Hubungan Daya Dukung Tambak dan Sistem Budidaya
seperti misalnya semakin besarnya kemungkinan untuk memompa air dari tempat yang relatif lebih jauh, meningkatkan input dari pakan buatan, obat-obatan,
tenaga, dll. Oleh karena itu, tambakkolam tidak lagi perlu ada didalam kawasan mangrove, yang pada awalnya sangat berguna pada lingkungan perairan tambak
dan mengurangi masalah tanah kolam yang pH-nya rendah. Namun, walau bagaimanapun, masih terdapat beberapa jasa lingkungan yang tidak bisa
digantikan dengan teknologi yang ada, baik karena memang adanya keterbatasan teknologi maupun karena ketidaksadaran petani tambak pada pentingnya jasa
lingkungan, hal ini kemudian akan mulai dirasakan ketika masalah mulai muncul pada hasil produksi, walaupun dalam jangka pendek, masalah tersebut dapat
diatasi dengan antibiotik, bahan kimia dan obat-obatan, namun pemahaman ekologi secara komprehensif dan manajemen tambak yang baik akan lebih
berguna dalam jangka panjang karena dengan mengerti jasa-jasa lingkungan dan penyebab masalah yang terjadi maka petani tambak dapat mengambil keuntungan
dari jasa lingkungan dengan cara yang berkelanjutan Kautsky et al. 2000. Pada publikasi oleh Rosenberry 1998 dalam Kaustky et al. 2000
dikompilasikan data mengenai persentasi distribusi antara sistem ekstensif, semi- intensif dan intensif yang dilakukan di negara-negara penghasil udang seperti
yang terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase distribusi sistem budidaya udang
di negara-negara penghasil udang Negara
Ekstensif Semi-Intensif
Intensif China
50 45
5 Indonesia
70 15
15 Filipina
40 50
10 Taiwan
10 40
10 Thailand
5 15
80 Vietnam
80 15
5 Ecuador
60 40
Sumber : Rosenberry, 1998 dalam Kaustky et al. 2000 Pada tahun 1988, produksi udang menurun di Taiwan, yang pada saat itu
merupakan produsen udang terbesar di dunia, oleh karena penurunan produksi udang maka China kemudian mengambil tempat pertama, namun setelah itu juga
diserang oleh penyakit dan akhirnya mengalami penurunan produksi pada 1993. Thailand walaupun dengan kewaspadaan yang tinggi atas risiko penyakit dan
investasi yang besar untuk memerangi penyakit, tetap mengalami penurunan produksi pada tahun 1996-1997, pola yang sama juga dialami Indonesia dan
Filipina. Namun pola ini tidak terjadi pada Ekuador yang telah memulai produksi udang di tambak pada tahun 1969, hingga tahun 1999 ketika kompilasi data diatas
digunakan, tidak terserang oleh wabah penyakit udang seperti negara-negara penghasil udang lainnya. Perbedaan pola ini dapat terjadi karena kenyataan bahwa
Ekuador secara geografis berada paling jauh dibandingkan negara-negara lainnya yang berada di Asia, namun data yang menyatakan bahwa Ekuador
mengembangan 60 sistem ekstensif dan 40 sistem semi-intensif, tanpa penggunaan sistem intensif pada saat itu dibandingkan negara-negara lain yang
sudah menggunakan sistem intensif dapat dijadikan salah satu dasar pernyataan mengenai sistem mana yang lebih rentan pada wabah penyakit, yang pada
akhirnya akan menentukan keberlanjutan budidaya udang. Data tersebut semakin menguatkan pernyataan sebelumnya mengenai hubungan daya dukung, penyakit
dan sistem budidaya udang yang digunakan.