Cabang Execution LTA Cabang Task Spesific Risk Analysis LTA

125 jadwal berkala karena keterbatasan personil dan waktu. Pelaksanaan diprioritaskan ketika ada perubahan proses, material, mesin, serta perpindahan lokasi. Namun berdasarkan pengamatan, terdapat 3 mesin baru yang datang di Departemen Machining, namun pihak terkait tidak segera melaporkan kepada tim K3LH untuk dilaksanakan analisis risiko. Hal tersebut membuktikan bahwa peninjauan ulang risk assessment bermasalah. Dampaknya adalah risk assessment tidak mengikuti perkembangan atau perubahan-perubahan yang ada, padahal perkembangan atau perubahan-perubahan yang ada akan sangat mempengaruhi risiko yang ada. Selain itu, risiko dan pengendaliannya perlu dipantau untuk menjamin level dan prioritas risiko tidak mengalami perubahan, oleh karena itu peninjauan ulang perlu dilakukan untuk menjamin bahwa manajemen risiko sesuai dengan tujuan yang diharapkan ASNZS, 2004. Selanjutnya untuk lama pelaksanaan dikatakan cukup, hanya sekitar 4-8 jam. Waktu tersebut dikatakan cukup karena pelaksana sudah memahami tahapan pekerjaan yang biasa dilakukan. Dengan pemahaman baik tentang pekerjaan, maka tidak perlu waktu lama untuk mengidentifikasi serta menganalisis risiko yang ada. 126 Berdasarkan hasil penelitian, cabang Time bermasalah. Hal tersebut karena pelaksanaan risk assessment tidak sesuai jadwal berkala karena keterbatasan personil dan waktu. Untuk itu, sebaiknya PT. Dirgantara Indonesia melaksanakan risk assessment sesuai jadwal berkala yang telah dibuat, sehingga tidak bergantung pada laporan. 2. Cabang Budget LTA Pertimbangan anggaran yang memadai diperlukan untuk melakukan analisis risiko. Peranan anggaran pada suatu perusahaan merupakan alat untuk membantu manajemen dalam pelaksanaan, fungsi perencanaan, koordinasi, pengawasan dan juga sebagai pedoman kerja dalam menjalankan perusahaan untuk tujuan yang telah ditetapkan Supriyono, 1990. Uang sendiri merupakan alat tools yang penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat- alat yang dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi Supriyono, 1990. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa anggaran dana analisis risiko masuk ke dalam anggaran program K3LH secara umum, baik di Departemen K3LH maupun di Divisi 127 terkait. Hal tersebut sesuai dengan SK Direksi PT. Dirgantara Indonesia tentang tanggung jawab fungsi K3LH dan unit organisasi dalam melaksanakan SMK3, bahwa unit organisasi yang bertugas menyusun anggaran K3LH bagi unit organisasinya. Selain itu, pada pedoman kepemimpinan manajemen dan partisipasi karyawan dalam menerapkan SMK3LH PT. Dirgantara Indonesia, bahwa kepala divisi yang bertugas menyediakan anggaran. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa divisi terkait telah menganggarkan dana untuk upaya keselamatan termasuk risk assessment. Kemudian dana dalam pelaksanaan risk assessment digunakan untuk print form dan perbanyak prosedur. Pada dokumen Rencana Keuangan Anggaran Perusahaan RKAP Departemen K3LH PT. Dirgantara Indonesia tahun 2014, membuktikan bahwa terdapat pos anggaran untuk membantu manajemen dalam pelaksanaan risk assessment, yaitu terkait print form masuk ke dalam anggaran biaya cetak dan fotocopy, serta perbanyak prosedur masuk ke dalam anggaran administrasi dan dokumentasi. Anggaran dikatakan cukup karena dapat mendukung berlangsungnya program. Dengan anggaran yang cukup, maka program dapat dijalankan. Anggaran untuk risk assessment digunakan untuk membiayai gaji tenaga kerja dan menyediakan 128 alat-alat yang dibutuhkan. Namun, gaji tenaga kerja tidak terlalu dibutuhkan apabila pelaksana dari internal perusahaan. Dengan demikian, anggaran untuk risk assessment tidak memerlukan alokasi yang banyak. Berdasarkan hasil penelitian, cabang Budget tidak bermasalah. Hal tersebut karena anggaran dana tersedia dalam anggaran program K3LH secara umum, serta dikatakan cukup karena dapat mendukung berlangsungnya program. 3. Cabang Scope LTA Ruang lingkup dan detail dari analisis risiko harus mencakup semua risiko yang terkait dengan pekerjaan proses tersebut. Risk Assessment harus dilakukan di seluruh aktifitas usaha, termasuk aktifitas rutin dan non rutin, baik pekerjaan tersebut dilakukan oleh karyawan langsung maupun kontrak, suplier dan kontraktor, serta aktifitas fasilitas atau personal yang masuk ke dalam tempat kerja ASNZS, 2004. Pada prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, dikatakan bahwa pelaksanaan risk assessment dilakukan di seluruh kegiatan produksi dan pendukungnya. Namun berdasarkan hasil wawancara, lingkup lokasi pelaksanaan hanya berdasarkan permintaan. 