32
punya yaitu sing nduwe kersa Yang Maha Berkehendak atau akan kembali pada Tuhan. Di lain itu, leliru saka liyan juga dapat diartikan bahwa memaafkan itu lebih baik,
bersaudara dalam biduk kerukunan lebih baik daripada apa yang telah hilang. Nilai-nilai tepo seliro tenggang rasa, alon-alon asal klakon sikap berhati-hati,
dan sambatan saling membantu dan bekerja sama. Nilai-nilai ini pada umumnya memberikan rambu-rambu bagi anggota masyarakat, agar memiliki rasa saling
menghargai dan memahami perasaan orang lain, juga memberikan bantuan dalam hal apapun sesuai kemampuan yang dimilikinya. Tujuan akhirnya adalah supaya dalam
kehidupan masyarakat berkembang kerukunan tanpa membeda-bedakan latar belakang orangnya.
Harus diakui bahwa saat ini budaya Jawa di Yogyakarta sangat akomodatif terhadap budaya baru. Dalam banyak aspek keduanya budaya Jawa dan budaya baru
bersimbiosis dan berakulturasi sehingga sering sulit untuk membedakan mana budaya Jawa dan budaya baru tersebut. Sebagai bahan perbandingan, Islam yang telah
melakukan perkawinan budaya akulturasi dengan Jawa maka hasilnya adalah Islam Jawa. Sebagai contoh adalah upacara safaran atau nyadran, di dalamnya terjadi
akulturasi antara budaya Jawa dengan ajaran Islam. Demikian juga dengan Kristen yang melakukan akulturasi dengan Jawa maka yang ada adalah Kristen Jawa. Jika budaya
Jawa sangat dipengaruhi oleh datangnya HinduBudha maka sebenarnya secara tidak langsung juga terjadi akulturasi antara Islam-HinduBudha, atau Kristen-HinduBudha.
Serta tidak menutup kemungkinan pada agama lain.
b. Sejarah Relasi Sosial Masyarakat: Harmoni dan Ketegangan
Indikator masih dipraktikkannya nilai-nilai lokal tersebut di kalangan masyarakat dapat dlihat dalam lintasa sejarah relasi sosial di Yogyakarta. Dalam rentang sejarah
Yogyakarta, setidak-tidaknya mulai dari awal kemerdekaan Indonesia, jarang ditemukan adanya konflik bernuansa kekerasan dan massif antar kelompok, khususnya antar umat
beragama. Memang ada beberapa peristiwa konflik umat beragama tahun 2000-2001-an yang berkaitan dengan penerapan aturan tentang, ‘kewajiban pemberian mata pelajaran
agama sesuai dengan agama siswa di sekolah.’ Namun peristiwa itu tidak membawa korban fisik maupun nyawa. Konflik akhirnya dapat diatasi oleh masing-masing pihak
dan aparat pemerintah Ismail, 2011.
33
Peristiwa konflik keagamaan yang melibatkan kelompok Islam dan Kristiani tersebut lebih bersifat konflik ide dan wacana, memang ada sedikit kericuhan yang
terjadi di Kulonprogo Samigaluh, namun tidak ada korban fisik dan jiwa. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyebabnya adalah adanya keijakan pemerintah di
bidang pendidikan, sedangkan sumbernya berasal dari beberapa hal yaitu: adanya kesalahpahaman antar budaya yaitu religiosentrisme yang masih cukup tinggi, adanya
perasaan identitas yang terancam dari pihak moyoritas, dan munculnya ormas Islam konsisten yang cenderung ‘keras’ dalam menyikapi kegiatan Kristiani seperti Forum
Umat Islam Ismail, 2011: 205. Sebelum era reformasi, konflik memang pernah ada yang berasal dari aktivitas
keagamaan umat Kristiani yang dianggap sebagai bagian dari Kristenisasi oleh umat Islam. Misalnya penggunaan istilah shalawatan sebagai kegiatan kerukhanian Kristen,
selebaran bernahasa Arab yang berisi ayat-ayat Injil yang disebar kepada keluarga muslim Ismail, 2011: 25.
