Budaya Lokal Struktur Sosial

163 E. STRUKTUR SOSIAL, MASYARAKAT SIPIL, DAN AGENSI DALAM RELASI INTRAKOMUNAL ISLAM

1. Struktur Sosial

Dalam setiap relasi antarmanusia atau antar kelompok terkandung adanya tindakan sosial yang dilakukan pelaku secara sadar. Setiap pelaku dan kelompok mengambil posisi tertentu dalam hubungan interaksi tersebut, dan berdasarkan posisinya setiap pelaku dari tiap kelompok yang terlibat dalam persaingan menjalankan peran sesuai dengan corak atau struktur interaksinya Geertz, 1973. Struktur sosial masyarakat di lingkungan keempat kasus penelitian ini selain ada persamaan juga ada perbedaan. Dalam konteks ini akan dikemukakan beberapa aspek yang dapat dimasukkan ke dalam struktur sosial yang dapat menjadi daya paksa bagi tindakan atau perilaku kelompok atau individu dari kelompok, sehingga melahirkan bentuk relasi sosial tertentu. Aspek-aspek tersebut meliputi: budaya lokal yang terkait dengan nilai-nilai kerukunan dan posisi tokoh dalam struktur sosial masyaraat, paham agama mayoritas yang berkembang dalam masyarakat, sejarah relasi sosial dalam masyarakat, dan lokasi tiap kelompok agama khususnya mengenai ada tidaknya kantong-kantong komunitas, dan jaringan relasi.

