Arahan Pengelolaan Sistem Budidaya Udang Berkelanjutan

Pada sistem budidaya monokultur tradisional plus, laju pencemaran tertinggi terjadi pada tahun 2033 sebelum akhirnya menurun tajam pada tahun 2035 seiring dengan penurunan produksi pada tahun yang sama. Penurunan laju pencemaran disebabkan akumulasi yang terjadi sejak tahun 2013 hingga 2033 menumpuk hingga akhirnya berdampak pada collapse produksi budidaya udang pada 2035. Penurunan laju pencemaran bukan berarti tidak terjadi laju pencemaran sama sekali melainkan hasil akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya. Penurunan produksi memang terjadi pada setiap sistem budidaya dan berhubungan dengan laju pencemaran dan juga input produksi yang diberikan pada masing-masing sistem budidaya, walaupun sistem budidaya polikultur tradisional plus secara penurunan produksi merupakan sistem yang paling rendah persentase penurunannya namun hasil simulasi dari laju pencemaran pada Gambar 24 terlihat bahwa laju pencemaran pada sistem budidaya polikultur tradisional plus relatif lebih besar dibandingkan sistem budidaya monokultur dan polikultur tradisional. Gambar 24. Grafik hasil simulasi Laju Pencemaran tahun 2013-2043 tanpa sistem budidaya monokultur tradisional plus Tingginya laju pencemaran pada sistem tradisional plus ini mengakibatkan sistem ini tidak dapat direkomendasikan sebagai sistem budidaya yang paling berkelanjutan walaupun hasil dari analisis-analisis sebelumnya menyatakan bahwa sistem budidaya tradisional plus merupakan sistem yang masih tergolong layak. Pengelolaan dengan sistem budidaya ini hanya dapat direkomendasikan apabila pada pelaksanaanya dilakukan dengan sistem budidaya yang ramah lingkungan misalnya dengan adanya penanaman mangrove ditepian tambak sehingga diharapkan laju pencemaran yang tinggi dapat sedikit teratasi dengan adanya mangrove. Namun pada akhirnya, berdasarkan hasil kajian analisis dinamik ini, sistem budidaya yang tetap dapat direkomendasikan menjadi sistem budidaya berkelanjutan adalah sistem budidaya polikultur tradisional. Beberapa tambak yang menggunakan sistem budidaya polikultur tradisional juga menerapkan penanaman mangrove di pematang tambak, hal ini yang membuat pencemaran pada sistem budidaya polikultur tradisional tidak sebesar sistem budidaya lainnya, karena penanaman kembali mangrove menurut Kordi dan Andi 2007 memiliki fungsi menyerap berbagai polutan, baik di perairan dengan akarnya maupun di udara dengan daunnya. Dengan demikian, bila hutan mangrove tetap dipertahankan atau dikembalikan dihijaukan kembali, maka akan mengurangi berbagai pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas budidaya udang, terutama limbah perairan. Selanjutnya menurut Fitzgerald 2000 dalam Hai dan Amararatne 2005 menyatakan bahwa daun mangrove yang jatuh menyediakan “green manure” bagi tambak udang yang akan menghasilkan jaring makanan natural bagi sistem budidaya yang terintegrasi dengan mangorve. Ditambahkan oleh Hai dan Amararatne 2005, dekomposisi beberapa jenis daun mangrove dalam jumlah sedang memainkan peran dalam meningkatkan pertumbuhan udang dan tingkat kelangsungan hidup dalam kondisi aerobik dan dekomposisi daun mangrove pada tingkat buangan 1 gL secara positif berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Sistem budidaya polikultur tradisional melalui analisis sebelumnya dinyatakan layak, namun masih perlu diatur efisiensi penggunaan inputnya. Laju pencemarannya relatif rendah sehingga beban terhadap lingkungan juga tidak sebesar sistem lainnya. Karena untuk melaksanakan sistem pengelolaan budidaya berkelanjutan yang pertama harus dilihat adalah ecological carrying capacity baru kemudian kelayakan secara ekonomi, karena apabila secara ekologi sudah melebihi daya dukung, walaupun memiliki modal yang besar pun, hasil yang didapatkan hanya sub-optimal. Pada akhirnya pengelolaan sistem budidaya harus diikuti dengan pengelolaan limbahnya sehingga mengarah kepada prinsip blue economy yakni zero waste dan profitabilitas akan naik serta ekosistem tetap terjaga. 9 SIMPULAN DAN SARAN

9.1. Simpulan

1. Tambak-tambak di daerah penelitian menggunakan input air dari sungai- sungai yang telah tercemar sedang, hal ini terlihat dengan Indeks Pencemaran diatas 5 yaitu 9,2. Pencemaran tersebut disebabkan limbah produksi pabrik maupun rumah tangga. 2. Analisis Regresi yang menghasilkan Fungsi Produksi Cobb-Douglas pada kedua sistem budidaya yang masih dilakukan di Sidoarjo menunjukkan bahwa sistem tradisional berada pada zona irasional zona 3 sedangkan sistem tradisional plus berada pada zona rasional. Luas lahan dan benih merupakan faktor produksi yang tidak efisien sehingga perlu ditambah pada sistem budidaya tradisional, sedangkan tenaga kerja persiapan-panen, pupuk, kapur dan saponin merupakan faktor produksi yang belum efisien sehingga harus ditambah. Pada sistem budidaya tradisional plus hanya luas lahan yang tidak efisien, sedangkan pupuk, saponin dan obat-obatan belum efisien sehingga harus ditambah penggunaannya. 3. Hasil analisis investasi per ha memperlihatkan bahwa sistem budidaya perikanan yang dilaksanakan di lokasi penelitian dengan umur proyek 10 tahun dan diasumsikan kualitas lingkungan sama, maka sistem budidaya yang paling layak dilakukan adalah sistem budidaya polikultur tradisional dengan NPV sebesar Rp. 71.399.632, Net BC sebesar 1,75 dan IRR 26. 4. Hasil analisis dinamik menunjukkan bahwa sistem budidaya yang paling berkelanjutan adalah sistem budidaya polikultur tradisional dilihat dari aspek teknis dan lingkungan memiliki laju pencemaran yang rendah dan sistem tersebut secara ekonomi memberikan keuntungan sebesar Rp.474.367.511 pada tahun 2043. 5. Hasil analisis biaya manfaat dari produksi berdasarkan analisis dinamik untuk luasan tambak 82 ha memberikan nilai NPV sebesar Rp. 976.520.917, Net BC sebesar 1,73 dan IRR 26 sehingga dapat dinyatakan bahwa sistem budidaya polikultur tradisional layak dan berkelanjutan.

