Kelayakan Bisnis Economic Model of Sustainable Shrimp Farming System Management in Sidoarjo District, East Java

sistem polikultur tentunya juga membuat penerimaan pada kedua sistem ini paling menguntungkan dibandingkan sistem monokultur seperti terlihat pada Gambar 12. Tabel 39. Total Penerimaaan pada 4 sistem budidaya No. Jenis Total Penerimaan dalam Rupiah Monokultur Tradisional Polikultur Tradisional Monokultur Tradisional Plus Polikultur Tradisional Plus

1. Penjualan

udang 22.115.385 25.366.071 17.812.500 232.425.000

2. Penjualan

bandeng - 20.550.000 52.717.000 Total 22.115.385 45.916.071 17.812.500 285.142.000 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Gambar 12. Grafik Total Penerimaan pada 4 sistem budidaya Nilai keuntungan diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya tetap maupun total variabel, adapun hasil yang didapatkan wawancara mengenai total biaya tetap dan total variabel terlihat pada Tabel 40. Biaya tetap yang dikeluarkan setiap tahun adalah Pajak Bumi dan Bangunan, peralatan panen dan peralatan lain seperti misalnya timbangan, peralatan untuk tebar benih, test kit untuk beberapa kualitas air, alat untuk memberi pakan pada sistem tradisional plus dan jaring. Tabel 40. Biaya Tetap dan Biaya Variabel pada 4 sistem budidaya Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 No. Jenis Biaya Biaya pada Sistem dalam Rupiah Monokultur Tradisional Polikultur Tradisional Monokultur Tradisional Plus Polikultur Tradisional Plus

1. Biaya Tetap

a. PBB 2.412.770 2.921.429 250.000 8.541.667 b.Peralatan Panen 520.442 553.455 439.684 910.712 c. Peralatan lain 5.014.423 3.625.893 4. 10.572.917 Total Biaya Tetap 7.947.635 7.100.777 5.424.684 20.025.296

2. Biaya Variabel

a. Tenaga Kerja Persiapan+Panen 853.846 971.429 1.175.000 1.750.000 b. Tenaga Kerja Operasional 4.586.538 6.341.518 4.453.125 71.285.500 c. Benih udang 2.892.308 1.928.571 1.050.000 14.884.675 d. Benih bandeng - 414.464 - 904.213 e. Pupuk 546.154 185.714 325.000 1.182.500 f. Pakan udang - - 2.287.500 45.256.250 g. Pakan bandeng - - - 71.750.000 h. Kapur 1.729.231 464.286 575.000 2.733.333 i. Saponin 253.846 128.571 210.000 128.125 j. Obat-obatan 191.346 176.786 400.000 233.333 Total Biaya Variabel 11.053.269 10.611.339 10.475.625 210.107.929