129 Selain itu, pada form hasil risk assessment di Direktorat Produksi PT. Dirgantara Indonesia tidak dituliskan keterangan secara rinci terkait lokasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak semua lokasi dilaksanakan risk assessment karena pelaksanaan hanya berdasarkan proses. Padahal proses di unit tertentu bisa jadi memiliki potensi bahaya dan risiko yang berbeda dibandingkan proses di unit lain. Dampaknya adalah tidak terdeteksinya potensi bahaya dan risiko tersebut, sehingga pengendaliannya pun tidak dilakukan. Selanjutnya risiko adalah kemungkinan suatu kejadian yang akan menimbulkan dampak pada suatu objek Cross, 1998. Untuk itu, seluruh risiko harus dianalisis. Pada prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia dikatakan bahwa tipe risiko yang dianalisis adalah risiko terhadap keselamatan, kesehatan dan lingkungan. Namun, pada form hasil risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, risiko yang dianalisis hanya risiko keselamatan dan kesehatan. Dampaknya adalah tidak terdeteksinya risiko lingkungan, sehingga tidak ada upaya mencegah pencemaran lingkungan Jadi lingkup lokasi pelaksanaan analisis risiko bermasalah. Selain itu, tipe risiko juga belum memadai. Dengan demikian, cabang Scope bermasalah. Untuk itu, sebaiknya Direktorat Produksi PT. Dirgantara Indonesia melaksanakan risk 130 assessment pada masing-masing unit, dengan mengutamakan lokasi dengan tingkat risiko tertinggi terlebih dahulu, karena dalam melaksanakan risk assessment tidak dapat dipilih secara acak, pekerjaan dengan pengalaman terburuk seharusnya dianalisis terlebih dahulu Soeripto, 1997. Selain itu, risiko lingkungan yang ada harus dianalisis dengan baik. 4. Cabang Analytical Skill LTA Pengalaman dan keterampilan pelaksana yang memadai diperlukan untuk menyelesaikan penilaian risiko. Dalam melaksanakan identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko harus dilakukan oleh pekerja yang mempunyai kompetensi yang ditetapkan. Orang yang menganalisis risiko harus memiliki pemahaman yang baik tentang pekerjaan dan pengetahuan untuk menemukan bahaya. Dengan melibatkan pekerja akan membantu meminimalkan kelalaian, memastikan kualitas analisis dan memperdalam analisis untuk solusi ASNZS, 2004. Berdasarkan prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, pelaksana risk assessment yaitu fungsi sentral K3LH dan unit organisasi terkait. K3LH dianggap memiliki pemahaman untuk menemukan bahaya, sedangkan unit organisasi terkait dianggap memiliki pemahaman tentang 131 pekerjaan. Pada pedoman kepemimpinan manajemen dan partisipasi karyawan dalam menerapkan SMK3LH PT. Dirgantara Indonesia, dijelaskan bahwa supervisor bertugas melakukan identifikasi bahaya, upaya pencegahan dan penanggulangan kondisi tempat kerja danatau pekerjaan yang membahayakan dan dapat menimbulkan risiko kecelakaan kerja, kebakaran, peledakan, penyakit akibat kerja dan pencemaran lingkungan. Dengan demikian, kualitas analisis risiko dapat dipastikan. Departemen K3LH merupakan salah satu fungsi yang bertanggung jawab sebagai pelaksana risk assessment, namun untuk personal yang melaksanakan tidak ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian, pelaksana tidak ditetapkan dengan surat tugas atau surat ketetapan. Seluruh staf harus siap dan mampu, yang penting sudah membaca dan mempelajari prosedur. Padahal tidak semua staf K3LH berlatar belakang K3 danatau memiliki sertifikat pelatihan risk assessment. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3 pasal 10 ayat 3, yang menyatakan bahwa pelaksana harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan sertifikat serta kewenangan di bidang K3, yang dibuktikan dengan surat izin kerja operasi danatau surat penunjukan dari instansi. Dampaknya adalah 132 ketidakpahaman pelaksanaan risk assessment mulai dari tahapan pelaksanaan sampai metode yang digunakan. Jadi berdasarkan analisis, pengalaman dan keterampilan pelaksana belum memadai. Dengan demikian, cabang Analytical Skill bermasalah. Untuk itu, sebaiknya PT. Dirgantara Indonesia menetapkan pelaksana secara struktural dengan deskripsi kerja yang jelas, serta dibekali dengan pelatihan khusus. 