9.2. Saran

1. Pengelolaan budidaya udang di Sidoarjo disarankan menggunakan sistem tradisional polikultur antara udang dan bandeng karena sistem ini secara ekologi tidak memberikan beban lingkungan yang besar dan secara ekonomi layak untuk dilakukan. 2. Model dinamik dapat digunakan untuk mengkaji keberlanjutan dalam budidaya udang sehingga dapat digunakan dalam pengelolaan budidaya udang. DAFTAR PUSTAKA Abubakar. 2008. Efisiensi Pengelolaan Kawasan Tambak Udang dan Dampaknya Terhadap Aspek Ekonomi Sosial dan Ekologi di Wilayah Pesisir Kabupaten Dompu NTB [Disertasi]. Bogor : IPB. Afrizal R. 2009. Analisis Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat [Thesis]. Bogor : IPB. Ahmed M and MH Lorica. 2002. Improving Developing Country Food Security through Aquaculture Development-lessons from Asia. Food Policy. 27 : 125-141. Alkindy BL. 2006. Pembesaran Udang Vaname Litopenaeus vannamei dalam Bak Pemeliharaan dengan Padat Tebar Berbeda [Skripsi]. Bogor : IPB. Allaudin MHR. 2010. Optimasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung bagi Pengembangan Budidaya Tambak Udang di Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan [Disertasi]. Bogor : IPB. Allaudin MHR. 2004. Analisis Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Lingkungan Pesisir untuk Perencanaan Strategis Pengembangaan Tambak Udang Semi Intensif di Wilayah Pesisir Teluk Awarange, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan [Thesis]. Bogor : IPB. Arquitt S, X Honggang and R Johnstone. 2003. Boom-and-bust Shrimp Aquaculture; a Feebate Policy for Sustainability. www.systemdynamics.orgconferences2003proceedPAPERS394.pdf [ 27 Februari 2013] Bosma RH and MCJ Verdegem. 2011. Sustainable Aquaculture in Ponds : Principles, Practices and Limits. Livestock Science 139 56-68. BPS. 2010. Sidoarjo Dalam Angka. Jakarta ID : Badan Pusat Statistik. BPS. 2010. Provinsi Jawa Timur Dalam Angka 2010. Jakarta ID : Badan Pusat Statistik. BPS. 2012. Provinsi Jawa Timur Dalam Angka 2012. Jakarta ID : Badan Pusat Statistik. BPS. 2013. Sidoarjo Dalam Angka. Jakarta ID : Badan Pusat Statistik. Budiardi T. 2008. Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname Litopenaeus vannamei Boone 1931 [Disertasi]. Bogor : IPB. Charles AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. London GB : Blackwell Scientific. Colman D and T Young. 1989. Principle of Agricultural Economics : Markets and prices in less developed countries. New York US : Press Syndicate of the University of Cambridge. Colt J and K Orwicz. 1991. Modeling Production Capacity of Aquatic Culture Systems Under Freshwater Conditions. Aquaculture Engineering 10 1-29. Darmono. 1991. Budidaya Udang Penaeus. Yogyakarta ID : Kanisius. Dinno S. 2009. Studi Daya Dukung Perairan Pesisir Kabupaten Sidoarjo Untuk Budidaya Tambak Udang Dampak Pembuangan Lumpur Lapindo [Thesis]. Surabaya : ITS. DKP. 2011. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sidoarjo. Sidoarjo ID : Dinas Kelautan dan Perikanan Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta ID : Kanisius. FAO. 2007. The State of World Fisheries and Aquaculture 2006. http:www.fao.orgdocrep009a0699ea0699e00.htm [11 November 2011] FAO.2010.The State of World Fisheries and Aquaculture. http:www.fao.orgdocrep013i1820ei1820e01.pdf [20 November 2012] FAO.2012.The State of World Fisheries and Aquaculture. http:www.fao.orgdocrep016i2727ei2727e.pdf [20 November 2012] Fatmawati. 2012. Model Pengembangan Kawasan Pesisir Berbasis Budidaya Perikanan Berwawasan Lingkungan [Disertasi]. Bogor : IPB. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Ed ke-2. Jakarta ID : Penerbit Universitas Indonesia. Gravelle H and R Rees. 2004. Microeconomics. Ed ke-3. London GB : Pearson Education Limited. Hai TN and Amararatne Y. 2005. The effect of the decomposition of mangrove leaf litter on water quality, growth and survival of black tiger shrimp Penaeus monodon Fabricus, 1798. Aquaculture 205 700-712.