3. Total Biaya

19.000.904 17.712.116 560.793.871 7.733.796.090 Sedangkan biaya variabel yang diperlukan pada budidaya udang di Sidoarjo adalah upah bagi tenaga kerja persiapan dan panen serta tenaga kerja operasional, kemudian benih udang dan benih bandeng bagi petani tambak sistem polikultur, pupuk, pakan udang dan pakan bandeng bagi petani tambak sistem polikultur tradisional plus, kapur, saponin dan obat-obatan. Solar dan listrik tidak dimasukkan dalam perhitungan biaya karena penggunaanya tidak signifikan pada produksi udang dengan sistem tradisional dan tradisional plus. Biaya tetap yang paling besar adalah biaya peralatan lain karena variasi produk yang digunakan oleh masing-masing petani tambak dalam melaksanakan praktik budidaya. Sedangkan pada biaya variabel, biaya terbesar pada sistem monokultur tradisional, polikultur tradisional dan monokultur tradisional plus adalah upah tenaga kerja operasional, hal ini disebabkan para pekerja tenaga kerja operasional sebagian besar mendapatkan bagian 25 persen dari hasil panen karena sistem bagi hasil yang disepakati oleh pemiliki tambak dan tenaga kerja operasional. Hal ini sesuai dengan Kusumastanto et al. 1996 yang menyatakan bahwa di Indonesia pada sistem tradisional, tenaga kerja merupakan biaya terbesar terhitung 42 dari biaya operasional yang diikuti oleh pupuk dan benih. Gambar 13. Grafik Total Biaya pada 4 sistem budidaya Pada penelitian ini, biaya yang cukup besar juga adalah biaya benih, hal ini karena semakin sulitnya mendapatkan benih dengan kualitas baik sehingga harga benih pun semakin mahal. Struktur biaya pada ketiga sistem budidaya berbeda dengan struktur biaya pada sistem polikultur tradisional plus yaitu pakan merupakan biaya terbesar diikuti oleh tenaga kerja operasional dan benih. Penggunaan pakan udang dan bandeng pada sistem budidaya polikultur tradisional memang lebih besar dibandingkan pada ketiga sistem lainnya. Hal ini terjadi juga pada sistem intensif sesuai dengan pernyataan Ling et al. 1999 bahwa pada sistem intensif, pakan merupakan biaya terbesar, diikuti oleh benih, solar dan tenaga kerja pada beberapa negara di Asia, kemudian pada sistem semi- intensif juga pakan merupakan biaya terbesar, diikuti oleh benih. Selain nilai total biaya, total investasi juga dibutuhkan untuk menghitung Pay Back Period PBP. Investasi yang dilakukan oleh petani tambak-petani tambak di Sidoarjo adalah pembuatan tambak, pintu air, saluran irigasi sekunder dan bangunan jaga, walaupun beberapa petani tambak tidak melakukan pembuatan tambak karena tambak yang mereka miliki saat ini sebagian besar adalah warisan secara turun temurun, juga terdapat beberapa petani tambak yang menyewa tambak. Nilai investasi dari petani tambak di Sidoarjo dapat terlihat pada Tabel 41 dengan umur proyek 10 tahun. Tabel 41. Investasi pada 4 sistem budidaya No. Jenis Investasi Nilai Investasi pada sistem budidaya dalam Rupiah Monokultur Tradisional Polikultur Tradisional Monokultur Tradisional Plus Polikultur Tradisional Plus

1. Pembuatan

Tambak 57.307.692 58.428.571 50.000.000 170.833.333

2. Pintu Air

4.824.102 7.005.847 11.363.942 6.188.597 3. Saluran Irigasi Sekunder 5.730.769 5.842.857 5.000.000 17.083.333

4. Bangunan Jaga 22.923.077

23.371.429 20.000.000 68.333.333 Total 90.785.640 94.648.704 1.325.081.859 262.438.596 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Hasil yang diperoleh melalui wawancara dan beberapa data sekunder, maka hasil analisis undiscounted criterion berupa keuntungan, RC ratio dan Pay Back Period pada Tabel 42. Keuntungan terbesar memang terdapat pada polikultur tradisional plus, namun nilai RC terbesar terdapat pada sistem polikultur tradisional, hal ini berarti perbandingan antara jumlah total penerimaan dengan jumlah total biaya yang dikeluarkan selama usaha budidaya lebih baik dengan sistem polikultur tradisional. Tabel 42. Keuntungan, RC dan PBP No. Nilai Sistem Budidaya Monokultur Tradisional Polikultur Tradisional Monokultur Tradisional Plus Polikultur Tradisional Plus

1. Keuntungan

Rp.3.114.481 Rp.28.203.955 Rp.1.912.191 Rp.55.008.775

2. RC

1,16 2,59 1,12 1,24

3. PBP

4,10 tahun 2,06 tahun 4,84 tahun 0,92 tahun Sumber : Hasil Analisis Data, 2013. Keempat sistem budidaya yang dilakukan saat ini di Sidoarjo memiliki nilai Pay Back Period dibawah 5, artinya keempat sistem ini dengan asumsi tidak ada gagal panen karena serangan virus, dapat mengembalikan investasi sebelum 5 tahun. Sistem monokultur tradisional plus merupakan sistem budidaya yang memiliki nilai PBP terbesar yaitu 4,84 yang artinya sistem budidaya udang ini memerlukan 4,84 tahun untuk mengembalikan investasi dengan menggunakan sistem budidaya ini. Sistem budidaya yang paling cepat dalam mengembalikan investasi adalah polikultur tradisional plus sebesar 0,92 tahun karena walaupun nilai investasi yang dikeluarkan paling besar diantara sistem lainnya, namun keuntungan yang didapatkan dengan asumsi tidak terjadi gagal panen yang disebabkan perubahan kualitas air secara mendadak ataupun serangan wabah virus juga paling besar diantara sistem budidaya yang lain. Pada kelayakan bisnis, perlu dilihat juga discounted criterion seperti yang diperlihatkan pada Tabel 43. Berdasarkan hasil, walaupun pada undiscounted criterion semua sistem budidaya mampu mengembalikan investasi sebelum 10 tahun, hasil discounted criterion justru menghasilkan hasil yang berbeda, nilai NPV pada sistem budidaya monokultur tradisional dan monokultur tradisional plus lebih kecil dari 0 artinya usaha tambak tidak layak untuk dilanjutkan. Karena apabila budidaya dengan sistem ini dilakukan dalam 10 tahun depan maka kerugian yang harus ditanggung adalah Rp.77.606.452 bagi monokultur tradisional dan Rp.83.851.374 bagi monokultur tradisional plus. Tabel 43. Nilai NPV, Net BC dan IRR No. Nilai Pada Tingkat Suku Bunga 10 Monokultur Tradisional Polikultur Tradisional Monokultur Tradisional Plus Polikultur Tradisional Plus