5. Cabang Hazard Selection LTA Cabang ini menganggap bahaya yang tidak dicantumkan dapat memicu masalah. Temuan bahaya sangat penting untuk kecukupan analisis risiko. Terdapat 2 cabang yang mempengaruhi, yaitu: a. Cabang Hazard Identification LTA Kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi bahaya perlu dipertimbangkan. Pada lampiran I tentang pedoman penerapan SMK3 Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012, menyatakan bahwa identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko harus dipertimbangkan pada saat merumuskan rencana. Berdasarkan hasil penelitian, PT. Dirgantara Indonesia memiliki prosedur identifikasi aspek K3LH serta formnya, yang dapat memandu pelaksana dalam mengidentifikasi 133 bahaya. Sumber bahaya yang menyebabkan kecelakaan atau kejadian yang tidak diinginkan yang mengakibatkan ataupun dapat berdampak cidera pada manusia, kerusakan properti, terhentinya proses produksi, penurunan kesehatan ataupun kerusakan lingkungan Diberardinis, 1999. Namun dalam form identifikasi aspek K3LH, hanya mengidentifikasi bahaya terhadap manusia, alat, dan lingkungan. Hal tersebut membuktikan bahwa PT. Dirgantara Indonesia tidak melihat bahaya terhadap terhentinya proses produksi. Bahaya terhadap proses produksi penting untuk diidentifikasi, misalnya berhentinya proses produksi sehingga menimbulkan kerugian perusahaan dalam hal terhambatnya produk yang dihasilkan, kemudian terganggunya proses produksi sehingga produk yang dihasilkan tidak sesuai atau mengalami kecacatan. Dampaknya adalah bahaya terhadap proses produksi tidak teridentifikasi, sehingga tidak ada upaya untuk mencegah timbulnya kerugian tersebut. Kemudian pada prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, data pendukung pelaksanaan identifikasi yaitu data informasi kegiatan kerja atau proses, data hasil inspeksi, peraturan, dan MSDS. Seluruh data tersebut digunakan untuk mendukung identifikasi bahaya, 134 sehingga dapat meminimalkan kelalaian dan memperkuat hasil identifikasi. Berdasarkan hasil penelitian, cabang Hazard Identification bermasalah. Hal tersebut karena PT. Dirgantara Indonesia tidak melihat bahaya terhadap terhentinya proses produksi. Untuk itu, sebaiknya PT. Dirgantara Indonesia melakukan revisi form identifikasi aspek K3LH, yaitu dengan menambahkan kolom bahaya terhadap proses produksi. b. Cabang Hazard Prioritisation LTA Metode yang digunakan perlu dipertimbangkan dalam memprioritaskan bahaya yang telah diidentifikasi. Berdasarkan prosedur risk assessment, PT. Dirgantara Indonesia dalam melaksanakan risk assessment menggunakan metode analisis kualitatif. Dalam metode analisis kualitatif terdapat 2 unsur yang dijadikan pertimbangan, yaitu konsekuensi risk severity dan kemungkinan risk probability. Kelebihan menggunakan analisis kualitatif adalah mudah dimengerti, tidak menggunakan sumber daya yang mahal, dan dapat digunakan ketika tidak tersedia data yang baik Cross, 1998. Berdasarkan kelebihan tersebut, maka PT. Dirgantara Indonesia telah sesuai memilih metode ini. Hal ini dikarenakan kondisi PT. Dirgantara Indonesia saat 135 ini yang minim sumber daya, seperti personil, waktu, dana, dan lain-lain. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3 pasal 13 ayat 1, bahwa prosedur informasi harus memberikan jaminan bahwa informasi K3 dikomunikasikan. Namun dalam pelaksanaan risk assessment terdapat ketidaksesuaian dengan prosedur, yaitu penentuan kategori analisis risiko konsekuensi dan kemungkinan. Dampaknya adalah ketidaksesuaian penentuan kategori risiko sebagai dasar penentuan pengendalian. Hal ini kemungkinan terjadi karena tidak ada sosialisasi prosedur risk assessment. Berdasarkan hasil penelitian, cabang Hazard Prioritisation bermasalah. Hal tersebut karena terdapat ketidaksesuaian penentuan kategori analisis risiko konsekuensi dan kemungkinan antara prosedur serta form hasil risk assessment. Untuk itu, sebaiknya PT. Dirgantara Indonesia menetapkan pengkategorian yang akan secara konsisten digunakan, kemudian disosialisasikan. 136

6.4.2 Cabang Recommended Risk Controls LTA

A. Cabang Clarity LTA

