reaksi yang terbatas dari elite kemudian berkembang menjadi konflik budaya, dan seterusnya menjadi konflik gerakan masif dan kekerasan. 2 Hal itu kemudian terus berlanjut sampai tahun 30-an. Pascakemerdekaan, konflik terus berlanjut di berbagai pusat dan daerah yang dilakukan umat Islam dan dan lebih banyak ditujukan kepada JAI. Mulai di Sumtera Timur 1953, Medan 1964, Cianjur 1968, Kuningan 1969, Nusa Tenggara Barat NTB 1976, kalimantan tengah 1981, Sulawesi Selatan 1981, Kalimantan Barat, Surabaya, Bogor, dan Parung 1981, Riau, Palembang, Sumatera Barat, Timor Timur, dan Jakarta 1990. Kemudian ketika era reformasi terjadi di NTB 2002, Parung dan Bogor 2006, Kuningan, Majalengka, dan Sukabumi 2008 Kanwil Kementerian Agama Propinsi DIY, 2011: 59-60. 169 Untuk kasus di Gowa, juga belum pernah ditemukan adanya konflik yang melibatkan antarkomunitas Islam. Selain itu meskipun sebelumnya warga KISK sempat mengalami konflik budaya dan gerakan masif di Palopo, namun ketika di mereka di Gowa masih dalam keadaan harmoni sampai saat ini.

d. Kantong Komunitas