a. Budaya Lokal

Nilai Kerukunan: Di semua daerah dan masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai yang mengajarkan tentang kerukunan atau harmoni di antara mereka. Meskipun setiap kelompok memiliki kepentingan yang cenderung melahirkan konflik atau ketegangan. Nilai-nilai lokal tersebut terus disosialisasikan antar generasi oleh elite masyarakat lokal, sehingga masyarakat memahami dan melaksanakannya. Dengan demikian sebenarnya budaya lokal yang ada dapat menjadi modal bagi masyarakat setempat dalam menghadapi berbagai tantangan dan isu yang cenderung mengarahkan masyarakat untuk berkonflik. Jika hal ini terjadi, budaya lokal telah menjadi faktor yang ‘memaksa’ orang untuk berpersepsi dan bertindak sesuai nilai- nilai yang ada. Walaupun begitu, sering nilai-nilai kerukunan lokal tersebut suatu saat diabaikan, sehingga terjadi ketegangan. 164 Masyarakat Yogyakarta misalnya nilai-nilai toleransi dan tenggang rasa dalam hubungan antarmanusia masih kental dan dipraktikan dalam kehidupan manusia Jawa dan mamusia yang tinggal di dalamnya. Nilai-nilai lokal tersebut antara lain: tepo seliro tenggang rasa, guyub rukun-kekeluargaan, alon-alon waton klakon sikap berhati-hati, sambatan saling membantu dan bekerja sama. Sementara dalam masyarakat Sunda Kuningan, termasuk di Manislor, nilai- nilai rukun dan toleransi ini nampak dari filosofi atau ugeran yang berkembang di masyarakat seperti ugeran, ‘batur sakasur, batur sasumur, batur salembur’. Substansi ugeran ini adalah agar setiap orang menumbuhkembangkan kerukunan, dimulai dari kehidupan keluarga, kerabat, dan masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai toleransi dan rukun tersebut harus dilakukan tanpa melihat kepada latar belakang pelaku, baik dari segi agama, suku maupun status sosial-ekonomi dalam masyarakat. Di Sampang mengenal konsep dan ugeran yang berisi pentingnya kerukunan. Misalnya konsep ejhin atau sikap toleran dan bersahabat seperti dalam kehidupan berkelompok yang berbeda latarbelakang termasuk perbedaan paham agama. Ugeran yang lain menganjurkan untuk instrospeksi dengan menjauhkan diri dari mencari kesalahan orang lain jagah pagare dibi i aja’ parlo ajaga pagarra oreng laen, serta menjaga keharmonisan rampa’a naong beringen korong. Termasuk juga dalam ajaran aswaja yang menjadimayoritas masyarakat Sampang, khususnya tentang tasamuh toleransi. Dalam masyarakat Makassar-Bugis di Gowa, nilai-nilai keharmonisan terdapat di dalam tradisi sirik dan paseang. Orang yang memiliki sirik harga diri harus berpegangan kepada lima paseangprinsip pesan, satu di antaranya adalah saling menghormati antar manusia sipakatau sangat terkait dengan nilai keharmonisan. Nilai-nilai keharmonisan juga tertuang dalam beberapa ugeran yang lain misalnya: narekko mueloriwi atinna padammu rupatau ab-breangtoi atimmu jika anda ingin merebut simpati hati orang lain sesamamu, berikanlah simpatimu kepada orang lain itu; akka’i padammu rupatu natanrereko hargai sesamamu manusia, agar ia dapat mendukungmu pula; tellu tempedding riatepperi, anutemanessa, kareba, kapang ati ada tiga hal yang tak boleh langsung di percaya, yakni berita yang belum terbuktu, kabar selentingan isu dan prasangka; de’ gaga 165 cau’ watangngi asseddingengnge Tidak ada yang mengalahkan persatuan yang kokoh. Nilai perlunya pemeliharaan keharmonisan dalam masyarakat dapat dilihat juga dalam empat norma yang berkaitan dengan larangan merusak kampung yaitu menjauhkan diri dari: keserakahan dan menghilangkan rasa malu, kekerasan dan melenyapkan perasaan kasih mengasihi di dalam masyarakat, kecurangan dan memutuskan hubungan kekeluargaan, tega hati dan menjauhkan perbuatan benar di dalam masyarakat Mahmud, 1976. Posisi tokoh lokal: Struktur sosial yang berasal dari budaya lokal yang lain yaitu posisi dan peran yang dimainkan tokoh masyarakat. Dalam struktur sosial masyaraat Madura khususnya di Sampang, kyai menempati posisi dan peran penting. Posisi dan peran kyai diaktualisasikan dari ugeran, ‘buppha’-babhu’, ghuruh, rathoh’ orang-tua, guru, dan raja. Ugeran ini pada intinya berisikan kewajiban bagi masyarakat Sampang untuk mematuhi ketiga pihak sebagai bagian dari penghormatan terhadapnya, yaitu orang tua, guru, dan raja. Orang tua disini berarti bapak-ibu biologisnya, sedangkan guru ini terutama orang yang memiliki ilmu agama kyai, dan raja dalam arti pemerintah. Urutan pengucapan tersebut sekaligus menunjukkan urutan penghormatan. Bahkan dalam banyak kasus kyai memiliki peran bukan hanya dalam satu dimensi monomorphis yaitu di bidang transmisi ilmu keagamaan, namun juga berpangaruh dalam banyak dimensi polymorphis seperti di bidang sosial, keluarga, dan bahkan di bidang politik. Mereka dimintai pandangan dan menylesaikan masalah atau perselisihan dalam kehidupan keluarga, dan perselisihan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini termasuk bentuk relasi yang akan dibangun oleh masyarakat ketika terjadi perselisihan dengan kelompok lain yang dianggap bertentangan dengan paham agama Sunni. Gerakan masif masyarakat dan terlunta-luntanya pengungsi kelompok Syiah sampai saat tdak terlepas dari posisi kyai dalam masyarakat Sampang. Pandangan kyai menjadi acuan dalam kegiatan politik praktis mulai dari Pemilu tingkat pusat sampai kepala desa. Meskipun begitu, pada saat sekarang terjadi pergeseran posisi kyai dalam politik. Jika sebelumnya lebih bayak berperen sebagai pembimbing, pengawas moral dalam kegiatan politik praktis, maka terutama sejak 166 era reformasi, kyai banyak berperan sebagai pelaku dalam kegiatan politik praktis. Dalam kasus Sampang kecenderungan ini telah berdampak juga terhadap proses konflik dan pascakonflik Syiah-Sunni. Sebab ada kecenderungan isu Syiah telah dijadikan sebagai alat untuk merebut opini dan simpati masyarakat untuk kepentingan politik praktisnya, khususnya menjelang tahun 2014. Tentu tidak semua mereka punya kepentingan praktis seperti itu. Sementara di Yogyakarta ketokohan pemimpin masyarakat masih berbasis kepada elite budaya, khususnya karaton. Sri Sultan dan Pakualam merupakan sosok panutan yang ucapan dan sikapnya terhadap suatu hal menjadi acuan bagi masyarakat. Di Kuningan, meskipun kyai memiliki cukup peran, namun sebenarnya tidak sepenting posisi dan peran kyai di Sampang. Adapun di Gowa, ketokohan pemimpin masyarakat sebagian masih dipegang oleh kepemimpinan tradisional seperti daeng dan kyai. Kedua tokoh ini memiliki posisi sama dalam struktur masyarakat Makassar-Bugis di Gowa.

b. Paham Agama