Sementara dalam hubungan antar komunitas lain seperti antarsuku, belum pernah terjadi peristiwa konflik besar. Memang ada beberapa peristiwa perkelahian yang
melibatkan pelajarmahasiswa antar suku, namun tidak berdampak secara sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Berkembangnya harmoni dalam hubungan antar kelompok tidak dapat dipisahkan dari sikap dan kebijakan yang diambil oleh elite budaya dan politik di daerah ini yaitu Sri
Sultan Hamengku Buwono X. Sebagai elite budaya beliau berposisi sebagai elite budaya yaitu sultan dari KerajaanKraton Ngayagyakarto Hadiningrat, dan sebagai elite politik
beliau sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sikap dan kebijakan Sri Sultan Hamengku Buwono X ini dapat dilihat dari berbagai pernyataannya yang dikutip
berbagai media. Intinya bahwa Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia harus mempertahankan dan mengembangkan pluralisme dalam masyarakat.
Sultan dalam sebuah kesempatan,penulis bercerita tentang kebhinekaan Indonesia, bagaimana kita harus bisa merawatnya bersama. Sultan berbagi pengalaman
bagaimana mengelola masyarakat Yogyakarta khususnya pendatang mahasiswa yang pemerintah asalnya di seluruh Indonesia berkeinginan membuat asrama di
Yogyakarta. Rencana ini tentu akan menjadi masalah sendiri di Yogyakarta kalau semua Pemda membuat asrama, terutama soal merawat kebhinnekaan bangsa ini,
ungkap Sultan. ‘Saya ingin bagaimana sesama para mahasiswa yang di Yogyakarta saling berbaur dari perbedaan etnis dan agama.’ Sebab di Yogyakarta sudah mulai
ada kelompok yang melarang satu agama membantu agama lainnya, misalnya saat kasus bencana di Yogyakarta baru-baru ini. Ini sangat mengkhwatirkan bagi
kebangsaan Indonesia.’ Ourvoice.or.id. diunduh 20 April 2013
34
Bagi Sultan pluralisme dan kebinekaan di Yogyakarta harus terus dikembangkan,
salah satu caranya adalah dengan pembauran setiap individu dan kelompok yang
berbeda latar belakang agama, suku, dan daerah. Sekat-sekat fisik seperti asrama potensial melahirkan sekat-sekat interaksi antarkelompok.
Dalam hal ini Sultan sudah menjadi simbol perdamaian, pengembangan pluralisme dan toleransi di lingkungan masyarakat Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan
berbagai pihak dengan ragam pernyataan namun intinya sama yaitu agar setiap anggota masyarakat mengedepankan toleransi walaupun ada perbedaan latar belakang di antara
mereka. Misalnya pernyataan Pak AM MUI:
...Hanya saja, dalam praktek MUI DIY mendahulukan toleransi sesuai dengan kehendak ‘ngarso ndalem’ ketika MUI sowan: ‘Yogya adalah tenda besar, semua
kelompok boleh hidup dan berkembang, yang lemah dikuatkan, yang keras dilunakkan’. Kehendak ngarso ndalem dan pentingnya bertoleransi dengan kelompok
lain menurut Pak AM sesuai dengan Qs An-Nisa’, ayat 1: terutama dengan kalimah wattaqulllah al-ladzii tasyaa’aluuna bihii wal-arhaam. Menurut Pak AM esensi dari
ayat ini adalah perintah agar sesama manusia saling bertoleransi, tasamuh.
Juga pernyataan dari Pak SA tokoh JAI
Di Yogya jamaah JAI tidak mengalami kerusuhan dan kekerasan karena adanya sikap Sri Sultan HB X baik sebagai kepala daerah maupun sebagai Sultan yang
menyatakan: ‘Yogya adalah rumah bersama kita’, sehingga semua kelompok agama dan suku memperoleh hak hidup dan berkembang. ‘Saya sangat hormat terhadap
Sultan karena telah memberikan kebebasan bagi setiap ormas termasuk JAI untuk hidup berdampingan secara damai dengan kelompok lain’, katanya. Dia sangat
bangga dengan kondisi Yogya, dengan mengatakan, ‘Yogya merupakan miniatur Indonesia, pluralisme dan toleransi berkembang sangat baik, damai-tidaknya suatu
daerah sangat tergantung kepada sikap kepala daerahnya. Dan itu dibuktikan dengan Yogyakarta yang damai karena sikap Sultan.
3. Bangunan Relasi