Perumusan Masalah Economic Model of Sustainable Shrimp Farming System Management in Sidoarjo District, East Java

3.782.500 kg pada tahun 2011. Produksi udang vanamei mengalami kenaikan dari 1.405.600 kg pada tahun 2010 menjadi 1.676.600 kg pada tahun 2011 BPS, 2012. Selain bandeng, udang windu dan udang vanamei yang dihasilkan dari budidaya tambak masih terdapat jenis ikan lain seperti nila dan tawes dengan total produksi mencapai 19.287.100 kg sehingga total produksi dari budidaya tambak adalah sebesar 42.852.100 kg BPS, 2010. Sidoarjo merupakan salah satu wilayah pelaksanaan program revitalisasi tambak udang yang diadakan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan, program ini memang diperlukan melihat peningkatan produksi udang yang cenderung lebih rendah apabila dibandingkan komoditas lain seperti ikan bandeng. Produksi perikanan yang berasal dari budidaya udang di Sidoarjo masih bisa ditingkatkan, namun pada saat ini banyak tambak udang yang pernah beroperasi dengan menggunakan sistem budidaya semi-intensif kembali beralih kepada sistem budidaya tradisional yang menghasilkan produksi cenderung lebih rendah. Banyaknya petani yang kembali beralih kepada sistem budidaya tradisional dan polikultur udang-bandeng disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah karena maraknya penyebaran virus udang di Kabupaten Sidoarjo yang membuat banyak petani gagal panen. Penyakit atau virus yang mewabah di Kabupaten Sidoarjo merupakan hasil dari pratik budidaya yang tidak sesuai dengan standar biosekuritas, sumber air dan bibit yang tidak sesuai standar maupun lingkungan yang tercemar. Faktor penyebab lainnya adalah pemberiaan pakan yang berlebihan sehingga cenderung menghasilkan limbah. Pola pengelolaan yang hanya memaksimalkan kapasitas produksi dengan input teknologi yang tak terkontrol seperti dalam hal ini pakan buatan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kemampuan daya dukung perairan tambak dan kelangsungan ekosistem memicu merebak virus udang yang sampai saat ini menjadi momok menakutkan. Selanjutnya dikatakan oleh Sequiera et al. 2008 dalam Nobre et al. 2009 bahwa daya dukung pada ekosistem pesisir mewakili batasan untuk meningkatkan produksi budidaya, hal ini tergantung pada praktik budidaya yang berhubungan dengan keterbatasan lahan, ketersediaan sumberdaya pangan atau kapasitas lingkungan untuk mengasimilasi buangan-buangan limbah yang dihasilkan oleh budidaya. Pada daerah pesisir Sidoarjo praktik budidaya dan kapasitas lingkungan untuk mengasimilasi buangan-buangan limbah baik dari pabrik maupun rumah tangga tampaknya membuat penurunan kualitas air tambak sehingga udang menjadi sangat rentan terhadap virus, seperti yang dinyatakan Wahab et. al 2003 bahwa stress karena adanya perubahan kualitas air dan lingkungan memiliki peranan pada mewabahnya suatu penyakit, udang yang hidup pada kualitas air yang buruk lebih rentan terhadap virus maupun penyakit. Kegagalan panen ini menambah masalah petani tambak yang biasanya sudah meminjam sejumlah pakan pada perusahaan pakan udang. Terdapat hubungan patron-client antara pabrik pakan dan petani tambak. Sistem bagi hasil yang dijalankan selama ini tidak selamanya berhasil karena tidak adanya keringanan yang diberikan ketika secara tiba-tiba udang terserang penyakit dan tidak ada hasil produksi. Hal ini menjadi dilema diantara para petani tambak, di satu sisi mereka ingin menggunakan pakan buatan agar meningkatkan hasil produksi udang, namun penggunaan pakan buatan membuat mereka terikat pada pengembalian utang pakan yang disebabkan oleh tingginya risiko produksi karena penyakit yang mungkin datang dan mengurangi bahkan melenyapkan sisa produksi yang ada. Dalam istilah ekonomi, keadaan ini disebut sebagai over- investing sehingga biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada penerimaan marjinal yang diharapkan. Menurut Gravelle dan Rees 2004 terdapat juga keterbatasan ekonomi melalui analisis hubungan antara biaya marjinal dan keuntungan marjinal. Pada kasus di Sidoarjo sendiri, khusus budidaya udang, penambahan biaya pakan tidak membuat penambahan pada keuntungan karena justru penambahan pakan yang dilakukan pada praktik budidaya yang salah justru mengurangi produktivitas tambak karena menghasilkan limbah yang pada akhirnya membuat virus merebak sehingga hasil dan keuntungan yang diperoleh tidak sebesar yang diharapkan. Beberapa petani tambak pada akhirnya menjual tambaknya dan dialihfungsikan menjadi tempat pemancingan ikan, sebagian besar lainnya memilih untuk kembali menggunakan sistem tradisional pada tambak-tambak yang masih mereka miliki. Peralihan kembali sistem budidaya dari semi-intensif ke tradisional memang merupakan langkah yang logis karena sistem budidaya ini tidak menggunakan pakan buatan yang berarti petani tidak memiliki ikatan dengan pabrik pakan, namun hasil yang diperoleh petani pun tidak optimal. Sistem budidaya tradisional merupakan sistem budidaya yang lebih ramah