111
dilakukan  untuk  mengetahui  perubahan-perubahan  yang  bisa  terjadi. Perubahan-perubahan  tersebut  kemudian  perlu  ditelaah  ulang  untuk
selanjutnya  dilakukan  perbaikan  ASNZS,  2004.  Berdasarkan  hasil wawancara  dengan  narasumber,  risk  assessment  pada  Direktorat
Produksi PT. Dirgantara Indonesia dilaksanakan berdasarkan permintaan. Dengan  demikian,  dapat  dikatakan  bahwa  tidak  ada  aturan  pelaksaaan
risk assessment berdasarkan periode waktu. Namun, tidak semua unit mengetahui untuk melakukan permintaan.
Dampaknya  adalah  risk  assessment  tidak  mengikuti  perkembangan  atau perubahan-perubahan  yang  ada  di  unit,  padahal  perkembangan  atau
perubahan-perubahan  yang  ada  akan  sangat  mempengaruhi  risiko  di suatu  lokasi.  Untuk  itu,  sebaiknya  Direktorat  Produksi  PT.  Dirgantara
Indonesia melaksanakan risk assessment sesuai jadwal berkala, sehingga tidak bergantung pada permintaan saja.
3. Personil yang melaksanakan risk assessment tidak ditentukan.
Dalam melaksanakan risk assessment harus dilakukan oleh pekerja yang mempunyai kompetensi yang ditetapkan. Orang yang menganalisis
risiko  harus  memiliki  pemahaman  yang  baik  tentang  pekerjaan  dan pengetahuan untuk menemukan bahaya. Dengan melibatkan pekerja akan
membantu  meminimalkan  kelalaian,  memastikan  kualitas  analisis  dan memperdalam analisis untuk solusi ASNZS, 2004.
Berdasarkan  prosedur  risk  assessment  PT.  Dirgantara  Indonesia, pelaksana risk assessment yaitu fungsi sentral K3LH dan unit organisasi
112
terkait.  Departemen  K3LH  merupakan  salah  satu  fungsi  yang bertanggung  jawab  sebagai  pelaksana  risk  assessment,  namun  untuk
personal  yang  melaksanakan  tidak  ditentukan.  Berdasarkan  hasil wawancara,  seluruh  staf  K3LH  yang  memiliki  waktu  luang  bisa
melaksanakannya. Padahal tidak semua staf K3LH berlatar belakang K3 danatau memiliki sertifikat pelatihan risk assessment.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3 pasal 10 ayat 3, yang menyatakan bahwa
pelaksana  harus  memiliki  kompetensi  kerja  yang  dibuktikan  dengan sertifikat  serta kewenangan di  bidang  K3,  yang dibuktikan dengan surat
izin  kerja  operasi  danatau  surat  penunjukan  dari  instansi.  Dampaknya adalah  ketidakpahaman  pelaksanaan  risk  assessment  mulai  dari  tahapan
pelaksanaan sampai metode yang digunakan. Untuk itu, sebaiknya Direktorat Produksi PT. Dirgantara Indonesia
menetapkan  pelaksana  secara  struktural  dengan  deskripsi  yang  jelas. Selain  itu,  pelaksana  harus  dibekali  dengan  pelatihan  terkait  risk
assessment. 4.
Ketidaksesuaian  penentuan  kategori  konsekuensi  dan  kemungkinan antara prosedur dengan form hasil risk assessment.
Berdasarkan  Peraturan  Pemerintah  no.  50  tahun  2012  tentang penerapan  SMK3  pasal  13  ayat  1,  bahwa  prosedur  informasi  harus
memberikan  jaminan  bahwa  informasi  K3  dikomunikasikan.  Namun berdasarkan  telaah  dokumen  prosedur  serta  form  hasil  risk  assessment
113
PT.  Dirgantara  Indonesia,  terdapat  ketidaksesuaian  penentuan  kategori konsekuensi  dan  kemungkinan  antara  prosedur  serta  form  hasil  risk
assessment.  Dampaknya  adalah  ketidaksesuaian  penentuan  kategori risiko sebagai dasar penentuan pengendalian.
Hal  tersebut  kemungkinan  terjadi  karena  tidak  ada  sosialisasi prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia. Untuk itu, sebaiknya
Direktorat  Produksi  PT.  Dirgantara  Indonesia  menetapkan  kategorian yang akan secara konsisten digunakan, kemudian disosialisasikan.
6.3 Pembahasan  Pohon  MORT  Pelaksanaan  Risk  Assessment  Pada
Direktorat Produksi PT. Dirgantara Indonesia Tahun 2014
Pada struktur pohon MORT, pada lapis kesepuluh terdapat dua cabang yang  fokus  membahas  terkait  risk  assessment  yaitu  cabang  Task  Spesific
Risk  Assessment  Not  Performed  dan  Task  Spesific  Risk  Assessment  LTA. Cabang Task Spesific Risk Assessment LTA ini yang menjadi fokus analisis
karena  pada  Direktorat  Produksi  PT.  Dirgantara  Indonesia  risk  assessment dilaksanakan, namun terdapat ketidaktepatan pelaksanaannya.
Dalam  pohon  MORT,  cabang  Task  Spesific  Risk  Assessment  LTA terdiri  dari  2  cabang,  yaitu  Task  Spesific  Risk  Analysis  LTA  dan
Recommended Risk Controls LTA. Pada cabang Task Spesific Risk Analysis LTA,  cabang  yang  terkait  diantaranya  cabang  Knowledge  LTA  dan
Execution LTA.