Rekomendasi pengendalian harus cukup jelas sehingga mudah dipahami oleh penggunanya. Pengendalian adalah proses, peraturan, alat, pelaksanaan atau tindakan yang berfungsi untuk meminimalisasi efek negatif atau meningkatkan peluang positif ASNZS, 2004. Komunikasi adalah salah satu cara untuk membuat orang lain paham. Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain, komunikasi sangat penting untuk berjalannya suatu organisasi Handoko, 2002. Peraturan Pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3 pasal 13 ayat 1, menjelaskan bahwa prosedur informasi harus memberikan jaminan bahwa informasi K3 dikomunikasikan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rekomendasi pengendalian tercantum dalam form hasil risk assessment yang disebarluaskan ke unit. Hal ini sesuai pada prosedur risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, bahwa hasil risk assessment harus disosialisasikan ke manajemen, operator, dan fungsi pendukung. Penyebarluasan form hasil risk assessment PT. Dirgantara Indonesia dibuktikan dengan tanda bukti penerimaan dokumen 137 serta penanggung jawab dokumen. Hal tersebut merupakan salah satu upaya mengkomunikasikan rekomendasi pengendalian. Selain itu, pekerja juga diberi arahan oleh atasan. Hal tersebut adalah upaya untuk membuat pekerja memahami terkait pengendalian yang direkomendasikan. Namun, pekerja masih bingung dengan cara pakai serta perawatan dari pengendalian yang berupa peralatan. Hal ini membuktikan bahwa komunikasi yang diupayakan belum maksimal, padahal komunikasi tentang cara pakai yang benar dan perawatan dari pengendalian yang berupa peralatan sangat penting untuk memudahkan melakukan pengendaliannya. Dampaknya adalah tidak pahamnya pekerja dalam melakukan pengendalian yang direkomendasikan. Berdasarkan hasil penelitian, cabang Clarity bermasalah. Hal tersebut karena pekerja masih bingung dengan cara pakai serta perawatan dari pengendalian yang ada. Untuk itu, sebaiknya tim K3LH PT. Dirgantara Indonesia memberikan informasi lengkap melalui safety briefing mengenai pengendalian yang direkomendasikan, misalnya untuk pengendalian yang berupa peralatan dengan memberikan informasi cara pakai serta perawatannya. 138

B. Cabang Compatibility LTA

Pengendalian yang direkomendasikan harus kompatibel dengan persyaratan yang ada. Dalam melakukan langkah-langkah untuk mengatasi risiko yang timbul, dibutuhkan suatu skala prioritas yang dapat membantu dalam pemilihan pengendalian yang disebut dengan hirarki pengendalian. Urutan prioritas atau hirarki tersebut, yaitu: Suardi, 2005 a. Eliminasi adalah langkah ideal yang dapat dilakukan dan harus menjadi pilihan pertama dalam melakukan pengendalian risiko. Eliminasi berarti menghilangkan peralatan yang dapat menimbulkan bahaya. b. Substitusi, prinsip dari alat kendali ini adalah mengendalikan sumber risiko dengan sarana atau peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah atau tidak ada. c. Rekayasa Engineering dilakukan dengan mengubah desain tempat kerja, peralatan, atau proses kerja untuk mengurangi tingkat risiko. Ciri khusus dari tahap ini adalah melibatkan pemikiran yang lebih mendalam bagaimana membuat lokasi kerja yang lebih aman dengan melakukan pengaturan ulang lokasi kerja, memodifikasi peralatan, melakukan kombinasi kegiatan, perubahan prosedur, dan mengurangi frekuensi dalam melakukan kegiatan berbahaya. 139 d. Pengendalian Administrasi, dalam tahap ini menggunakan prosedur, standar operasi kerja, atau panduan sebagai langkah untuk mengurangi risiko. Akan tetapi banyak kasus yang ada, pengendalian administrasi tetap membutuhkan sarana pengendalian risiko lainnya. e. Alat Pelindung Diri APD adalah pilihan terakhir yang dapat dilakukan untuk mencegah paparan bahaya pada pekerja. Penggunaan APD ini disarankan hanya digunakan bersamaan dengan penggunaan alat pengendali lainnya. Dengan demikian perlindungan keamanan dan kesehatan personel akan lebih efektif. Hal tersebut diterapkan di PT. Dirgantara Indonesia dari hirarki pengendalian dalam prosedur risk assessment yang telah ditetapkan. Namun pada form hasil risk assessment PT. Dirgantara Indonesia, pengendalian yang sering direkomendasikan untuk berbagai risiko adalah kontrol administratif serta APD. Padahal rekayasa teknis merupakan pengendalian yang terbaik karena menghilangkan bahaya yang ada atau menghilangkan kemungkinan bahaya tersebut mengenai pekerja. Sedangkan kontrol administratif tidak menghilangkan bahaya secara langsung, tetapi digunakan untuk membatasi waktu kontak antar pekerja dengan bahaya. Untuk menjadi efektif, pengendalian ini bergantung pada perilaku manusia.