lingkungan, namun secara umum tidak berkelanjutan bagi kelangsungan hidup petani tambak karena keuntungan yang didapatkan dari sistem ini sub-optimal. Karena keuntungan yang sub-optimal ini maka beberapa petani tambak mulai mencari pekerjaan lain yang pada akhirnya tentunya mengurangi penyerapan tenaga kerja dalam bidang perikanan budidaya, meningkatkan tingkat kemiskinan dan pada akhirnya berdampak pada aspek sosial desa pesisir Sidoarjo. Beberapa permasalahan diatas membuktikan bahwa dalam rangka pengelolaan budidaya yang berkelanjutan, banyak faktor dan indikator yang harus dilihat, baik bioteknis seperti misalnya sistem budidaya, lingkungan seperti pencemaran yang tidak melebihi carrying capacity dan sosio-ekonomi seperti biaya dan keuntungan. Pengelolaan budidaya udang yang berkelanjutan memiliki tujuan agar adanya hasil yang optimal dengan penggunaan sistem budidaya yang sesuai namun juga tidak mengorbankan lingkungan, dalam hal ini air dan tanah. Perlu adanya pengoptimalan alokasi terhadap sumberdaya yang ada yang diselaraskan dengan aspek teknis, lingkungan dan ekonomi. Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan pada penelitian adalah sebagai berikut : 1. Penurunan kualitas air karena limbah budidaya, industri dan rumah tangga diduga menyebabkan pencemaran lingkungan perairan sehingga beberapa sistem budidaya udang yang dilakukan melebihi daya dukung ekologi yang secara tidak langsung mengakibatkan merebaknya virus dan pada akhirnya kegagalan panen. 2. Sistem budidaya yang digunakan belum efisien apabila dibandingkan dengan output yang didapatkan sehingga biaya marjinal lebih besar daripada penerimaan marjinal. 3. Interaksi antara pencemaran lingkungan perairan dan pemilihan sistem budidaya yang kurang sesuai sehingga produksi udang yang sub-optimal dan kurang berkelanjutan.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk : 1. Menganalisis Indeks Pencemaran pada tambak-tambak di daerah penelitian sebagai indikator keberlanjutan dari aspek lingkungan. 2. Mengkaji faktor-faktor produksi signifikan pada sistem budidaya udang yang dilakukan di Sidoarjo serta menganalisis efisiensi dari setiap faktor produksi tersebut. 3. Menganalisis kelayakan bisnis dari sistem budidaya yang dilakukan saat ini di Sidoarjo. 4. Membangun model ekonomi pengelolaan sistem budidaya dengan menggunakan analisis dinamik untuk melihat sistem budidaya yang paling berkelanjutan dari aspek lingkungan, teknik maupun sosio-ekonomi.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis Indeks Pencemaran dengan menghitung kualitas air pada tambak-tambak dengan sistem monokultur tradisional, polikultur tradisional antara udang dan bandeng, monokultur tradisional plus, polikultur tradisional plus pada 4 Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo yaitu Kecamatan Sedati, Buduran, Sidoarjo dan Jabon Lampiran 2 dan 3. Penelitian ini menganalisis usaha budidaya udang pada sistem budidaya melalui pendekatan ekonomi dengan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas untuk melihat faktor-faktor produksi yang berpengaruh dan efisiensi input yang digunakan. Selanjutnya analisis kelayakan bisnis juga digunakan untuk melihat kelayakan pada setiap sistem budidaya. Kajian analisis dinamik dilakukan untuk melihat sistem budidaya yang paling berkelanjutan.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi mahasiswa sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains. 2. Bagi pembuat kebijakan sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan pengelolaan tambak udang berkelanjutan. 3. Bagi praktisi sebagai acuan dalam memilih sistem budidaya udang berkelanjutan. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budidaya Udang

Di Indonesia, jenis udang yang pada umumnya dibudidayakan di air payau adalah udang windu Penaeus monodon dan udang vanamei Litopenaeus vanammei. Menurut Darmono 1991, udang windu mulai dibudidayakan sejak awal tahun 1980-an, sedangkan budidaya benih telah dimulai pada akhir 1970-an di Jepang. Di Indonesia sendiri, budidaya udang mulai populer dan banyak dilakukan orang sejak 1984 dan berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986 ketika harga udang semakin membaik. Walaupun menurut Abubakar 2008 dari tahun 1985-1987, ekspor udang Indonesia masih didominasi hasil udang tangkap, akan tetapi pasca tahun tersebut dominasi hasil udang tangkap justru menurun dan posisi udang hasil budidaya meningkat dengan sangat tajam. Ekspor udang hasil budidaya melebihi separuh dari hasil tangkap dicapai pada tahun 1988, dengan volume ekspor sebesar 77.451 ton dan meningkat menjadi 136.396 ton pada tahun 1991 dan 141.586 ton pada tahun 1992. Selanjutnya pasca 1992 volume ekspor terus mengalami penurunan, walaupun tahun 2002 mulai mengalami kenaikan hingga 2006, kembali terjadi penurunan volume ekspor pada tahun 2007, 2009 dan 2010 seperti yang terlihat pada Gambar 1 dibawah ini. Gambar 1. Grafik volume ekspor komoditi udang tahun 2002-2011 KKP, 2012