Kantong Komunitas Jaringan Relasi

169 Untuk kasus di Gowa, juga belum pernah ditemukan adanya konflik yang melibatkan antarkomunitas Islam. Selain itu meskipun sebelumnya warga KISK sempat mengalami konflik budaya dan gerakan masif di Palopo, namun ketika di mereka di Gowa masih dalam keadaan harmoni sampai saat ini.

d. Kantong Komunitas

Di luar kasus KISK, hampir di semua daerah tidak ditemukan pengelompokan pemukiman penduduk atau kantong komunitas berdasarkan latar belakang agama atau suku dalam skala besar. Kelompok minoritas umumnya menjadi berbaur dengan pemukiman mayoritas. Memang ada beberapa rumah tangga kelompok minoritas setempat di tengah pemukiman mayoritas setempat. Misalnya asrama mahasiswa daerah di Yogyakarta. Dalam kasus pemukiman KISK, nampaknya hanya di Yogyakarta yang tidak kantong komunitas KISK, baik jamaah GAI maupun JAI. Sementara di ketiga daerah yang lain, KISK membentuk kantong komunitas tersendiri.

e. Jaringan Relasi

Jaringan atau ikatan kewargaan yang berkembang dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap bentuk relasi masyarakat tersebut. 3 Mengikuti Varshney 2009, jaringan kewargaan tersebut dapat dibagi ke dalam 2 jenis yaitu jaringan kewargaan asosiasional dan quotidian. Ikatan asosiasional merupakan ikatan kewargaan yang berupa aktifitas warga yang terorganisir, misalnya asosiasi-asosiasi yang bersifat interkomunal yaitu asosiasi yang anggotanya terdiri dari komunitas agama yang berbeda, asosiasi bisnis, organisasi profesi, klub-klub penyalur hobi, serikat buruh, dan partai politik yang latar pengikutnya campuran. Adapun ikatan quotidian berupa ikatan kewargaan dalam hidup keseharian meliputi interakasi 3 Dalam hal ini Varshney menyebut jaringan relasi ini sebagai struktur sosial. Dia 2009: 3 mengasumsikan bahwa stuktur sosial masyarakat berkorelasi dengan adanya dan intensitas konflik-damai antaragama. Hal ini karena ada dan tingginya keterlibatan warga dalam ikatan antaragama, dan sebaliknya lemahnya keterlibatan dalam ikatan intraagama. Dengan kata lain, jika kedua ikatan tersebut asosiasional dan quotidian kuat maka akan terwujud kedamaian. Lebih lanjut, jika dilakukan perbandingan antara kekuatan kedua ikatan tersebut, ikatan asosiaonal lebih kuat daripada ikatan quotidian, khususnya ketika pihak-pihak tertentu politisi berupaya mempolarisasi komunitas agama melalui berbagai isu dan provokasi. 170 kehidupan yang rutin seperti saling kunjung antar warga, makan bersama, terlibat bersama dalam acara perayaan, dan bermain bersama. Jaringan kewargaan dalam hidup keseharian masyarakat menunjukkan perbedaan relatif, karena perkembangan masyarakat yang berbeda. Yogyakarta sebagai bagian dari pekotaan lebih bersifat urban dibandingkan dengan ketiga lokasi yang lain. Apalagi jika melihat lokasi KISK di ketiga daerah yang lain tersebut berada di daerah semi urban yaitu: Manislor Kuningan, Omben dan Karangpenang Sampang, dan Romanglampoa Gowa. Masyarakat Yogyakarta meskipun lebih urban, namun intimitas interaksi tidak menjadi hilang, sebab dalam banyak hal sifat-sifat guyub masih ditemukan. Hubungan-hubungan ketetanggaan dan pertemanan masih berkembang, apalagi kunjungan dan hubungan kekerabatan. Bahkan perkawinan antartetangga, daerah, suku, dan paham agama masih sering ditemukan. Pada