1. NPV

Rp.77.606.452 71.399.632 Rp.83.851.374 Rp.62.430.116

2. Net BC 0,14

1,75 0,02 1,23

3. IRR

-20 26 -30 15 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Rincian dalam Lampiran 8 Hal ini memang sesuai dengan wawancara yang dilakukan dengan petani tambak yang saat ini masih menggunakan monokultur tradisional dan monokultur tradisional plus, mereka menyatakan bahwa mereka lebih memilih untuk menjual tambak atau menyewakan tambak kepada orang lain karena pemasukan dengan sistem ini sudah tidak lagi menguntungkan, padahal sistem ini telah dilakukan dilakukan dari generasi sebelumnya. Beberapa petani tambak senior di Kabupaten Sidoarjo juga menyatakan bahwa memang terjadi penurunan produksi karena semakin banyak limbah produksi sehingga sistem budidaya monokultur tradisional maupun tradisional plus sudah tidak lagi menguntungkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Net Present Value menurut Gittinger 2008 adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan penanaman investasi. Nilai itu merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan untuk individu atau harta ditilik dari segi mana analisa dibuat – dalam hal ini rumah tangga petani tambak. Dilihat dari hasil analisis NPV pada sistem polikultur tradisional dan sistem polikultur tradisional plus maka keuntungan masih bisa diperoleh dengan sistem budidaya polikultur baik polikultur tradisional plus dan polikultur tradisional, hal ini dikarenakan pada keadaan lingkungan yang sama, penerimaan yang didapatkan dari bandeng dan udang masih menguntungkan. Nilai NPV pada sistem polikultur tradisional merupakan NPV yang tertinggi yaitu sebesar Rp. 71.399.632 dan sistem polikultur tradisional plus sebesar Rp.62.430.116. Pada analisis undiscounted criterion, keuntungan terbesar diperoleh penggunaan sistem budidaya polikultur tradisional plus, namun nilai NPV paling tinggi diperoleh oleh sistem budidaya polikultur tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa dengan umur proyek 10 tahun, penggunaan sistem budidaya polikultur tradisional lebih menguntungkan dan lebih layak digunakan. Nilai Net BC juga menunjukkan bahwa sistem budidaya monokultur tidak layak untuk diteruskan karena nilainya dibawah satu, dan hanya sistem budidaya polikultur yang layak dilakukan karena nilai BC diatas 1. Pada analisis discounted criterion, keempat sistem budidaya masih menguntungkan, namun apabila dilanjutkan hingga 10 tahun maka sistem budidaya monokultur tidak layak untuk dilakukan. Selain karena pengaruh diskonto, hal ini juga disebabkan perhitungan Net BC tidak menghitung depresiasi pada nilai investasi yang diberikan pada tahun ke-0. Penggunaan pakan pada sistem polikultur tradisional dengan analisis ini memang paling layak karena memiliki nilai IRR 26 artinya usaha ini dalam tingkat suku bunga 10 mampu memberikan tingkat pengembalian dari setiap investasi selama umur usaha 10 tahun. Tingkat suku bunga 10 dipilih karena merupakan suku bunga pinjam Bank Indonesia, selain itu World Bank merilis tingkat discount rate yang dianjurkan bagi negara-negara berkembang adalah 10 persen sampai dengan 20 persen. Hal ini dengan asumsi bahwa usaha budidaya dilakukan dengan keadaan lingkungan perairan yang sama, sedangkan pada kenyataannya tanpa manajemen tambak yang baik sulit untuk mempertahankan budidaya tambak pada kualitas air yang sesuai. Perlu adanya analisis lanjutan yang menghubungkan antara analisis ekonomi yang melibatkan analisis ekologi secara dinamik sehingga dapat diketahui manakah sistem budidaya yang paling berkelanjutan di Sidoarjo pada kondisi lingkungan yang tercemar sedang. 8 MODEL EKONOMI PENGELOLAAN SISTEM BUDIDAYA UDANG BERKELANJUTAN Analisis efisiensi dan kelayakan bisnis yang dilakukan pada bab sebelumnya hanya menghitung efisiensi ekonomi dan kelayakan secara finansial pada usaha budidaya udang yang dilakukan di Sidoarjo. Pada kenyataannya, keberlanjutan usaha budidaya udang di Sidoarjo bukan hanya ditentukan oleh layak tidaknya usaha tersebut dilihat dari sudut pandang ekonomi, walaupun kelayakan ekonomi merupakan hal yang penting untuk dianalisis. Pencemaran yang terjadi di Sidoarjo saat ini merupakan permasalahan yang diakui mengurangi produktivitas budidaya udang, salah satu petani tambak mengatakan bahwa lahan sebesar 20 ha sebelumnya minimal dapat menghasilkan panen sebesar minimum 2 ton, namun saat ini pada luas lahan yang sama hasil panen bahkan tidak mencapai 1 ton padahal jumlah benih yang ditebar relatif sama. Dengan melihat permasalahan yang terjadi maka perlu dibangun model ekonomi pengelolaan sistem budidaya udang di wilayah tambak udang seluas 382 ha yang menganalisis secara ekonomi serta menjadikan pencemaran sebagai faktor pembatas pada produksi udang.

