Sistem Budidaya Udang di Indonesia

Sistem Produksi Intensif biasanya memiliki karakteristik yang berbeda seperti secara relatif padat tebar dan input yang tinggi misalnya pakan buatanpelet dan bahan kimia dan obat-obatan, yang secara normal meningkatkan nutrien dan bahan organik pada ekosistem kolam. Biaya dari pengurangan yang disebakan polusi abatement cost biasanya merupakan pembatas kelayakan komersial suatu perusahaan. Sebagian besar investor pada operasi intensif dalam pengusaha di kota atau anggota dari elit lokal yang tertarik pada beberapa sektor ekonomi atau perusahaan besar. Pekerja yang dipekerjakan pada sistem ini biasanya direkrut dari tempat yang lebih jauh dibandingkan pekerja lokal yang ada di sekitar tambak, yang biasanya memiliki keahlian tertentu dalam bidang budidaya. Pemilik tambak tidak berperan secara aktif pada pengelolaan tambak, oleh karena itu mereka mempekerjakan staf manajer dan teknis. Kriteria teknologi dalam budidaya tambak udang dapat terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria teknologi budidaya tambak udang Kriteria Teknologi Budidaya Intensif Semi-intensif Tradisional Pakan Pakan formula lengkap Alami dan tambahan pakan buatan Alami Pengelolaan air Pompa dan aerasi Pasang surut dan pompa Pasang surut Padat penebaran ekorm 2 ≥ 30 10-30 1-10 Ukuran petak tambak ha 0.1 – 1 1-5 3-20 Produksi tonMT 2-20 0.5-5 0.1-0.5 Lama pemeliharaan bulan 3-4 3-4 4-6 Dampak Budidaya Sangat tinggi Sedang tinggi Tidak signifikan Sumber : Chamberlain 1991, dalam Kusumastanto 1994; Deb 1998; Effendi 1998; Central Proteinaprima 2002 dalam Allauidin 2004. Polikultur dari spesies akuatik dipertimbangkan menjadi sistem yang ramah lingkungan apabila spesies yang dibudidayakan berada pada tropik level yang berbeda, sehingga tidak terjadi kompetisi dalam mencari makanan dan habitat badan air yang ditempati. Polikultur juga dapat berarti aktivitas yang berkelanjutan apabila dilihat dari pengembangan akuakultur, walaupun memang terdapat hal-hal yang mungkin membatasi polikutur seperti terbatasnya makanan dan daya dukung dari lingkungan. Daya dukung, yang biasanya sangat signifikan dapat diukur dengan model simulasi Pillay, 2004.

2.3. Konsep Keberlanjutan

Pembangunan berkelanjutan sendiri menurut Palunsu 1997 dalam Alauddin 2010, pembangunan berkelanjutan mengandung 3 pengertian, yaitu: 1 memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa yang akan datang, 2 tidak melampaui daya dukung lingkungan, dan 3 mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam. Apabila dituangkan dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan, maka terdapat 4 empat aspek keberlanjutan Charles, 2001 : 1. Keberlanjutan ekologi, yaitu memelihara keberlanjutan stokbiomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem. 2. Keberlanjutan sosio-ekonomi, yaitu memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu, dengan mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. 3. Keberlanjutan komunitas, yaitu memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan komunitas masyarakat dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan. 4. Keberlanjutan kelembagaan, yaitu menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan. Segitiga keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 2. Keberlanjutan Ekologi Keberlanjutan Keberlanjutan Sosial Ekonomi Komunitas Gambar 2. Segitiga keberlanjutan Charles, 2001 Sedangkan dalam sistem perikanan budidaya, keberlanjutan ditentukan oleh beberapa aspek yaitu aspek teknologi produksi, aspek sosial dan ekonomi, dan aspek lingkungan Chung dan Kang 2000 dalam Alauddin, 2010. Hampel dan Winther 1997 dalam Alauddin, 2010 juga menyatakan bahwa untuk dapat melakukan pengembangan perikanan budidaya khususnya budidaya tambak udang secara berkelanjutan, maka aspek sosial, aspek lingkungan dan aspek teknologi harus menjadi perhatian yang utama. Kerangka keberlanjutan sistem perikanan budidaya dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Gambar 3. Keberlanjutan sistem budidaya Chung dan Kang 2002 dalam Alauddin 2010 Keberlanjutan Institusi