114
Cabang  Knowledge  LTA  terdiri  dari Use of Workers’ Suggestion and
Inputs  LTA  dan  Technical  Information  Systems  LTA.  Cabang  Use  of Workers’  Suggestion  and  Inputs  LTA  tidak  bermasalah  karena  pekerja
dilibatkan  dalam  pemberian  masukan  terkait  risiko  yang  dihadapi. Kemudian  cabang  Technical  Information  Systems  LTA  bermasalah  karena
sistem pertemuan berjenjang yang ada tidak dilaksanakan dengan baik, yaitu tidak  semua  unit  melaksanakan  pertemuan  level  1  serta  pertemuan  tidak
selalu mebahas safety. Antara cabang Knowledge dengan cabang
Use of Workers’ Suggestion and  Inputs  LTA  dan  Technical  Information  Systems  LTA  terdapat  simbol
“gerbang  ATAU”.  Artinya  apabila  salah  satu  saja  antara  cabang  Use  of Workers’  Suggestion  and  Inputs  LTA  dan  cabang  Technical  Information
Systems  LTA  bermasalah,  maka  akan  menyebabkan  masalah  pada  cabang Knowledge  LTA.  Jadi  berdasarkan  hasil  penelitian,  dapat  dikatakan  bahwa
cabang  Knowledge  LTA  bermasalah,  karena  cabang  Technical  Information Systems LTA bermasalah.
Kemudian cabang Execution LTA terdiri dari Time LTA, Budget LTA, Scope  LTA,  Analytical  Skill  LTA,  dan  Hazard  Selection  LTA.  Berikut  ini
hasil penelitiannya: a.
Cabang Time LTA bermasalah karena pelaksanaan risk assessment tidak sesuai jadwal berkala.
115
b. Cabang  Budget  LTA  tidak  bermasalah  karena  anggaran  dana  tersedia
dalam  anggaran  program  K3LH  secara  umum  yang  dapat  mendukung berlangsungnya program.
c. Cabang Scope LTA bermasalah karena tidak semua lokasi dilaksanakan
risk  assessment  karena  pelaksanaan  hanya  berdasarkan  proses,  serta risiko yang dianalisis hanya risiko keselamatan dan kesehatan.
d. Cabang Analytical Skill LTA bermasalah karena personal pelaksana tidak
ditentukan, pelaksana tanpa kompetensi serta surat tugas. e.
Cabang Hazard Selection LTA terdiri dari cabang Hazard Identification LTA  dan  Hazard  Prioritisation  LTA.  Cabang  Hazard  Identification  LTA
bermasalah  karena  PT.  Dirgantara  Indonesia  tidak  melihat  bahaya terhadap  terhentinya  proses  produksi.  Kemudian  cabang  Hazard
Prioritisation  LTA  bermasalah  karena  terdapat  ketidaksesuaian penentuan  kategori  konsekuensi  dan  kemungkinan  antara  prosedur
dengan form hasil risk assessment. Antara  cabang  Hazard  Selection  LTA  dengan  cabang  Hazard
Identification LTA dan Hazard Prioritisation LTA terdapat simbol “gerbang
ATAU”. Artinya apabila salah satu saja antara cabang Hazard Identification LTA  dan  Hazard  Prioritisation  LTA  bermasalah,  maka  akan  menyebabkan
masalah  pada  cabang  Hazard  Selection  LTA.  Jadi  berdasarkan  hasil penelitian,  dapat  dikatakan  bahwa  cabang  Hazard  Selection  LTA
bermasalah.
116
Selanjutnya  antara  cabang  Execution  LTA  dengan  cabang  Time  LTA, Budget  LTA,  Scope  LTA,  Analytical  Skill  LTA  dan  Hazard  Selection  LTA
terdapat  simbol  “gerbang  ATAU”.  Artinya  apabila  salah  satu  cabang bermasalah maka akan menyebabkan masalah pada cabang Execution LTA.
Jadi berdasarkan hasil penelitian, dapat  dikatakan bahwa cabang  Execution LTA bermasalah.
Berdasarkan  hasil  penelitian  cabang  Knowledge  LTA  dan  Execution LTA  bermasalah.  Antara  cabang  Task  Spesific  Risk  Analysis  LTA  dengan
cabang  Knowledge  LTA  dan  Execution  LTA terdapat  simbol  “gerbang
ATAU”, artinya apabila salah satu saja antara cabang Knowledge LTA dan Execution LTA bermasalah, maka akan menyebabkan masalah pada cabang
Task  Spesific  Risk  Analysis  LTA.  Dengan  demikian,  masalah  pada  cabang Knowledge  LTA  dan  Execution  LTA  akan  mempengaruhi  cabang  Task
Spesific Risk Analysis LTA. Kemudian  pada  cabang  Recommended  Risk  Controls  LTA,  cabang
yang terkait diantaranya cabang Clarity LTA, Compatibility LTA, Testing of Control  LTA,  Directive  LTA,  Availability  LTA,  Adaptability  LTA,  dan  Use
Not Mandatory. Berikut ini hasil penelitiannya: a.
Cabang  Clarity  LTA  bermasalah  karena  pekerja  masih  bingung  dengan cara pakai serta perawatan dari pengendalian yang ada.
b. Cabang  Compatibility  LTA  bermasalah  karena  pengendaian  yang
direkomendasikan tidak kompatibel dengan hirarki pengendalian.