8.1. Skenario Pengelolaan

Di Sidoarjo saat ini, sistem budidaya udang dikelola dengan empat skenario pengelolaan yaitu monokultur tradisional, monokultur tradisional plus, polikultur tradisional dan polikultur tradisional plus. Pada Bab 6, nilai Indeks Pencemaran yang dihasilkan adalah 9,28. Nilai tersebut mewakili aspek lingkungan sebagai indikator keberlanjutan pada model yang akan dibangun, langkah kedua adalah membuat model sesuai dengan causal loop diagram yang telah diperlihatkan pada Bab 4. Model yang dibangun kemudian juga harus disesuaikan dengan sistem budidaya yang digunakan.

8.1.1. Sistem Budidaya Monokultur Tradisional

Pada sistem budidaya monokultur tradisional hanya terdapat satu spesies yang dibudidayakan sehingga hanya ada satu stok pada diagram model pada Gambar 14, selain itu juga tidak terdapat input produksi berupa pakan. Input produksi menggunakan hasil dari fungsi produksi Cobb-Douglas pada analisis efisiensi. Nilai produksi udang yang digunakan merupakan jumlah dari produksi udang pada kawasan budidaya di Kecamatan Sedati seluas 74 ha. Gambar 14. Diagram model sistem budidaya monokultur tradisional

8.1.2. Sistem Budidaya Polikultur Tradisional

Perbedaan mendasar pada sistem budidaya polikultur tradisional adalah pada sistem budidaya ini terdapat dua jenis spesies yang dibudidayakan. Sistem budidaya polikultur tradisional yang dilakukan saat ini di Sidoarjo adalah antara udang dan bandeng. Terdapat dua stok pada Gambar 15 yang merupakan kedua komoditas yang dibudidayakan, sama seperti sistem monokultur tradisional pada sistem budidaya ini tidak menggunakan pakan buatan sehingga tidak terdapat pakan sebagai input produksi. Input produksi menggunakan hasil dari fungsi produksi Cobb-Douglas pada analisis efisiensi. Nilai produksi udang yang digunakan merupakan jumlah dari produksi udang pada kawasan budidaya di Kecamatan Jabon seluas 82 ha. Gambar 15. Diagram model sistem budidaya polikultur tradisional

8.1.3. Sistem Budidaya Monokultur Tradisional Plus

Sistem budidaya monokultur tradisional plus hanya membudidayakan satu spesies budidaya yaitu udang, baik udang vanamei maupun udang windu tergantung pada lokasi tambak. Lokasi tambak yang dekat laut biasanya membudidayakan udang windu dan lokasi tambak yang lebih jauh dari laut biasanya membudidayakan udang vannamei atau udang putih. Hal ini berhubungan dengan toleransi masing-masing spesies terhadap salinitas. Perbedaan sistem monokultur tradisional plus dengan sistem monokultur tradisional dan polikultur tradisional adalah penambahan pakan sebagai salah satu input produksi. Gambar 16. Input produksi menggunakan hasil dari fungsi