saat hari raya agama dan menjelang ramadhan, orang-orang yang berbeda paham agama masih melakukan kegiatan bersama dan bersilaturahim antara satu dengan yang lain. Hal yang sama ditemukan di ketiga daerah yang lain. Sementara yang terkait dengan KISK, relasi keseharian antara warga KSIK dengan warga mayoritas setempat relatif berbeda. Di Yogyakarta, dan Indonesia pada umumnya, dalam hal perkawinan antara GAI dan JAI berbeda doktrin yang mempengaruhi terhadap sikap dan interaksi yang diambil oleh setiap anggotanya. GAI lebih bersifat inklusif terbuka dibandingkan dengan JAI. Perbedaan lain dari kedua kelompok Ahmadiyah ini adalah dalam hal amalan keagamaan shalat dan pemfungsian masjid. Doktrin dan perilaku keagamaan GAI tidak berbeda dengan umat Islam mapan seperti Muhammadiyah dan NU. Setiap pimpinan dan jamaah boleh menjadi imam shalat dan bermakmum dengan umat Islam nonGAI. Sebaliknya di JAI tidak memperbolehkan jamaahnya bermakmum kepada umat Islam nonJAI ketika shalat. Ketika pelaksanaan shalat ied, JAI mengadakan shalat khusus di kalangan anggotanya, sementara GAI berbaur dengan masyarakat Islam yang lain. Apa yang dilakukan JAI di Yogyakarta dan Kuningan ketika shalat ied dan shalat wajib lima waktu berjamaah juga dilakukan An Nadzir di Gowa dan dan Syiah di Sampang. Begitu juga dalam hal perkawinan, ketiga KISK sama-sama lebih beroeientasi ke perkawinan internal kelompok, meskipun tidak menutup kemungkinan 171 terjadinya perkawinan dengan umat Islam yang lain, namun dengan syarat pihak yang dinikahi harus masuk sebagai jamaah KISK tersebut. Sementara dalam jaringan asosiasi relatif ada kesamaan di keempat daerah penelitian ini. Hubungan antar kelompok dan lembaga yang ada di daerah dengan berbagai fokus terjalin dengan baik. Hubungan sesama kelompok sipil dengan berlatar belakang keagamaan, suku, daerah, dan fokus hukum, pemberdayaan masyarakat, dan lain dalam banyak hal berlangsung dalam berbagai media. Misalnya melalui relasi bersama dalam partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan ekonomi, dan bahkan di dunia pendidikan sebagai guru atau dosen dan karyawan. Bahkan dalam kasus internal KISK, relasi asosiasional ini ditunjukan oleh GAI Yogyakarta. Lembaga pendidikan SD-PT PIRI yang ‘dimiliki’ GAI menjadi tempat bertemunya orang-orag yang berbeda paham agama. Sebab guru-dosen, karyawan, murid dan mahasiswa di lembaga pendidikan PIRI kebanyakan berasal dari warga nonPIRI. Hubungan dalam organisasi lintas paham agama seperti MUI, FGUB, dan FKLD menunjukkan semua KISK yang diteliti tidak masuk dimasukkan sebagai anggota. Keputusan untuk memasukkan atau tidak memasukkan wakil KISK ke dalam organsiasi lintas paham agama tersebut ditentukan oleh KIM. Dasar pertimbangannya biasanya berkenaan dengan dua hal yaitu stereotif kepada KISK sesat atau tidak sesat, dan jumlah, baik secara parsial sendiri-sendiri maupun secara bersama. Dalam kasus An Nadzir meskipun tidak digolongkan sesat namun tetap tidak dimasukkan sebagai anggota dalam organsiasi lintas agama tersebut karena faktor jumlah anggotanya. Sementara untuk kasus Syiah dan Ahmadiyah karena faktor stereotif sesat, dan dalam batas-batas terentu juga karena jumlahnya yang dianggap sedikit di daerah yang bersangkutan.

2. Tindakan Negara dan Masyarakat Sipil